To Liong To 4: Manusia Sebagai Barang Hantaran
Kisah Membunuh Naga - To Liong To
IV MANUSIA SEBAGAI BARANG HANTARAN
Entah sudah berapa lama berlalu. Ketika Tay-giam membuka matanya, yang pertama-tama dilihatnya adalah sehelai Piau-ki atau panji sebuah perusahaan pengawalan. Di atas panji itu tersulam gambar seekor ikan gabus berwarna emas.
Ia mencoba memejamkan mata. Ketika membukanya kembali, panji kecil itu masih dilihatnya lagi. Hanya saja sekarang tampak lebih jelas, panji kecil itu ditancapkan dalam sebuah vas kembang keramik berukiran. Ikan sulaman ditengah panji itu dilukis sedang melejit ke atas ombak hingga tampaknya sangat bagus sekali.
Bukankah ini panji tanda Liong-bun Piaukiok di Lim-an-hu? tanya Tay-giam dalam hati.
Tay-giam tak sanggup berpikir banyak karena pikirannya masih kacau. Beberapa saat kemudian kondisinya sudah sedikit agak baik, baru disadarinya ia berada di sebuah balaibalai yang digotong oleh dua orang. Mereka berada di sebuah ruangan yang sangat besar. Ia bermaksud mengangkat kepalanya untuk melihat, tapi lehernya sangat kaku dan tak bisa digerakkan. Bahkan semua badannya serasa lumpuh karena tak dapat digerakkan sedikitpun. Barulah ingat, ia telah terkena racun jahat Bun-si-ciam dan Chit-sing-ting di Sungai Citong-kang.
Sementara itu sayup-sayup didengarnya ada dua orang yang sedang berbicara, yang seorang bertanya, "Siapakah nama Tuan?"
Lalu yang satupun menyahut, "Tak perlu tanya namaku. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu sanggup menerima piau (barang kawalan) ini?"
Tay-giam menjadi heran. Jika mendengar suaranya yang halus dan merdu, sepertinya ia seorang wanita! pikirnya diam-diam.
Lalu orang yang pertama bertanya tadi menyahut dengan nada kurang senang. "Rasanya Liong-bun Piaukiok kami tidak akan kekurangan pekerjaan, jika Tuan tidak sudi memberitahukan namanya, silakan pergi ke Piaukiok yang lain saja."
"Di kota Lim-an ini hanya Liong-bun Piaukiok yang cukup bagus. Tak ada Piaukiok lain yang bisa menandinginya. Jika kamu tidak bisa memutuskannya, cepat panggil Cong-piauthau (pemimpin perusahaan) untuk
keluar!” kata suara wanita itu. Suaranya seperti seorang majikan yang sedang memberikan perintah pada pembantunya, sangat tidak sopan.
Benar juga, orang yang bertanya tadi menjadi kurang senang. Katanya, "Akulah Congpiauthau. Cayhe masih ada urusan lain dan tak bisa lama-lama melayani, silakan Tuan pergi saja."
"Ah, kiranya kaulah To-pi-him Toh Taykim...," seru wanita itu. Setelah tertegun sejenak, ia menyambung pula, "Toh-congpiauthau, aku kagum, kagum sekali! – Aku she In.” Agaknya Toh Tay-kim menjadi sedikit lebih sabar. Maka tanyanya pula, "Sebenarnya Tuan ada order apa?" " -
"Aku harus tahu lebih dulu, kamu sanggup atau tidak!" sahut tamu yang bernama she In itu. "Sebab tugas ini bukan sembarangan, sedikitpun tak boleh gagal."
Rupanya Toh Tay-kim menjadi gusar, katanya sambil menahan marah, "Liong-bun Piaukiok ini sudah berdiri lebih dari 20 tahun. Kami pernah membawa barang pemerintah,
swasta, mas intan dan barang besar lainnya, dan selama ini tidak pernah ada hambatan,"
Tay-giam pernah mendengar nama Toh tay kim, sebagai murid dari Siau-lim-pay. Sangat terkenal dalam ilmu pukulan dan permainan golok. Kepandaiannya menimpuk senjata rahasia piau dan sekaligus menghamburkan 7 x 7 = 49 buah secara berantai. Seratus kali timpuk, seratus kali kena. Jitu luar biasa. Maka orang Kangouw menjulukinya "To-pi-him" atau si beruang bertangan banyak. Liong-bun Piaukiok yang dibukanya ini juga cukup disegani di daerah tenggara. Hanya anak murid Bu-tong-pay dan Siau-lim-pay biasanya jarang berkembang. Meskipun pernah mendengar namanya, tapi belum pernah bertemu.
Kemudian terdengar she In tertawa, katanya, "Jika aku tahu Liong-bun Piaukiok tidak bisa dipercaya, aku tak perlu datang ke sini! Nah, Toh-congpiauthau, aku minta kamu bersedia membawa barangku, hanya memakai tiga syarat."
"Piau yang berbelit-belit kami tidak terima, yang asal-usulnya tak jelas kami tak terima,
yang nilainya kurang dari 50 perak juga tidak terima," sahut Toh Tay-kim tiba-tiba. Sebelum she In menjelaskan ketiga syaratnya, ia sendiri sudah mendahului mengemukakan tiga syarat,
"O... jika begitu maaf, piau-ku ini agak berbelit-belit dan asal-usulnya juga kurang jelas, terutama nilainya mungkin tidak ada 50 perak," kata she In. Tapi ketiga syaratku agaknya juga tidak mudah untuk dilaksanakan. Pertama, harus Toh-congpiauthau sendiri yang memimpin pengawalan. Kedua, dari Lim-an-hu diantar ke Siang-yang-hu di Oupak, harus siang malam menempuh perjalanan, dalam waktu sepuluh hari sampai ditempatnya. Ketiga, jika terjadi sesuatu, jangankan nyawamu tapi seluruh anggota keluarga Liong-bun Piaukiok akan dibunuh semua, juga anjing dan ayammu."
Mendadak terdengar suara "bang" sekali. Agaknya Toh Tay-kim langsung menggebrak meja. Bentaknya, "bila kamu mau cari garagara, tidak perlu datang ke Liong-bun Piaukiok kami ini! Hm, jika aku tidak kurus kering seperti ini, pasti kamu akan tahu rasa!"
Tiba-tiba she In tertawa dingin, menyusul suara "blang-blung" dua kali, seperti melemparkan benda ke atas meja. Katanya, "Nih, 2000 keping emas murni, anggap saja biaya pengawalan, coba kau simpan dulu!"
Tay-giam menjadi terkejut, katanya dalam hati: Nilai 2000 keping emas sama dengan ratusan ribu keping perak. Biaya mengawal biasanya hanya 4% komisi dari nilai barang kawalan. Dengan ratusan ribu keping perak ini meskipun bekerja sepuluh tahun pun belum pasti sanggup mengumpulkannya."
Benar juga, demi melihat emas yang bersinar dan menyilaukan itu, sikap Toh Tay-kim menjadi berubah. Ya, betapa teguh imannya sebagai pengusaha pengawalan, walaupun sudah biasa melihat harta benda partai besar, tapi toh milik orang lain. Kini mendadak ada 2000 keping emas dihadapannya. Asal ia sanggup menerima syaratnya, maka emas itu akan menjadi miliknya. Keruan saja hatinya menjadi bimbang
Leher dan kepala Tay-giam tidak bisa bergerak. Hanya matanya saja yang memelototi pan-
ji bersulam ikan di vas kembang itu. Saat itu seluruh ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar suara lalat hijau yang terbang nging-nging di atasnya mukanya. Sedangkan napas Toh Taykim kedengaran sangat berat. Meskipun Taygiam tak bisa melihat wajah orang, tapi bisa membayangkan wajah orang itu sedang memandang 2000 keping emas yang sangat menyilaukan di atas meja dengan mata mendelik dan mulut ternganga saking terkesima.
Beberapa saat berlalu, barulah terdengar Toh tay-kim buka suara. "In-toaya, lalu barang apakah yang kau minta kami kawal?"
"Aku ingin tanya dulu, ketiga syaratku itu, terima tidak?" sahut she In. kau sanggup
Toh tay-kim ragu-ragu sejenak, tapi ia segera menepuk pahanya sendiri dan dengan tegas menjawab, "Jika In-toaya telah rela mengeluarkan honorarium sedemikian besar, biarlah aku bertaruh nyawa untukmu. Lalu barang apakah itu?"
"Barang yang harus kau kawal, sekarang juga berada di sini, yaitu tuan yang rebah di balai-balai ini!" sahut she In.
"Ha?" hanya kata-kata itu saja yang tercetus dari mulut Toh Tay-kim demi mendengar jawaban she In.
Tay-giam pun sama terkejutnya dengan Toh Tay-kim, tanpa pikir panjang ia berteriak: "Aku... aku..."-tapi meskipun ia membuka mulutnya lebar-lebar toh tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Keadaannya persisi orang mimpi buruk yang ingin mengeluarkan tenaga sekuatnya, tapi apa daya seluruh tubuhnya tak mampu menuruti perintahnya.
Barulah Tay-giam sadar bahwa racun Chitsing-ting atau paku tujuh bintang itu luar biasa hebatnya. Bukan hanya anggota badannya saja yang menjadi lumpuh, tenggorokannya pun keracunan hingga gagu tak bisa bicara. Hanya mata belum buta dan telinganya tidak tuli.
Sementara itu terdengar Toh Tay-kim bertanya lagi, "Ya... ya Tuan... Tuan ini?" " ?"
"Benar,” sahut she In. "Makanya harus kamu sendiri yang mengawalnya. Boleh tukar kereta, boleh ganti kuda, tapi tidak ganti orang. Siang malam menempuh perjalanan
dalam waktu 10 hari. Harus diantar sampai di atas Bu-tong-san di Siang-yang-hu wilayah Oupak dan diserahkan pada Thio Sam-hong siansing, cikal bakal Bu-tong-pay.”
Mendengar perkataan she In itu Tay-giam menghela napas lega. Sedangkan Toh Tay-kim bertanya lagi, "Bu-tong-pay? Anak murid Siau-lim-pay? Selamanya kami tidak pernah bermusuhan dan berhubungan dengan Butong-pay, soal ini... soal ini...."
"Pokoknya, terlambat sedikit saja susah ditebus dengan ribuan keping emas, makanya katakan saja, piau ini kamu sanggup terima tidak, seorang laki-laki sejati harus bisa cepat ambil keputusan, mengapa pakai soal ini soal itu segala?" kata she In.
"Baiklah, melihat muka In-toaya, piau ini kami terima dengan baik;” sahut Toh Tay-kim kemudian.
She In tersenyum, katanya, "Hari ini tanggal 29 bulan tiga, maka tanggal 9 bulan empat sore hari sudah harus sampai di Bu-tong-san dengan selamat. Jika tidak, aku akan membunuh semua anggota keluarga Liong-bun Piau-kiok
yang sebanyak 71 nyawa itu tanpa kecuali, termasuk anjing dan ayam!"-Bersamaan dengan itu terdengar suara mencicit beberapa jarum perak yang lembut dan halus keluar dan menancap di vas kembang keramik yang tertancap panji bersulam ikan itu, dan "piur”. Vas kembang itu pecah berantakan.
Kepandaian menyambitkan senjata 'rahasia itu sangat mengejutkan sehingga Toh Tay-kim berseru kaget, begitu pula hati Tay-giam pun terkesiap.
"Hayo, pergi!" she In membentak. Sedangkan balai-balai di mana Ji Tay-giam merebah terasa ditaruh di lantai, dan orang-orang she In itupun berduyun-duyun pergi.
Selang beberapa saat Toh Tay-kim mendekati Tay-giam dan bertanya, "Siapakah nama dan she Tuan ini? Apakah orang Bu-tong-pay?"
Tapi Tay-giam hanya memandangnya saja, tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia lihat Piauthau itu berumur 50 an tahun, perawakannya kekar, otot lengannya menonjol kuat dan badannya gagah, tentu seorang ahli silat yang tangkas.
"Tuan In yang cakap itu kelihatannya lemah lembut, tapi siapa sangka ilmu silatnya begitu mengejutkan, entah anak murid dan dari golongan dan aliran mana?" kata Toh Tay-kim lagi. Meskipun ditanya berulang-ulang tapi Tay-giam tak sanggup menjawabnya, akhirnya ia memejamkan matanya.
Diam-diam Toh Tay-kim membandingkan. Ia sendiri seorang ahli menyambit am-gi atau senjata gelap, julukannya "To-pi-him” dan cukup dikenal orang Kangouw. Tapi pemuda she In yang tampan itu hanya sekali mengibaskan tangannya, vas kembang sebesar itu hancur oleh belasan jarumnya yang halus lembut. Ia menjadi percaya karena menyaksikannya sendiri.
Ia mencoba mendekati meja dan memeriksa kepingan vas kembang yang pecah itu. Tampak sebuah jarum perak menancap hingga sampai ke pucuknya. Sungguh susah dimengerti dengan tenaga sambitan apa orang menggunakannya bagaimana orang bisa melakukannya. Selama 20
tahun mendirikan Liong-bun-Piaukiok ini belum pernah terjadi harus mengawal seorang manusia dengan bayaran 2000 keping emas. Jangankan ia sendiri, mungkin Piaukiok di seluruh dunia juga tidak pernah menemukan pekerjaan aneh ini.
Kemudian iapun menyimpan 2000 keping emas itu lalu menyuruh orangnya untuk membawa Tay-giam istirahat di kamar. Lalu Toh Tay-kim mengumpulkan para Piauthau perusahaannya untuk membuat persiapan pemberangkatan hari itu juga.
Diam-diam Toh Tay-kim pun berembuk dengan dua Piauthau yang usianya lebih tua. Semuanya merasa kata-kata she In sebelum pergi, yaitu: akan kubunuh seluruh anggota keluarga Liong-bun Piaukiok kalian sebanyak 71 nyawa tanpa kecuali!" Sungguh, kata-kata itu sangat mengerikan. Dan bila mereka hitung-hitung dimulai dari ibu Tay-kim, sampai dengan orok Ciok-piauthau yang baru lahir, termasuk pula pesuruh dan tukang api, benar juga, kira-kira jumlahnya 71 nyawa. Keruan saja mereka bertiga saling termangu dan hati berdebar-debar.
"Congpiauthau," kata Ciok-piauthau, "bukan aku sok usilan, tapi menurut pandanganku sungguhpun honorarium yang kita terima sangat besar, tapi halangan di tengah perjalanan tentu luar biasa, bagaimana jika piau ini kita tolak?” kata Ciok-piauthau.
"Ah, baru sekarang Ciok-samko bicara," ujar Piauthau lainnya yang she Su. "Piau sudah kita terima, masakan dengan nama besar Liong-bun-Piaukiok yang sudah 20 tahun ini, harus kita batalkan piau ini?"
"Nama besar Liong-bun Piaukiok di sayang Su-ngote apakah aku orang she cok tidak di sayang?" sahut Ciok-piauthau gusar. "Hanya order kali ini banyak syaratnya, aku jadi curiga, siapa tahu orang itu sengaja hendak menjebak kita."
"Ha, jika sudah hidup dari pekerjaan mengawal, siang atau malam harus bersedia berjuang di ujung golok," sahut Su-piauthau mengejek. "Kalau Ciok-samko ingin aman mendingan tinggal di rumah saja momong anak!" Begitulah kedua orang itu, dari bertukar pikiran menjadi saling sindir. Cepat-cepat Toh
Tay-kim melerai. "Sudahlah, kalian jangan ribut. Keputusan sudah diambil, kita serahkan pada nasib. Biarlah kita maju bersama untuk mengawal piau ini ke Bu-tong-san. Jika Cioksamko khawatirkan anak, kita antar saja mereka mengungsi sementara supaya selamat." Lalu mereka membagi beberapa orangnya agar melindungi anggota keluarga yang tua, wanita, dan anak-anak mengungsi ke kampung di luar kota buat menyingkir sementara.
Setelah persiapan selesai, sehabis makan mereka segera memulai perjalanan. Sambil mengibarkan panji Piaukiok yang bersulam ikan gabus melejit, terus berangkat sambil menyerukan yel-yel kebesaran mereka.
Diam-diam Tay-giam yang tiduran di dalam kereta besar sangat terharu, pikirnya: Aku Ji Tay-giam selama malang melintang di Kangouw tidak pernah peduli terhadap tukang kawal, tak disangka hari ini aku tertimpa musibah dan justru mereka ini yang mengawalku ke Bu-tong-san-lalu pikirnya pula: Siapakah orang she In yang menolongku itu? Kalau mendengar suaranya yang halus
dan merdu, jelas seorang wanita. Congpiauthau itu bilang wajahnya tampan, ilmu silatnya sangat hebat, tindak tanduknya aneh. Sayang aku tak bisa melihat mukanya dan tidak bisa mengucapkan terima kasih padanya. Aku Ji Tay-giam, harus membalas budi baik mereka.
Ia mendengar suara kereta berjalan, ketika hampir keluar pintu kota, tiba-tiba terdengar suara Toh Tay-kim, "Kenapa kalian kembali lagi? Bukankah aku pesan, jangan sekali-sekali kembali ke Lim-an sini?"
"Lapor Congpiauthau, ke... ketiga telinga... telinga kami...." Sahut orang itu tidak lancar.
"Ha?" bentak Toh Tay-kim, suaranya gusar dan terkejut. "Kenapa bisa begini? Bagaimana sampai ketiga telinga kalian diiris orang?"
"Kami... kami mengantar nyonya besar keluar kota, tapi... belum dua kilometer jauhnya, sudah dicegat orang," demikian kata orang itu. "Orang itu bengis luar biasa, bentak mereka: 'Anggota keluarga Liong-bun Piaukiok selangkahpun tidak boleh meninggalkan Lim-an-hu.' Hamba coba mendebat, tapi seseorang dari mereka mencabut senjata dan... dan telinga hamba lantas diirisnya, te... telinga mereka berdua ju... juga ikut jadi korban. Orang itu menyuruh hamba untuk memberitahukan Cong... Congpiauthau, bahwa jika piau ini tidak sampai tempat tujuan tepat pada waktunya, katanya... anjing ayam dan apalagi segala itu!"
Tay-kim menghela napas, tahulah ia bahwa segala gerak-geriknya diam-diam sudah diawasi orang. Maka iapun memberi tanda dan berkata, "Sudahlah, kalian pulang saja, rawatlah baik-baik Piaukiok, jika tidak ada urusan jangan keluar rumah."
Kemudian mereka segera melanjutkan perjalanan ke barat. Yang mengawal piau itu kecuali Toh Tay-kim dan kedua piauthau she Ciok dan Su, masih ada empat mandor muda yang cekatan. Kuda yang mereka pakai semuanya pilihan, tepat seperti apa yang dipesan she In. Sepanjang jalan hanya tukar kereta, ganti kuda tapi tidak ganti orang. Mereka menempuh perjalanan siang malam tanpa berhenti.
Meskipun demikian, dalam hati semua orang selalu was-was. Semuanya sadar, bila salah sedikit saja, seluruh isi rumah Piaukiok di Lim-an akan menjadi korban, semuanya akan binasa.
Tak terduga, sejak mereka berangkat hingga melewati An-hui dan Oupak, mereka selamat tidak kurang suatu apa pun. Jangankan tokoh Kangouw atau begal besar, penjahat kecil pun tidak mereka jumpai.
Akhirnya, sebelum sore hari tibalah mereka di Siang-cing-cu. Dari sini ke Bu-tong-san bisa ditempuh hanya setengah hari saja. Meskipun perjalanan mereka tempuh dengan susah payah, namun tidak melewati batas waktu yang ditetapkan she in itu, yaitu sampai di Bu-tongpay pada tanggal 9 bulan 4. Selama sepuluh hari perjalanan mereka selalu was-was dan tertekan, sekarang barulah mereka merasa lega.
Waktu itu sudah akhir musim semi dan permulaan musim panas. Cuacanya terang dan hawanya sejuk. Sepanjang pegunungan bunga hutan tumbuh semerbak mewangi, hingga
perasaan orang-orang yang selama ini tertekan seakan-akan buyar seketika.
"Ciok-samte,” kata Toh Tay-kim sambil menuding ke puncak Thian-cu-hong yang menjulang ke awan itu. "Paling akhir ini nama Bu-tong-pay sangat terkenal, meskipun belum bisa menandingi Siauy-lim-si kita, tapi nama Bu-tong-chit-hiap yang gilang-gemilang ternyata sudah amat tersohor di Kangouw. Lihatlah puncak yang menjulang tinggi ke langit itu, kata pepatah, tanah subur melahirkan orang kuat, tampaknya Bu-tong-pay benarbenar hebat.'
"Ah, meski nama Bu-tong-chit-hiap sangat terkenal, tapi ilmu kepandaian mereka yang sejati belum pernah kita lihat, mungkin orangorang kalangan Bu-lim sengaja membesarbesarkan kepandaian mereka agar semakin hebat," ujar Su-piauthau.
Begitulah mereka mempercakapkan nama Bu-tong-pay yang mereka anggap belum pasti kehebatannya secara nyata. Sebaliknya Siaulim-pay sendiri mereka bangga-banggakan.
Akhirnya jalan pegunungan itu semakin menyempit sehingga tidak cukup untuk berjalan tiga kuda berendeng. Maka Su-piauthau menahan kudanya berjalan di belakang. Toh Tay-kim sendiri diam-diam lagi memikirkan Ji Tay-giam yang mereka kawal di dalam kereta itu. Sebenarnya bagaimana asal usul orang itu. Selama sepuluh hari orang ini tak-bicaratak-bergerak, makan minum, kencing berak, selalu harus dilayani pegawainya. Meskipun Toh tay-kim sering tukar pikiran dengan kawan-kawannya, tetapi tentang Ji Tay-giam ini selalu tidak jelas. Apakah ia murid Bu-tongpay? Kawan atau musuh Bu-tong-pay yang kena tawan dan dihantarkan ke Bu-tong-san?
Begitulah, semakin mendekati Bu-tong-san, kecurigaan Toh Tay-kim makin bertambah. Tapi mengingat tidak lama lagi akan bertemu Thio Sam-hong, teka-teki ini segera akan menjadi jelas. Hanya saja mereka bakal untung atau buntung, dalam hati tetap ia tidak enak.
Selagi termenung-menung, tiba-tiba didengarnya dari arah barat gunung sana ada suara derap kaki kuda. Beberapa penunggang kuda itu mendatangi mereka dengan cepat.
Segera Ciok-piauthau keprak kudanya maju memapak untuk melihat siapa yang datang. Tak lama, terlihatlah dari tikungan sana muncul enam penunggang kuda. Ketika beberapa tombak jauhnya dari orang-orang Piaukiok, para penunggang kuda itu berhenti. Tiga di depan dan tiga di belakang, semuanya * malang melintang di tengah jalan.
Melihat gelagat itu, diam-diam Toh Tay-kim berpikir, apakah mungkin sesudah sampai kaki Bu-tong-san malah akan terjadi sesuatu?”—Maka dengan perlahan ia berpesan pada Su-piauthau untuk berjaga-jaga, ia sendiri pun segera memapak maju.
Toh Tay-kim melihat enam orang yang menghadang di jalan itu, dua orang diantaranya adalah To-su atau imam, empat lainnya preman dan semuanya membawa senjata, gagah bersemangat
Mungkinkah enam orang ini enam pendekar dari Bu-tong-chit-hiap itu? pikir Toh Tay-kim. Maka ia pun keprak kudanya lebih dekat, kemudian ia sujud sambil menyapa, "Cayhe Toh Tay-kim dari Liong-bun Piaukiok, maaf bolehkah bertanya nama besar enam bersaudara ini?"
Dari keenam orang itu, yang berdiri di ujung kanan paling tinggi. Di pelipis kiri atas tumbuh satu tahi lalat besar, di atas tahi lalat itu tumbuh tiga bulu panjang. Dialah yang menjawab pertanyaan Toh Tay-kim dengan dingin, "Ada keperluan apakah Toh-teng datang ke Bu-tong-san ini?"
"Perusahaan kami mendapat order untuk mengantar seorang luka ke sini dan perlu berjumpa dengan Thio-cinjin, ketua kalian," sahut Tay-kim.
"Mengantar seorang terluka? Dimana orangnya? Siapakah dia?" tanya orang yang bertahi lalat besar itu.
Seorang tamu she In yang memberi order pada kami agar mengantar tuan yang terluka ini ke Bu-tong-san,” sahut Tay-kim pula. "Siapakah tuan ini, apa sebab dia terluka, kami tidak mengetahuinya. Liong-bun Piakiok hanya memenuhi tugas yang diserahkan saja, sedangkan urusan pribadi tuan tamu, kami tidak pernah ikut campur."
Sebagai seorang kawakan Kangouw, maka Toh Tay-kim cukup piawai dalam berkatakata. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya sebagai orang yang bekerja di bidang jasa pengawalan selama 20 tahun.
Orang-orang berkuda tadi kemudian saling : berpandangan, lalu yang berdiri di samping si jangkung berkata, "Orang she In katanya? Macam apakah itu?"
"Seorang yang tampan dan lemah lembut," sahut Tay-kim. ”Ilmu senjata rahasianya pun hebat."
"Kamu telah berkelahi dengannya?" tanya orang bertahi lalat itu.
"O, tidak, tidak," sahut Tay-kim cepat, "dia sendiri yang...'
Belum selesai berkata, orang di bagian tengah itu memotong perkataannya, "Dan " dimana To-Liong-To? Ada di tangan siapa?”
Tentu saja Toh Tay-kim menjadi bingung. "Apa? To-Liong-To?" sahutnya tidak mengerti. Rupanya orang yang berdiri di tengah itu agak ceroboh. Tiba-tiba ia melompat turun dari
kudanya lalu menghampiri kereta.
Ia menyingkapkan tirai dan melongok kedalamnya Tay-kim semakin curiga bila melihat gerakan lompatan yang enteng dan gesit itu. Tay kim pun bertanya, "Apakah Tuan-tuan ini termasuk Bu-tong-chit-hiap yang terkenal itu Yang manakah Song-tayhiap? Sudah lama Siaute mengaguminya."
"Hanya nama kosong saja, tiada harganya untuk disebut. Toh-heng sesungguhnya terlalu merendahkan diri," kata orang bertahi lalat itu.
Sementara itu orang yang melongok Ji Taygiam tadi sudah kembali ke atas kudanya lagi dan berkata, "Lukanya sangat parah, dia tak boleh mati, harus secepatnya kita bawa pergi.”
Maka orang yang bertahi lalat itu sujud dan berkata pada Toh Tay-kim, "Maafkan kami karena telah menyusahkan Toh-heng dalam perjalanan jauh ini, terima kasih."
"Ah, tidak tidak,” sahut Tay-kim sambil balas menghormat.
"Saudara kami ini terluka parah, mungkin berbahaya, biarlah kami membawanya dulu
ke atas gunung untuk dirawat," kata orang itu pula.
Sangat kebetulan bagi Toh Tay-kim, ia merasa lebih senang bila tugasnya cepat beres. "Baiklah, biar di sini juga kita serah terimakan orang itu pada Bu-tong-pay.”
"Toh-teng jangan khawatir, Siaute yang bertanggung jawab segalanya,” kata orang itu. "Lalu apakah honorarium Toh-teng sudah beres?"
"Sudah... sudah dibereskan lebih dulu,” sahut Tay-kim.
Tapi orang itu tetap mengeluarkan sepotong emas yang beratnya kira-kira ratusan keping dan memberikannya pada Tay-kim. "Ini sedikit untuk beli minum, harap dibagi dengan para saudara.”
Toh Tay-kim menolak. "Dua ribu keping emas untuk honorarium kami sudah lebih dari cukup, kami tidak perlu minta tambahan lagi," sahutnya.
"O... 2000 keping emas?" kata orang itu. Sementara itu dua kawannya sudah mengeprak kudanya ke depan. Yang seorang melompat ke atas kereta menggantikan menjadi kusir, yang seorang mengawal di belakang,
Sementara orang yang bertahi lalat besar itu telah mengayunkan tangannya, dilemparkannya lantakan emas tadi ke muka Toh Taykim sambil berkata, "Sudahlah, Toh-heng jangan sungkan-sungkan, dan silakan pulang ke Lim-an saja!"
Terpaksa Toh Tay-kim mengulurkan tangannya mengambil emas lantakan itu dan hendak dikembalikan. Namun rombongan itu sudah memutar kudanya dengan cepat. Mereka berbelok di lembah gunung, dan sekejap saja sudah lenyap dari pandangan.
Ketika Tay-kim memeriksa emas lantakan itu, ia melihat diatasnya dekuk-dekuk bekas sepuluh jari yang dalamnya lebih dari satu cm. meski emas lebih lunak daripada logam lainnya namun tenaga jari sedemikian rupa sung guh bikin orang terkejut. Termangu-manga Toh Tay-kim menyaksikan lantakan emas itu. Katanya dalam hati, nama besar Bu-tong-chithiap ternyata bukan omong kosong. Kalau melihat cap jari ini, untuk orang Siau-lim-pay
mungkin hanya dimiliki oleh Susiok-susiok seperti Wan-im, Wan-sin, atau mereka yang khusus berlatih 'Kim-kong-ci-lik' (tenaga raksasa jari)."
Melihat bos-nya termangu-mangu memandangi bekas jari di atas lantakan emas, maka berkatalah Ciok-piauthau: "Cong-piathau, anak murid Bu-tong-pay agak kurang sopan, ketika bertemu tidak memperkenalkan diri, kita yang jauh-jauh datang ke Bu-tong-san sini, juga tidak disuruh mampir ke atas gunung untuk disuguh. sama-sama orang persilatan, sungguh keterlaluan.
Pikiran demikian memang juga sudah terlintas dihati Toh Tay-kim, hanya tidak diutarakan saja, Dengan senyum tawarnya ia berkata, "Kebetulan, tak perlu kita capek lebih lama. Lagipula anak murid Siau-lim-si masuk ke kuil Bu-tong-pay. Lebih baik kita putar kuda, pulang saja!"
Begitulah, pengawalan mereka kali ini berjalan mulus tanpa halangan apa pun. Tapi entah sengaja atau tidak orang selalu menghina, bahkan Bu-tong-chit-hiap pun tidak sudi
memperkenalkan diri. Toh Tay-kim merasa hanya dipandang sebelah mata, ia makin penasaran dan diam-diam mencari jalan bagaimana cara untuk melampiaskan rasa dongkol itu.
Toh Tay-kim sangat murung tetapi kawankawannya merasa gembira karena sudah dalam perjalanan pulang. Terutama bila mengingat jerih payah selama sepuluh hari dapat menghasilkan honorarium 2000 keping emas. Selama ini bos mereka cukup bijaksana, ia dapat membagi keuntungan
memuaskan. Waktu hampir senja. Kira-kira belasan mii lagi mereka akan tiba di Siang-cing-cu. Melihat wajah bos-nya muram durja, maka Ciok-piauthau mencoba menghibur. "Cong-piauthau, kejadian hari ini tidak perlu dipikirkan, masih banyak waktu. Suatu ketika kita pasti akan bertemu dengan Bu-tong-chit-hiap di Kangaouw!"
"Ciok-samte," sahut Tay-kim sambil menghela napas, "ada suatu hal, aku... aku merasa menyesal sekali.”
"Hal apa?" tanya Ciok-piauthau.
Namun sebelum Tay-kim menjawab, tiba tiba dari arah belakang terdengar suara derap kuda. Seorang penunggang kuda sedang jmenuju ke arah mereka. Derap kuda itu tidak terlalu cepat, malahan lebih lambat dari kuda umumnya. Suaranya yang berdetak-detak sangat berirama. Anehnya, kuda itu datang sangat cepat.
Semua orang merasa heran, ketika mereka menoleh ternyata kaki kuda itu sangat panjang, tingginya hampir setengah meter lebih dari kuda biasa. Terang saja langkahnya jarang tapi larinya cepat. Bulu kuda itu hijau abuabu, halus mengkilap.
"Kuda bagus!" puji Ciok-piauthau. Lalu ia mengulangi percakapannya tadi, "Cong-piauthau, kita toh tidak melakukan suatu kesalahan?"
"Tidak, tapi maksudku suatu kejadian 25 tahun yang lalu," sahut Toh Tay-kim muram. "Waktu itu kau masih belajar silat di Siau-limsi dan tamat belajar selama 12 tahun. Guruku, Wan-giap Siansu menahanku untuk belajar lagi selama 5 tahun supaya lengkap dengan mempelajari Tai-kim-kong-cio-hoat (ilmu pukulan tenaga raksasa). Tapi waktu itu aku terlalu terburu napsu, kuanggap kepandaianku saat itu sudah cukup. Aku tidak menuruti nasihat Suhu karena tidak tahan menderita lebih lama di gereja. Ah, coba aku dulu giat berlatih lima tahun lagi, tentu hari ini tidak dipandang sebelah mata oleh Bu-tong-chithiap apalagi dihina...."
Sampai di sini si penunggang kuda tadi sudah mendahului lewat di samping mereka. Penunggangnya melirik beberapa kali ke arah Toh Tay-kim bertiga. Wajahnya menunjukkan rasa heran.
Toh Tay-kim memperhatikan lebih seksama. Penunggang kuda tadi seorang pemuda berusia 21-22 tahun. Mukanya cakap, perawakannya agak kurus tapi tertutupi oleh semangatnya yang besar sehingga kelihatan gagah.
Sambil memandang ke belakang, Toh Taykim berkata pada kawannya, "Ciok-samte, kau lihat, orang macam apakah ini?"
"Dia datang dari atas gunung, boleh jadi juga anak murid Bu-tong-pay,” sahut Ciokpiauthau. "Hanya ia tidak membawa senjata, badannya juga kurus, tampaknya tidak ada sesuatu yang luar biasa."
Baru saja ia selesai bicara, tiba-tiba pemuda tadi sudah memutar dan membalikkan kudanya berlari kembali. Dari jauh dia sudah memberi salam sambil bertanya, "Maaf, bolehkan Siaute bertanya?"
Melihat pemuda yang cukup sopan itu Toh Tay-kim menahan kudanya dan menjawab, "Tentu, silakan!"
"Apakah ini perusahaan Liong-bun Piaukiok dari Lim-an-hu?" tanya si pemuda sambil memandang panji pengenal yang dipegang pegawainya itu.
"Betul!" sahut Ciok-piauthau.
"Bolehkah tanya nama besar kawan-kawan? Dan Toh-congpiauthau, apakah kalian semua baik?" kata pemuda itu pula.
Toh Tay-kim agak ragu, selama ini orang Kangouw susah dipercaya, tapi melihat orang yang ramah ini tentu tidak boleh sembarangan bicara. Lalu Cio-piauthau pun menjawab, "Cayhe she Ciok. Kawan sendiri dari she apa?
Apakah kenal baik dengan Cong-piauthau kami?"
"Cayhe she Thio bernama Jui-san," sahut pemuda itu sambil melompat turun dari kudanya. "Sudah lama Cayhe kagum pada nama besar Toh-congpiauthau, hanya sayang belum pernah bertemu."
Mendengar orang bernama "Thio Jui-san", seketika Toh Tay-kim dan kedua kawannya terperanjat. Sungguh, mereka tidak menduga bahwa Thi Jui-san orang nomor 5 dari Butong-chit-hiap, namanya sangat terkenal di Kangouw, ilmu silatnya sangat lihai, siapa nyana hanya seorang pemuda lemah lembut yang tampaknya tak tahan oleh tiupan angin.
Maka dengan ragu-ragu, Toh Tay-kim tampil kemuka. "Cayhe adalah Toh Tay-kim, apakah saudara benar Thio-ngohiap yang terkenal di Kangouw dengan julukan "Tiat-hoa-gin-kau?” "Ah, Toh-congpiauthau terlalu memuji saja," sahut pemuda itu dengan muka semu merah. "Kalian sudah sampai di Bu-tong-san, mengapa tidak mampir? Hari ini kebetulan shejit (ulang tahun) guruku yang ke 90, jika kalian tidak buru-buru, mari silakan naik ke atas gunung untuk minum dulu?"
Mendengar orang yang berkata dengan sungguh-sungguh itu, diam-diam Tay-kim berpikir, aneh! Mengapa sifat Bu-tong-chithiap bisa sangat berbeda? Keenam orang tadi sombong dan kasar, tapi Thio-ngohiap ini ternyata ramah dan sopan.
Maka ia pun turun dari kudanya dan menyahut, "Dari Lim-an kami datang kemari, tujuannya memang ingin menghadap gurumu Thio-cinjin, Cuma... cuma.... kami tidak membawa kado apa-apa, bukankah kurang baik?" ,
"Ah, sama-sama orang persilatan, mengapa Toh-congpiauthau menganggap sungguhsungguh,” sahut Thio Jui-san tersenyum. "Guruku bilang bahwa Bu-tong-pay berasal dari Siau-lim-si, beliau berpesan apabila bertemu dengan Cianpwe dari Siau-lim-pay harus berlaku hormat. Coba jika guruku tahu TohCongpiauthau lewat di sini, sejak tadi tentu kami sudah disuruh menyambut!"
Diam-diam Tay-kim agak jengkel mendengar ucapan Thio Jui-san, pikirnya: Jika benar
gurumu berkata demikian, mengapa keenam orang tadi begitu kurang ajar terhadapku? Baiklah, jika kamu bohong, akupun akan berpura-pura padamu.
Kemudian sambil tertawa-tawa ia menjawab, "Meski Bu-tong benar-benar berasal dari Siau-lim, tapi siapa di kalangan Kangaouw ini yang tidak mengenal Thio-ngohiap yang ternyata masih muda? Sebaliknya aku, sudah tua bangka begini, ibarat hidup percuma karena tidak berarti!”.
"Ah, Toh-congpiauthau benar-benar terlalu merendahkan diri,” kata Jui-san. "Jika panjimu yang bersulam ikan itu dikibarkan, siapa orang yang tak akan mengacungkan jempol memuji 24 jurus Hang-mo-ciang dan pukulan berantai 49 buah piau. Toh-piauthau kebetulan lewat sini, sudah sepantasnya kami memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah. Beberapa saudara seperguruanku juga suka bersahabat, Marilah naik ke atas gunung dan menginap barang semalam."
Mendengar kata-kata terakhir tadi Toh Taykim curiga. Apakah mungkin keenam orang
yang kurang sopan tadi telah dimarahi gurunya hingga Thio Jui-san disuruh menjemput untuk meminta maaf. Berpikir demikian hatinya menjadi lega. Maka sahutnya sambil tertawa, "Seandainya para saudara seperguruan kalian juga sama baiknya dengan Thio-ngohiap, mungkin saat ini kami sudah berada di atas Bu-tong-san."
"Apa?" Jui-san terheran-heran. "Jadi Congpiauthau sudah bertemu dengan Suhengku? Yang manakah dia?"
Kamu ini benar-benar pandai bermain sandiwara, demikian pikir Tay-kim. Lalu katanya, "Hari ini agaknya Cayhe cukup beruntung sehingga dalam sehari saja Bu-tong-chithiap telah dapat kujumpai semua."
"Ha?" Jui-san semakin heran dan kaget. Lalu ia bertanya, "Apakah kamu telah berjumpa dengan Ji-samko juga?"
"Maksudmu Ji Tay-gam atau Ji-samhiap?" Tay-kim balik bertanya, "Karena mereka tidak sudi berkenalan denganku maka akupun tak tahu yang manakah yang bernama Ji-samhiap. Hanya saja mereka berenam sudah kujumpai, dengan sendirinya termasuk Ji-samhiap.”
"Berenam?" Jui-san balik bertanya pula. "Aneh sekali! Enam orang yang manakah itu?"
Toh Tay-kim menjadi kurang senang. "Para saudara seperguruanmu itu tidak sudi memperkenalkan nama, mana aku tahu?" sahutnya. "Jika saudara adalah Thio-ngohiap, dengan sendirinya keenam orang itu adalah Song-tayhiap sampai dengan Bok-chithiap.”— Setiap kali ia menyebut "hiap” selalu dikandaskan dengan suara panjang, nadanya rada menyindir.
Meskipun demikian, Thio' Jui-san tidak merasa tersinggung. Ia balik bertanya, "Benar benar Toh-congpiauthau telah melihat mereka?"
"Bukan hanya aku saja yang melihatnya tapi juga kawan-kawanku ini," sahut Toh Tay-kim.
"Ah, tak mungkin, tak mungkin,” ujar Juisan sambil menggelengkan kepala. "Hari ini Song-toako dan lain-lain selalu mendampingi Suhu di Giok-hi-kiong di atas gunung dan tak
pernah pergi selangkahpun. Dan karena sampai sore Ji-samko masih belum tampak pulang, maka Siaute disuruh turun gunung memapaknya. Mengapa Toh-congpiauthau bisa mengatakan telah bertemu dengan Song-toako dan lain-lainnya?"
"Lalu orang yang di pelipisnya ada tahi lalat hitam besar, dan di atas tahi lalat tumbuh tiga bulu panjang itu siapa, Song-tayhiap ataukah Ji-samhiap?” tanya Toh Tay-kim.
Thio Jui-san semakin heran oleh pertanyaan itu. "Di antara saudara seperguruan kami tidak ada seorang pun yang pelipisnya ada tahi lalat besar, apalagi tumbuh bulu,” sahutnya kemudian.
Kembali ke halaman utama to liong to