Pendekar Hina Kelana Bab 23 - Disergap
<< Bab Sebelumnya - Halaman Utama Pendekar Hina Kelana - Bab Selanjutnya >>
Terjemahan Cersil Pendekar Hina Kelana
oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.
Berdasarkan novel edisi ketiga.
Smiling Proud Wanderer Jilid 2
Bab XXIII Disergap
Bagian Pertama
Di tengah kegelapan malam, di atas bukit gersang, tiba-tiba ia mendengar seseorang dengan jelas mengucapkan namanya, maka mau tak mau Linghu Chong terkejut, pikiran pertama yang muncul di benaknya ialah, "Tentunya rombongan guru!" Namun suara itu jelas-jelas adalah suara seorang perempuan, tapi bukan ibu guru, apalagi Yue Lingshan. Kembali terdengar suara seorang perempuan, namun jaraknya masih jauh, dan suaranya lirih, sehingga ia tak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya. Linghu Chong memandang ke arah lereng dan melihat tiga atau empat puluh orang yang sedang berdiri, hatinya terasa pedih, "Entah siapa yang memakiku? Kalau mereka benar-benar orang Perguruan Huashan, kalau adik kecil mendengar orang memakiku seperti itu, entah apa yang akan dikatakannya?"
Ia cepat-cepat merunduk dan masuk ke dalam semak-semak di tepi jalan, memutari bukit itu hingga tiba di sisi satunya, sambil merunduk ia berlari cepat-cepat, ketika ia sampai di balik sebuah pohon besar, terdengar suara seorang gadis berkata, "Paman Guru, Linghu Chong selalu bersikap ksatria dan menjunjung keadilan......" Ketika mendengar sepenggal kalimat ini, di pikirannya terbayang sebuah wajah bulat telur yang cantik jelita, dadanya terasa agak hangat, karena tahu bahwa yang berbicara adalah si biksuni kecil dari Perguruan Hengshan, Yilin. Setelah ia tahu bahwa orang-orang ini adalah murid-murid Perguruan Hengshan dan bukan Huashan, mau tak mau ia kehilangan harapan, di tengah kegalauan pikirannya, dua kalimat yang diucapkan Yilin berikutnya tak didengarnya.
Terdengar suara seorang tua yang tajam menusuk itu kembali berbicara, "Usiamu masih amat muda, tapi kenapa kau begitu keras kepala? Apakah surat yang dikirim oleh ketua Perguruan Huashan Yue Buqun itu palsu? Tuan Yue mengirim surat ke semua orang untuk mengumumkan bahwa Linghu Chong telah dikeluarkan dari perguruan, dalam surat itu disebutkan bahwa Linghu Chong bergaul dengan orang-orang Sekte Iblis, apa dia telah memperlakukannya dengan tidak adil? Sebelumnya Linghu Chong pernah menolongmu, kemungkinan besar ia ingin memanfaatkan hutang budi kecil ini untuk menjebak kita".
Yilin berkata, "Paman Guru, dalam kejadian itu aku tak cuma berhutang budi kecil saja padanya, tanpa memperdulikan nyawanya sendiri Kakak Linghu telah......" Suara tua itu berkata lagi, "Kau masih memanggilnya Kakak Linghu? Orang ini kemungkinan besar adalah seorang penjahat yang penuh tipu daya, ia sengaja berlagak baik untuk menipu kalian anak-anak ingusan ini. Hati orang-orang dunia persilatan amat licik, segala macam tipu muslihat keji ada disana. Kalian yang masih muda tak berpengalaman, gampang ditipu orang". Yilin berkata, "Perintah paman guru, kami para murid mana berani tak mematuhinya? Tapi......tapi......kakak......" Perkataan 'Linghu' itu akhirnya tak terlontar keluar dari mulutnya, dengan sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak mengucapkannya. Orang tua itu bertanya lagi, "Tapi kenapa?" Sepertinya Yilin sangat ketakutan dan tak berani berbicara lagi.
Orang tua itu berkata, "Kali ini Ketua Perserikatan Zuo dari Perguruan Songshan memberi kabar bahwa Sekte Iblis telah mengadakan operasi besar-besaran di Min untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Kejahatan keluarga Lin di Fuzhou. Ketua Perserikatan Zuo ingin agar Perguruan Pedang Lima Puncak bersama-sama mencari jalan untuk menghalanginya, supaya setan-setan keparat itu tak bisa mendapatkan kitab pedang itu. Kalau ilmu silat mereka sampai maju pesat, semua anggota Perguruan Pedang Lima Puncak akan mati tanpa kubur. Putra keluarga Lin dari Fuzhou itu sudah masuk perguruan Yue Buqun, kalau kitab pedang itu berada di Huashan, tentunya kita akan amat bersyukur. Namun jangan-jangan Sekte Iblis mempunyai seribu satu tipuan, dan sekarang mereka dibantu oleh murid Huashan yang sudah dipecat, Linghu Chong. Ia tahu segala seluk beluk masalah ini, maka keadaan kita yang sudah genting akan dapat bertambah runyam. Ketua telah mempercayakan beban berat ini diatas pundakku, beliau memerintahkanku untuk memimpin kalian semua ke Min. Masalah ini berhubungan dengan mati hidupnya aliran lurus dan sesat, kalian jangan sekali-kali meremehkannya. Tiga puluh li lagi, kita akan sampai di perbatasanZhe[1] dan Min. Hari ini kita sedikit bekerja keras, terus berjalan semalaman, setelah tiba di Nianbapu, kita akan bermalam disana. Kita akan mendahului mereka, lalu menunggu sampai orang-orang Sekte Iblis itu sibuk menjalankan operasi mereka, dan kita tinggal menunggu sampai musuh kecapekan saja. Namun kita harus tetap selalu berhati-hati". Terdengar puluhan suara perempuan serentak mengiyakan.
Linghu Chong berpikir, "Biksuni ini bukan ketua Perguruan Hengshan, Adik Yilin memanggilnya paman guru. Diantara 'Tiga Ding Perguruan Hengshan' tentunya ia adalah Biksuni Dingjing. Setelah ia menerima surat guru, tak heran kalau ia berpikir bahwa aku adalah seorang bajingan. Ia mengira bahwa mereka berada di muka, dan sama sekali tak menduga bahwa orang-orang Sekte Iblis akan menyergap mereka. Untung saja aku mengetahui keadaan ini, tapi bagaimana sebaiknya aku memberitahu mereka?"
Terdengar Biksuni Dingjing berkata, "Begitu melewati perbatasan Fujian, dalam setiap langkah kalian harus selalu waspada, kalian harus menganggap bahwa di segala penjuru ada musuh. Mungkin pelayan di rumah makan, atau penunggu kedai teh, adalah mata-mata Sekte Iblis. Jangankan hanya dinding yang bertelinga, di tengah semak-semak ini bisa jadi ada musuh yang bersembunyi. Mulai saat ini, kita semua tak boleh menyebut-sebut Kitab Pedang Penakluk Kejahatan, bahkan nama Tuan Yue, Linghu Chong atau Dongfang Bubaipun tak boleh disebut-sebut". Para murid perempuan serentak menjawab, "Baik".
Linghu Chong tahu bahwa ilmu sakti ketua Sekte Iblis Dongfang Bubai tiada taranya, ia menyebut dirinya sendiri 'bubai'[2], namun kalau orang-orang aliran lurus menyebutnya, mereka sering memanggilnya 'bibai'[3], satu kata sengaja diubah, untuk mengolok-olok kejumawaan dan ambisinya. Ketika mendengar namanya sendiri disejajarkan dengan sang guru dan Dongfang Bubai, mau tak mau ia tersenyum getir, pikirnya, "Aku cuma seorang wuming xiaozhu[4], namun tak nyana kau sesepuh Perguruan Hengshan menilaiku begitu tinggi, aku tak pantas menerimanya".
Terdengar Biksuni Dingjing berkata, "Ayo kita berjalan!" Ketika para murid lagi-lagi mengiyakan, terlihat tujuh orang murid perempuan berlari dengan kencang menuruni lereng bukit, setelah beberapa saat, ada tujuh orang lagi yang berlari turun. Ilmu ringan tubuh Perguruan Hengshan mempunyai gaya tersendiri dan cukup punya nama di dunia persilatan. Tujuh orang yang berada di depan dan tujuh orang yang berada di belakang menjaga jarak diantara mereka dengan tetap, barisan mereka rapi bagai pasukan tentara. Lengan baju keempat belas orang itu melambai-lambai ketika mereka bersama-sama melangkah maju, dilihat dari kejauhan, pemandangan itu amat sedap dipandang. Beberapa saat kemudian, ada tujuh orang yang kembali berlari.
Tak lama kemudian, kelompok-kelompok murid-murid Perguruan Hengshan berangkat, seluruhnya ada enam kelompok, namun kelompok yang paing belakang terdiri dari delapan orang, mungkin termasuk Biksuni Dingjing sendiri. Beberapa wanita ini bukanlah biksuni, melainkan murid perempuan dari kalangan awam. Di tengah kegelapan malam, Linghu Chong sulit mengetahui di kelompok mana Yilin berada, pikirnya, "Walaupun para kakak dan adik dari Perguruan Hengshan ini masing-masing mempunyai kepandaian tersendiri, namun kalau mereka menaiki lereng terjal ini dan melewati jalan setapak sempit diantara dua gunung itu, lalu tiba-tiba diserang oleh gerombolan Sekte Iblis, pasti akan jatuh amat banyak korban yang luka-luka atau tewas".
Ia segera memetik beberapa helai rumput, memeras getahnya, lalu mengoleskannya di wajahnya. Ia juga mengambil sejumput lumpur dan mengoleskannya di wajah dan tangannya, lalu berputar sampai ke sebelah kiri jalan dan mengejar mereka. Ilmu ringan tubuhnya sebenarnya tak terlalu tinggi, namun tinggi rendahnya ilmu ringan tubuh tergantung pada kuat atau lemahnya tenaga dalam. Di dalam tubuhnya telah terkumpul berbagai tenaga dalam dari jago-jago seperti Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, Biksu Fang Sheng dan Heibaizi, dibandingkan dengan seorang jago saat ini ia sudah menang jauh, sekarang setiap kali ia melangkah, langkahnya amat cepat. Begitu ia mengerahkan tenaga, dalam sekejap ia langsung dapat mengejar rombongan Perguruan Hengshan itu. Ia khawatir bahwa karena ilmu silatnya tinggi, Biksuni Dingjing akan dapat mendengar suara langkah kakinya, maka ia berputar dan mendahului mereka. Setelah kembali sampai di jalan, larinya bertambah cepat.
Ia sampai di lereng terjal itu, lalu mendengarkan dengan seksama, namun tak nyana tak terdengar suara sedikitpun, pikirnya, "Seandainya aku tak melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa gerombolan Sekte Iblis menunggu disini untuk melakukan penyergapan, siapa yang tahu bahwa disini ada bahaya besar yang mengancam? Sangat berbahaya". Perlahan-lahan ia mendaki lereng itu sampai ke mulut jalan setapak diantara dua puncak gunung itu, jaraknya sekitar satu li jauhnya dari tempat gerombolan Sekte Iblis itu bersembunyi, ia duduk dan berpikir, "Orang-orang Sekte Iblis kemungkinan besar telah melihatku, namun mereka khawatir akan membuat musuh tahu kalau terjadi keributan, kurasa mereka tak akan bertarung denganku". Setelah menunggu beberapa lama, ia berbaring di tanah.
Akhirnya sayup-sayup terdengar suara langkah kaki dari sisi lereng, ia berubah pikiran, "Lebih baik aku memancing gerombolan Sekte Iblis untuk berkelahi denganku dulu, setelah bertarung sebentar, Perguruan Hengshan pasti akan sadar". Maka ia berkata pada dirinya sendiri, "Seumur hidup hal yang paling dibenci si tua ini adalah dibokong dari belakang, kalau benar-benar punya kepandaian, kenapa tidak berkelahi sungguhan saja? Bersembunyi, dengan sembunyi-sembunyi mencelakai orang, adalah perbuatan yang paling rendah dan hina!" Dengan mengerahkan tenaga, ia berbicara ke arah lereng terjal itu, karena tenaga dalamnya yang berlimpah suaranya terdengar sampai jauh, ia berpikir bahwa gerombolan Sekte Iblis tentu akan dapat mendengarnya. Namun tak nyana orang-orang itu benar-benar dapat menahan amarah mereka dan sama sekali tak mengubrisnya.
Tak lama kemudian, kelompok pertama tujuh orang murid Perguruan Hengshan telah tiba di hadapannya.
Di bawah sinar rembulan, mereka melihat seorang perwira berbaring terlentang di tanah. Jalan setapak itu hanya dapat dilalui oleh satu orang, di kedua sisinya terdapat tebing tinggi, kalau mereka hendak mendaki lereng, mereka harus melangkahi tubuhnya. Para murid ini hanya perlu melompati tubuhnya saja, namun lelaki dan perempuan tak boleh berdekatan, kalau mereka melompati kepala seorang lelaki, hal ini sangat melanggar aturan kesopanan.
Seorang biksuni setengah baya berkata dengan lantang, "Maaf, tuan perwira, mohon beri jalan pada kami". Linghu Chong mendehem dua kali, lalu tiba-tiba terdengar suara dengkuran. Nama agama biksuni itu Yihe, namun wataknya sama sekali tak lembut[5], ia melihat bahwa perwira itu tidur menghalangi jalan di tengah malam buta, keadaan ini sangat aneh, dan suara dengkuran yang begitu keras itu tentunya cuma dibuat-buat saja. Ia berusaha sekuatnya menahan amarahnya dan berkata, "Kalau kau tak minggir, kami akan terpaksa melompati tubuhmu". Linghu Chong terus mendengkur, lalu berkata dengan seakan masih mengantuk, "Di jalan ini banyak sekali setan dan hantunya, jangan melewatinya. Hmm, hmm, lautan kesengsaraan tiada bertepi, berpaling......berpalinglah......maka kau akan melihat tepinya!"
Yihe tertegun, ia merasa bahwa perkataannya itu mempunyai arti ganda. Biksuni yang satunya lagi menarik-narik lengan bajunya, mereka bertujuh semua mundur beberapa langkah.
Seseorang berbisik, "Kakak, orang ini agak aneh". Ada seseorang lagi yang berkata, "Mungkin dia adalah penjahat Sekte Iblis yang sedang menantang kita disini". Seseorang lain berkata, "Orang Sekte Iblis tak mungkin menjadi perwira kekaisaran, kalaupun ia menyamar, tentunya ia akan memakai pakaian lain". Yihe berkata, "Tak usah perdulikan dia! Kalau dia tak mau minggir, kita akan melompatinya". Ia melangkah ke depan dan berkata dengan lantang, "Kau benar-benar tak mau minggir, maka kami terpaksa berbuat kasar".
Linghu Chong mengeliat, lalu perlahan-lahan duduk. Ia masih takut dikenali Yilin, maka ia menghadap ke lereng, sedangkan punggungnya menghadap murid-murid Perguruan Hengshan, tangan kanannya bertumpu pada tebing lereng dan tubuhnya bergoyang-goyang, seakan sedang mabuk, katanya, "Arak enak, ah, arak enak!"
Tepat pada saat itu, kelompok kedua murid-murid Hengshan telah tiba. Seorang murid awam bertanya, "Kakak Yihe, orang ini sedang apa disini?" Yilin mengerutkan keningnya sambil berkata, "Siapa yang tahu apa yang diperbuatnya disini!"
Linghu Chong berkata keras-keras, "Barusan ini aku menyembelih anjing, habis makan perutku kekenyangan, aku juga kebanyakan minum arak, sepertinya aku mau muntah. Aiyo, celaka, aku benar-benar mau muntah!" Ia segera membuat suara-suara seakan sedang muntah. Para murid perempuan itu mengerutkan kening dan menutup hidung mereka, lalu mundur satu demi satu. Linghu Chong beberapa kali bersuara seakan sedang muntah, namun ia tak memuntahkan apa-apa. Ketika para murid perempuan itu sedang saling berbisik diantara mereka sendiri, kelompok murid ketigapun tiba.
Terdengar sebuah suara yang lembut berkata, "Orang ini mabuk, kasihan sekali. Biarkan dia beristirahat dahulu, kita juga masih tak akan terlambat". Ketika mendengar suara itu, pikiran Linghu Chong sedikit terguncang, pikirnya, "Adik Yilin sungguh baik hati".
Namun Yihe berkata, "Orang ini sengaja membuat kekacauan disini, ia pasti tak punya maksud baik!" Ia melangkah ke depan dan berseru, "Minggir!" Ia mengangsurkan tangannya ke arah pundak kiri Linghu Chong. Tubuh Linghu Chong bergoyang-goyang dan ia berseru, "Aiyo, celaka!" Dengan terhuyung-huyung ia berjalan beberapa langkah.
Setelah berjalan beberapa langkah, keadaannya makin menggelikan. Tubuhnya menghadang di depan jalan setapak yang amat sempit sehingga orang yang berada di belakangnya hanya dapat lewat dengan melompati kepalanya, kalau tidak ia sama sekali tak akan dapat lewat.
Yihe kembali maju dan berteriak, "Minggir!" Linghu Chong berkata, "Baik, baik!" Lagi-lagi ia mengambil beberapa langkah ke depan. Semakin lama ia semakin tinggi mendaki, sehingga jalan setapak itu makin buntu saja, mendadak ia berteriak, "Hei teman-teman yang sedang sembunyi di atas, orang-orang yang kalian tunggu sudah datang. Kalian keluarlah dan bunuh mereka sekarang, tak ada satupun yang bisa kabur".
Begitu Yihe dan yang lain-lain mendengarnya, mereka segera mundur. Seseorang berkata, "Medan di tempat ini aneh dan berbahaya, kalau musuh menyergap kita disini, kita akan sulit bertahan". Yihe berkata, "Kalau di sana benar-benar ada orang yang bersembunyi, untuk apa dia berteriak-teriak? Ini cuma gertakan belaka, diatas pasti tidak ada orang. Kalau kita kelihatan jeri, musuh akan menertawakan kita". Kedua biksuni setengah baya yang lain berkata, "Benar! Ayo kita bertiga membuka jalan di depan, para adik seperguruan mengikuti dibelakang". Ketiga orang itu mengeluarkan pedang mereka dari sarungnya, lalu berlari ke belakang Linghu Chong.
Linghu Chong terus terengah-engah dengan keras, lalu berkata, "Jalan setapak di lereng ini sangat terjal, ai, si tua ini usianya sudah lanjut, tak kuat berjalan". Seorang biksuni berkata, "Hei, kau minggir dulu supaya kami bisa lewat, ya?" Linghu Chong berkata, "Orang beragama jangan marah-marah begini, berjalan cepat akan sampai di tujuan, berjalan lambat juga akan sampai di tujuan. Hai, hai, ai, kalau mau ke gerbang neraka, lebih baik berjalan agak lambat". Biksuni itu berkata, "Kau bukannya sedang diam-diam memaki kami?" Disertai sebuah seruan, sebilah pedang menikam dari samping tubuh Yihe ke arah jantung Linghu Chong, ia hanya bermaksud menakut-nakuti Linghu Chong agar ia mau minggir, maka begitu pedang hampir menyentuh tubuhnya, ia langsung menghentikannya.
Tepat pada saat itu Linghu Chong berbalik dan melihat bahwa ujung pedang mengarah ke dadanya, dengan suara keras ia berseru, "Hei! Kau......kau......sedang berbuat apa? Aku adalah pejabat kekaisaran, tapi kau berani-beraninya berbuat kurang ajar padaku. Ayo tangkap biksuni ini!" Beberapa orang murid perempuan berusia muda tak bisa menahan tawa, orang ini berada di hutan belantara tapi masih berlagak sebagai seorang pejabat, benar-benar sangat lucu.
Seorang biksuni tertawa dan berkata, "Tuan perwira, kami ada urusan penting dan harus segera melanjutkan perjalanan, mohon supaya anda sudi memberi jalan pada kami". Linghu Chong berkata, "Tuan perwira apa? Aku ini seorang canjiang, tahu? Kau harus memanggilku jenderal, itu baru benar". Tujuh atau delapan orang murid serentak tertawa dan berseru, "Yang Mulia Jenderal, mohon beri jalan!"
Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, membusungkan dadanya dan berlagak jumawa, namun tiba-tiba ia terpeleset dan tersungkur ke tanah. Semua murid menjerit dengan suara melengking, "Awas!" Lalu dua orang diantara mereka menarik lengannya. Linghu Chong sekali lagi terjatuh sebelum ia dapat berdiri dengan teguh, makinya, "Nenekmu......tanah disini begitu licin. Pejabat disini kantong nasi semua, tenaga kerja paksa kan tidak sedikit, seharusnya jalan pegunungan ini diperbaiki".
Karena terjatuh dua kali, setelah kembali berdiri tubuhnya bersandar pada sebuah cekungan di dinding tebing, para murid Perguruan Hengshan mengerahkan ilmu ringan mereka dan satu demi satu mereka melesat di samping tubuhnya. Seseorang berkata, "Pejabat setempat seharusnya memanggil sebuah joli yang diusung delapan orang untuk menandu Yang Mulia Jenderal melewati pegunungan, itu baru benar". Seseorang berkata, "Jenderal itu menunggang kuda, bukan naik joli". Seseorang lain berkata, "Jenderal ini lain dari yang lain, kalau menunggang kuda jangan-jangan ia akan terjatuh". Linghu Chong berkata dengan gusar, "Omong kosong! Kapan aku jatuh waktu menunggang kuda? Bulan lalu binatang sialan itu kaget melihat harimau hingga aku terjatuh dan lenganku terluka, tapi itu tak ada artinya". Para murid tertawa terbahak-bahak, lalu mendaki lereng secepat angin.
Linghu Chong melihat sebuah sosok langsing berkelebat, dialah Yilin, maka ia langsung membuntutinya. Kali ini, ia lagi-lagi menghalangi jalan para murid yang berada di belakangnya. Langkah kakinya berat, napasnya terengah-engah, setiap tiga langkah ia terjatuh dua kali, ia berjalan sambil merangkak, tapi untungnya jalannya cukup cepat. Para murid yang berada di belakangnya tertawa-tawa sekaligus mengomel, "Yang Mulia Jenderal ini benar-benar......aduh, dalam sehari kau berapa kali jatuh sih!"
Yilin berpaling dan berkata, "Kakak Yiqing, kau jangan mendesak-desak jenderal. Kalau tergesa-gesa, bisa-bisa ia benar-benar tergelincir. Lereng ini amat terjal, kalau sampai terjatuh tak dapai dianggap remeh".
Linghu Chong memandang sepasang matanya yang besar, jernih dan bening bagai mata air, wajahnya yang jelita nampak begitu cantik di bawah sinar rembulan, ia teringat tempo hari ketika untuk menghindari kejaran pihak Perguruan Qingcheng, ia mengendong dirinya keluar dari Kota Heng Shan. Saat itu ia juga sedang menatapnya tanpa berkedip seperti saat ini, mendadak dalam hatinya muncul perasaan sayang, pikirnya, "Di atas lereng yang terjal ini, musuh yang tangguh bersembunyi untuk mencelakainya. Walaupun nyawaku melayang, aku harus melindungi dia dan menjaga keselamatannya".
Ketika Yilin melihat sepasang matanya menatapnya dengan nanar, sedangkan raut wajahnya buruk, ia sedikit mengangguk kepadanya, dan seulas senyum lembut mengembang di wajahnya, katanya, "Kakak Yiqing, kalau jenderal tergelincir dan terjatuh, kau harus segera menariknya berdiri". Yiqing tersenyum dan berkata, "Dia berat, aku mana bisa menariknya berdiri?"
Sebenarnya peraturan Perguruan Hengshan amat ketat, murid-murid perempuan ini biasanya tak sembarangan bercanda dengan orang luar, namun Linghu Chong berlagak seperti badut dan tak henti-hentinya mengoda mereka. Para murid ini juga usianya masih muda, dan di sekeliling mereka sama sekali tak ada orang tua, selagi mereka berjalan di tengah kegelapan malam, beberapa lelucon konyol itu menambah semangat mereka.
Linghu Chong berkata dengan gusar, "Kalian bocah-bocah perempuan ini omongannya tak keruan. Aku adalah seorang jenderal yang hebat, bertahun-tahun yang lalu di medan pertempuran ketika aku membunuh para bandit, aku kelihatan begitu gagah dan ganas, kalau kalian melihatku saat itu, hehehe, kalian pasti sangat kagum dan bersujud di hadapanku. Jalanan gunung ini tak ada artinya, masa aku bisa tergelincir dan terjatuh? Kalian benar-benar bicara sembarangan......aiyo, celaka!" Ia sepertinya menginjak sebutir kerikil dan jatuh tersungkur. Ia menjulurkan kedua tangannya dan mengayun-ayunkannya di udara seakan hendak mencari pegangan. Beberapa murid perempuan di belakangnya kontan berteriak-teriak dengan suara melengking.
Yilin cepat-cepat berbalik, lalu mengangsurkan tangannya dan menariknya berdiri. Linghu Chong berada dalam jangkauannya dan iapun mengenggam tangannya. Yilin mengerahkan tenaga dan menariknya, sedangkan tangan kiri Linghu Chong menekan tanah, lalu bangkit, wajahnya nampak amat jengah. Para murid yang berada di belakangnya tertawa cekikikan. Linghu Chong berkata, "Sepatu bot kulitku terlalu berat untuk mendaki gunung, kalau saja aku memakai sepatu rami kalian, pasti aku tak bakal terjatuh. Lagipula aku cuma terpeleset, bukannya terjatuh, apanya yang lucu?" Yilin perlahan-lahan melepaskan tangannya seraya berkata, "Benar, jenderal memakai sepatu bot untuk menunggang kuda yang benar-benar tak enak dipakai untuk mendaki gunung". Linghu Chong berkata, "Walaupun tak enak dipakai, tapi gagah sekali. Kalau aku seperti kalian rakyat jelata ini, aku sama sekali tak perduli apakah aku memakai sepatu rami atau sepatu rumput".
Ketika para murid mendengarnya berusaha untuk menjaga citra dengan segala cara, mereka semua tertawa.
Linghu Chong berseru keras-keras, "Di sekitar tempat ini, banyak sekali maling ayam dan pencuri anjing yang tiba-tiba mementung orang dan mencuri harta bendanya. Walaupun kalian orang beragama tak banyak membawa benda berharga, tapi kalian tetap harus berhati-hati supaya derma yang sudah kalian dapat dengan susah payah tidak dirampas orang". Yiqing tertawa dan berkata, "Kalau ada jenderal dan kami, kurasa maling ayam tak akan berani menunjukkan batang hidung mereka disini". Linghu Chong berseru, "Hei, hei, hati-hati. Kelihatannya di depan sana ada orang yang mengintai".
Seorang murid perempuan berkata, "Jenderal, kau ini bawel sekali, masa kita harus takut pada beberapa maling ayam?"
Ketika ia baru selesai berbicara, terdengar dua orang murid berseru, "Aiyo!" Mereka terguling-guling jatuh dari lereng. Dua orang murid lain bergegas serentak menangkap mereka. Beberapa murid yang berada di depan berteriak, "Musuh melepaskan senjata rahasia, awas!" Mereka masih berteriak-teriak, namun sudah ada seorang lagi yang jatuh terguling-guling. Yihe berseru, "Semua tiarap, awas senjata rahasia!" Semua orang langsung bertiarap. Linghu Chong berseru, "Maling ayam kurang ajar, apa kalian tak tahu jenderal ada disini?" Yilin menarik-narik lengannya sambil berkata dengan cemas, "Cepat tiarap!"
Para murid yang berada di depan melemparkan senjata rahasia seperti xiujian[6] dan manik-manik besi. Namun musuh diatas bersembunyi di balik batu-batu, satu orangpun tak terlihat, maka senjata rahasia mereka hanya terjatuh di ruang kosong.
Begitu Biksuni Dingjing mendengar bahwa di depan ada musuh, ia bergegas menuju ke depan dengan melompati kepala para murid. Setelah sampai di belakang Linghu Chong, ia berseru dan melompati kepalanya juga.
Linghu Chong berteriak-teriak, "Wah, sial, sial!", lalu meludah[7]. Ia melihat Biksuni Dingjing melambai-lambaikan lengan bajunya sambil melayang di udara dan menerjang ke depan. Senjata rahasia musuh terus berterbangan, ada yang menancap di lengan bajunya, dan ada juga yang kena ditangkis olehnya.
* * *
Catatan Kaki Penerjemah
[1] Sebutan untuk Propinsi Zhejiang.
[2] 'Tak terkalahkan'.
[3] 'Pasti kalah'.
[4] 'Bukan siapa-siapa' (Hokkian: bu beng siauw cut).
[5] 和 (he) dalam nama Yihe berarti 'lembut' atau 'baik hati'.
[6] Anak panah yang disembunyikan dalam lengan baju.
[7] Apabila kepala dilompati seseorang, orang tersebut dipercayai akan tertimpa kesialan.
Bagian kedua
Setelah beberapa kali melompat, Biksuni Dingjing sampai di puncak bukit, namun sebelum ia sempat berdiri dengan teguh, ia merasakan kesiuran angin keras, sebuah toya tembaga memukul ke ubun-ubunnya. Dari suara pukulannya, senjata itu nampaknya amat berat, maka ia tak berani menyambutnya dan cepat-cepat melompat ke samping toya itu, namun ia kemudian melihat dua batang tombak berantai datang menusuk dengan serentak, satu di atas dan satu di bawah, gerakannya amat sebat. Ternyata di mulut lembah ini bersembunyi tiga orang jago yang masing-masing menjaga titik-titik strategis. Biksuni Dingjing berseru, "Tak tahu malu!" Ia membalikkan tangannya dan menghunus pedang. Dengan sekali tebas, ia mematahkan kedua batang tombak itu, namun toya tembaga menyapu ke pinggangnya. Pedang Biksuni Dingjing dan toya tembaga itu beradu, ia mengambil kesempatan untuk menebas, namun tombak berantai sudah memukul ke bahu kanannya. Terdengar para murid yang berada di lereng menjerit-jerit dengan suara melengking, disusul dengan suara berdebam keras, ternyata musuh melempar batu-batu besar dari atas tebing.
Para murid Perguruan Hengshan berdesak-desakan masuk ke jalan setapak sempit itu, mereka melompat kesana kemari untuk menghindari batu-batu besar itu, dalam sekejap sudah ada beberapa orang yang terluka terhantam batu. Biksuni Dingjing mundur dua langkah, lalu berseru, "Semua berbalik, turun ke bawah!" Ia lantas memainkan pedangnya di belakang untuk melindungi mereka, sehingga musuh tak bisa mengejar. Namun suara bergemuruh tak henti-hentinya terdengar, diatas kepala mereka, batu-batu besar masih terus berjatuhan, setelah itu dari bawah terdengar suara senjata beradu, ternyata di kaki bukit juga ada musuh yang bersembunyi. Orang-orang ini menunggu sampai rombongan Perguruan Hengshan sudah naik ke lereng, begitu di atas bukit terjadi keributan, mereka muncul untuk menghalangi mereka mundur.
Dari kaki bukit disampaikan sebuah laporan, "Paman guru, musuh yang menghadang kungfunya benar-benar hebat, kami tak bisa turun". Setelah itu tibalah sebuah laporan lagi, "Dua kakak seperguruan terluka".
Biksuni Dingjing amat geram, bagai terbang ia berlari turun dan melihat dua orang lelaki yang bersenjatakan golok baja sedang terus-menerus mendesak mundur dua orang murid. Biksuni Dingjing membentak, pedangnya dengan sebat menikam. Sekonyong-konyong ia mendengar suara berdesir, sebuah gada segi delapan berantai panjang yang terbuat dari besi tempa menyerang ke arah wajahnya. Biksuni Dingjing mengangkat pedangnya untuk menangkis, namun sebuah gada menghantam ke arah pedangnya, sedangkan gada yang satunya lagi melayang untuk menghantam kepalanya. Biksuni Dingjing agak terkejut, "Besar sekali tenaganya". Jika bertarung di tanah datar, ia akan dapat menghadapi serangan keras lawan keras seperti itu, ia hanya perlu mengerahkan kelincahan kungfunya untuk menyerang dari samping, namun jalan setapak itu amat sempit, lagipula, selain jalan yang berada di hadapannya, tiada jalan lain. Kedua gada besi segi delapan musuh menari-nari dengan sebat, bagai sepasang bola kabut hitam yang bertiup ke wajahnya. Biksuni Dingjing tak dapat mengunakan ilmu pedangnya yang hebat dan terpaksa mundur selangkah demi selangkah ke atas lereng.
Mendadak terdengar suara mengaduh yang susul menyusul dari atas, ada beberapa murid yang terkena senjata rahasia dan jatuh tergelincir ke bawah. Biksuni Dingjing menenangkan diri, ia merasa bahwa musuh yang berada di puncak bukit ilmu silatnya sedikit lebih lemah sehingga lebih mudah diatasi, maka ia segera menerjang ke atas dengan melompati kepala para murid, lalu kepala Linghu Chong.
Linghu Chong berseru keras-keras, "Aiyo, apa yang kau lakukan? Melompat-lompat seperti katak? Sudah tua begini tapi masih suka bercanda. Kau melompat kesana kemari di atas kepalaku, setelah ini aku mana bisa bertaruh?" Biksuni Dingjing tak sabar untuk segera memecahkan kepungan musuh dan tak memasukkan perkataannya itu ke dalam telinganya. Yilin cepat-cepat meminta maaf, "Maaf, paman guruku tak sengaja melakukannya". Linghu Chong mengomel-omel, "Bukankah sebelumnya aku sudah berkata kalau disini ada maling, tapi kalian tak percaya". Namun dalam hati ia berkata, "Aku hanya melihat orang-orang Sekte Iblis bersembunyi di puncak bukit, tapi ternyata di kaki bukit juga ada jago-jago yang bersembunyi. Walaupun orang Perguruan Hengshan banyak, tapi di jalan sempit seperti ini mereka tak dapat bergerak dengan leluasa, keadaan sangat runyam".
Ketika Biksuni Dingjing tiba di puncak bukit, ia melihat bayangan sebatang tongkat berkelebat, sebuah tongkat biksu besi menghantam dari atas, ternyata musuh juga sudah mempersiapkan seorang jago di tempat itu. Biksuni Dingjing berpikir, "Kalau hari ini aku tak dapat meloloskan diri dari kepungan dan membawa para murid keluar dari tempat ini, jangan-jangan kita semua akan tewas disini". Ia mengegos ke samping, pedangnya menikam dengan miring, tubuhnya hanya berjarak beberapa cun saja dari tongkat biksu itu, setelah berhasil menghindar, ia dan pedangnya lantas menerjang ke depan, dengan cepat menikam biksu pengemis[1] gemuk yang mengayunkan tongkat biksu itu. Jurus ini boleh dibilang amat berbahaya, sebuah cara berkelahi yang tak menghiraukan keselamatan diri sendiri dan dapat membuat kedua pihak sama-sama celaka. Biksu pengemis itu mendadak tak mampu menangkis serangan, ia hendak mengeser tongkatnya, namun tak sempat. "Sret!", pedang menancap di iganya. Namun biksu pengemis itu sangat pemberani, sambil membentak, ia menghantam pedang dengan kepalan kirinya hingga patah menjadi dua potong, kepalannyapun berlumuran darah segar.
Biksuni Dingjing berseru, "Cepat naik, bawa pedang!" Bagai terbang, Yihe melompat ke atas sambil mengangsurkan pedang dan berseru, "Paman guru, pedang!" Biksuni Dingjing berbalik dan baru saja akan menyambutnya ketika sebatang tombak berantai menikam dari samping ke arah Yihe, sedangkan sebatang tombak berantai lain menusuk Biksuni Dingjing. Yihe terpaksa mengayunkan pedang untuk menangkis serangan, namun orang yang menggunakan tombak berantai itu makin mendekat sehingga Yihe terpaksa mundur dengan menuruni jalan setapak, dan pedangpun akhirnya tak dapat diberikan kepada Biksuni Dingjing.
Menyusul dari atas tiga orang menerjang, dua diantara mereka memakai golok, sedangkan yang seorang lagi bersenjatakan sepasang kuas panguan, mereka mengepung Biksuni Dingjing. Kedua tangan Biksuni Dingjing berkelebat, ia menggunakan 'Ilmu Pukulan Tianchang' milik Perguruan Hengshan untuk melayani keempat senjata musuh. Usianya sudah mendekati enam puluh tahun, namun tenaga dan kegesitannya tidak kalah dengan orang muda. Ketiga jago Sekte Iblis bersama-sama mengeroyoknya, namun tak nyana mereka tak dapat mengungguli biksuni bertangan kosong itu.
Yilin berseru dengan tertahan, "Aiyo, sekarang bagaimana?" Linghu Chong berseru, "Bandit-bandit ini sangat keterlaluan, beri jalan, beri jalan! Jenderal ingin naik gunung untuk menangkap bandit". Yilin berkata dengan cemas, "Jangan naik kesana. Mereka bukan bandit biasa, tapi orang-orang yang mahir ilmu silat, kalau kau naik, mereka bisa membunuhmu". Linghu Chong membusungkan dadanya, sambil mengangkat dagu ia berkata, "Di siang bolong......" Ia mendongak dan melihat bahwa saat itu menjelang fajar, tak bisa disebut 'siang bolong', tapi ia tak perduli dan terus berkata, "Bandit-bandit kecil ini menghadang di jalan untuk merampok dan menganiaya kaum wanita, hah, apa kalian tak takut pada hukum?" Yilin berkata, "Kami bukan kaum wanita biasa, musuh juga bukan bandit kecil yang menghadang di jalan untuk merampok......" Linghu Chong melangkah ke depan dengan jumawa, lalu dengan susah payah mendesak keluar dari kerumunan para murid perempuan. Para murid terpaksa menempel dengan rapat ke dinding tebing supaya ia dapat maju ke depan.
Setelah Linghu Chong tiba di puncak bukit, ia menghunus goloknya, setelah mengeluarkan sebagian dari goloknya, ia berpura-pura tak bisa menariknya keluar dan memaki, "Nenekmu, golok ini bikin repot saja, di saat genting malah karatan begini. Golok jenderal karatan, mana bisa menangkap maling?"
Yihe sedang bertarung melawan dua orang pengikut Sekte Iblis, mempertahankan jalan setapak dengan mempertaruhkan nyawanya, ketika ia mendengar sang jenderal mengerutu di belakangnya bahwa goloknya karatan sehingga tak bisa dikeluarkan dari sarungnya. Ia merasa marah sekaligus geli, serunya, "Cepat minggir! Disini sangat berbahaya!" Selagi berteriak, ia tak dapat memusatkan perhatian dan, "Wus!", sebatang tombak berantai menusuk ke bahunya, hampir saja ia tertusuk tombak. Yihe mundur beberapa langkah, namun orang itu kembali menikam.
Linghu Chong berseru, "Salah, salah! Bandit nekad, apa kau tak lihat jenderal ada disini?" Tubuhnya berkelebat menghadang di depan Yihe. Lelaki yang menggunakan tombak berantai tertegun, saat itu hari mulai terang, ketika ia melihat bahwa orang itu berpenampilan seperti seorang pejabat kekaisaran, ia segera menghentikan permainan tombaknya. Sembari mengarahkan mata tombak ke dadanya, ia membentak, "Kau siapa? Barusan ini ada yang berteriak-teriak tak keruan di bawah, apa itu kau pejabat anjing?"
Linghu Chong memaki, "Nenekmu, kau memanggilku pejabat anjing? Kaulah yang bandit anjing! Kalian menghadang di jalan dan merampok orang, dan setelah tahu jenderal ada disini, kalian masih juga belum lari tunggang langgang, nyali kalian benar-benar besar! Tunggu sampai jenderal menangkap kalian dan membawa kalian ke yamen kabupaten, setiap orang akan dirangket lima puluh kali hingga pantat kalian mekar dan berdarah-darah, lalu kalian semua akan berteriak, 'Mama!' "
Lelaki bertombak itu tidak ingin membunuh seorang pejabat kekaisaran dan mengundang masalah, maka ia memaki, "Pergi sana cari mamamu telur busuk! Kalau kau bicara sembarangan lagi, si tua ini akan membuat tiga lubang besar di tubuh pejabat anjingmu".
Linghu Chong melihat bahwa Biksuni Dingjing sepertinya belum kalah, dan orang-orang Sekte Iblis sudah tak lagi menembakkan senjata rahasia atau melemparkan batu ke bawah, maka ia berseru, "Bandit kurang ajar, ayo cepat bersujud padaku. Kalau jenderal melihat di rumahmu ada nenek berumur delapan puluh tahun, mungkin aku akan bermurah hati padamu, tapi kalau tidak, hah, akan kupotong kepala anjing kalian satu persatu......"
Para murid Perguruan Hengshan yang mendengarnya semua mengerutkan kening atau menggeleng-geleng sambil berpikir, "Orang ini sinting". Yihe melangkah ke depan dan melintangkan pedang untuk melindunginya, kalau musuh menusuknya dengan tombak, ia akan menangkisnya dengan pedangnya.
Linghu Chong berusaha dengan sekuat tenaga untuk menarik goloknya keluar sambil memaki, "Nenekmu, begitu akan maju ke medan pertempuran, golok pusaka warisan leluhur ini malah jadi karatan. Hah, coba kalau golok pusakaku ini tidak karatan, sepuluh kepala kalian bandit anjing pasti sudah kupotong". Lelaki bertombak itu tertawa terkekeh-kekeh, lalu berseru, "Cari mamamu sana!" Ia melintangkan tombaknya untuk menghantam pinggang Linghu Chong. Linghu Chong menarik goloknya kuat-kuat, sehingga golok berikut sarungnya tertarik, lalu menjerit, "Aiyo!" Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, lalu tersungkur ke tanah. Yihe berseru, "Awas!" Saat Linghu Chong tersungkur, ia mengangsurkan golok yang masih tersimpan dalam sarungnya dan menotok titik-titik di belakang pinggang lelaki bertombak itu. Lelaki itu mengerang-erang, lalu terkulai lemas di tanah.
"Bruk!", Linghu Chong juga ikut tersungkur, dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit sambil berkata, "Aha, kau juga terjatuh, kita seri, maka si tua ini belum mau mengaku kalah, ayo berkelahi lagi".
Yihe mencengkeram lelaki itu, lalu melemparkannya ke belakang, ia berpikir bahwa dengan seorang sandera di tangan, masalah tentunya agak lebih mudah diselesaikan.
Ketiga orang Sekte Iblis itu menerjang, bermaksud untuk menyelamatkan kawan mereka. Linghu Chong berseru, "Aha, kalian bandit-bandit kecil benar-benar tak mau ditangkap". Ia mengangkat goloknya dan membacok kesana kemari tanpa aturan. 'Sembilan Pedang Dugu' memang tak berjurus, dan oleh karenanya dapat dimainkan secara bebas dan anggun, namun kalau dipakai secara aneh dan janggal, ajaibnya kekuatannya juga tetap besar, karena intinya terletak pada tujuan dan bukan pada gayanya.
Ia sama sekali bukan ahli menotok, lagipula saat bertarung sukar untuk berkonsentrasi pada titik-titik jalan darah, namun ilmu pedang yang hebat bertumpu pada tenaga dalam yang berlimpah, walaupun tak telak mengenai titik yang penting, tapi hanya dengan membentur sisi-sisi titik jalan darahpun musuh sudah tak mampu bertahan. Dengan enteng ia telah berhasil menotok seseorang.
Terlihat ia terhuyung-huyung, golok yang masih berada di sarungnya diayunkannya kesana kemari dengan kacau, tiba-tiba ia seperti tersandung dan membentur seorang musuh, "Duk!", ujung sarung golok kebetulan menyentuh lengan atasnya. Orang itu menghembuskan napas panjang, lalu langsung terkulai lemas. "Aiyo!", seru Linghu Chong, ia melompat ke belakang dan gagang goloknya membentur punggung seseorang lain. Orang itu langsung tersungkur dan terguling-guling di tanah. Sepasang kaki Linghu Chong tersandung tubuh orang itu, ia memaki, "Nenekmu!" Tubuhnya terhuyung ke depan dan sarung goloknya membentur seorang anggota Sekte Iblis. Orang ini adalah salah satu diatara tiga orang jago yang mengeroyok Biksuni Dingjing, begitu punggungnya terbentur, golok pendek di tangannya lantas melayang. Biksuni Dingjing memakai kesempatan itu untuk memukul dengan telapaknya, "Duk!", pukulan itu mendarat di dadanya. Orang itu memuntahkan darah dan segera tewas.
Linghu Chong berteriak, "Awas, awas!" Ia mundur beberapa langkah dan punggungnya membentur orang yang menggunakan sepasang kuas panguan itu. Orang itu mengangkat kuasnya untuk melindungi punggungnya, Linghu Chong terhuyung-huyung ke depan, sarung goloknya mengayun kesana kemari dan lagi-lagi dua orang pengikut Sekte Iblis tertotok dan terjatuh. Orang yang bersenjatakan kuas panguan itu menerjang ke arahnya dengan sebat. Linghu Chong berteriak keras-keras, "Mama!" Ia mengangkat kakinya dan kabur, orang itu mengejarnya. Tiba-tiba Linghu Chong berhenti dan membungkuk, gagang goloknya muncul separuh dari balik ketiaknya, orang itu sama sekali tak menyangka bahwa setelah lari begitu kencang, ia tiba-tiba berhenti dan tak bergerak-gerak. Walaupun ilmu silatnya tinggi, namun ia tak mampu berganti haluan, saking terburu-burunya mengejar, dada dan perutnya menubruk gagang golok yang mengacung ke belakang tubuh Linghu Chong. Sebuah ekspresi yang aneh muncul di wajah orang itu, seakan tak dapat mempercayai kejadian yang baru saja terjadi, namun tubuhnya perlahan-lahan terkulai lemas.
Linghu Chong berbalik dan melihat bahwa pertempuran di puncak bukit sudah berhenti, kurang dari separuh murid Perguruan Hengshan sudah naik ke puncak bukit, sedang berhadap-hadapan dengan gerombolan Sekte Iblis, murid-murid lainnya juga bergegas naik. Ia berteriak keras-keras, "Bandit-bandit kecil, kalian sudah melihat jenderal ada disini, tapi belum menyerah dan bersujud juga, benar-benar aneh bin ajaib!" Ia mengayun-ayunkan sarung golok, sambil berteriak keras-keras, ia menerjang ke arah gerombolan Sekte Iblis. Kawanan Sekte Iblis cepat-cepat menghunus pedang dan tombak mereka. Para murid Perguruan Hengshan hendak naik untuk membantunya, namun Linghu Chong berteriak-teriak, "Lihai, lihai! Gerombolan bandit yang sangat ganas dan berbahaya!" Ia sudah berlari keluar dari tengah-tengah gerombolan itu. Langkah kakinya berat, larinya terhuyung-huyung, karena tak hati-hati, ia jatuh tersungkur, sarung goloknya terpental dan menghantam dahinya sendiri, dan iapun kontan pingsan. Namun ketika ia berlarian keluar masuk gerombolan Sekte Iblis, ia telah berhasil menotok lima orang.
Ketika kedua belah pihak melihatnya, mereka sama-sama tertegun.
Yihe dan Yiqing serentak memburu ke depan sambil berseru, "Jenderal, kau kenapa?" Sepasang mata Linghu Chong terkatup rapat, ia berpura-pura belum siuman.
Orang tua yang memimpin gerombolan Sekte Iblis melihat bahwa salah seorang di pihak mereka telah tewas, selain itu ada sebelas orang lain yang telah kena ditotok perwira sinting itu. Barusan ini ketika sang perwira menerjang masuk ke dalam pasukannya, ia telah mengerahkan berbagai jurus untuk menangkapnya, tapi ia malah hampir kena totok sarung goloknya. Walaupun ujung sarung golok itu tidak mengarah ke titik jalan darah tertentu, namun gerakannya sebat dan ganas, posisinya aneh, belum pernah dilihatnya seumur hidupnya, seberapa tingginya ilmu silat orang ini benar-benar tak dapat diduga. Ia juga melihat bahwa diantara orang-orang terkena totokan, lima orang telah ditawan oleh Perguruan Hengshan. Apa mau dikata, serangan hari ini telah gagal, maka ia segera berkata dengan lantang, "Biksuni Dingjing, apa murid-muridmu yang terkena senjata rahasia perlu obat pemunah?"
Biksuni Dingjing melihat bahwa murid-muridnya yang terkena senjata rahasia masih pingsan dan belum siuman, luka mereka mengalirkan darah hitam, ia sadar bahwa senjata rahasia musuh telah dicelup ke dalam racun, maka begitu mendengar perkataan orang itu, ia langsung tahu maksudnya, serunya, "Berikan obat pemunah untuk ditukar dengan orang!" Orang itu mengangguk-angguk sambil berbisik-bisik. Seorang anggota Sekte Iblis mengambil sebuah buli-buli, melangkah ke hadapan Biksuni Dingjing dan sedikit menyoja. Biksuni Dingjing menyambut buli-buli itu, lalu berkata dengan tegas, "Kalau obat pemunah ternyata manjur, baru kubebaskan orangmu". Orang tua itu berkata, "Baik, Biksuni Dingjing dari Perguruan Hengshan tentunya bukan orang yang suka mengingkari janjinya sendiri". Ia melambaikan tangannya. Anak buahnya mengangkat tubuh kawan-kawan mereka yang terluka atau tewas, lalu menuruni bukit, dalam sekejap, mereka semua telah pergi tanpa bekas.
Linghu Chong perlahan-lahan siuman, lalu berseru, "Aduh sakitnya!" Ia meraba-raba benjolan di dahinya, lalu berkata dengan heran, "Bandit-bandit kecil itu lari kemana?"
Yihe tertawa cekikikan dan berkata, "Kau ini jenderal yang aneh bin ajaib, barusan ini ketika kau menerjang masuk ke tengah pasukan musuh dan menyerang dengan serabutan, untungnya bandit-bandit kecil itu berhasil kau takut-takuti hingga lari tunggang langgang". Linghu Chong tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Bagus sekali, bagus sekali! Begitu jenderal datang menunggang kuda, wibawanya memancar ke segala penjuru, tak sama dengan orang biasa. Bandit-bandit kecil itu langsung kabur seperti tertiup angin, aduh......" Ia meraba dahinya dan wajahnyapun menunjukkan rasa sakit. Yiqing berkata, "Jenderal, apa kau terluka? Kami punya obat luka". Linghu Chong berkata, "Tidak luka, tidak luka! Ketika seorang lelaki sejati ma ge li shi, hal itu bukanlah perkara besar......" Yihe mengerucutkan bibirnya sambil tersenyum, "Bukannya ma ge guo shi, kenapa jadi ma ge li shi?[2]" Yiqing memelototinya, "Kau ini memang paling suka mencari-cari kesalahan orang, untuk apa bicara tentang hal itu sekarang?" Linghu Chong berkata, "Kami orang utara menyebutnya ma ge li shi, kalian orang selatan agak berbeda menyebutnya". Yihe berpaling dan berkata sambil tersenyum, "Kami juga orang utara, kok".
Biksuni Dingjing memberikan obat pemunah kepada murid-murid di sampingnya, dan menyuruh mereka untuk mengobati saudara-saudara seperguruan mereka yang terluka. Ketika sampai di depan Linghu Chong, ia menyoja memberi hormat sembari berkata, "Dingjing biksuni tua Perguruan Hengshan tak berani menanyakan marga dan nama pendekar muda yang mulia".
Hati Linghu Chong terkesiap, "Ternyata pandangan mata sesepuh Perguruan Hengshan ini lihai, ia langsung tahu bahwa usiaku masih muda dan hanya jenderal gadungan saja". Ia segera menjura dan dengan hormat menjalankan peradatan, lalu berkata, "Guru terlalu sopan. Jenderal bermarga Wu, bernama Tiande, 'tian'nya dari tian en hao dang'[3], 'de' nya dari tao de wen zhang[4]. Aku ditugaskan menjadi canjiang di Quanzhou, dan sekarang akan menuju kesana untuk menempati jabatanku!".
Biksuni Dingjing menduga bahwa ia tak mau menunjukkan jati dirinya kepada orang lain, belum tentu ia benar-benar seorang jenderal, namun melihat sikapnya yang sopan,
ia jadi memiliki kesan yang baik terhadapnya, maka ia berkata, "Hari ini Perguruan Hengshan kami menghadapi kesulitan besar dan mendapatkan pertolongan dari jenderal, kami amat berterima kasih dan tak tahu bagaimana harus membalas budi ini. Ilmu silat jenderal tinggi dan mendalam, walaupun biksuni tua ini tak tahu jenderal berasal dari perguruan mana, namun aku amat kagum".
Linghu Chong tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Biksuni yang baik terlalu memujiku, tapi sebenarnya ilmu silatku memang berdasarkan pada kepandaian tersendiri, diatas memakai Bunga Es Menutupi Kepala, dibawah memakai Akar Pohon Tua, ditengah memakai Harimau Hitam Mencuri Hati......aiyo, aiyo!" Sambil berbicara tangan dan kakinya menari-nari, kepalannya meninju, lalu ia sepertinya terlalu banyak menggunakan tenaga sehingga kesakitan karena keseleo. Ketika ia mencuri pandang ke arah Yilin, biksuni kecil itu nampak terkejut dan khawatir, pikirnya, "Adik ini hati nuraninya amat lembut, kalau saja ia tahu bahwa ini aku, entah apa yang dipikirkannya".
Biksuni Dingjing jelas tahu bahwa ia hanya berpura-pura, ia tersenyum dan berkata, "Jenderal adalah seorang terhormat yang tak mau mengungkapkan jati dirinya, maka biksuni tua ini hanya bisa siang malam membakar dupa dan berdoa agar jenderal selalu beruntung dan sehat, serta agar semua harapan jenderal terpenuhi".
Linghu Chong berkata, "Banyak terima kasih, banyak terima kasih. Mohonkan pada bodhisatwa agar memberkatiku supaya aku cepat naik pangkat dan kaya raya. Semoga biksuni dan para murid sekalian cepat sampai ke tujuan, nasib buruk menjadi baik, dan semuanya berjalan dengan lancar. Hahaha, hahaha!" Sambil tertawa keras-keras, ia menyoja dalam-dalam kepada Biksuni Dingjing, lalu melangkah pergi dengan jumawa. Walaupun ia berpura-pura bersikap angkuh, namun ia sudah begitu lama menjadi anggota Perguruan Pedang Lima Puncak sehingga ia tak berani bersikap tak hormat pada seorang sesepuh Perguruan Hengshan seperti ini.
* * *
Murid-murid Perguruan Hengshan memandanginya berjalan dengan terhuyung-huyung ke arah selatan, lalu mengerumuni Biksuni Dingjing sambil bertanya-tanya dengan ribut, "Paman guru, orang ini berasal dari mana? Dia benar-benar sinting atau hanya berpura-pura saja? Apakah ilmu silatnya benar-benar sangat tinggi, atau dia cuma beruntung dan secara kebetulan saja berhasil mengalahkan musuh? Guru, kulihat dia itu tak seperti seorang jenderal, usianyapun belum lanjut, benar tidak?"
Biksuni Dingjing menghela napas, lalu memandang para murid yang terkena senjata rahasia, ia melihat bahwa setelah diolesi obat, darah yang mengalir berubah dari hitam menjadi merah dan denyut nadi mereka menguat, sepertinya mereka sudah tak berada dalam keadaan genting lagi. Obat mujarab penyembuh luka Perguruan Hengshannya terhitung sebagai salah satu keunggulan perguruannya, dan tentunya akan dapat menyembuhkan segala macam luka, maka ia segera membuka totokan kelima anggota Sekte Iblis dan membiarkan mereka pergi, lalu ia berkata, "Semua duduk di bawah pohon untuk beristirahat".
Ia sendiri duduk di atas sebuah batu besar, lalu memejamkan matanya sambil merenung, "Saat orang ini menerjang masuk ke tengah-tengah pasukan Sekte Iblis, tetua yang memimpin gerombolan Sekte Iblis memukul ke arahnya, namun dalam sekejap ia masih bisa menotok lima orang. Tetapi ia tidak menggunakan ilmu menotok, jurus-jurus yang dipakainya sama sekali tak menunjukkan dari perguruan mana ia berasal. Di dunia persilatan saat ini, tak nyana ada seorang pemuda yang begitu lihai, tapi murid siapa dia sebenarnya? Perguruan Hengshan kita benar-benar beruntung karena tokoh seperti itu adalah kawan dan bukan lawan kita".
Ia mengumam pada dirinya sendiri untuk beberapa saat, lalu menyuruh seorang murid mengambil kuas tulis dan batu tinta serta sehelai kain sutra tipis. Ia menulis surat, lalu berkata, "Yizhi, ambil seekor merpati". Yizhi mengiyakan, lalu mengambil seekor merpati dari sangkar bambu yang digendongnya. Biksuni Dingjing menggulung surat diatas kain sutra tipis itu dengan hati-hati, memasukannya ke dalam sebuah tabung bambu, menutupnya rapat-rapat dan menyegelnya. Dengan sebuah kawat besi, ia mengikatkannya ke kaki kiri merpati itu, berdoa dalam hati, lalu melepaskannya ke udara. Merpati itu mengepakkan sayapnya dan terbang ke utara, makin tinggi dan makin jauh hingga akhirnya berubah menjadi sebuah titik hitam yang amat kecil.
Dari menulis surat sampai melepaskan merpati, setiap gerakan Biksuni Dingjing amat lamban, sangat berlainan dengan kegesitannya yang bagai terbang ketika ia bertarung mati-matian melawan musuh barusan ini. Ia menengadah, titik hitam itu sudah lama menghilang di balik awan putih, namun ia masih memandang ke utara. Semua orang tak ada yang berani bersuara, dalam pertarungan yang baru saja berlalu itu, walaupun ada sang jenderal yang melucu sehingga keadaan sepertinya ramai dan menyenangkan, sebenarnya situasi saat itu sangat berbahaya, mereka semua boleh dikatakan telah lolos dari lubang jarum.
Setelah beberapa lama, Biksuni Dingjing berbalik dan melambaikan tangannya ke arah seorang biksuni berusia lima atau enam belas tahun. Gadis itu segera berdiri dan menghampirinya seraya berbisik, "Guru!" Biksuni Dingjing dengan lembut membelai-belai rambutnya seraya berkata, "Juan er, tadi kau takut atau tidak?" Gadis itu mengangguk-angguk dan berkata, "Takut! Untung saja jenderal itu sangat gagah berani dan berhasil memukul mundur orang-orang jahat itu". Biksuni Dingjing tersenyum kecil, lalu berkata, "Jenderal itu tidak sangat gagah berani, tapi ilmu silatnya amat tinggi". Gadis itu berkata, "Guru, apakah ilmu silatnya amat tinggi? Kulihat jurus-jurusnya kacau balau dan dia begitu semberono, sampai-sampai gagang goloknya menghantam dahinya sendiri. Masa goloknya sendiri berkarat sampai tak bisa ditarik keluar dari sarungnya?"
Gadis ini ialah Qin Juan, murid yang diterima ke dalam perguruan oleh Biksuni Dingjing sendiri, ia cerdas dan banyak akal, dan menjadi anak kesayangan sang guru. Diantara murid-murid Perguruan Hengshan, enam puluh persennya adalah para biksuni yang hidup membiara, sedangkan empat puluh persen sisanya terdiri atas murid dari golongan awam. Ada beberapa yang ibu-ibu setengah baya, bahkan yang nenek-nenek berusia lima atau enam puluhan tahun juga ada, di Perguruan Hengshan, Qin Juan adalah murid yang termuda.
Yihe menyela, "Masa jurus-jurusnya kacau balau? Itu semua cuma pura-pura untuk menyamarkan ciri-ciri ilmu silat kelas satunya, itu baru pintar namanya! Guru, menurutmu jenderal ini berasal dari mana? Dia berasal dari perguruan atau keluarga apa?"
Biksuni Dingjing perlahan-lahan menggeleng, lalu berkata, "Ilmu silat orang ini, hanya dapat dilukiskan dengan kata-kata ini, 'kedalamannya tak dapat diukur', selebihnya aku sama sekali tak tahu".
Qin Juan bertanya, "Guru, surat yang kau tulis itu untuk paman guru ketua, benar tidak? Apakah bisa segera sampai?" Biksuni Dingjing berkata, "Begitu merpati itu tiba di Biara Baiyi di Suzhou, ia akan diganti merpati lain, setelah terbang dari Biara Baiyi sampai di Biara Miaoxiang di Jinan, merpati itu akan diganti oleh seekor merpati lain, lalu di Biara Qingjing di Lao Hekou ditukar dengan merpati lain lagi. Setelah empat ekor merpati terbang secara bergantian, barulah bisa sampai di Hengshan". Qin Juan berkata, "Untung saja kita tak kehilangan seorangpun, beberapa kakak dan adik yang terkena racun senjata rahasia itu akan sembuh dalam satu dua hari ini. Yang terkena lemparan batu dan senjata juga nyawanya tak berada dalam bahaya".
Biksuni Dingjing menengadah sambil termangu-mangu tanpa mendengarkan perkataannya, pikirnya, "Kali ini ketika Perguruan Hengshan pergi ke selatan, gerakannya amat dirahasiakan, siang tidur dan malam berjalan, bagaimana orang-orang Sekte Iblis itu bisa tahu dan menyergap kita di tempat yang berbahaya ini?" Ia berpaling ke arah para murid dan berkata, "Musuh sudah pergi jauh, kurasa untuk sementara ini mereka tak akan berani kembali. Kita semua sudah amat lelah, kita makan ransum saja disini, lalu tidur sebentar di bawah pohon itu".
Semua mengiyakan, lalu ada beberapa orang yang menyalakan api dan merebus air untuk menyeduh teh.
Semua orang tidur beberapa shichen lamanya, lalu mereka makan siang. Biksuni Dingjing melihat bahwa raut wajah para murid yang terluka nampak lelah, maka ia berkata, "Jejak kita telah diketahui orang, setelah ini kita tak perlu berjalan di malam hari lagi. Orang-orang yang terluka juga perlu beristirahat, malam ini kita akan bermalam di Nianbapu".
* * *
Catatan Kaki Penerjemah
[1] Terjemahan 头陀 (toutuo) (Hokkian: thauwto).
[2] 马革裹尸 (ma ge guo shi) adalah sebuah ungkapan yang secara harafiah berarti 'mayat yang dibungkus kulit kuda', maksudnya 'gugur di medan perang'. Linghu Chong sengaja mempelesetkannya menjadi 马革里尸 (ma ge li shi) yang secara harafiah berarti 'mayat dalam kulit kuda'.
[3] 'Rahmat langit tiada batasnya'.
[4] 'Esai tentang moralitas' (?).
Bagian ketiga
Mereka turun dari bukit itu, setelah berjalan lebih dari tiga shichen lamanya, mereka tiba di Nianbapu. Tempat itu adalah kota perbatasan propinsi Zhe dan Min, orang yang datang dari Pegunungan Xianxia pasti akan melewatinya. Ketika mereka memasuki kota, hari belum gelap, namun ternyata tak ada seorangpun di kota itu.
Yihe berkata, "Kebiasaan di Fujian ini sungguh aneh, semua orang tidur begitu dini". Biksuni Dingjing berkata, "Kita cari sebuah penginapan untuk bermalam dahulu". Perguruan Hengshan dan biara-biara Buddha untuk wanita lain di dunia persilatan saling berhubungan, namun di Nianbapu sama sekali tak ada sebuah biarapun, sehingga mereka tak bisa menginap di sana dan terpaksa harus mencari penginapan. Hal yang membuat tak nyaman ialah bahwa orang awam menganggap kaum biksuni sebagai kaum yang harus dihindari karena dianggap membawa sial, dan sering mencari perkara karena hal yang sepele, untungnya para biksuni ini sudah terbiasa dan tak pernah mempermasalahkannya.
Namun semua toko telah memalang pintu mereka. Kota Nianbapu tidak dapat dikatakan besar atau kecil, namun di dalamnya ada dua sampai tiga ratus rumah dan toko, namun selayang pandang, tak nyana nampak seperti sebuah kota mati. Lembayung senja belum muncul, namun suasana di jalanan kota Nianbapu sudah seperti tengah malam saja. Mereka berbelok dan melihat di depan sebuah penginapan tergantung sebuah plakat kain putih yang bertuliskan 'Penginapan Xianju' dengan huruf-huruf besar, namun pintu gerbangnya terkunci rapat, dan dari dalamnya sama sekali tak terdengar suara sedikitpun. Seorang murid perempuan yang bernama Zheng E segera mengetuk pintu, Zheng E ini adalah seorang murid kalangan awam, wajahnya yang bulat telur biasanya dihiasi senyum manis, boleh dikata bahwa setiap orang yang berbicara dengannya pasti menyukainya. Di sepanjang perjalanan, apabila mereka harus berurusan dengan orang luar, ia selalu yang maju ke depan, supaya begitu melihat biksuni, orang tidak lantas menolak mereka.
Zheng E mengetuk pintu beberapa kali lagi, berhenti sejenak, lalu kembali mengetuk beberapa kali, namun setelah lama, masih tak ada orang yang menjawab. Zheng E berseru, "Paman pengurus penginapan, mohon buka pintu". Suaranya terdengar jelas, dan sebagai seorang pesilat, suaranya dapat terdengar sampai jauh, walaupun melewati beberapa halaman, masih dapat didengar orang. Namun tak nyana tak ada seorangpun yang menjawab dari dalam penginapan, keadaan ini benar-benar diluar dugaan.
Yihe melangkah ke depan dan menempelkan telinganya di papan pintu, terlihat bahwa papan nama penginapan itu masih amat baru, papan pintu juga terlihat bersih dan rapi, jelas tak seperti sebuah usaha yang telah tutup, maka ia berkata, "Kita lihat-lihat lagi di tempat lain, di kota ini tentunya ada penginapan lain".
Setelah melewati puluhan rumah, ada sebuah penginapan yang bernama 'Penginapan Nanan'. Zheng E mengetuk pintunya, namun sama seperti sebelumnya, tak ada yang menjawab. Zheng E berkata, "Kakak Yihe, ayo masuk ke dalam untuk melihat-lihat". Yihe berkata, "Baik!" Mereka berdua melompati tembok dan masuk ke dalam. Zheng E berseru, "Apakah di penginapan ini ada orang?" Tak terdengar ada orang menjawab, mereka berdua menghunus pedang keluar dari sarungnya, dengan berendeng pundak masuk ke aula penginapan, lalu pergi ke belakang dan memeriksa dapur, istal dan kamar-kamar tamu dengan seksama, namun sama sekali tak ada orang. Akan tetapi di atas meja dan kursi tak ada lapisan debu, bahkan teh di dalam poci teh di atas meja masih agak hangat. Zheng E membuka pintu gerbang sehingga Biksuni Dingjing dan yang lainnya dapat masuk, lalu melapor tentang keadaan di dalam. Semua orang mendecakkan lidah karena heran.
Biksuni Dingjing berkata, "Buatlah kelompok yang terdiri dari tujuh orang, lalu berpencarlah ke seluruh kota untuk melihat-lihat keadaan, dan bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kalian bertujuh tak boleh berpisah, begitu melihat jejak musuh, kalian harus meniup peluit untuk memberi tanda". Para murid mengiyakan, lalu melangkah keluar dengan cepat. Di aula penginapan itu hanya tinggal Biksuni Dingjing seorang. Pada mulanya ia masih dapat mendengar suara langkah kaki para murid, namun setelah itu keadaan sunyi senyap. Kesunyian Kota Nianbapu ini membuat bulu roma berdiri. Di kota yang sebesar itu, sama sekali tiada suara manusia, bahkan kokok ayam atau salak anjingpun sama sekali tak terdengar, benar-benar aneh.
Sekonyong-konyong Biksuni Dingjing merasa cemas, "Apakah Sekte Iblis membuat perangkap yang mematikan? Para murid belum punya banyak pengalaman di dunia persilatan, jangan-jangan mereka terjebak dan tertangkap basah oleh musuh". Ia melangkah ke pintu penginapan dan melihat sesosok bayangan berkelebat di timur laut, di sebelah barat juga ada beberapa orang melompat masuk ke dalam toko dan rumah, namun semua adalah murid-murid perguruan sendiri, maka hatinya terasa agak tenang. Setelah beberapa saat, para murid kembali untuk melapor, mereka semua melaporkan bahwa di kota itu sama sekali tak ada orang.
Yihe berkata, "Jangankan orang, binatang peliharaanpun sama sekali tak ada". Yiqing berkata, "Kelihatannya penduduk kota ini belum lama pergi, di banyak rumah terdapat peti yang terbuka, dan barang-barang berharga di dalamnya telah dibawa pergi". Biksuni Dingjing mengangguk-angguk, lalu bertanya, "Menurut kalian apa yang terjadi?" Yihe berkata, "Murid menduga bahwa penjahat-penjahat Sekte Iblis itu telah mengusir penduduk kota supaya dapat melakukan serangan besar-besaran dalam waktu dekat". Biksuni Dingjing berkata, "Benar. Kali ini Sekte Iblis ingin menempur kita dengan terang-terangan. Kalian takut tidak?" Para murid serentak menjawab, "Membinasakan kejahatan adalah kewajiban kami sebagai pengikut Buddha". Biksuni Dingjing berkata, "Kita bermalam di penginapan ini, menanak nasi dan makan kenyang dahulu. Sebelumnya periksa dahulu apakah ada racun di dalam air, nasi dan sayur-mayur".
Saat Perguruan Hengshan makan bersama, mereka memang dilarang untuk banyak berbicara, kali ini semua orang memasang telinga mereka untuk mendengarkan dengan seksama suara-suara dari luar. Setelah kelompok pertama selesai makan, mereka keluar untuk mengantikan murid-murid yang berjaga di luar sehingga mereka dapat makan.
Mendadak Dingjing mendapatkan sebuah akal, katanya, "Guru, ayo kita nyalakan lentera di rumah-rumah penduduk supaya musuh tak tahu dimana kita berada". Biksuni Dingjing berkata, "Siasat untuk mengecoh musuh ini sangat baik. Kalian bertujuh pergilah menyalakan lentera".
Ketika ia memandang keluar lewat gerbang, terlihat sinar lentera memancar dari jendela banyak toko di sebelah barat jalan, beberapa saat kemudian, sinar lentera juga memancar dari jendela toko-toko di sebelah timur jalan. Di jalan raya itu di mana-mana sinar lentera bersinar, namun sama sekali tiada suara sedikitpun. Biksuni Dingjing menengadah dan memandang sang rembulan di cakrawala sembari berdoa dalam hati, "Bodhisatwa, lindungilah kami supaya para murid Perguruan Hengshan dapat kembali dengan selamat. Apabila murid Dingjing dapat pulang ke Hengshan, mulai saat itu murid akan menyalakan pelita untuk menyembah sang Buddha dan tak akan menghunus pedang lagi".
Bertahun-tahun yang lampau ketika ia malang melintang di dunia persilatan, ia telah melakukan berbagai perbuatan yang luar biasa, namun pertarungan di Pegunungan Xianxia kemarin malam amat berbahaya, ketika berpikir tentang kejadian itu ia masih merasa jeri. Ia khawatir karena harus memimpin begitu banyak murid, kalau hanya dirinya sendiri, kalaupun keadaannya sepuluh kali lipat lebih mengerikan, ia tak akan memasukannya dalam hati. Ia kembali diam-diam berdoa, "Bodhisatwa Guanyin yang maha pengasih dan pengampun, tolonglah kami yang kesusahan ini, kalau Perguruan Hengshan kami harus tertimpa bencana, biarlah murid Dingjing seorang yang menanggungnya, hukuman karena membunuh orang, biarlah ditanggung oleh murid sendiri".
Tepat pada saat itu, dari timur laut terdengar suara seorang wanita menjerit-jerit, "Tolong, tolong!" Di tengah suasana yang sunyi senyap, teriakan yang melengking itu terdengar makin keras. Biksuni Dingjing agak terkejut, namun setelah mendengar bahwa suara teriakan itu bukan berasal dari murid perguruannya, ia memicingkan mata untuk melihat ke arah timur laut, akan tetapi ia sama sekali tak dapat melihat ada gerakan apapun, kemudian Yiqing bertujuh nampak berlari menuju ke arah timur laut,
tentunya mereka pergi untuk menyelidiki teriakan itu. Sampai cukup lama, Yiqing dan kawan-kawannya belum juga kembali. Yihe berkata, "Guru, murid dan enam adik akan pergi melihat ke sana". Dingjing mengangguk-angguk, Yihe memimpin enam orang murid, mereka berlari ke arah tempat asal teriakan itu. Di tengah malam buta pedang mereka nampak berkilauan dan tak lama kemudian menghilang.
Setelah beberapa lama, mendadak terdengar jeritan melengking seorang wanita, "Pembunuhan, tolong, tolong!" Para murid Perguruan Hengshan saling berpadangan dengan putus asa, mereka tak tahu apa yang terjadi disana, dan mengapa kelompok-kelompok yang dipimpin Yiqing dan Yihe sudah pergi begitu lama dan belum juga pulang untuk melapor. Kalau mereka bertemu musuh, kenapa tak terdengar suara perkelahian? Begitu mendengar wanita itu menjerit, "Tolong!", dengan suara melengking, semua orang memandang ke arah Biksuni Dingjing, menunggu ia memerintahkan mereka untuk menolongnya.
Biksuni Dingjing berkata, "Yu Sao[1], kau bawalah enam orang murid pergi ke sana, tak perduli apa yang kau lihat, segera kirim orang untuk melapor". Yu Sao adalah seorang nyonya setengah baya berusia empat puluhan tahun, dahulu ia adalah seorang pembantu yang melayani Biksuni Dingjian di Biara Baiyin di Hengshan. Setelah Biksuni Dingxian melihat bahwa ia setia dan cakap, ia menerimanya sebagai murid. Kali ini ia ikut Biksuni Dingjing keluar biara, adalah untuk pertama kalinya ia berkelana di dunia persilatan. Yu Sao menerima perintah dan menyoja, lalu pergi ke arah timur laut bersama enam orang adik seperguruannya.
Namun ketujuh orang itu juga bagai batu yang dilemparkan ke tengah samudera, mereka juga tak kembali. Makin lama Biksuni Dingjing makin cemas, ia menduga bahwa musuh telah menjebak mereka dengan memancing para murid untuk datang, lalu menangkap mereka satu demi satu; setelah menunggu beberapa lama, sama sekali masih tak ada suara yang terdengar, dan suara jeritan minta tolong itu juga sudah tak kedengaran lagi. Biksuni Dingjing berkata, "Yizhi, Yizhen, kalian tinggal disini untuk merawat kakak dan adik seperguruan kalian yang terluka. Tak perduli kalian melihat hal aneh apapun, kalian sekali-sekali tak boleh meninggalkan penginapan ini, supaya tak termakan tipuan 'memancing harimau turun gunung' ". Yizhi dan Yizhen menyoja dan mengiyakan.
Biksuni Dingjing berkata kepada ketiga murid berusia muda, yaitu Zheng E, Yilin dan Qin Juan, "Kalian bertiga ikut aku". Ia menghunus pedangnya dan berlari ke arah timur laut. Setelah mendekat, ia melihat sebaris rumah yang gelap gulita tanpa cahaya pelita, sama sekali tak terdengar suara apapun. Biksuni Dingjing membentak dengan bengis, "Setan-setan Sekte Iblis, kalau punya nyali keluarlah untuk bertarung, sembunyi-sembunyi disini, kalian itu orang gagah macam apa?" Ia menunggu untuk sesaat, namun dari dalam rumah tak terdengar suara orang menjawab. Ia melayangkan kakinya dan menendang pintu rumah yang berada di sampingnya, "Krek!", palang pintu kontan patah, daun pintu membuka ke dalam, namun di dalam rumah gelap gulita, entah ada orang di dalamnya atau tidak.
Biksuni Dingjing tak berani dengan semberono menerjang ke dalam, ia berseru, "Yihe, Yiqing, Yu Sao, apa kalian bisa mendengar suaraku?" Suaranya terdengar sampai jauh, setelah beberapa saat, dari kejauhan terdengar suara gema yang pelan, namun setelah suara gema menghilang, keadaan kembali sunyi senyap.
Biksuni Dingjing berpaling dan berkata, "Kalian bertiga harus selalu berada di dekatku, tak boleh berpisah". Sambil menenteng pedang, ia berlari mengelilingi barisan rumah-rumah itu, namun ia sama sekali tak melihat sesuatu yang aneh. Ia melompat ke atas sebuah rumah dan memicingkan matanya untuk melihat ke segala penjuru. Saat itu tiada angin yang bertiup, pucuk-pucuk pepohonan tak bergeming, cahaya jernih bulan yang dingin terpantul di atas genting, suasana ini mirip dengan suasana saat ia keluar di tengah malam di Hengshan untuk melihat sang rembulan, akan tetapi suasana di Hengshan aman dan tenteram, sedangkan dalam keadaan saat ini terkandung berbagai rahasia dan bayang-bayang maut. Walaupun ilmu silat Biksuni Dingjing tinggi, namun karena musuh tak pernah menunjukkan batang hidungnya, ia benar-benar mati kutu.
Ia merasa gelisah dan sekaligus menyesal, "Dari dahulu aku sudah tahu bahwa setan-setan Sekte Iblis itu penuh tipu muslihat, seharusnya aku tak menyuruh mereka pergi dalam beberapa kelompok yang terpisah......" Mendadak hatinya terkesiap, ia bertepuk tangan, melompat turun dari atap rumah, mengerahkan ilmu ringan tubuhnya dan bergegas kembali ke Penginapan Nanan. Sesampainya di penginapan, ia berseru, "Yizhi, Yizhen, apa yang kalian lihat?" Namun dari penginapan tak ada suara orang menjawab.
Ia cepat-cepat menerjang ke dalam, di dalam penginapan tak ada orang, para murid yang tadi berbaring di atas bangku panjang untuk merawat luka entah kemana perginya.
Biasanya Biksuni Dingjing pandai menahan diri, namun saat ini ia tak mampu menguasai perasaannya lagi, bayangan mata pedangnya yang bergoyang-goyang tanpa henti di bawah sinar lilin memancarkan sinar biru yang redup, ia sadar bahwa tangannya yang mengenggam pedang terus gemetar. Puluhan murid perempuan mendadak hilang tanpa bekas, sebenarnya kenapa? Bagaimana sebaiknya? Dalam sekejap, bibirnya terasa kering dan lidahnya kelu, sekujur tubuhnya lemas dan tak dapat digerakkan.
Namun rasa lemas itu hanya sementara saja, ia menarik napas dan menghimpun tenaga dalam di dantiannya, semangatnyapun kembali berkobar. Dengan gesit ia mengelilingi semua tempat di penginapan, termasuk kamar-kamar dan halaman, namun ia tak menemukan satu petunjukpun, maka ia berseru, "E er, Juan er, datang kemari!". Namun di tengah pekatnya malam, ia hanya mendengar suaranya sendiri. Zheng E, Qin Juan dan Yilin bertiga tak ada yang menjawab. Biksuni Dingjing berseru dalam hati, "Celaka!" Ia bergegas menerjang keluar dan berseru, "E er, Juan er, Yilin, dimana kalian berada?" Di luar gerbang rembulan yang pucat bersinar, namun ketiga murid cilik itu tak terlihat jejaknya.
Menghadapi keadaan yang tak terduga ini, Biksuni Dingjing tidak takut tapi malah gusar, ia melompat ke genting rumah, lalu berseru, "Setan-setan Sekte Iblis, kalian sengaja membuat orang bingung, kalian ini orang macam apa?"
Ia berseru-seru beberapa kali, namun di segala penjuru suasana sunyi senyap, sama sekali tiada suara sedikitpun. Ia terus menerus berteriak sambil memaki, namun di seluruh Nianbapu seakan hanya tinggal ia seorang. Ia tak tahu harus berbuat apa, namun tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya, dengan lantang ia berkata, "Para pengikut Sekte Iblis dengarkanlah, kalau kalian tak menunjukkan diri, maka jelas bahwa Dongfang Bubai adalah seorang pengecut yang hina, tak berani menyuruh orang bertarung denganku secara terang-terangan. Apa itu Dongfang Bubai? Namanya seharusnya Dongfang Bibai. Dongfang Bibai apa kau berani keluar untuk bertemu dengan biksuni tua ini? Dongfang Bibai, karena kau sudah bi bai[2], kurasa kau pasti tak berani!" Ia tahu bahwa semua pengikut Sekte Iblis memuja sang ketua, kalau ada orang yang menghinanya, begitu para pengikutnya mendengarnya, orang yang tak mati-matian membela nama baik sang ketua dianggap melakukan dosa yang tak berampun. Benar saja, begitu ia beberapa kali menyebut 'Dongfang Bibai', tujuh orang mendadak menerjang keluar dari sebuah rumah, tanpa bersuara mereka melompat ke atas genting dan mengepungnya dari segala penjuru.
Begitu sosok musuh muncul, Biksuni Dingjing menjadi girang, pikirnya, "Kalian setan-setan Sekte Iblis akhirnya keluar juga karena kumaki, kalian ingin mencacah aku hidup-hidup, tapi lebih baik melihat sosok iblis kalian daripada sama sekali tak melihat kalian". Namun ketujuh orang itu bungkam seribu bahasa. Biksuni Dingjing berkata dengan gusar, "Mana murid-murid perempuanku itu? Kalian culik dan bawa kemana mereka?" Ketujuh orang itu tetap diam seribu bahasa.
Biksuni Dingjing melihat bahwa dua orang yang berdiri di sisi barat berumur sekitar lima puluh tahun, air muka mereka seakan kaku, tak menunjukkan apakah mereka senang atau marah, katanya, "Baiklah, awas pedang!" Ia mengangkat pedang dan menikam ke dada orang yang berdiri di sudut barat laut.
Dalam keadaan terkepung, ia tahu bahwa tikaman itu tak mungkin akan benar-benar mengenainya, tikaman itu hanyalah sebuah jurus tipuan. Orang yang berada di depannya itu memang lihai, ia tahu bahwa tikaman itu hanya jurus kosong dan tak menghindar. Tadinya Biksuni Dingjing hendak menarik kembali pedangnya, namun ketika melihat orang itu sama sekali tak menghiraukannya, setelah sampai ditengah jalan ia tak jadi menariknya. Ia mengerahkan tenaga ke lengan kanannya, lalu menikam ke depan. Namun ia melihat sosok kedua orang yang berada di sampingnya berkelebat, keduanya mengangsurkan tangan mereka dan masing-masing memukul bahu kiri dan kanan Biksuni Dingjing.
Tubuh Biksuni Dingjing sedikit mengegos ke samping, dengan sebat ia berbalik dan menyerang orang di sebelah timur yang amat jangkung sosoknya. Orang itu sedikit bergeser, lalu, "Klang!", ia mengeluarkan senjatanya yaitu sepasang piring besi yang amat berat. Ia mengangkat piring besi itu dan menghantam pedang, namun pedang Biksuni Dingjing sebelumnya telah berputar, dengan suara berdesir pedang itu menusuk orang tua di sebelah kirinya. Orang tua itu mengangsurkan tangan kirinya dan langsung memegang badan pedangnya, di bawah sinar rembulan samar-samar terlihat bahwa tangannya seperti memakai sarung tangan hitam, rupanya benda itu kebal senjata, maka ia berani mengenggam pedang dengan tangan kosong.
Setelah beberapa ronde, Biksuni Dingjing telah bertarung dengan lima orang diantara ketujuh musuhnya, ia sadar bahwa diantara kelima orang itu tidak ada seorangpun yang bukan seorang jago. Kalau ia bertarung satu lawan satu dengan mereka, atau bahkan satu lawan dua, ia tak akan merasa cemas dan ada tujuh atau delapan puluh persen kemungkinan bahwa ia akan menang. Tapi kalau ia bertarung melawan ketujuh orang itu sekaligus, setiap kali ada kelemahan di pihak musuh, kelemahan itu akan segera ditutupi oleh orang lainnya dan mereka lantas berbalik menyerangnya, sehingga ia berada dalam posisi yang lemah.
Semakin lama bertarung, hatinya semakin cemas, pikirnya, "Tokoh-tokoh kenamaan dari Sekte Iblis kemungkinan besar sudah pernah kudengar namanya. Jenis ilmu silat dan senjata yang mereka pakai juga telah diketahui oleh Perguruan Pedang Lima Puncak kami, namun aku sama sekali tak dapat menebak dari mana asal usul ketujuh orang ini. Tak nyana bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, kekuatan Sekte Iblis meningkat dengan pesat dan dapat mengumpulkan begitu banyak jago-jago tersembunyi seperti ini".
Setelah bertahan sampai enam atau tujuh puluh jurus, Biksuni Dingjing berada dalam kesulitan, napasnya terengah-engah, dalam sekejap ia mendadak melihat bahwa di atas atap telah bertambah belasan sosok manusia. Jelas bahwa orang-orang ini sebelumnya telah bersembunyi di tempat ini dan baru menunjukkan diri mereka sekarang. Ia berseru di dalam hati, "Habislah aku, habislah aku! Saat ini saja aku tak bisa mengatasi ketujuh orang ini, sedangkan masih ada lagi musuh yang bersembunyi. Hari ini nasib Dingjing benar-benar berada di ujung tanduk, daripada jatuh ke tangan orang-orang ini dan menerima penghinaan, lebih baik aku mengakhiri hidupku terlebih dahulu. Toh kantong kulit yang bau ini cuma rumah sementara kita, tapi kalau harus musnah aku juga masih menyesal, karena puluhan murid-murid yang kubawa kemari juga harus kehilangan nyawa mereka, Dingjing si biksuni tua ini amat malu kepada para leluhur Perguruan Hengshan".
"Trang, trang, trang!", dengan sebat ia menikam tiga kali, memaksa musuh mundur dua langkah, namun sekonyong-konyong ia membalikkan pedangnya dan menikam perutnya sendiri.
* * *
Sebelum ujung pedangnya sampai ke dadanya, mendadak, "Trang!", pergelangan tangannya tergetar dan pedangnya terlepas. Terlihat seorang lelaki dengan pedang terhunus berdiri di sampingnya, lalu berkata, "Biksuni Dingjing, jangan berpikiran pendek. Kawan-kawan dari Perguruan Songshan ada disini!" Rupanya pedangnya sendiri telah dipukul jatuh oleh orang itu.
Terdengar suara senjata beradu makin sengit, belasan orang yang tadinya bersembunyi di samping serentak melompat keluar dan bertempur dengan ketujuh pengikut Sekte Iblis itu. Setelah lolos dari maut, semangat Biksuni Dingjing berkobar, ia segera mengangkat pedangnya dan ikut bertempur. Orang-orang Perguruan Songshan itu bertarung dua lawan satu, sehingga Sekte Iblis berada di bawah angin. Tak lama kemudian ketujuh orang itu kehilangan harapan, mereka serentak bersuit dan mundur ke arah selatan.
Sambil menenteng pedang Biksuni Dingjing bergegas mengejar, namun kesiuran angin menerpa wajahnya, dari teritisan atap puluhan senjata rahasia serentak melayang, Biksuni Dingjing mengangkat pedangnya dan memusatkan perhatiannya untuk memukul jatuh senjata rahasia itu satu demi satu. Di tengah kegelapan malam, hanya ada sinar temaram bulan dan bintang, pedangnya menari-nari, terdengar suara berdenting susul-menyusul, ia telah berhasil memukul jatuh seluruh senjata rahasia itu. Selagi ia sibuk menangkis senjata rahasia, orang-orang Sekte Iblis itu telah pergi jauh. Dari belakang tubuhnya terdengar orang itu berkata, "Ilmu Pedang Selaksa Bunga Perguruan Hengshan memang hebat tiada taranya, hari ini mataku benar-benar terbuka".
Biksuni Dingjing menyarungkan pedangnya dan perlahan-lahan berbalik, ia telah menjadi tenang, dalam sekejap tokoh dunia persilatan yang barusan ini bertarung dengan gesit berubah menjadi seorang biksuni tua yang ramah dan welas asih. Ia menangkupkan tangannya dan memberi hormat, "Terima kasih atas pertolongan Saudara Zhong".
Ia mengenali lelaki berusia separuh baya yang berada di depannya itu sebagai adik seperguruan Ketua Zuo dari Perguruan Songshan yang bermarga Zhong dan bernama Zhen, ia dijuluki orang 'Pedang Berlekuk Sembilan'. Julukan ini sama sekali bukan karena senjatanya adalah pedang yang berlekuk-lekuk, tapi karena orang memuji permainan pedangnya yang terus berubah-ubah sehingga sulit ditebak orang. Tempo hari di pertemuan besar di Puncak Riguan di Songshan, ia pernah berjumpa dengannya. Diantara tokoh-tokoh Perguruan Songshan lainnya, ia hanya mengenali dua atau tiga orang saja.
Zhong Zhen menjura membalas penghormatannya, tersenyum kecil, lalu berkata, "Biksuni Dingjing seorang diri bertarung melawan tujuh orang dan dapat melawan 'Tujuh Duta Bintang' Sekte Iblis. Ilmu pedangmu amat hebat, aku kagum sekali!"
Biksuni Dingjing berpikir, "Ternyata ketujuh orang itu disebut 'Tujuh Duta Bintang' segala". Ia tidak ingin terlihat bodoh, maka ia tak bertanya lagi. Ia merasa bahwa nanti ia masih dapat mencari tahu lagi, selama ia telah tahu nama mereka, semuanya akan menjadi mudah.
Orang-orang Perguruan Songshan lain satu demi satu memberi hormat, dua diantara mereka adalah adik seperguruan Zhong Zhen, sedangkan sisanya adalah murid-murid angkatan di bawah mereka. Biksuni Dingjing membalas menghormat, lalu berkata, "Aku benar-benar merasa malu, kali ini Perguruan Hengshan kami datang ke Fujian dengan membawa puluhan orang murid, lalu tiba-tiba mereka hilang di kota ini. Saudara Zhong, kapan kalian datang ke Nianbapu ini? Petunjuk apa yang sudah kalian temukan?" Ia merasa bahwa orang-orang Perguruan Songshan itu sudah lama bersembunyi di dekatnya, namun menunggu sampai ia kehabisan tenaga dan hendak bunuh diri, lalu baru muncul untuk menolongnya. Jelas bahwa mereka ingin mempermalukan dirinya dan sekaligus menunjukkan kehebatan mereka sendiri, maka diam-diam ia merasa kesal. Namun puluhan muridnya hilang, inilah hal yang terpenting, maka ia terpaksa bertanya pada mereka, kalau hanya menyangkut dirinya saja, ia lebih baik mati daripada memohon-mohon pada orang-orang ini. Saat ini ketika ia bertanya pada Zhong Zhen, ia sudah merasa amat tak nyaman.
Zhong Zhen berkata, "Sekte Iblis amat licik, mereka sudah tahu bahwa ilmu silat biksuni amat tinggi dan mereka akan sulit menang, maka mereka diam-diam menangkap seluruh murid-murid perguruan kalian yang mulia. Biksuni tak usah khawatir, walaupun Sekte Iblis sangat nekad, namun kurasa mereka tak akan berani mencelakai adik-adik dari perguruan kalian yang mulia. Lebih baik kita membicarakan rencana untuk menyelamatkan mereka dengan seksama". Sambil berbicara tangan kanannya mengangsur, mempersilahkannya turun dari atap.
Biksuni Dingjing mengangguk-angguk, lalu melompat ke tanah. Zhong Zhen dan yang lainnya juga ikut melompat turun.
Zhong Zhen berjalan ke barat seraya berkata, "Aku tunjukkan jalan". Setelah berjalan beberapa puluh zhang, ia berbelok ke utara, setelah tiba di depan Penginapan Xianju, ia mendorong pintu hingga terbuka, lalu berkata, "Biksuni, mari berunding disini". Kedua adikseperguruannya yang seorang dijuluki 'Cambuk Sakti' dan namanya Teng Bagong, sedangkan yang seorang lagi berjulukan 'Singa Berbulu Terang' dan bernama Gao Gexin, mereka bertiga termasuk dalam 'Tiga Belas Pelindung Besar Songshan'. Mereka bertiga mengajak Biksuni Dingjing masuk ke sebuah ruangan yang luas dan menyalakan lilin, lalu mereka duduk di tempat masing-masing. Setelah menghidangkan teh, para murid Perguruan Songshan keluar. Gao Gexin menutup pintu ruangan.
Zhong Zhen berkata, "Kami sudah lama mengagumi ilmu pedang biksuni, nomor satu di Perguruan Hengshan......" Biksuni Dingjing menggeleng seraya berkata, "Tidak benar, ilmu pedangku tak setinggi adik ketua, dan juga tak setinggi Adik Dingyi". Zhong Zhen tersenyum, "Biksuni terlalu rendah hati, aku dan adik-adikku mengagumi nama besarmu dan berharap dapat menambah pengalaman dengan melihat ilmu pedang biksuni yang hebat. Oleh karena itu kami terlambat datang menolong, sama sekali bukan karena kami tak menghormati biksuni, kami mohon maaf, mohon agar biksuni tak menyalahkan kami". Biksuni Dingjing merasa lebih tenang, ketika melihat ketiga orang itu berdiri dan menjura memberi hormat, ia juga ikut bangkit dan menangkupkan kedua tangannya sambil berkata, "Tak apa-apa".
Zhong Zhen menunggunya duduk kembali, lalu berkata, "Setelah Perguruan Pedang Lima Puncak kita berserikat, kita adalah cabang dari pohon yang sama, bersama-sama menanggung untung dan malang. Hanya saja dalam beberapa tahun belakangan ini kita makin jarang berjumpa, banyak hal yang tidak kita lakukan bersama-sama, oleh karenanya Sekte Iblis makin kuat dan angkuh".
"Hmm", ujar Biksuni Dingjing, dalam hati ia berpikir, "Saat ini untuk apa dia berbasa-basi seperti ini?" Zhong Zhen berkata, "Kakak Zuo sering berkata, 'bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh'. Kalau saja Perguruan Pedang Lima Puncak kita dapat bersatu, Sekte Iblis tak akan dapat melawan kita. Bahkan kekuatan dan nama besar perguruan yang sudah lama termasyur seperti Shaolin dan Wudangpun masih akan jauh berada di bawah kita. Kakak Zuo mempunyai sebuah cita-cita, yaitu untuk melebur Perguruan Pedang Lima Puncak kita yang berserakan bagai pasir menjadi sebuah 'Perguruan Lima Puncak'. Saat itu, dengan jumlah anggota yang banyak dan dengan mengabungkan kekuatan, kita akan dapat menjadi pemimpin semua perguruan di dunia persilatan. Bagaimana pendapat biksuni?"
Biksuni Dingjing mengangkat alisnya, lalu berkata, "Biksuni tua seperti aku bukan siapa-siapa di Perguruan Hengshan, aku tak pernah mengurus hal-hal semacam itu. Kalau Saudara Zhong ingin membicarakan masalah penting seperti ini, Saudara Zhong harus membicarakannya dengan adik ketua. Saat ini hal yang paling penting ialah berusaha untuk menyelamatkan murid-murid perempuan dari perguruan kami. Segala hal lain dapat dipertimbangkan lagi kemudian". Zhong Zhen tersenyum, "Biksuni tak usah khawatir. Masalah ini juga menyangkut Perguruan Songshan, masalah yang dihadapi Perguruan Hengshan adalah juga masalah Perguruan Songshan. Bagaimanapun juga, kami tak akan membiarkan adik-adik seperguruan dari perguruan kalian yang mulia menderita". Biksuni Dingjing berkata, "Banyak terima kasih. Tapi kalau boleh tahu, bagaimana Saudara Zhong bisa begitu yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja? Atas dasar apa kau dapat berkata demikian?" Zhong Zhen tersenyum kecil, "Biksuni Dingjing ada disini secara pribadi, seorang jago termasyur dari Perguruan Hengshan, masa harus takut pada beberapa setan Sekte Iblis? Lagipula, adik-adik seperguruanku dan beberapa keponakan murid akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyelamatkan mereka. Kalau masih tak bisa mengalahkan beberapa setan kelas dua Sekte Iblis, hehehe, keterlaluan namanya".
Ketika mendengarnya terus menerus berbicara ngalor ngidul, Biksuni Dingjing merasa gelisah sekaligus gusar, ia bangkit dan berkata, "Karena Saudara Zhong sudah berkata demikian, bagus sekali, ayo berangkat!"
Zhong Zhen berkata, "Biksuni Dingjing hendak pergi kemana?" Biksuni Dingjing berkata, "Menolong orang!" Zhong Zhen berkata, "Menolong orang dimana?" Kali ini, Biksuni Dingjing tak kuasa menjawab, setelah tertegun sejenak, ia berkata, "Murid-muridku ini belum lama hilang, tentunya mereka masih berada di dekat sini, semakin lama tentunya semakin sukar mencari mereka". Zhong Zhen berkata, "Setahu adik, tak jauh dari Nianbapu ini ada sarang Sekte Iblis, kemungkinan besar adik-adik ini dibawa kesana, menurut adik......"
Biksuni Dingjing cepat-cepat bertanya, "Dimana sarang Sekte Iblis itu? Ayo kita pergi menolong mereka".
Zhong Zhen berkata dengan perlahan, "Sekte Iblis sudah bersiap-siap, kalau kita bertindak dengan semberono dan melakukan kesalahan, mungkin sebelum kita sempat menolong mereka, kita sudah akan lebih dahulu masuk perangkap mereka. Menurut pendapat adik, sebaiknya kita berunding dahulu, baru pergi menolong mereka".
Biksuni Dingjing tak punya pilihan lain, ia terpaksa duduk kembali, lalu berkata, "Aku ingin mendengar pendapat Saudara Zhong". Zhong Zhen berkata, "Kali ini adik menerima perintah Ketua Zuo untuk datang ke Fujian, guna merundingkan suatu perkara besar dengan biksuni. Perkara ini menyangkut nasib dunia persilatan di Dataran Tengah, dan berhubungan dengan jaya atau runtuhnya Perserikatan Pedang Lima Puncak kita, perkara ini bukan perkara sepele. Setelah kita membicarakan perkara ini, masalah-masalah lain seperti menolong orang dan lain-lain dapat kita lakukan semudah membalik telapak tangan saja". Biksuni Dingjing berkata, "Tapi apa perkara itu?"
Zhong Zhen berkata, "Perkara yang sudah adik kemukakan sebelumnya, yaitu perkara peleburan Perguruan Pedang Lima Puncak". Ia terus menerus menyebut dirinya 'adik', seakan Perguruan Pedang Lima Puncak memang sudah dilebur menjadi satu, dan dia sudah menjadi adik seperguruan Biksuni Dingjing.
Mendadak Biksuni Dingjing bangkit, wajahnya pucat pasi, katanya, "Kau......kau......kau ini......" Zhong Zhen tersenyum dan berkata, "Biksuni jangan sampai salah paham, dan mengira adik mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksa biksuni menyetujui perkara ini". Biksuni Dingjing berkata dengan gusar, "Kau sendirilah yang mengatakannya, bukan aku yang mengatakannya. Kalau kau sekarang bukannya sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan, kau sedang apa?" Zhong Zhen berkata, "Perguruan kalian yang mulia ialah Perguruan Hengshan, perguruan kami adalah Perguruan Songshan. Urusan perguruan kalian yang mulia, walaupun juga menjadi perhatian perguruan kami, bagaimanapun juga adalah urusan mempertaruhkan nyawa. Walaupun adik ingin membantu biksuni, tapi aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran adik-adik dan keponakan seperguruan kami. Namun kalau kedua perguruan dilebur menjadi satu, masalah ini akan menjadi masalah perguruan kita dan tentunya kami tak dapat mengelak dari tanggung jawab bersama".
Biksuni Dingjing berkata, "Jadi menurut perkataanmu, kalau Perguruan Hengshan tak bersedia bergabung dengan perguruanmu yang mulia, Perguruan Songshan akan berpangku tangan saja terhadap masalah hilangnya murid-murid Hengshan?" Zhong Zhen berkata, "Tak dapat dikatakan begitu juga. Adik telah menerima perintah Ketua Zuo, maka adik tak berani sembarangan bertindak. Mohon agar biksuni tak menyalahkanku".
Biksuni Dingjing begitu marah sehingga wajahnya menjadi pucat pasi, dengan dingin ia berkata, "Biksuni tua ini tak dapat mengambil keputusan mengenai masalah peleburan kedua perguruan. Kalaupun aku menyetujuinya, tapi ketua ternyata tak menyetujuinya, juga percuma".
Zhong Zhen mendekatinya dan berkata dengan suara rendah, "Asalkan biksuni menyetujuinya, kelak Biksuni Dingxian tentunya juga harus menyetujuinya. Sebenarnya di setiap perguruan, kedudukan ketua kebanyakan diduduki oleh murid tertua di perguruan itu. Menilik keluhuran budi, ilmu silat dan siapa yang lebih dahulu masuk perguruan, seharusnya biksunilah yang memimpin Perguruan Hengshan......"
Tangan kiri Biksuni Dingjing tiba-tiba terangkat, "Bruk!", salah satu sudut mejapun sempal. Dengan tegas ia berkata, "Apa kau ini sengaja memecah belah kami? Akulah yang memohon dengan sepenuh hati pada mendiang guruku supaya adikku menduduki jabatan ketua. Kalau Dingjing ingin menduduki jabatan ketua, sejak dahulu aku sudah melakukannya, untuk apa menunggu orang lain menghasutku seperti sekarang?"
Zhong Zhen menghela napas dan berkata, "Perkataan Kakak Zuo memang benar". Biksuni Dingjing berkata, "Apa katanya?" Zhong Zhen berkata, "Sebelum aku pergi ke selatan, Kakak Zuo berkata, 'Biksuni Dingjing dari Perguruan Hengshan amat luhur budinya, ilmu silatnya juga amat tinggi, sejak dahulu kita selalu mengaguminya, tapi sayangnya pandangannya kurang luas'. Aku bertanya padanya kenapa ia berkata begitu. Ia berkata, 'Aku tahu bahwa pribadi Biksuni Dingjing tak memperdulikan hal-hal duniawi, tak suka mencari nama, dan juga tak suka mengurus hal-hal rutin. Kalau kau berbicara dengannya tentang masalah peleburan kelima perguruan, kau akan menghadapi masalah ini. Namun karena masalah ini sangat penting, walaupun tahu tak akan berhasil, aku tetap harus membicarakannya. Kalau Biksuni Dingjing hanya berpikir tentang kesenangan dan keselamatan diri sendiri, dan tak menghiraukan hidup-matinya ribuan orang aliran lurus, dunia persilatan akan tertimpa bencana besar dan kami tak dapat berbuat apa-apa lagi".
Biksuni Dingjing bangkit dan berkata dengan sinis, "Tak ada gunanya membujuk aku dengan kata-kata manis. Tindakan Perguruan Songshan kalian ini bukan cuma mengambil kesempatan dalam kesempitan, tapi juga menimpakan tangga pada orang yang sudah terjatuh".
Zhong Zhen berkata, "Perkataan biksuni ini tidak benar. Kalau biksuni sudi menyampaikan hal ini pada pihak-pihak lain di dunia persilatan dan bersedia mengemban tugas berat untuk membantu Songshan, Hengshan, Taishan, Huashan dan Heng Shan bergabung menjadi satu, Perguruan Songshan pasti akan mendukung biksuni menjadi 'Ketua Perguruan Lima Puncak'. Dari hal ini, biksuni dapat melihat bahwa Ketua Zuo kami bermaksud tulus dan sama sekali tak mempunyai ambisi pribadi......"
Biksuni Dingjing berkali-kali menggeleng sembari berkata dengan lantang, "Jangan bicara lagi, telingaku sudah penuh kotoran". Ia menangkupkan tangannya, lalu memukul, dua papan pintu terlepas dan melayang. Sosoknya berkelebat meninggalkan Penginapan Xianju.
Di balik pintu, angin musim gugur menerpa wajahnya, wajahnya yang membara terasa sejuk, pikirnya, "Menurut perkataan si marga Zhong itu, Sekte Iblis mempunyai sarang di sekitar Nianbapu ini, murid-murid yang hilang tentunya berada disana. Entah perkataannya ini benar atau tidak?" Ia melangkah pergi sendirian tanpa tujuan yang jelas, saat itu bulan sudah mulai terbenam dan membuat bayangan hitamnya nampak begitu panjang di atas batu pelapis jalan.
Setelah berjalan beberapa zhang jauhnya, ia berhenti dan berpikir, "Kalau hanya mengandalkan diriku seorang, bagaimanapun juga aku tak akan dapat menyelamatkan para murid. Sejak dahulu kala, seorang gagah selalu harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Kenapa untuk sementara ini aku tak menyetujui permintaan si marga Zhong itu saja? Setelah para murid diselamatkan, aku akan bunuh diri untuk menebus kesalahanku, sehingga dengan kematianku ia tak lagi mempunyai bukti tentang persetujuan itu. Kalaupun ia lalu mengatakan pada semua orang bahwa aku dengan hina telah mengingkari perkataanku sendiri, dan menghancurkan nama baikku, semuanya akan kutanggung olehku Biksuni Dingjing sendiri".
Ia menghela napas panjang, berbalik dan perlahan-lahan berjalan kembali ke Penginapan Xianju, namun sekonyong-konyong ia mendengar seseorang berteriak-teriak di ujung jalan, "Nenekmu, jenderal ingin minum arak dan tidur, pelayan sialan, kenapa kau tak cepat-cepat buka pintu?" Itu adalah suara canjiang Wu Tiande yang ditemuinya kemarin di Pegunungan Xianxia. Begitu mendengarnya, Biksuni Dingjing seakan bagai orang tenggelam yang menemukan sebilah papan kayu yang terapung-apung di atas air.
* * *
Catatan Kaki Penerjemah
[1] Sao adalah sebutan untuk kakak ipar perempuan atau wanita yang umurnya hampir sepantaran.
[2] 'Pasti kalah'.
Bagian keempat
Setelah menolong Perguruan Hengshan membebaskan diri dari kepungan di Pegunungan Xianxia, Linghu Chong merasa puas, ia berjalan dengan cepat hingga tiba di Kota Nianbapu. Saat itu kedai-kedai nasi baru saja buka, ia masuk ke sebuah kedai nasi seraya berseru, "Ambilkan arak!" Ketika pelayan kedai melihat bahwa ia adalah seorang perwira, ia tak berani tak segera melayaninya dan segera menuangkan arak dan menghidangkan nasi, memotong ayam untuk lauk, dan dengan amat hormat dan gemetar ketakutan, melayaninya makan sepuas hati. Setelah minum-minum, Linghu Chong agak mabuk, ia berpikir, "Kali ini Sekte Iblis mengalami kekalahan, mereka tentunya tak senang dan kemungkinan besar akan membuat susah Perguruan Hengshan. Biksuni Dingjing pemberani, namun tak pandai bersiasat, ia bukan tandingan Sekte Iblis, lebih baik aku diam-diam melindungi mereka". Setelah membereskan bon makan dan minum, ia pergi ke Penginapan Xianju untuk menyewa kamar dan tidur.
Ia tidur sampai tengah hari, lalu bangun dan mencuci muka, namun mendadak ia mendengar seseorang berteriak-teriak di jalanan, "Malam ini kawanan Huang Fengzhai dari Luanshigang[1] akan datang untuk menjarah Nianbapu, membunuh orang dan merampok. Kita harus segera melarikan diri!" Dalam sekejap, seruan terdengar dari segala penjuru. Pelayan kedai mengedor-gedor pintu kamarnya seakan langit hendak runtuh, "Tuan perwira, celaka sekali!"
Linghu Chong berkata, "Nenekmu, apanya yang celaka sekali?" Pelayan itu berkata, "Tuan perwira, tuan perwira, malam ini kepala kawanan bandit Huang Fengzhai dari Luanshigang akan menjarah kota ini. Semua orang sedang melarikan diri". Linghu Chong membuka pintu kamar dan memaki, "Nenekmu, di siang bolong begini kau berisik saja, disini mana ada bandit? Jenderal ada disini, masa mereka berani bertindak sewenang-wenang?" Pelayan itu berkata dengan wajah ketakutan, "Raja bandit itu sangat......sangat ganas, mereka......mereka tak tahu jenderal ada disini". Linghu Chong berkata, "Kau pergilah dan beritahu mereka". Si pelayan berkata, "Hamba......hamba tak berani pergi memberitahu mereka, bisa-bisa kepala hamba dipenggal para bandit itu". Linghu Chong berkata, "Luanshigang tempat Huang Fengzhai bersarang itu dimana letaknya?" Si pelayan berkata, "Hamba belum pernah tahu Luanshigang itu berada dimana, tapi hamba tahu kalau Huang Fengzhai itu bandit yang sangat lihai. Dua hari yang lalu, ia baru saja merampok Darongtou yang letaknya tiga puluh li di sebelah timur Nianbapu, membunuh enam atau tujuh puluh orang dan membakar lebih dari seratus rumah. Jenderal, walaupun ilmu silatmu tinggi, tapi dua kepalan sukar untuk melawan empat tangan. Selain kepala bandit itu, anak buahnya ada lebih dari tiga ratus orang".
Linghu Chong memaki, "Nenekmu, kalau lebih dari tiga ratus orang memangnya kenapa? Jenderal sudah biasa menghadapi pasukan yang terdiri dari ribuan orang dan laksaan kuda, tujuh orang pergi, tujuh orang kembali, delapan orang pergi, delapan orang kembali". Si pelayan berkata, "Iya, iya!" Ia bergegas berbalik dan lari keluar.
Di luar keadaan sudah menjadi kacau balau, seruan-seruan memanggil ibu terdengar di
segala penjuru, Linghu Chong sama sekali tak mengerti bahasa Zhejiang dan Fujian, ia menduga bahwa semua teriakan itu artinya kurang lebih 'Mamanya A Mao, kau sudah ambil selimutnya belum?', atau, 'Da Bao, Xiao Bao, cepat lari, bandit datang!', atau semacam itu. Setelah tiba di luar, ia melihat sudah ada puluhan orang yang mengendong buntalan, atau tangannya menenteng koper, melarikan diri ke arah selatan.
Linghu Chong berpikir, "Tempat ini adalah perbatasan Zhe dan Min, jenderal-jenderal di Hangzhou dan Fuzhou tak mengurus tempat ini, sehingga bandit-bandit merajalela dan menyengsarakan rakyat jelata. Karena canjiang Prefektur Quanzhou Jenderal Besar Wu Tiandeku sudah berada disini, ia tak dapat berpangku tangan saja, kalau dapat membunuh kepala bandit, ia akan terhitung berjasa. Ini namanya makan gaji raja, harus setia pada raja. Nenekmu, kenapa tidak! Hahaha, hahaha!" Ketika memikirkan hal ini, ia tak kuasa menahan tawa, lalu berseru, "Pelayan, ambilkan arak! Jenderal mau minum arak sampai kenyang lalu bunuh bandit".
Namun saat itu tamu-tamu penginapan, pemilik penginapan, istri tua pemilik penginapan, nyonya kedua, nyonya ketiga dan juga para pelayan serta koki sudah lari tunggang-langgang, karena khawatir kalau terlambat lari mereka akan bertemu dengan bandit itu. Tak ada orang yang mengubris teriakan Linghu Chong.
Linghu Chong tak punya pilihan lain dan terpaksa pergi ke dapur sendiri untuk mengambil arak, lalu duduk di aula utama, menuang arak dan minum-minum sendiri. Suara kokok ayam, salak anjing, ringkik kuda dan uikan babi ramai terdengar, ia menduga bahwa penduduk kota sedang membawa lari binatang peliharaan mereka. Setelah beberapa lama, suara-suara itu makin berkurang, setelah minum tiga cawan besar arak lagi, segala suara yang penuh kecemasan dan ketakutan telah sama sekali menghilang, di kota itu sama sekali tak terdengar suara apapun. Ia berpikir, "Kali ini bandit-bandit Huang Fengzhai tak beruntung, entah bagaimana beritanya dapat bocor, tapi begitu mereka sampai di kota ini, sudah tak ada barang yang bisa mereka jarah lagi"
Di kota yang begitu besar, hanya tinggal ia seorang diri, peristiwa yang begitu aneh ini baru pertama kali dialaminya seumur hidupnya. Di tengah kesunyian, mendadak terdengar suara derap kaki kuda, empat orang penunggang kuda dengan cepat mencongklang dari selatan.
Linghu Chong berpikir, "Kepala bandit sudah datang, tapi kenapa anak buahnya begitu sedikit?" Ia mendengar keempat kuda itu mencongklang sampai ke jalan raya, sepatu kuda mereka bergemeletukan menghantam lempengan batu hijau pelapis jalan. Seseorang berteriak keras-keras, "Domba-domba gemuk Nianbapu, dengarlah, Yang Mulia Huang Fengzhai dari Luanshigang memerintahkan semua orang, lelaki, perempuan, tua, atau muda, untuk berdiri di luar gerbang kota. Yang berada di luar gerbang tak akan dibunuh, yang tak mau keluar akan dipenggal kepalanya". Sambil berseru-seru, mereka mencongklang di jalan raya. Linghu Chong mengintip keluar dari sela-sela pintu, namun keempat penunggang kuda itu telah mencongklang pergi dan ia hanya dapat melihat punggung mereka, hatinya terkesiap, "Ada yang tak beres! Melihat pembawaan keempat penungang kuda itu, jelas bahwa ilmu silat mereka tidaklah rendah. Mana ada tokoh-tokoh semacam itu diantara keroco-keroco sarang penyamun?"
Ia mendorong pintu hingga terbuka dan berjalan beberapa zhang jauhnya di kota yang tak berpenghuni itu, di sisi sebuah kelenteng toapekong, ia melihat sebatang pohon huai besar yang lebat ranting dan daunnya. Ia segera melompat ke atasnya, saat itu tenaga dalamnya melimpah, hanya dengan sekali melompat saja ia sudah dapat mencapai dahan tertinggi pohon huai itu, perlahan-lahan ia turun ke batang pohon, lalu duduk di atas dahan melintang yang paling tinggi letaknya. Di segala penjuru tak terdengar suara sedikitpun. Semakin lama menunggu, ia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tak beres. Anak buah Huang Fengzhai sudah lama datang, tapi pasukan utamanya belum juga tiba. Untuk apa ia menyuruh anak buahnya datang menyiarkan kabar kedatangannya terlebih dahulu, sehingga rakyat jelata di kota itu sempat kabur?
Setelah menunggu lebih dari separuh shichen, barulah sayup-sayup terdengar suara orang, tapi suara itu adalah suara perempuan yang sedang mengoceh. Setelah mendengarkan beberapa kalimat dengan seksama, ia tahu bahwa murid-murid Perguruan Hengshan telah tiba, pikirnya, "Mengapa mereka baru sampai disini sekarang? Aku tahu, di siang hari mereka tentunya beristirahat di hutan belantara". Ia mendengar mereka tiba di Penginapan Xianju dan mengetuk pintu, lalu pergi ke sebuah penginapan lain dan mengetuk pintunya. Penginapan Nanan dan kelenteng toapekong terpisah cukup jauh, setelah orang-orang Perguruan Hengshan memasuki penginapan itu, ia tak dapat mendengar apa yang mereka lakukan dan katakan di dalamnya. Dalam hati samar-samar ia mendapat firasat, "Kemungkinan besar ini adalah jebakan Sekte Iblis untuk memancing Perguruan Hengshan". Ia tetap bersembunyi di pucuk pohon, diam-diam menunggu apa yang akan terjadi.
Setelah beberapa saat, ia melihat Yiqing bertujuh keluar untuk menyalakan lentera, cahaya lenterapun memancar keluar dari jendela toko-toko di jalan raya itu. Tak lama kemudian, dari arah timur laut terdengar suara seorang wanita menjerit keras-keras, "Tolong!" Linghu Chong terkesiap, "Aiyo, celaka. Murid-murid Perguruan Hengshan terkena perangkap Sekte Iblis". Ia segera melompat turun dari pohon dan berlari ke luar rumah dari mana teriakan minta tolong perempuan itu berasal.
Ia mengintip ke dalam melalui sela-sela jendela, di dalam rumah gelap gulita, namun sinar bulan yang temaram masuk lewat jendela, ia melihat tujuh orang lelaki bersandar pada dinding, sedangkan seorang wanita berdiri di tengah ruangan sambil menjerit-jerit, "Tolong, tolong, pembunuhan!" Linghu Chong hanya melihat wajahnya dari samping, namun ia melihat bahwa wanita itu sedang tersenyum, raut wajahnya licik, jelas bahwa ia sedang menunggu orang terkena pancingannya.
Benar saja, sebelum jeritannya berhenti, dari luar terdengar suara seorang perempuan berseru, "Siapa yang bunuh orang disini?" Pintu rumah itu tak dikunci, pintu didorong hingga terbuka, dan tujuh orang perempuan melompat ke dalam, orang yang berada paling depan adalah Yiqing. Ketujuh orang itu membawa pedang guna menolong orang, mereka masuk dengan sangat gesit.
Tiba-tiba tangan kanan wanita yang berteriak minta tolong itu terangkat, ia membentangkan sebuah kain hijau persegi yang besarnya sekitar empat chi , tubuh Yiqing bertujuh langsung gemetar, seakan mereka hendak pingsan dan matanya berkunang-kunang, setelah berputar-putar beberapa kali, mereka terjatuh. Linghu Chong amat terkejut, sebuah pikiran muncul di benaknya, "Kain di tangan wanita itu tentunya mengandung obat bius yang sangat lihai. Kalau aku menerjang masuk untuk menolong mereka, tentunya aku juga akan jatuh ke dalam perangkap mereka, lebih baik aku menunggu untuk melihat apa yang terjadi". Para lelaki yang tadinya bersandar di dinding serentak maju, mengambil tali, lalu mengikat tangan dan kaki Yiqing bertujuh.
Tak seberapa lama kemudian, di luar terdengar sebuah suara lagi, yaitu suara melengking seorang perempuan yang berseru, "Siapa yang berada disini?" Saat Linghu Chong berada di Pegunungan Xianxia, ia sudah sering berbicara dengan biksuni yang berwatak berangasan itu, ia tahu bahwa Yihe telah datang, pikirnya, "Kau ini berangasan dan semberono, kali ini kau akan jadi bacang Fujian".[2] Terdengar Yihe kembali berseru, "Adik Yiqing, apa kalian berada disini?" "Bruk!", pintu ditendang hingga terbuka, Yihe dan yang lainnya serentak masuk ke rumah itu dalam dua barisan. Begitu melewati pintu, mereka segera memainkan pedang, masing-masing melindungi sisi kiri dan kanan, untuk berjaga terhadap serangan mendadak musuh. Namun orang yang ketujuh berjalan mundur ke dalam rumah itu untuk mengamankan jalan keluar.
Semua orang di rumah itu menahan napas dan tak bersuara, mereka menunggu ketujuh orang itu masuk semua, lalu lagi-lagi membentangkan kain hijau itu, dan ketujuh orang itupun jatuh pingsan.
Menyusul Yu Sao memimpin enam orang masuk ke dalam rumah itu, dan juga jatuh pingsan, akhirnya dua puluh satu murid Perguruan Hengshan semua tak sadarkan diri dan diikat di sudut-sudut rumah itu. Beberapa saat kemudian, seorang tua memberi isyarat, lalu semua orang diam-diam keluar dari pintu belakang.
Linghu Chong melompat ke atap rumah, merunduk, lalu mengikuti mereka. Saat ia sedang berjalan, mendadak ia mendengar suara berkelebatnya kain dari rumah di depannya, ia cepat-cepat mendekam di sisi bubungan atap dan melihat belasan orang lelaki yang saling memberi isyarat, mereka masing-masing bersembunyi di sisi bubungan atap sebuah rumah besar yang hanya terpisah beberapa zhang jauhnya dari tempat persembunyiannya. Linghu Chong menyelinap turun dari tembok tanpa bersuara dan melihat Biksuni Dingjing memimpin tiga orang murid menuju ke tempat itu. Linghu Chong berpikir, "Celaka, ini adalah siasat memancing harimau turun gunung.
Para biksuni yang ditinggalkan di penginapan akan celaka". Di kejauhan, ia melihat beberapa sosok manusia berlari dengan cepat menghampiri Penginapan Nanan, ketika ia sedang berpikir untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi, mendadak ia mendengar ada seseorang di atas atap berkata, "Tunggu biksuni tua itu datang, lalu kalian bertujuh bereskan dia". Suara itu berasal dari atas kepalanya, begitu Linghu Chong mengeser tubuhnya, ia akan dipergoki orang itu, maka ia terpaksa bersembunyi di sebuah sudut, lalu merapat ke dinding.
Ia mendengar Biksuni Dingjing menendang pintu hingga terbuka, lalu berseru, "Yihe, Yilin, Yu Sao, apa kalian dengar suaraku?" Suaranya terdengar sampai jauh, lalu ia melihatnya berlari memutari rumah itu, dan kemudian melompat ke atas atap, namun tidak masuk ke rumah untuk memeriksanya. Linghu Chong berpikir, "Kenapa dia tak masuk ke rumah untuk melihat keadaan di dalamnya? Begitu masuk ke dalam ia tentu akan melihat dua puluh satu orang murid yang diikat orang di lantai". Namun ia segera sadar, "Sebenarnya lebih baik kalau dia tidak masuk. Orang-orang Sekte Iblis telah bersiap-siap di atas atap, begitu dia masuk ke rumah, mereka akan mengepungnya rapat-rapat dari segala penjuru dan dia akan menjadi sasaran empuk".
Terlihat Biksuni Dingjing berlari kesana kemari, jelas bahwa ia kehabisan akal, tiba-tiba ia berlari kembali ke Penginapan Nanan, larinya amat cepat hingga tiga orang murid yang mengikuti di belakangnya tak dapat menyusulnya. Di tepi jalan muncul beberapa orang, mereka membentangkan kain hijau, dan ketiga orang murid itupun lantas terjatuh, lalu diseret ke dalam rumah itu. Di bawah sinar rembulan yang temaram, diantara ketiga orang itu sepertinya ada Yilin. Linghu Chong terkesiap, "Apakah aku harus segera menolong Adik Yilin?" Namun ia berpikir kembali, "Begitu aku muncul tentunya akan terjadi pertarungan sengit. Banyak orang Perguruan Hengshan telah ditawan oleh Sekte Iblis, aku harus berhati-hati supaya mereka tak dicelakai, aku tak bisa menghadapi mereka dengan terang-terangan, lebih baik aku bertindak dengan diam-diam saja".
Ia melihat Biksuni Dingjing kembali dari Penginapan Nanan, ia lagi-lagi melompat ke atas atap, lalu memaki keras-keras, bahkan memaki-maki Dongfang Bubai dengan sengit. Benar saja, Sekte Iblis tak dapat menahan diri, tujuh orang naik ke atas dan bertarung dengannya. Setelah menyaksikan beberapa jurus, Linghu Chong berpikir, "Ilmu pedang Biksuni Dingjing luar biasa, walaupun seorang diri bertarung melawan tujuh orang, untuk sementara ia dapat mengatasi mereka. Sebaiknya aku menolong Adik Yilin dahulu".
Ia segera menyelinap masuk ke dalam rumah, ia melihat seseorang berjaga di ruangan tengah dengan golok terhunus, sedangkan ketiga murid yang telah diikat terbaring di lantai. Linghu Chong melompat ke depan dan begitu goloknya keluar dari sarungnya, ia langsung menusuk tenggorokan orang itu. Sebelum orang itu sempat terkejut, nyawanya telah melayang. Mau tak mau Linghu Chong tertegun, "Sabetan golokku ini bagaimana bisa begitu cepat? Aku baru saja mengangsurkan tanganku, lalu tiba-tiba langsung mengenai titik penting di tenggorokannya?" Ia tak tahu bahwa sejak menguasai Ilmu Penghisap Bintang, hawa murni Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, Heibaizi dan lain-lain yang tersimpan di dalam tubuhnya telah menjadi miliknya, tenaga dalam hebat ditambah dengan Sembilan Pedang Dugu membuatnya menjadi tak terkalahkan. Pada mulanya ia bermaksud untuk menusuk dengan goloknya, lalu ketika musuh mengangkat goloknya sendiri untuk menangkis serangan, ia akan menggunakan sarung golok untuk memukul kaki musuh hingga terjatuh, setelah itu baru menolong orang. Akan tetapi tak nyana musuh ternyata sama sekali tak bisa menangkis serangannya atau membalas, dan langsung terbunuh.
Linghu Chong merasa agak menyesal, ia menyeret mayat itu, ketika melihat ke bawah, benar saja, diantara ketiga murid yang terbaring di lantai ada Yilin. Ia mengangsurkan tangannya untuk mencari hembusan napasnya, ternyata napasnya masih teratur, selain karena belum siuman dari efek obat bius, ia baik-baik saja. Ia segera pergi ke dapur dan mengambil segayung air dingin, lalu mencipratkan sedikit air ke wajahnya.
Tak lama kemudian, Yilin mengerang dan siuman. Pada mulanya ia tak tahu ia berada dimana, ia perlahan-lahan membuka matanya, lalu tiba-tiba menyadari sesuatu, ia segera melompat bangkit, namun saat ia hendak menghunus pedangnya, ia baru sadar bahwa tangan dan kakinya terikat dan nyaris terjatuh lagi.
Linghu Chong berkata, "Biksuni kecil, jangan khawatir, jenderal telah membunuh orang jahat itu". Ia menghunus goloknya dan memotong tali yang mengikat tangan dan kakinya.
Ketika Yilin tiba-tiba mendengar suaranya di tengah kegelapan malam, ia samar-samar merasa bahwa ia adalah 'Kakak Linghu' yang siang malam dirindukannya. Ia terkejut berbareng girang, serunya, "Kau......kau Kakak Ling......" Sebelum ia sempat mengucapkan kata 'hu' itu, ia merasa bahwa hal itu tak benar, wajahnya merah padam karena jengah, dengan terbata-bata ia berkata, "Kau......kau siapa?"
Ketika Linghu Chong mendengar bahwa ia telah mengenali dirinya, namun menarik ucapannya kembali, ia berbisik, "Jenderal ada disini, bandit kecil tak akan berani menganiaya kalian". Yilin berkata, "Ah, ternyata Jenderal Wu. Dimana......dimana paman guruku?" Linghu Chong berkata, "Dia sedang bertarung dengan musuh di luar, ayo kita lihat". Yilin berkata, "Kakak Zheng, Adik Qin......" Dari dalam saku dadanya ia mengambil pemantik dan menyalakan api, ia melihat dua orang sedang tergeletak di lantai, katanya, "Oh, mereka berdua ada disini". Ia cepat-cepat memutuskan tali yang mengikat tangan dan kaki mereka, lalu mengambil air dingin dan mencipratkannya ke wajah keduanya agar mereka siuman. Linghu Chong berkata, "Hal yang paling penting adalah cepat-cepat membantu Biksuni Dingjing". Yilin, Zheng E dan Qin Juan serentak berkata, "Benar".
Linghu Chong berbalik dan melangkah keluar, Yilin, Zheng E dan Qin Juan bertiga mengikuti di belakangnya. Mereka baru saja berjalan beberapa langkah ketika mereka melihat sosok tujuh orang melompat keluar bagaikan terbang, menyusul terdengar bunyi dentang denting senjata rahasia yang dipukul jatuh, dan juga mendengar seseorang memuji kehebatan ilmu pedang Biksuni Dingjing. Biksuni Dingjing mengenali musuhnya sebagai seorang tokoh Perguruan Songshan, tak lama kemudian, Biksuni Dingjing terlihat memasuki Penginapan Xianju bersama dengan belasan orang lelaki. Linghu Chong melambaikan tangannya ke arah Yilin, menyelinap masuk ke dalam penginapan, lalu berdiri di balik jendela untuk mencuri dengar percakapan mereka.
Ia mendengar Biksuni Dingjing berbicara dengan Zhong Zhen di dalam ruangan itu, si marga Zhong itu berulang kali meminta Biksuni Dingjing untuk terlebih dahulu menyetujui peleburan perguruan atas nama Perguruan Hengshan, setelah itu ia baru dapat membantunya menyelamatkan murid-muridnya. Ketika Linghu Chong mendengarnya mengambil kesempatan dalam kesempitan dan bermaksud tak baik, diam-diam ia merasa geram. Biksuni Dingjing juga kedengaran makin gusar, lalu keluar sendirian.
Linghu Chong menunggu sampai Biksuni Dingjing sudah pergi jauh, lalu mengetuk pintu Penginapan Xianju sambil berteriak keras-keras, "Nenekmu, jenderal ingin minum arak dan tidur. Nenekmu, pelayan sialan, kenapa kau tak cepat-cepat buka pintu?"
* * *
Ketika Biksuni Dingjing benar-benar kehabisan akal, ia mendengar jenderal gadungan itu berteriak, hatinya amat girang dan ia cepat-cepat menghampirinya. Zheng E, Yilin dan Qin Juan menyambutnya. Air mata berlinangan di pelupuk mata Qin Juan, serunya, "Guru!" Biksuni Dingjing juga kegirangan, ia langsung bertanya, "Barusan ini kalian ada dimana?" Zheng E berkata, "Kami ditangkap setan-setan Sekte Iblis, jenderal yang menolong kami......" Saat itu Linghu Chong telah mendorong pintu penginapan hingga terbuka dan melangkah masuk. Biksuni Dingjing dan yang lainnya ikut masuk bersamanya.
Di aula besar, dua buah lilin menyala terang benderang. Zhong Zhen duduk di kursi yang berada di tengah, dengan muram ia berkata, "Siapa yang berteriak-teriak disini? ".
Linghu Chong memaki-maki dengan sengit, "Nenekmu, jenderalmu ini pejabat kekaisaran, apa kau berani kurang ajar padaku? Pengurus penginapan, nyonya juragan, pelayan, hayo cepat keluar!"
Ketika orang-orang Perguruan Songshan mendengarnya memaki-maki, lalu memanggil-manggil pengurus penginapan dan nyonya juragan, mereka merasa bahwa orang itu jelas cuma berlagak galak, akan tetapi sebenarnya penakut, hatinya penuh rasa jeri, mereka merasa hal ini amat lucu. Zhong Zhen berpikir bahwa ketika ada perkara besar yang dipercayakan kepadanya, di tengah malam ini mereka malah bertemu dengan seorang pejabat anjing, sambil berbisik ia berkata, "Totok orang itu sampai ia tak berdaya, tapi jangan membunuhnya". Singa Berbulu Pirang Gao Gexin mengangguk-angguk, sambil menyeringai ia melangkah maju, lalu berkata, "Ternyata seorang tuan pejabat, mohon maaf karena aku tak mengenalimu".
Linghu Chong berkata, "Bagus kalau kau sudah tahu, dasar rakyat jelata yang tak tahu aturan..." Gao Kexin tersenyum dan berkata, "Baik, baik!" Ia mengegos ke depan, telunjuknya mengacung untuk menotok pinggang Linghu Chong. Begitu Linghu Chong melihat posisi jarinya, ia cepat-cepat mengerahkan tenaga dalam dan memusatkannya di pinggangnya. Kalau jari Gao Kexin ini mengenai 'Titik Tertawa Pinggang' Linghu Chong, lawan akan langsung tertawa terbahak-bahak lantas pingsan. Tak nyana Linghu Chong hanya tertawa geli, lalu berkata, "Kau ini memang tak tahu aturan, kau ini mau berkelahi atau mau main-main dengan jenderal?"
Gao Kexin tercengang, ia sekali lagi mengacungkan jarinya, kali ini ia mengerahkan seluruh tenaganya dan memusatkannya di jarinya. Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, melompat dan mengejeknya, "Nenekmu, kenapa kau meraba-raba pinggang jenderal, kau mau mencuri uang atau memamerkan kepandaianmu di depan jenderal? Penampilanmu sebenarnya gagah, tapi kenapa kau seperti ini?"
Tangan kiri Gao Gexin berbalik dan mencengkeram pergelangan kanan Linghu Chong, lalu dengan cepat ia bergeser ke kanan, hendak menarik Linghu Chong hingga jatuh ke tanah. Tak nyana begitu telapaknya menyentuh pergelangannya, tenaga dalamnya langsung mengalir keluar dengan deras dari telapaknya dan tak bisa dihentikan, mau tak mau ia menjadi amat jeri, ia ingin berteriak, namun walaupun mulutnya sudah terbuka lebar-lebar, sama sekali tiada suara sedikitpun yang dapat keluar.
Linghu Chong merasakan tenaga dalam lawan masuk ke dalam tubuhnya sendiri, mirip seperti saat ia memegang pergelangan tangan Heibaizi, ia terkejut, "Aku tak bisa memakai ilmu sesat ini". Ia segera mengegos kuat-kuat sehingga telapaknya terlepas.
Gao Gexin seakan mendapatkan pengampunan dari sang kaisar, ia tertegun sejenak, lalu melompat ke belakang, ia merasa tubuhnya lemas lunglai, seperti baru saja sembuh dari sakit parah, ia berseru, "Ilmu.......Ilmu Penghisap Bintang". Suaranya parau dan penuh rasa jeri. Zhong Zhen, Teng Bagong dan murid-murid Songshan lain bersama-sama melompat masuk, lalu dengan serentak bertanya, "Ada apa?" Gao Gexin kembali berkata, "Orang ini......orang ini......bisa Ilmu Penghisap Bintang".
Dalam sekejap sinar hijau berkilauan, "Sret!, sret!", pedang mereka masing-masing keluar dari sarungnya, namun yang dipegang Cambuk Sakti Teng Bagong adalah sebuah cambuk lemas. Ilmu pedang Zhong Zhen amat sebat, sinar pedangnya berkilauan dan dengan cepat ia menikam tenggorokan Linghu Chong.
Ketika mendengar Gao Kexin berteriak keras-keras, Linghu Chong tahu bahwa orang-orang Songshan lain akan mengeroyoknya, begitu melihat mereka menghunus pedang, ia langsung mengambil golok yang berada di pinggangnya. Ia menggunakan golok yang masih berada dalam sarungnya itu sebagai pedang, pergelangan tangannya bergetar, menotok punggung tangan setiap orang. Terdengar suara berdentang denting tanpa henti, pedang mereka telah terjatuh ke lantai. Walaupun ilmu silat Gao Gexin tinggi, walaupun punggung tangannya belum terkena totokan sarung golok dan pedangnya belum jatuh ke tanah, namun ia amat ketakutan dan melompat ke belakang. Teng Bagong runyam keadaannya, cambuknya telah terlepas dari tangannya, namun cambuk itu malah melilit lehernya sendiri sehingga ia tak dapat menarik napas.
Zhong Zhen bersandar di dinding, mukanya pucat pasi, ia berkata, "Di dunia persilatan ada desas-desus bahwa ketua Sekte Iblis yang lama telah kembali beraksi, kau......kau......apakah kau Ketua Ren.......Ren Woxing?" Linghu Chong tersenyum dan berkata, "Nenekmu, Ren Woxing siapa? Jenderalmu ini tidak berganti marga, tak mengubah nama. Margaku Wu, namaku Tiande, tapi kalian ini maling ayam dari mana?"
Zhong Zheng merangkap tangannya dan berkata, "Yang mulia sudah kembali ke dunia persilatan, si Zhong ini tahu bukan tandinganmu, aku mohon diri dahulu". Ia melompat keluar dari jendela. Teng Bagong dan Gao Gexin ikut melompat keluar, dan orang-orang lainnya juga satu demi satu keluar lewat jendela, tak ada yang berani memunggut pedang yang berserakan di lantai.
Tangan kiri Linghu Chong memegang sarung golok, sedangkan tangan kanannya mengenggam gagang golok, ia menarik-nariknya keluar, namun golok itu tak pernah meninggalkan sarungnya, katanya, "Golok pusaka ini malah karatan begini, kapan-kapan aku akan mencari batu pengasah untuk membersihkan karatnya".
* * *
Biksuni Dingjing menangkupkan tangannya untuk menghormat dan berkata, "Jenderal Wu, bagaimana kalau kita pergi menyelamatkan beberapa murid kami?"
Linghu Chong menduga bahwa setelah Zhong Zhen dan kawan-kawannya pergi, sudah tidak ada orang lain yang dapat mengungguli ilmu pedang Biksuni Dingjing, maka ia berkata, "Jenderal ingin minum-minum disini dulu, biksuni yang mulia apakah mau minum beberapa cawan juga?"
Ketika Yilin mendengarnya menyebut-sebut arak, ia berpikir, "Kalau jenderal ini bertemu dengan Kakak Linghu, mereka berdua akan jadi teman minum". Ketika ia mencuri pandang ke arahnya, ternyata jenderal itu juga sedang memandanginya, wajahnya menjadi bersemu merah dan ia cepat-cepat menundukkan kepalanya.
Biksuni Dingjing berkata, "Mohon maaf, biksuni tua ini tidak minum arak, jenderal, aku mohon diri dahulu!" Ia menangkupkan tangannya untuk menghormat, lalu berbalik dan melangkah keluar.
Zheng E bertiga mengikutinya keluar, ketika melangkah melewati ambang pintu, Yilin tak dapat menahan diri untuk berpaling dan memandanginya, ia melihatnya bangkit dan mencari arak sambil berseru keras-keras, "Nenekmu, semua orang di penginapan ini sudah mampus semua, sampai sekarang tak ada seorangpun yang keluar". Ia berpikir dalam hati, "Suaranya agak mirip dengan Kakak Linghu. Tapi omongan jenderal ini sangat kasar, setiap kali berbicara selalu menyebut-sebut itunya, Kakak Linghu tak mungkin seperti itu. Ilmu silatnya dibandingkan Kakak Linghu juga jauh lebih tinggi. Kenapa aku......aku bisa melantur seperti ini, ai, benar-benar......"
Setelah menemukan arak, Linghu Chong minum setengah guci arak, lalu berpikir, "Para biksuni, nyonya-nyonya dan nona-nona itu kalau sudah pulang, pasti akan terus-terusan ceriwis dan bawel, kalau aku tak hati-hati, aku bisa ketahuan, lebih baik aku diam-diam menyelinap pergi. Untuk menolong dan menyadarkan mereka satu demi satu, tentunya akan makan waktu paling tidak setengah shichen, perutku bakal keroncongan, aku harus cari makan dulu".
Setelah menghabiskan seguci arak, ia pergi ke dapur hendak mencari makanan, namun tiba-tiba ia mendengar teriakan melengking Qin Juan di kejauhan, "Guru, kau ada dimana?" Suaranya penuh rasa cemas dan takut.
Linghu Chong cepat-cepat menerjang keluar penginapan dan mencari asal suara itu, ia melihat Zheng E, Qin Juan dan Yilin bertiga berdiri di jalan raya sambil berseru-seru, "Guru, paman guru!" Linghu Chong bertanya, "Ada apa?" Zheng E berkata, "Aku, Adik Yilin dan Adik Qin mencari kakak-kakak yang ditawan, tapi ternyata keadaan begitu kacau, sehingga......entah kemana guru pergi".
Linghu Chong melihat bahwa Zheng E usianya tak lebih dari dua puluh satu atau dua tahun, usia Qin Juan lebih muda lagi, hanya lima atau enam belas tahun, pikirnya, "Gadis-gadis muda ini sama sekali belum berpengalaman, untuk apa Perguruan Hengshan mengirim mereka?" Sambil tersenyum ia berkata, "Aku tahu mereka ada dimana, kalian ikut aku". Dengan cepat ia berjalan ke arah rumah besar di timur laut itu, sesampainya di depan pintu, ia menendang pintu hingga terbuka. Karena khawatir wanita itu masih berada di dalam dan akan membius mereka, ia berkata, "Kalian tutupi hidung dan mulut dengan sapu tangan, di dalam ada nyonya bau tukang racun". Tangan kirinya memencet hidungnya sendiri, dan ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, lalu menerjang masuk ke dalam rumah, namun ketika sampai di aula besar, mau tak mau ia tertegun.
Sebelumnya aula itu penuh murid-murid Perguruan Hengshan yang terbaring di dalamnya, namun saat ini sama sekali tak ada bekasnya. "Ah!", ujarnya, ia melihat bahwa di atas meja ada beberapa lilin yang masih menyala, namun aula itu kosong melompong, mana ada satu orangpun? Ia mencari-cari ke seluruh penjuru rumah besar itu, namun tak menemukan satu petunjukpun, serunya, "Ada yang tak beres disini!"
Yilin, Zheng E dan Qin Juan bertiga memandanginya dengan putus asa, wajah mereka penuh rasa bimbang. Linghu Chong berkata, "Nenekmu, kakak-kakak seperguruan kalian semuanya telah dibius oleh nyonya tukang racun itu, diikat dan ditinggal disini, semuanya jadi bacang Fujian, masa dalam sekejap mata mereka bisa menghilang begitu saja?" Zheng E bertanya, "Jenderal Wu, apakah anda menyaksikan kakak-kakak kami yang dibius tergeletak disini?" Linghu Chong berkata, "Kemarin malam aku bermimpi melihat dengan mata dan kepalaku sendiri banyak biksuni dan nyonya-nyonya tergeletak di aula ini, mana mungkin salah?" Zheng E berkata, "Kau......kau....." Tadinya ia hendak berkata, kau cuma bermimpi saja, mana bisa benar? Tapi ia tahu bahwa ia suka bicara tak keruan, ia berkata bermimpi, tapi sebenarnya ia telah melihatnya dengan mata kepala sendiri, maka ia segera membetulkan perkataannya, "Menurutmu mereka pergi ke mana?"
Linghu Chong mengumam pada dirinya sendiri, "Mungkin ke tempat yang banyak ikan besar atau daging babinya, mereka berpesta dan minum-minum, atau mungkin ke tempat pertunjukan menonton sandiwara". Ia melambai-lambaikan tangan seraya berkata, "Kalian tiga gadis kecil lebih baik dekat-dekat mengikutiku, tak boleh meninggalkanku, kalau ingin makan daging atau menonton sandiwara, tak usah buru-buru".
Walaupun usia Qin Juan masih muda, namun ia sadar bahwa keadaan sangat berbahaya, kakak-kakak seperguruannya telah jatuh ke tangan musuh, ocehan jenderal ini tentunya tak benar, namun dari puluhan murid Perguruan Hengshan, hanya tersisa mereka bertiga murid-murid yang masih muda belia, selain mematuhi perintah jenderal ini, sama sekali tak ada jalan lain, maka ia segera mengikuti sang jenderal keluar bersama Yilin dan Zheng E.
Linghu Chong berkata pada dirinya sendiri, "Jangan-jangan mimpiku kemarin malam itu salah, karena mataku kabur jadi salah melihat orang? Malam ini aku harus mimpi yang benar". Namun diam-diam ia berpikir, "Kalaupun para murid itu diculik orang, kenapa Biksuni Dingjing juga lenyap tanpa bekas? Jangan-jangan ia juga terperangkap, terkena tipu muslihat musuh, aku harus cepat-cepat mencari mereka. Tapi kurang pantas kalau perempuan muda seperti Yilin bertiga ini ditinggal di Nianbapu, maka aku terpaksa mengajak mereka pergi bersama-sama". Ia berkata, "Kita tak punya kerjaan, maka lebih baik kita mencari paman guru kalian, mencari tahu dimana dia bermain-main, bagaimana menurut pendapat kalian?" Zheng E berkata, "Bagus sekali! ilmu silat jenderal tinggi dan pengalamannya luas, kalau kau tak memimpin kami mencari mereka, jangan-jangan kami tak akan dapat menemukan mereka". Linghu Chong tertawa dan berkata, " 'Ilmu silatnya tinggi dan pengalamannya luas', perkataanmu ini memang benar. Kelak kalau jenderal sudah memegang komando, naik pangkat dan jadi kaya raya, aku pasti akan mengirim seratus tahil perak yang berkilauan untuk kalian tiga gadis kecil guna membeli pakaian baru untuk dipakai".
Selagi ia berbicara sembarangan, mereka tiba di pinggir kota Nianbapu. Ia melompat ke atas atap dan memandang ke segala penjuru. Saat itu matahari baru mulai terbit, kabut putih memenuhi angkasa, pucuk-pucuk pepohonan juga diselimuti kabut, sejauh mata memandang, tak nampak seorangpun di kedua sisi jalan raya. Tiba-tiba di sebelah selatan jalan raya terlihat sebuah benda hijau, namun karena jaraknya masih jauh, benda itu tak terlihat dengan jelas. Akan tetapi di tengah jalan raya yang kosong melompong, benda itu amat menarik perhatian. Ia melompat turun dari bubungan, berlari ke jalan raya dan memungut benda itu. Ternyata benda itu adalah sebuah sepatu perempuan berwarna hijau yang sepertinya sama dengan yang dipakai oleh Yilin.
Ia menunggu sejenak, Yilin dan yang lainnya segera menghampirinya. Ia memberikan sepatu wanita itu pada Yilin sembari bertanya, "Apa ini sepatumu? Kok bisa terjatuh disini?" Yilin menyambut sepatu itu, ia sadar bahwa sepatu itu sama dengan yang dipakainya, namun ia masih tak dapat menahan diri untuk melihat ke arah kakinya dan memastikan bahwa sepasang kakinya masih bersepatu. Zheng E berkata, "Ini......ini adalah sepatu yang dipakai saudari-saudari kami, kenapa bisa jatuh disini?" Qin Juan berkata, "Pasti ada seorang kakak yang diculik musuh, lalu meronta-ronta sehingga sepatunya terjatuh di sini". Zheng E berkata, "Mungkin juga ia sengaja meninggalkan sepatu ini di sini, supaya kita tahu". Linghu Chong berkata, "Benar, ternyata ilmu silatmu juga tinggi dan pengalamanmu luas. Kita harus mengejar ke selatan atau ke utara?" Zheng E berkata, "Tentu saja ke selatan".
Linghu Chong berlari dengan cepat ke selatan, dalam sekejap ia telah berlari puluhan zhangjauhnya. Pada awalnya Zheng E bertiga masih tak terpisah jauh darinya, namun mereka lalu jauh tertinggal di belakang. Di sepanjang jalan, Linghu Chong memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan seksama, dan sering berpaling untuk mengawasi mereka bertiga, ia khawatir kalau mereka terpisah terlalu jauh, ia tak akan dapat menolong mereka kalau mereka diculik musuh, maka setelah berlari sekitar satu li jauhnya, ia lantas berhenti dan menunggu mereka.
Ia menunggu sampai Yilin bertiga menyusulnya, lalu baru berlari lagi, dengan demikian mereka telah berlari sejauh sepuluh li lebih. Jalan di depan mereka nampak terjal, pepohonan di kedua sisi jalan amat lebat, kalau musuh menyergap mereka di tikungan jalan dan menculik Yilin bertiga, ia tak akan dapat menyelamatkan mereka. Ia juga melihat bahwa setelah berlari begitu lama, kedua pipi Qin Juan merah padam, ia sadar bahwa ia masih muda dan tak kuat berlari jauh, maka ia memperlambat larinya dan berseru, "Neneknya, jenderalmu ini memakai sepatu bot kulit, jadi bisa lari kencang, tapi jangan-jangan sepatu bot ini akan tergesek habis, tentunya sayang sekali, kita jalan perlahan-lahan saja".
Keempat orang itu berjalan tujuh atau delapan li lagi di jalan itu, mendadak Qin Juan menjerit, "Ah!". Ia berlari ke tengah semak-semak dan memungut sebuah topi hijau, benar saja, topi itu adalah topi yang dipakai oleh para biksuni Perguruan Hengshan. Zheng E berkata, "Jenderal, kakak-kakak kami itu benar-benar telah ditangkap musuh, mereka lewat jalan ini". Setelah ketiga murid itu tahu bahwa mereka berada di jalan yang benar, mereka berjalan lebih cepat, Linghu Chong malah tertinggal di belakang.
Selepas tengah hari, mereka berempat beristirahat di sebuah kedai nasi kecil. Ketika pemilik kedai melihat seorang jenderal berpergian bersama dengan seorang biksuni kecil dan dua orang nona muda, ia merasa amat heran hingga tak henti-hentinya memandangi mereka. Linghu Chong mengebrak meja sambil memaki, "Nenekmu, Kau lihat apa? Apa kau belum pernah lihat biksu dan biksuni?" Lelaki itu berkata, "Iya, iya. Hamba tak berani".
Zheng E bertanya, "Paman, apa paman melihat beberapa orang beragama lewat sini?" Lelaki itu berkata, "Beberapa orang sih tidak, tapi ada kalau seorang memang ada. Ada seorang biksuni tua, kalau dibandingkan dengan biksuni kecil ini umurnya jauh lebih tua......" Linghu Chong membentak, "Ngawur! Seorang biksuni tua tentu saja jauh lebih tua dari biksuni kecil ini". Lelaki itu berkata, "Iya, iya". Zheng E cepat-cepat bertanya, "Biksuni tua itu bagaimana?" Lelaki itu berkata, "Biksuni tua itu menanyaiku dengan buru-buru, apakah aku melihat beberapa orang beragama melewati jalan ini. Aku bilang tidak ada, lalu dia lari keluar. Ai, sudah begitu tua, tapi larinya begitu cepat, ia juga menenteng sebilah pedang yang mengkilat, seperti di sandiwara saja".
Qin Juan bertepuk tangan, "Itu guru, ayo cepat menyusulnya". Linghu Chong berkata, "Tak usah buru-buru, kita makan kenyang dulu, lainnya urusan belakangan". Keempat orang itu makan dengan tergesa-gesa, sebelum mereka berangkat, Qin Juan membeli empat buah mantou[3], katanya untuk diberikan kepada sang guru. Hati Linghu Chong terasa pedih, "Ia begitu berbakti pada gurunya, namun walaupun aku ingin berbakti pada guru, aku tak bisa melakukannya".
Walaupun mereka berjalan dengan cepat sampai hari gelap, mereka masih tak dapat menemukan jejak Biksuni Dingjing dan para murid Perguruan Hengshan. Sejauh mata memandang, hanya terlihat alang-alang tinggi dan hutan yang lebat. Jalan makin lama makin sempit, setelah berjalan beberapa lama, rerumputan tingginya sepinggang sehingga mereka tak dapat melihat jalan di depan.
Sekonyong-konyong, dari arah barat laut sayup-sayup terdengar suara senjata beradu.
* * *
Linghu Chong berseru, "Disana ada orang berkelahi, ayo kita menonton keramaian". Qin Juan berkata, "Aiyo, apa itu guruku?" Linghu Chong berlari ke arah suara itu berasal, setelah berlari belasan zhang, mendadak terlihat cahaya terang benderang, belasan obor tinggi bersinar, suara senjata beradu bertambah nyaring.
Ia mempercepat langkah kakinya, setelah mendekat, ia melihat puluhan orang yang membawa obor mengepung seseorang, lengan baju orang yang dikepung itu berkibar-kibar bagai sedang menari, pedangnya menderu, menempur tujuh orang musuh, dia adalah Biksuni Dingjing. Di luar kepungan tergeletak puluhan orang, begitu melihat penampilan mereka, ia tahu bahwa mereka adalah murid-murid Perguruan Hengshan. Linghu Chong melihat bahwa musuh semuanya berkedok, ia segera melangkah mendekat. Semua orang sedang memusatkan perhatian pada pertempuran itu, dan untuk sesaat tak ada yang mengetahui keberadaannya. Linghu Chong tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Tujuh lawan satu, apa-apaan ini?"
Ketika orang-orang berkedok itu melihatnya tiba-tiba muncul, mereka semua terkejut dan berpaling untuk memperhatikannya dengan seksama. Hanya ketujuh orang yang sedang sibuk bertarung yang seakan tak memperdulikannya, mereka masih tetap mengepung Biksuni Dingjing dengan berbagai senjata mereka. Linghu Chong melihat bahwa di jubah Biksuni Dingjing sudah banyak bercak-bercak darah, bahkan tak sedikit darah terciprat di wajahnya, ia memainkan pedang dengan tangan kirinya, jelas bahwa tangan kanannya telah terluka.
Pada saat itu di tengah kerumunan orang seseorang berseru, "Siapa itu?" Dua orang lelaki mengangkat golok pendek mereka dan melompat ke hadapan Linghu Chong.
Linghu Chong berkata, "Jendralmu ini pernah bertempur dari timur sampai ke barat,
kudaku mencongklang tanpa henti, tiap hari membasmi kalian bandit-bandit kecil. Ayo perkenalkan diri kalian, golok jenderal tak pernah menyabet orang tak bernama". Seorang lelaki tertawa, "Ternyata orang sinting". Ia mengayunkan goloknya untuk menyabet ke arah kaki Linghu Chong. Linghu Chong berseru, "Aiyo, main-main pakai pisau kecil, ya?" Tubuhnya berkelebat, menerjang masuk ke dalam kepungan. Ia mengangkat sarung goloknya, terdengar suara 'duk, duk, duk' tujuh kali, dan iapun telah berhasil mengenai sasaran, yaitu tujuh pergelangan tangan musuh, dengan berisik ketujuh senjata mereka terjatuh ke tanah. Lalu, "Sret!", pedang Biksuni Dingjing menusuk tenggorokan seorang lawan. Orang itu sedang terpana karena senjatanya mendadak terjatuh dan tak dapat menghindari tikaman Biksuni Dingjing yang secepat kilat.
Tubuh Biksuni Dingjing bergoyang-goyang beberapa kali, sepertinya ia tak bisa berdiri teguh, lalu ia jatuh terduduk di tanah.
Qin Juan menjerit, "Guru, guru!" Ia segera berlari menghampiri, hendak memapahnya.
Seseorang berkedok mengangkat golok pendeknya, lalu melintangkannya di leher seorang murid Perguruan Hengshan seraya membentak, "Mundur tiga langkah, kalau tidak murid ini akan kubacok sampai mati! ".
Linghu Chong tertawa dan berkata, "Baiklah, baiklah, kalau disuruh mundur, ya mundur, apa anehnya? Jangankan mundur tiga langkah, tiga puluh langkahpun juga tak apa". Sekonyong-konyong goloknya menyorong ke depan, ujung sarung golok itu bersarang di dada orang itu. "Aiyo!", teriak orang itu, tubuhnya melayang ke belakang. Linghu Chong tak menduga bahwa tenaga dalamnya begitu kuat, ia terpana sejenak, lalu dengan enteng mengayunkan sarung goloknya, "Duk, duk, duk!", ia berhasil merobohkan tiga orang berkedok lagi. Ia membentak, "Kalau kalian tidak mundur, aku akan menangkap kalian satu demi satu, lalu kuserahkan ke kantor pemerintah setempat, dan nenekmu, setiap orang akan dihukum rangket tiga puluh kali".
Pemimpin orang-orang berkedok itu melihat bahwa ketinggian ilmu silatnya benar-benar sulit dibayangkan, maka ia merangkap tangan sembari berkata, "Kami telah bertemu dengan muka emas Ketua Ren, maka kami akan mundur". Ia melambaikan tangan kirinya, lalu berseru, "Ketua Sekte Iblis Ren Woxing ada di sini, kita harus berhati-hati, ayo pergi!" Mereka mengusung mayat orang itu dan empat orang yang terluka karena terpukul, menghempaskan obor mereka ke tanah, lalu mundur ke arah barat daya, dalam sekejap mereka telah hilang di balik alang-alang tinggi.
Qin Juan mengambil obat mujarab pemyembuh luka milik perguruannya sendiri, lalu memberikannya kepada gurunya. Yilin dan Zheng E membuka ikatan murid-murid lain. Empat orang murid memungut obor yang tergeletak di atas tanah, lalu mengerumuni Biksuni Dingjing. Ketika melihat bahwa lukanya parah, wajah mereka nampak khawatir,
mereka semua tak dapat berkata-kata.
Dada Biksuni Dingjing terus menerus naik turun, ia perlahan-lahan membuka matanya, lalu berkata kepada Linghu Chong, "Kau......kau.....memang adalah bekas ketua......ketua Sekte Iblis Ren......Ren Woxing?" Linghu Chong memggeleng sembari berkata, "Bukan". Pandangan mata Biksuni Dingjing nampak nanar tak bersinar, napas yang dihembuskannya lebih banyak dari napas yang ditariknya, jelas bahwa ia sudah sulit bertahan, napasnya beberapa kali tersengal-sengal, lalu tiba-tiba ia berkata dengan tegas, "Kalau kau adalah Ren Woxing, walaupun Perguruan Hengshan kami kalah telak, dan mus......musnah, tapi tetap......tetap tak akan......" Ketika berbicara sampai disini, napasnya telah terputus. Linghu Chong melihat bahwa hidupnya sedang berada di ujung tanduk, maka ia tak berani bicara sembarangan lagi, katanya, "Aku masih muda, masa aku Ren Woxing?" Biksuni Dingjing bertanya, "Kalau begitu, kenapa kau bisa......bisa memakai Ilmu Sesat Penghisap Bintang? Kau murid Ren Woxing......"
Linghu Chong ingat ketika di Huashan guru dan ibu guru setiap hari bercerita tentang perbuatan-perbuatan jahat Sekte Iblis, dalam dua hari belakangan ini ia telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Sekte Iblis dengan tipu muslihat keji menyergap para murid Perguruan Hengshan, maka ia berkata, "Sekte Iblis berbuat jahat, bagaimana aku bisa bergaul dengan mereka? Ren Woxing jelas tak mungkin menjadi guruku. Biksuni jangan khawatir, guruku berwatak mulia, seorang ksatria penegak keadilan, seseorang sesepuh dan pahlawan yang dihormati di dunia persilatan, biksuni sering berjumpa dengan beliau".
Seulas senyum samar-samar mengembang di wajah Biksuni Dingjing, dengan terbata-bata ia berkata, "Kalau begitu......kalau begitu aku merasa lega. Aku......aku sudah tak bisa bertahan lagi. Aku mohon.....mohon bantuanmu.....untuk mengantar murid-murid ini ke......" Ketika berbicara sampai disini napasnya tersengal-sengal, setelah beberapa lama, ia baru berbicara lagi, "Ke Biara Wuxiang di Fuzhou, bantulah mereka menetap di sana......adik ketuaku......beberapa hari lagi......akan segera datang".
Linghu Chong berkata, "Biksuni jangan khawatir, rawatlah diri baik-baik beberapa hari ini, maka biksuni akan dapat sembuh seperti sediakala". Biksuni Dingjing berkata, "Apa kau......kau berjanji?" Linghu Chong melihat bagaimana matanya memandanginya tanpa berkedip dengan penuh harap, dari wajahnya, nampak bahwa ia ingin dirinya berjanji, maka ia berkata, "Karena biksuni sudah memberi perintah, aku akan menaatinya". Biksuni Dingjing lamat-lamat tersenyum, lalu berkata, "Amituofo, tugas yang berat ini, aku......aku sebenarnya......tak mampu mengembannya. Pendekar muda.....siapa kau sebenarnya?"
Ketika Linghu Chong melihat pandangan matanya nanar, napasnya amat lemah, hidupnya sudah tak lama lagi, ia tak mampu merahasiakan jati dirinya lagi, maka ia menempelkan bibirnya di telinganya, lalu berbisik, "Paman Guru Dingjing, aku adalah murid Perguruan Huashan yang telah dipecat, Linghu Chong".
"Ah!", ujar Biksuni Dingjing, katanya, "Kau.......kau.......banyak terima kasih pendekar muda......." Dengan gemetar ia mencengkeram tangannya, sinar matanya penuh rasa terima kasih, mendadak ia tak mampu menarik napas lagi dan napasnyapun putus.
Linghu Chong berseru, "Biksuni, biksuni!". Ia mencari hembusan napasnya, namun ia telah berhenti bernapas, Linghu Chong tak kuasa menahan rasa duka. Murid-murid Perguruan Hengshan menangis tersedu-sedu, padang belantara itupun dipenuhi isak tangis. Beberapa batang obor tergeletak di tanah, satu demi satu padam, lalu segala penjurupun diliputi kegelapan.
Linghu Chong merenung, "Biksuni Dingjing terhitung seorang jago zaman ini, namun ia telah terkena tipu muslihat orang jahat dan kehilangan nyawa di hutan belantara ini. Dia adalah seorang biksuni tua yang tak pernah mencari perkara dengan orang lain, tapi kenapa Sekte Iblis tak mau membebaskannya?" Mendadak hatinya terkesiap, "Sebelum pemimpin orang-orang berkedok itu pergi, ia berseru, 'Ketua Ren Sekte Iblis ada di sini, kita harus berhati-hati, ayo pergi!'. Orang Sekte Iblis menyebut agama mereka 'Agama Mentari Rembulan', mereka menganggap sebutan 'Sekte Iblis' suatu penghinaan. Karena perkataan itu mereka sering membunuh orang. Karena ia menyebut 'Sekte Iblis', dia pasti bukan pengikut Sekte Iblis. Lagipula, kalau orang ini adalah seorang tokoh pemimpin Sekte Iblis, masa ia tak mengenali Ketua Ren dan malah salah mengenaliku? Orang-orang itu sebenarnya berasal dari mana?" Didengarnya isak tangis para murid masih begitu menyedihkan, maka ia tak menganggu mereka, ia duduk bersandar pada sebuah pohon dan sesaat kemudian iapun tertidur.
Ketika bangun keesokan harinya, ia melihat beberapa murid senior berjaga di samping tubuh Biksuni Dingjing, para nona dan biksuni yang berusia muda kebanyakan terlelap, meringkuk di sisinya. Linghu Chong berpikir, "Ia ingin jenderal memimpin serombongan perempuan buru-buru pergi ke Fuzhou, benar-benar aneh bin ajaib. Untungnya aku memang hendak pergi ke Fuzhou untuk menemui guru dan ibu guru, tapi aku tak perlu memimpin mereka, cukup melindungi mereka di jalan saja". Ia segera mendehem, lalu berjalan menghampiri mereka.
Yihe, Yiqing, Yizhi dan Yizhen memimpin beberapa murid lain menangkupkan tangan untuk memberi hormat padanya seraya berkata, "Kami telah menerima pertolongan pendekar besar, hutang budi ini sukar dibalas. Sayang sekali guru telah tertimpa bencana, namun sebelum meninggal dunia ia amat mempercayai pendekar besar, sejak ini semua yang kau perintahkan akan kami taati". Mereka tak lagi memanggilnya jenderal, tentunya mereka sudah tahu bahwa ia hanya seorang perwira gadungan.
Linghu Chong berkata, "Pendekar besar apa, sungguh tak enak didengar. Kalau kalian menurut kalian aku baik, lebih baik panggil aku jenderal saja". Yihe dan yang lainnya saling memandang, mereka tak punya pilihan lain, maka mereka lantas mengangguk saja. Linghu Chong berkata, "Kemarin malam aku bermimpi, dalam mimpiku aku melihat kalian dibius oleh seorang nyonya dan tergeletak di sebuah rumah besar. Lalu bagaimana kalian bisa sampai disini?"
Yihe berkata, "Setelah dibius kami tak tahu apa-apa, setelah itu bandit-bandit itu menguyur kami dengan air dingin untuk membuat kami siuman, membuka ikatan di kaki kami, lalu membawa kami memutar lewat jalan kecil di belakang kota. Di sepanjang jalan kami sama sekali tak berhenti dan mereka terus menarik kami supaya berlari dengan cepat. Kalau lambat sedikit, bandit-bandit itu langsung mencambuk kami. Setelah hari gelappun kami masih belum berhenti, kemudian guru menyusul kami, dan mereka mengepung guru, menyuruhnya menyerah......" Ketika berbicara sampai disini, ia tersedu sedan dan mulai menangis.
Linghu Chong berkata, "Ternyata ada jalan kecil lain, tak heran ketika itu kalian menghilang tanpa bekas".
Yiqing berkata, "Jenderal, kami rasa hal yang terpenting saat ini adalah memperabukan jenazah guru. Setelah ini kami mohon petunjuk jenderal". Linghu Chong berkata, "Jenderal sama sekali tak mengerti urusan biksu dan biksuni, kalau kalian ingin aku memberi kalian instruksi, kalian seperti mengikuti seorang buta. Bagi jenderal yang paling penting adalah naik pangkat dan jadi kaya raya, aku pergi dulu!" Ia melangkah ke jalan raya dan berjalan dengan cepat ke utara. Para murid menjerit-jerit, "Jenderal, jenderal!" Tapi Linghu Chong mana perduli?
Setelah ia berada di balik bukit, ia bersembunyi di atas pohon, setelah menunggu dua shichen lebih, barulah ia melihat para murid Perguruan Hengshan berjalan dengan sedih. Ia mengikuti dari jauh di belakang mereka, diam-diam melindungi mereka.
Sesampainya di kota berikutnya, Linghu Chong bermalam di sebuah penginapan, ia berpikir, "Aku telah berkelahi dengan gerombolan Sekte Iblis dan orang-orang Perguruan Songshan. Wajah berewokan canjiang Prefektur Quanzhou Wu Tiande ini tentunya sudah lumayan terkenal di dunia persilatan. Neneknya, aku terpaksa tak bisa jadi jenderal lagi!" Ia segera memanggil pelayan penginapan, lalu memberinya dua tahil perak untuk membeli semua pakaian, sepatu dan topi yang dikenakannya. Ia berkata bahwa ia perlu berganti pakaian untuk menangkap penjahat, dan mewanti-wantinya untuk tak membocorkan kejadian ini, karena kalau gembong penjahat itu berhasil melarikan diri, ia akan kembali dan membereskan si pelayan.
Keesokan harinya ia pergi ke tempat sepi, menukar pakaiannya dengan pakaian si pelayan, mencabut cambang ikal yang memenuhi pipinya, lalu mengubur pakaian sang jenderal berikut sepatu bot kulit, golok dan dokumen-dokumennya di dalam tanah. Ia berpikir bahwa sejak saat ini ia tak bisa menjadi 'jenderal' lagi dan ternyata ia merasa agak kecewa dan kehilangan.
Dua hari kemudian, ia membeli sebilah pedang di sebuah toko senjata di Prefektur Jianning, lalu membungkusnya dalam buntalannya.
Untuk saat ini ia gembira karena di sepanjang perjalanan tak ada masalah, tak lama kemudian, setelah Linghu Chong menyaksikan murid-murid Perguruan Hengshan memasuki sebuah biara yang berada di timur Kota Fuzhou, papan nama biara itu memang bertuliskan 'Biara Wuxiang', barulah ia menghembuskan napas lega. Ia berpikir, "Akhirnya beban yang berat ini berpindah ke pundak orang lain. Aku berjanji pada Biksuni Dingjing untuk mengantar mereka ke Biara Wuxiang di Fuzhou, walaupun aku tak mengantar mereka secara langsung, namun bukankah mereka telah memasuki Biara Wuxiang dengan selamat?"
Catatan Kaki Penerjemah
[1] 'Bukit Batu Kacau'.
[2] Maksudnya akan menjadi 'sasaran empuk'.
[3] Semacam bakpau.