Pendekar Hina Kelana - Bab 2: Mendengar Rahasia
<< Bab Sebelumnya - Halaman Indeks - Bab Selanjutnya >>
Terjemahan Cersil Balada Kaum Kelana
oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Louis Cha (Jin Yong / Chin Yung)
Berdasarkan novel edisi ketiga.
Berdasarkan novel edisi ketiga.
Smiling Proud Wanderer Jilid 1
Bab 2: Mendengar Rahasia
Bagian 1
Lin Pingzhi ingin bangkit berdiri dan bertarung mati-matian dengan Fang Renzhi dan Yu Renhao berdua, namun beberapa titik di punggungnya telah kena totok, bagian bawah tubuhnya dari pinggang ke bawah sama sekali tak bisa bergerak, ia berpikir bahwa kalau urat tangannya diputuskan dan tulang selangkanya ditindik, dan sejak saat itu ia akan menjadi seorang cacat, ia lebih baik langsung mati saja. "Aah, aah!" Tiba-tiba terdengar dua jeritan panjang yang memilukan dari dapur belakang, suara itu adalah suara Jia Renda.
Fang Renzhi dan Yu Renhao serentak bangkit sambil menghunus pedang, lalu lari ke belakang. Di mulut pintu nampak berkelebat bayangan seseorang, seseorang yang tanpa suara telah melompat masuk, lalu menjambak kerah Lin Pingzhi dan membawanya pergi. "Ah", desah Lin Pingzhi ketika melihat wajah orang itu yang bopeng-bopeng penuh bekas cacar, ternyata dia adalah gadis jelek penjual arak yang menyebabkan segala kemalangan ini.
Gadis jelek itu menyeretnya keluar pintu, ketika mereka sampai di bawah pohon besar dimana kuda-kuda diikat, tangan kirinya menjambak punggungnya, lalu dengan kedua tangannya ia menaikkannya ke punggung seekor kuda. Lin Pingzhi tercengang, ia melihat bahwa tangan gadis jelek itu memegang sebilah pedang, sinar putih pun berkilat, ternyata gadis jelek itu telah menebas putus tali pengikat kuda, lalu menepuk-nepuk perlahan pantat kuda dengan pedangnya. Kuda itu merasa kesakitan, ia meringkik pilu, menderapkan keempat kakinya, dan lari seperti kesetanan ke dalam hutan.
Lin Pingzhi berteriak keras-keras, "Ma, ayah!" Dalam hati ia mengkhawatirkan ayah ibunya, ia tak mau melarikan diri sendirian. Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya, ia menekan punggung kuda dengan kedua tangannya, dan turun dari kuda sampai terguling-guling di tanah beberapa kali. Ia terjatuh ke balik rerumputan panjang. Kuda itu sama sekali tak berhenti, ia berlari secepat kilat sampai jauh. Lin Pingzhi menarik batang kayu yang ada diatas semak-semak, ingin berdiri, namun sepasang kakinya sama sekali tak bertenaga. Ia hanya mampu bangkit satu chi saja, lalu langsung terjatuh, pinggang dan pantatnya terasa amat sakit. Rupanya disebabkan karena saat ia jatuh dari punggung kuda, ia menabrak akar pohon dan batu-batuan di hutan itu.
Terdengan beberapa suara teriakan dan langkah kaki, ada seseorang yang datang mengejar, Lin Pingzhi cepat-cepat bersembunyi di balik rerumputan panjang. Ia mendengar suara senjata beradu, rupanya ada beberapa orang yang sedang bertarung sengit. Lin Pingzhi diam-diam menjulurkan kepalanya, mengintip dari tempat kosong di balik rerumputan panjang. Ia melihat dua pihak sedang bertarung, salah satu pihak adalah Yu Renhao dan Fang Renzhi dari Perguruan Qingcheng, sedangkan pihak lainnya adalah gadis jelek itu, dan juga seorang lelaki, namun lelaki itu menutupi wajahnya dengan kain hitam, rambutnya kelabu, tentunya seorang tua. Lin Pingzhi terperangah ketika sadar bahwa dia adalah kakek gadis jelek itu, si tua Sa, ia berpikir, "Dahulu aku kira mereka orang Perguruan Qingcheng, tak nyana nona ini malah datang menolong aku. Ai, kalau dari dulu aku tahu ilmu silatnya seperti ini, aku tentunya tidak perlu turun tangan, berkelahi membela keadilan segala, mengundang bencana seperti ini". Ia kembali berpikir, "Pertarungan mereka begitu sengit, aku harus pergi menolong ayah dan ibu". Namun totokan di pungungnya masih belum terbuka, hingga ia sama sekali tak bisa bergerak.
Fang Renzhi berkali-kali meneriakkan sebuah pertanyaan, "Kau......kau sebenarnya siapa? Kenapa kau bisa menggunakan ilmu pedang Perguruan Qingcheng kami?" Orang tua itu tak menjawab, tiba-tiba seberkas sinar putih berkilauan, pedang yang ada di tangan Fang Renzhi terlepas dan terbang melayang. Fang Renzhi cepat-cepat melompat ke belakang, Yu Renhao bergegas maju untuk menangkis serangan. Orang tua bertopeng itu dengan cepat melancarkan beberapa jurus. Yu Renhao berteriak, "Kau......kau......" Suaranya terdengar panik, tiba-tiba, "Trang!" Pedangnya terpelintir jatuh dari tangannya. Gadis jelek itu bergegas maju selangkah, lalu dengan cepat menikam dengan pedangnya. Orang tua bertopeng itu menebaskan pedangnya untuk menangkis tikaman itu, ia berkata, "Jangan bunuh mereka!" Gadis jelek itu berkata, "Mereka sangat kejam, sudah membunuh banyak orang". Orang tua itu berkata, "Ayo kita pergi". Gadis jelek itu agak bimbang. Orang tua itu berkata, "Jangan lupa perintah guru". Gadis jelek itu berkata, "Baiklah, kali ini kulepas mereka". Ia berbalik dan pergi masuk ke dalam hutan. Orang tua bertopeng itu mengikuti dibelakangnya, dalam sekejap mereka telah berlari jauh.
Perasaan takut dalam diri Yu dan Fang berdua agak berkurang, masing-masing memungut pedang mereka. Yu Renhao berkata, "Aneh sekali! Bagaimana orang itu bisa menggunakan ilmu pedang kita?" Fang Renzhi berkata, "Mereka cuma bisa beberapa jurus, tapi......tapi jurus 'Angsa Terbang Di Langit' itu cara memakainya benar-benar......ai!" Yu Renhao berkata, "Mereka datang menyelamatkan bocah marga Lin itu......" Fang Renzhi berkata, "Aiyo, jangan-jangan ini bagian dari tipuan memancing harimau turun gunung. Suami istri Lin Zhennan!" Yu Renhao berkata, "Ya!" Kedua orang itu berbalik dan berlari pulang.
Setelah beberapa saat, terdengar derap kaki kuda perlahan-lahan menghampiri, kedua penunggang kuda masuk ke dalam hutan, Fang Renzhi dan Yu Renhao masing-masing menuntun seekor kuda. Diatas punggung kuda nampak Lin Zhennan dan Nyonya Lin yang diikat erat-erat. Lin Pingzhi membuka mulut hendak berteriak, "Ma! Ayah!" Untung saja ia segera menarik kembali perkataannya itu. Dalam hati ia sadar bahwa kalau pada saat ini ia mengeluarkan suara sedikit pun, tak hanya sia-sia menghantar nyawa, kesempatan untuk menolong ayah ibunya pun juga akan hilang.
Beberapa zhang di belakang kedua kuda itu, sesorang berjalan terpincang-pincang, dia adalah Jia Renda. Kepalanya dibalut kain putih yang berlumuran darah segar, mulutnya tak henti-hentinya memaki, "Anak kura-kuramu sudah menyelamatkan si kepala kelinci, tapi bukankah dua kepala kelinci tua ini belum diselamatkan? Bapakmu ini setiap hari akan mengiris selembar daging kedua kepala kelinci tua, sesampainya kita ke Gunung Qingcheng, lihat saja kalian masih punya berapa lembar nyawa......"
Fang Renzhi berkata dengan suara keras, "Adik Jia, mengenai suami istri marga Lin itu, guru sudah menegaskan bahwa kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Kalau sampai terjadi sesuatu pada mereka, lihat saja berapa lapis kulitmu yang akan dikupas oleh beliau". Jia Renda mendengus, ia tak berani bersuara lagi.
* * *
Ketika Lin Pingzhi mendengar ketiga orang Perguruan Qingcheng itu membawa pergi ayah ibunya, di dalam hati ia malah merasa agak lega, "Mereka membawa ayah dan ibu ke Gunung Qingcheng, tentunya mereka tak akan membuat susah ayah dan ibu di jalan. Dari Fuzhou ke Gunung Qingcheng di Sichuan, jaraknya sangat jauh, bagaimanapun juga aku harus memikirkan cara untuk menyelamatkan ayah dan ibu". Ia berpikir lagi, "Begitu sampai di kantor cabang, aku harus cepat-cepat mengirim orang ke Luoyang untuk memberi kabar kakek luar".
Ia berbaring di tengah rerumputan tanpa bersuara mau pun bergerak, nyamuk dan lalat datang mengigit, namun ia tak perduli. Setelah lewat beberapa shichen, hari sudah gelap, titik-titik jalan darah yang tertotok di punggungnya akhirnya terurai, ia berusaha untuk berdiri, lalu perlahan-lahan kembali ke depan kedai nasi.
Ia berpikir, "Aku harus menganti penampilan dan bajuku, supaya kalau kedua orang jahat itu melihatku, mereka tak bisa mengenaliku, kalau tidak aku akan langsung dibunuh, lalu bagaimana bisa menolong ayah ibu?" Ia masuk ke kamar pemilik kedai nasi, lalu menyalakan lampu minyak, ingin mencari satu setel pakaian. Akan tetapi orang miskin di pegunungan itu benar-benar sangat melarat, satu setel baju ganti pun mereka tak punya. Ia melihat bahwa mayat suami istri pemilik kedai nasi itu masih tergeletak di lantai, pikirnya, "Apa boleh buat, aku harus bertukar pakaian dengan orang mati". Ia melucuti pakaian orang mati itu, lalu membawanya di tangannya, namun hidungnya mencium bau yang sangat memuakkan. Ia ingin mencucinya terlebih dahulu, baru dipakai, tapi ia mengurungkan niatnya, "Aku kalau hanya karena ingin bersih sesaat, membuang waktu sehingga kehilangan kesempatan emas untuk menyelamatkan ayah dan ibu, bukankan aku akan menyesal selamanya?" Sambil mengertakkan gigi, ia melepaskan seluruh pakaiannya, lalu memakai pakaian orang mati itu.
Ia menyalakan sebuah obor untuk menerangi tempat di sekitarnya. Ia melihat pedang milik ayahnya dan miliknya sendiri, serta golok emas ibunya, semuanya tergeletak di lantai. Ia memungut pedang sang ayah, dibungkusnya dalam sebuah kain gombal, lalu diselipkannya dalam punggung bajunya. Ketika meninggalkan kedai nasi itu, ia mendengar sayup-sayup suara kodok bernyanyi dari sebuah kali kecil di gunung itu, tiba-tiba ia merasa sengsara, hampir tak kuasa menahan tangis. Ia mengangkat tangannya dan melemparkan obor, cahayanya menorehkan seberkas lingkaran merah di tengah kegelapan malam, sebelum akhirnya jatuh ke sebuah kolam, apinya langsung padam, dan seluruh penjuru alam pun kembali gelap gulita.
Ia berpikir, "Lin Pingzhi, ah, Lin Pingzhi, kalau kau tak bisa berhati-hati dan menahan diri, lalu jatuh di tangan bandit jahat Perguruan Qingcheng itu, kau akan jadi seperti obor yang jatuh ke dalam kolam yang airnya bau itu". Ia mengangkat lengan bajunya untuk menyeka matanya, namun ketika lengan baju itu menyentuh wajahnya, bau busuk langsung menyergap hidungnya hingga ia ingin muntah. Ia berkata dengan suara keras, "Bau yang cuma sedikit ini harus bisa kutahan, kalau tidak tak pantas aku disebut lelaki sejati". Ia langsung melangkah pergi.
Baru berjalan beberapa langkah, pinggangnya terasa amat sakit, ia mengertakkan gigi dan malah berjalan dengan lebih cepat. Ia berjalan tak tentu arah, karena ia tak tahu ke arah mana ayah ibunya dibawa. Ia berjalan hingga fajar menyingsing, sinar mentari bersinar ke arah wajahnya dan membuat matanya menjadi silau. Lin Pingzhi merasa vemas, "Bandit jahat itu membawa ayah dan ibu ke Gunung Qingcheng, Sichuan ada di sebelah barat Fuzhou, aku kenapa malah berjalan ke timur?" Ia segera berbalik, lalu berjalan membelakangi matahari dengan cepat. Ia berkata dalam hati, "Ayah dan ibu sudah berjalan lebih dari setengah hari, aku juga berjalan ke arah yang salah selama setengah malam, sudah terpisah jauh dengan mereka. Lebih baik aku membeli seekor kuda tunggangan, hanya saja aku tak tahu masih punya uang berapa". Ia meraba-raba sakunya, lalu mengeluh. Ketika mereka baru berangkat, emas, perak dan perhiasan semuanya ditaruh di dalam kantong kulit di sisi pelana, Lin Zhennan dan Nyonya Lin membawa uang, namun ia sendiri sama sekali tak membawa sepeser pun. Ia makin bingung, dihentakkannya kakinya ke tanah seraya berseru, "Sekarang aku harus bagaimana? Sekarang aku harus bagaimana?" Setelah beberapa saat, ia berpikir, "Kalau mau menyelamatkan ayah dan ibu, hal yang paling penting adalah tidak boleh mati kelaparan". Ia pun berjalan ke kaki gunung.
Saat tengah hari, perutnya mulai keroncongan, ia melihat di tepi jalan ada beberapa batang pohon kelengkeng yang dipenuhi buah kelengkeng hijau, walaupun belum matang, namun bisa untuk menganjal perut. Ia melangkah ke bawah pohon, menjulurkan tangan hendak memetik buah, namun ia langsung berpikir, "Buah kelengkeng ini milik orang, tapi tanpa minta izin langsung kuambil, ini namanya mencuri. Selama tiga generasi, pekerjaan keluarga Lin adalah menjaga harta benda orang, selalu melawan para bandit rimba hijau, bagaimana aku bisa melakukan perbuatan yang sama dengan para bandit itu? Kalau ada orang yang melihat, lalu memanggilku pencuri kecil di muka ayahku, ayahku akan dianggap manusia macam apa? Setelah itu, papan nama Biro Pengawalan Fu Wei tak akan bisa ditegakkan lagi". Sejak kecil ia telah diajari bahwa semua perampok besar awalnya adalah pencuri kecil, dan bahwa barang pertama yang dicuri oleh pencuri kecil seringkali barang-barang kecil seperti sebuah semangka. Dari sedikit menjadi banyak, dan akhirnya tak bisa merubah kebiasaan buruk, terbenam dalam lumpur dan tak bisa melepaskan diri lagi. Berpikir sampai disini, keringat dingin pun bercucuran di punggungnya, di benaknya timbul suatu pikiran, "Suatu hari, ayah dan aku akan memulihkan pamor Biro Pengawalan Fu Wei, seorang lelaki sejati harus bisa menahan diri, lebih baik jadi pengemis daripada mencuri".
Ia mengambil sebuah langkah besar, lalu terus berjalan dengan cepat, tak lagi melirik pohon kelengkeng di tepi jalan. Setelah berjalan beberapa li, ia tiba di sebuah desa kecil. Ia berjalan ke sebuah rumah, lalu dengan terbata-bata mengemis makanan. Seumur hidupnya, kalau teh datang ia tinggal menuangnya, kalau nasi datang ia tinggal membuka mulutnya, bagaimana ia bisa mengemis pada orang lain? Hanya mengucapkan tiga kalimat itu saja wajahnya langsung memerah.
Perempuan petani di rumah petani itu masih merasa kesal pada suaminya yang baru saja memukulinya, hatinya masih dipenuhi amarah, begitu mendengar Lin Pingzhi mengemis, ia langsung memaki dan mengambil sapu sembari berkata, "Kau maling kecil, sembunyi-sembunyi bukan seperti orang baik-baik. Ayam betina nenek hilang, pasti kau yang mencurinya untuk dimakan. Masih mau datang lagi untuk mencuri. Nenek punya nasi, tapi tak akan kudermakan pada maling seperti kau. Kau curi ayam keluargaku, sampai aku dimarahi habis-habisan, nenekmu ini kena pukul sampai biru-biru......"
Setiap kali perempuan petani itu memaki, Lin Pingzhi mundur selangkah. Makian perempuan petani itu makin sengit, ia mengangkat sapu ke arah wajah Lin Pingzhi hendak memukul. Lin Pingzhi geram, ia mengeser tubuhnya untuk menghindar, lalu mengangkat tinju dan melancarkan sebuah pukulan, namun ia tiba-tiba teringat sesuatu, "Aku tak berhasil mengemis, tapi kalau aku lalu memukuli perempuan petani tolol ini, bukankah itu sangat lucu?" Ia menarik kembali pukulannya, akan tetapi karena ia sudah mengunakan tenaga untuk memukul, sulit untuk menariknya kembali, tubuhnya terhuyung-huyung, kaki kirinya menginjak setumpuk tahi kerbau. Karena licin, ia pun terjatuh. Perempuan petani itu tertawa terbahak-bahak, ia memaki, "Maling kecil, rasakan kau jatuh!" Ia memukulkan sapu ke kepala Lin Pingzhi, meludahinya, lalu kembali ke rumahnya.
Lin Pingzhi sangat gusar menerima hinaan itu, ia berusaha untuk berdiri, punggung dan tangannya seluruhnya berlepotan tahi kerbau. Keadaannya serba susah. Perempuan petani itu keluar dari rumah membawa empat tongkol jagung rebus, dan menaruhnya di tangannya sembari tertawa, "Makanlah ini, setan kecil! Langit memberimu wajah yang begitu tampan seperti ini, lebih cantik dari pengantin baru, tapi kau tak mau kerja, cuma mau malas-malasan saja, apa gunanya?" Lin Pingzhi murka, ia melemparkan tongkol-tongkol jagung itu ke tanah. Perempuan petani itu tertawa, "Baiklah. Buang, buang saja! Kau ini tak takut mati kelaparan, buang saja tongkol-tongkol jagung itu. Biar kau si maling kecil mati kelaparan". Lin Pingzhi berpikir, "Kalau aku mau menyelamatkan ayah ibu dan balas dendam, serta membangkitkan kembali Biro Pengawalan Fu Wei, sejak saat ini aku harus mengeraskan hati, harus tahan kesulitan dan hinaan. Dihina perempuan petani kampung ini apalah artinya?" Ia berkata, "Banyak terima kasih!" Lalu ia membuka mulutnya dan mengigit tongkol jagung itu. Perempuan petani itu tertawa,"Aku tahu kau tak akan membuangnya". Ia berbalik dan berjalan pergi sembari berkata pada dirinya sendiri, "Setan kecil yang kelaparan ini begitu lihai, sepertinya bukan dia yang mencuri ayamku. Ai, kalau saja suamiku sifatnya bisa separuh seperti bocah ini saja, tentu akan sangat baik".
Di sepanjang jalan, Lin Pingzhi mengemis makanan, terkadang ia memetik buah-buahan liar untuk menganjal perut. Untungnya, tahun ini di propinsi Fujian hasil musim panen sedang berlimpah, rakyat memiliki cukup banyak persediaan makanan. Walaupun ia telah mengolesi wajahnya dengan kotoran, namun wajahnya yang tampan dan tutur katanya yang halus membuat orang senang, sehingga mengemis makanan juga tak sukar. Di sepanjang jalan ia menanyakan kabar orangtuanya, namun sama sekali tak ada kabar mengenai mereka.
Setelah berjalan delapan atau sembilan hari, ia tiba di Jiangxi. Ia menanyakan jalan ke Nanchang, lalu segera pergi kesana. Ia berpikir bahwa di Nanchang ada kantor cabang biro pengawalan, tentunya disana ada kabar, atau setidaknya ia bisa mengambil uang saku atau mendapatkan kuda.
* * *
Ketika ia tiba di dalam kota Nanchang dan bertanya mengenai Biro Pengawalan Fu Wei, orang yang sedang lewat berkata, "Biro Pengawalan Fu Wei? Untuk apa kau bertanya? Biro pengawalan itu sudah lama terbakar habis, bahkan lebih dari sepuluh rumah tetangganya juga ikut terbakar". Lin Pingzhi mengeluh dalam hati, ketika ia tiba di tempat biro pengawalan itu, ia melihat sendiri bahwa semua rumah di jalan itu telah terbakar habis, hanya tersisa puing-puing yang bertebaran di mana-mana. Ia berdiri tanpa bersuara untuk beberapa waktu lamanya sambil berpikir, "Ini tentunya adalah perbuatan bandit-bandit jahat Perguruan Qingcheng itu, kalau penghinaan ini tak dibalas, sia-sia aku jadi manusia". Maka ia tak tinggal berlama-lama di Nanchang, keesokan harinya ia langsung berjalan ke barat.
Tak sampai sehari kemudian, ia tiba di Changsha, ibu kota propinisi Hunan. Ia menduga bahwa cabang perusahaan di Changsha juga sudah dibakar Perguruan Qingcheng, tapi ketika ia bertanya tentang Biro Pengawalan Fu Wei, beberapa pejalan kaki yang ditanyainya tidak tahu apa-apa. Lin Pingzhi sangat gembira, setelah ia bertanya dimana tempatnya, lalu dengan langkah lebar ia pergi ke kantor cabang itu.
Ketika ia tiba di depan gerbang kantor cabang itu, ia melihat bahwa walaupun kantor cabang Hunan tidak semegah kantor pusat di Fuzhou, namun gerbangnya juga dilak merah, di sisi gerbang terdapat sepasang singa batu, sungguh mentereng. Lin Pingzhi memandang ke balik gerbang, namun tak kelihatan ada orang, ia menjadi ragu-ragu, "Aku begitu kumal seperti ini, bagaimana kalau para pengawal di kantor ini memandang rendah aku?".
Ia mengangkat kepala dan melihat bahwa papan nama yang bertuliskan huruf-huruf emas 'Biro Pengawalan Fu Wei Cabang Xiang[1] ternyata tergantung terbalik. Ia merasa hal ini sangat aneh, "Bagaimana para pengawal di kantor cabang ini bisa begitu ceroboh, sampai papan nama saja bisa tergantung terbalik?" Saat ia menoleh untuk melihat bendera yang berkibar di tiang bendera, ia terkejut ketika melihat bahwa di tiang bendera sebelah kiri tergantung sandal rami yang sudah usang. Di tiang bendera sebelah kanan tergantung sebuah celana wanita bermotif kembang yang sudah compang camping, namun masih berkibar-kibar ditiup angin.
Selagi ia tercengang-cengang, terdengar suara langkah kaki, dan dari kantor muncul seseorang yang berkata dengan suara keras, "Anak kura-kura, kau mau apa lihat-lihat disini, mau mencuri ya?" Lin Pingzhi mendengar bahwa logat orang itu sama dengan Fang Renzhi, Jia Renda dan lain-lain, yaitu logat Sichuan. Ia tak berani memandang orang itu dan cepat-cepat pergi, tiba-tiba pantatnya terasa sakit, ternyata orang itu telah menendangnya. Lin Pingzhi marah, ia berbalik hendak membalas, namun ia cepat-cepat berubah pikiran, "Kantor ini tentunya telah diduduki Perguruan Qingcheng, dari sini aku bisa mencari kabar ayah ibu, kenapa harus marah-marah?" Ia langsung berpura-pura tak bisa silat, ia melemparkan dirinya ke lantai dan merangkak-rangkak seakan tak bisa berdiri untuk beberapa saat. Orang itu tertawa terbahak-bahak dan beberapa kali memaki, "Anak kura-kura".
Perlahan-lahan, Lin Pingzhi berusaha untuk bangkit, di sebuah gang ia mengemis nasi dingin untuk dimakan, pikirnya, "Musuh ada dimana-mana, aku sama sekali tidak boleh lengah". Ia mencari abu batu bara, lalu dioleskannya di mukanya sehingga menjadi hitam, lalu ia melipat tangannya dan tidur di sudut gang itu.
Setelah menunggu dua jam lebih, ia mengambil pedang dan mengantungnya di pinggangnya, lalu memutar lewat pintu belakang kantor. Ia mendengarkan dengan seksama, namun di balik tembok sama sekali tidak ada suara. Ia melompat ke atas tembok, dilihatnya bahwa di balik tembok ada kebun buah. Ia melompat turun dengan ringan, lalu selangkah demi selangkah merayap di sisi tembok itu. Di sekelilingnya gelap gulita, tak ada cahaya lampu, tak ada suara manusia. Jantung Lin Pingzhi berdebar-debar seakan mau copot. Ia berjalan sambil meraba-raba tembok, khawatir kalau-kalau ia menginjak ranting atau batu yang menimbulkan suara. Setelah melewati dua halaman, ia melihat cahaya lampu bersinar dari sebuah jendela di bagian timur bangunan, ia mendekat dan mendengar suara orang berbicara. Dengan sangat perlahan ia mengendap-endap, membungkukkan tubuh di bawah jendela, sambil menahan napasnya, satu cun demi satu cun ia berjongkok, sampai akhirnya ia bisa duduk bersandar pada tembok.
Begitu ia bisa duduk di lantai, terdengar suara seseorang berkata, "Besok pagi-pagi kita harus membakar biro pengawalan anak kura-kura ini, supaya kita tidak kehilangan muka". Seseorang lain berkata, "Jangan. Jangan dibakar! Kakak Pi membakar biro pengawalan anak kura-kura itu di Nanchang, lalu kudengar ada lebih dari sepuluh rumah tetangga yang juga ikut terbakar, hal ini bisa mencoreng nama baik Perguruan Qingcheng kita sebagai perguruan aliran lurus. Yang berbuat seperti itu pasti akan dihukum guru". Lin Pingzhi diam-diam memaki, "Ternyata Perguruan Qingcheng yang melakukan perbuatan mulia itu, tapi masih bisa menyebut diri sendiri perguruan lurus! Benar-benar tak tahu malu!" Terdengar orang yang pertama berbicara lagi, "Benar, jangan bakar. Tapi masa kita akan mengembalikan tempat ini dalam keadaan baik-baik saja?" Orang yang lainnya tertawa lalu berkata, "Adik Ji, coba pikir. Kita telah mengantung terbalik papan nama biro pengawalan anjing ini, dan juga mengantung celana perempuan compang-camping di tiang bendera mereka, nama besar Biro Pengawalan Fu Wei di dunia persilatan sudah hancur. Semakin lama celana compang-camping itu tergantung, semakin baik, untuk apa membakar tempat mereka?" Orang bermarga Ji itu tertawa, "Perkataan Kakak Shen itu benar. He he, celana compang-camping itu benar-benar akan membuat nama Biro Pengawalan Fu Wei begitu jelek, sampai tiga ratus tahun pun tak akan bisa dipulihkan".
Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak, lalu si marga Ji berkata, "Besok kita akan pergi ke Hengshan untuk memberi selamat pada Liu Zhengfeng, sebaiknya kita membawa hadiah apa? Kalau hadiahnya kecil, Perguruan Qingcheng akan kehilangan muka".
Si marga Shen tertawa, "Hadiah sudah kusiapkan dari dulu, kau jangan khawatir, aku jamin tidak akan membuat Perguruan Qingcheng kehilangan muka. Siapa tahu di pesta cuci tangan di baskom emas Liu Zhengfeng kali ini, hadiah kita akan menarik perhatian orang". Si marga Ji berkata dengan gembira, "Hadiah apa itu? Bagaimana aku bisa sama sekali tidak tahu?" Si marga Shen tertawa beberapa kali, kedengarannya ia sangat puas, "Kita akan memberi sang Buddha bunga pemberian orang lain, tak usah keluar uang sendiri. Coba lihat, hadiah ini hebat atau tidak". Dari ruangan itu terdengar suara gemerisik, rupanya mereka sedang membuka sebuah bungkusan. Si marga Ji terdengar kaget, ia berseru, "Hebat sekali! Kakak Shen memang banyak akal, dari mana kau dapat benda yang berharga ini?"
Lin Pingzhi ingin sekali mengintip melalui sela-sela jendela, ingin tahu apa hadiah itu, tapi ia berpikir bahwa kalau ia mengangkat kepala, di jendela akan muncul bayangan hitam, kalau musuh menemukannya tentunya ia tidak bisa menolong orang tuanya, maka ia harus pandai menahan diri. Ia mendengar si marga Shen tertawa, "Kau pikir kita menduduki Biro Pengawalan Fu Wei ini tanpa dapat apa-apa? Kuda kumala ini tadinya akan kupersembahkan pada guru, tapi sekarang tidak jadi, lebih baik untuk si tua Liu Zhengfeng saja". Lin Pingzhi naik darah, "Sebelumnya ia mencuri barang berharga di biro pengawalan kami, sekarang dia menjadikannya hadiah, apa itu bukan perbuatan seorang perampok? Di kantor cabang Changsha apa juga ada barang berharga? Tentunya milik orang yang harus dijaga. Kuda kumala itu pasti mahal harganya, kalau tidak dikembalikan kepada pemiliknya, ayah harus mengeluarkan uang untuk menganti kerugian kepada yang empunya".
Si marga Shen lagi-lagi tertawa, "Empat bungkusan yang ada disini, satu untuk dipersembahkan kepada para ibu guru, satu untuk dibagi diantara para saudara seperguruan, satu untukmu, satu untukku. Kau pilih salah satu!" Si marga Ji berkata, "Yang mana?" Sesaat kemudian ia berteriak kaget, "Hah, ini adalah perhiasan emas dan perak, kita akan jadi kaya. Biro Pengawalan Fu Wei sialan, harta yang mereka peras dari orang lain benar-benar tidak sedikit. Kakak, dari mana kau mendapatkannya? Aku sudah mencari di dalam dan diluar gedung lebih dari sepuluh kali, sampai hampir menggali tanah, tapi cuma menemukan seratusan pecahan perak. Bagaimana kau bisa tenang-tenang menemukan barang-barang berharga ini?" Si marga Shen itu merasa sangat bangga, ia tertawa, "Barang-barang berharga di sebuah biro pengawalan, mana mungkin cuma disembunyikan di tempat yang sudah biasa? Beberapa hari belakangan ini aku melihat kau membuka laci, memecah peti, membongkar tembok, luar biasa sibuknya. Dari mula aku sudah tahu itu semua percuma, tapi kalaupun aku bicara kalian tidak akan percaya, tapi segala kesibukan itu tidak ada jeleknya bagi anak kecil seperti kau."
Si marga Ji berkata, "Aku sangat kagum, aku sangat kagum! Kakak Shen, dari mana kau mendapatkannya?" Si marga Shen berkata, "Coba kau tebak. Di dalam kantor ini, ada sesuatu hal yang tak biasa, apa itu?" Si marga Ji berkata, "Sesuatu yang tak biasa? Aku lihat di biro pengawalan ini, banyak sekali hal-hal yang tak biasa. Kungfu sialan mereka itu biasa-biasa saja, namun diatas tiang bendera di gerbang mereka berani mengibarkan gambar singa besar yang menyeramkan". Si marga Shen tertawa, "Singa besar sudah ditukar celana perempuan, begitu baru masuk akal. Coba kau pikir lagi, di kantor ini apa ada sesuatu yang aneh bin ajaib?" Si marga Ji menepuk pahanya, "Keledai-keledai Hunan ini terlalu banyak melakukan hal-hal yang aneh. Kau pikir pengawal marga Zhang itu seharusnya berjaga di kantor ini, tapi kamar tidurnya malah ada di rumah sebelah, ada peti matinya lagi, pantas nasibnya sial, hahaha!" Si marga Shen tertawa, "Pakai otakmu. Kenapa dia menaruh peti mati di kamar rumah sebelah? Orang pasti mengira yang ada di dalam peti mati itu adalah istri atau anak yang sangat dia sayangi. Belum tentu. Mungkin peti mati itu tempat untuk menyimpan barang-barang berharga, supaya orang lain tidak tahu......"
"Ah!", ujar si marga Ji itu, ia berjingkrak sambil berteriak, "Betul, betul! Barang-barang berharga itu disembunyikan di peti mati itu? Bagus sekali, bagus sekali! Sialan, akal bulus pengawal anak kura-kura itu benar-benar banyak". Katanya lagi, "Kakak Shen, dua buntalan ini sama besar, bagaimana aku bisa membaginya sama rata dengan kau? Kau seharusnya ambil bagian yang lebih banyak". Terdengar suara gemerincing, rupanya ia mengambil barang-barang dari satu buntalan dan menaruhnya di buntalan lain. Si marga Shen juga tidak menolak, ia beberapa kali tertawa. Si marga Ji berkata, "Kakak Shen, aku akan ambil sebaskom air. Kita cuci kaki, lalu pergi tidur". Sambil berbicara ia menguap, lalu membuka pintu dan keluar.
Lin Pingzhi meringkuk di bawah jendela, ingin bergerak namun tak berani bergerak, sambil memicingkan mata ia melihat sosok buntak lelaki marga Ji itu, kelihatannya dialah yang menendang pantatnya waktu itu.
Setelah beberapa saat, si marga Ji itu membawa sebaskom air panas ke kamar, ia berkata, "Kakak Shen, kali ini guru mengirim kita lebih dari sepuluh saudara seperguruan, kelihatannya kita berdualah yang paling berhasil, berkat keberuntungan kakak Shen, mukaku ini akan jadi gilang gemilang. Kakak Jiang menyerang kantor cabang Guangzhou, Kakak Ma menyerang kantor cabang Hangzhou, tapi mereka begitu ceroboh, kalaupun mereka melihat peti mati itu, mereka tak akan berpikir bahwa dalam peti mati itu tersembunyi barang-barang berharga". Si marga Shen tertawa, "Kakak Fang, Kakak Yu dan Jia Renda menyerang kantor pusat di Fuzhou, seharusnya barang rampasan mereka lebih banyak dari kita, tapi putra kesayangan ibu guru Jiang kehilangan nyawanya di Fuzhou, tentunya hal itu akan lebih diperhitungkan dibandingkan dengan jasa mereka". Si marga Ji berkata, "Guru sendiri yang mengatur serangan ke kantor pusat Biro Pengawalan Fu Wei itu, Kakak Fang dan Adik Yu cuma pengintai. Kemungkinan besar, guru tak akan menyalahkan Kakak Fang dan kawan-kawan atas kematian Adik Yu. Kali ini kita telah melakukan operasi besar-besaran, kita telah menyerang kantor pusat dan kantor cabang propinsi secara serentak, ternyata ilmu keluarga Lin itu tidak seperti yang dikatakan orang, hanya perlu Kakak Fang bertiga untuk menangkap suami istri Lin. Kali ini, guru saja tidak menyangka. Hahaha!"
Begitu mendengar hal itu, keringat dingin bercucuran di dahi Lin Pingzhi, ia berkata dalam hati, "Ternyata Perguruan Qingcheng sudah lama merencanakan hal ini, serentak menyerang kantor pusat kami dan setiap kantor cabang propinsi. Bencana ini bukan disebabkan karena aku membunuh si marga Yu itu. Kalau aku tidak membunuh bandit tengik marga Yu itu, mereka juga akan tetap menyerang biro pengawalan kami. Yu Canghai sendiri datang ke Fuzhou, pantas saja Tapak Penghancur Jantung itu begitu lihai. Tapi aku tak mengerti, biro pengawalan keluargaku pernah melakukan kejahatan apa terhadap Perguruan Qingcheng? Mengapa mereka turun tangan dengan begitu kejam?" Saat itu, walaupun perasaan bersalahnya berkurang, namun perasaan marahnya sebaliknya malah meluap-luap. Kalau saja ilmu silatnya cukup tinggi untuk melawan musuh, ia benar-benar ingin mendobrak jendela dan masuk ke ruangan itu, lalu membunuh dua bajingan itu. Terdengar suara air dari ruangan itu, mereka sedang mencuci kaki.
Si marga Shen berkata, "Guru bukan salah melihat, waktu itu pamor Biro Pengawalan Fu Wei mengetarkan segala penjuru, sepertinya mereka memang benar-benar punya ilmu tinggi, Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan sangat terkenal di dunia persilatan, tak mungkin semua itu hanya tipuan. Kemungkinan besar anak cucu generasi berikutnya yang tak layak, tidak bisa menguasai ilmu nenek moyangnya". Di tengah kegelapan, wajah Lin Pingzhi menjadi merah padam sampai ke kupingnya, ia merasa sangat malu. Si marga Zhen berkata lagi, "Sebelum kita turun gunung, guru mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan kepada kita, walaupun dalam hanya beberapa bulan sulit bagi kita untuk mempelajari semuanya, namun aku lihat ilmu pedang ini punya kekuatan yang tidak kecil, tapi sulit untuk dikeluarkan. Adik Ji, berapa banyak yang kau mengerti?" Si marga Ji tertawa, "Aku dengar guru berkata, Lin Zhennan sendiri juga tak bisa memahami inti ilmu pedang itu, maka aku juga enggan berusaha sungguh-sungguh untuk menguasainya. Kakak Shen, guru memberi perintah supaya semua murid perguruan kita kembali ke Hengshan untuk berkumpul di sana, maka Kakak Fang dan kawan-kawan tentunya akan membawa suami istri Lin ke Hengshan. Aku ingin tahu bagaimana kemampuan pewaris Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan itu sebenarnya".
Ketika Lin Pingzhi mendengar bahwa orang tuanya masih hidup, dan bahkan akan dibawa ke Hengshan, hatinya terguncang, ia merasa gembira dan sedih sekaligus.
Si marga Shen tertawa, "Beberapa hari lagi, kau juga akan bertemu mereka, tak ada jeleknya kalau kau minta petunjuk dari dia tentang Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan".
Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk, pintu jendela didorong hingga terbuka. Lin Pingzhi terkejut, ia mengira mereka telah menemukan dirinya, ia hendak lari, namun tiba-tiba, "Byur!" Sebaskom air panas jatuh menimpa kepalanya. Hampir saja ia berteriak kaget, setelah itu keadaan menjadi gelap, sinar lampu di dalam kamar sudah dipadamkan.
Lin Pingzhi masih gemetar karena terkejut, ia merasakan ada air yang membasahi wajahnya, air itu baunya tak enak, rupanya si marga Ji itu telah menuang air bekas cuci kaki itu dari jendela sehingga mengenai dirinya. Walaupun mereka tak sengaja melakukannya, hinaan yang diterimanya tak bisa dipandang remeh. Akan tetapi karena ia telah mendengar berita tentang ayah ibunya, jangankan air bekas cuci kaki, disiram air kencing pun ia rela. Saat itu sunyi senyap, kalau ia lari sekarang, ia takut akan terdengar oleh kedua orang itu, maka ia memutuskan untuk menunggu sampai mereka tidur nyenyak. Ia segera kembali bersandar pada tembok di bawah jendela, diam tak bergerak. Setelah cukup lama, terdengar suara mendengkur dari ruangan itu, barulah perlahan-lahan ia berdiri.
Ia berpaling, sekonyong-konyong ia melihat sebuah bayangan yang sangat panjang muncul di jendela, bayangan itu nampak bergetar. Ia terkejut dan cepat-cepat berjongkok, ternyata daun jendela masih berayun-ayun, rupanya si marga Ji itu setelah membuang air cuci kaki, belum mengunci daun jendela. Lin Pingzhi berpikir, "Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam!" Tangan kanannya menghunus pedang yang tergantung di pinggangnya, tangan kirinya dengan hati-hati membuka daun jendela, perlahan-lahan ia masuk ke kamar, lalu menutup daun jendela. Cahaya rembulan menembus masuk lewat kertas penutup jendela, ia melihat di kedua sisi ranjang masing-masing berbaring satu orang. Yang seorang menghadap ke tembok, rambutnya agak jarang, yang seorang lagi tidur telentang, dagunya ditumbuhi jenggot pendek yang berantakan seperti rumput liar. Di atas meja di depan ranjang ada lima buah buntalan dan dua bilah pedang.
Lin Pingzhi mengangkat pedangnya, pikirnya, "Sekali tebas, semudah membalik telapak tangan". Ia hendak menebas leher lelaki yang sedang tidur telentang, namun timbul pikiran lain di benaknya, "Kalau aku sembunyi-sembunyi membunuh kedua orang ini, apakah ini tindakan seorang ksatria? Di kemudian hari setelah aku menguasai ilmu silat warisan keluarga, aku akan membasmi kawanan bandit Qingcheng ini, inilah tindakan seorang lelaki sejati". Perlahan-lahan ia mengambil kelima buntalan itu dan menaruhnya di atas meja di sisi jendela, membuka daun jendela dengan hati-hati, lalu meloncat keluar. Ia menyelipkan pedang di pinggangnya dan mengambil buntalan-buntalan itu. Tiga buah buntalan diikat erat-erat di punggungnya, sepasang tangannya masing-masing membawa sebuah. Selangkah demi selangkah ia menuju ke halaman belakang, ia sangat takut menimbulkan suara dan membangunkan kedua orang itu.
Ia membuka pintu belakang, keluar dari kantor cabang itu, mencari-cari arah, lalu menuju ke gerbang selatan. Saat itu gerbang masih digembok, maka ia berjalan ke sebuah gundukan di sebelah tembok kota dan bersandar pada gundukan itu untuk menenangkan diri. Ia takut jangan-jangan kedua orang Perguruan Qingcheng itu sadar lalu mengejarnya, hatinya berdebar-debar seakan mau copot. Ketika sinar mentari terbit menyinari kota, ia keluar dari gerbang dan lari secepat-cepatnya. Setelah berlari beberapa li jauhnya, ia merasa aman. Sejak meninggalkan Fuzhou, saat itu hatinya baru merasa tenang. Ia melihat di pinggir jalan di depannya ada sebuah kedai mi kecil, ia masuk ke dalam kedai itu dan membeli semangkuk mi untuk dimakan, ia tak berani tinggal berlama-lama, setelah selesai makan mi, ia segera mengambil sebatang uang perak kecil dari buntalan untuk membayar. Pemilik kedai mengumpulkan seluruh uang kepeng yang ada di kedai itu untuk uang kembalian, namun masih tak cukup. Di sepanjang jalan, Lin Pingzhi selalu mengalah dan menerima hinaan orang. Saat ini ia hanya melambaikan tangan dan berkata dengan lantang, "Ambil saja, tak perlu kembalian!" Akhirnya ia kembali menjadi seorang tuan muda, anak pemilik biro pengawalan yang angkuh dan biasa hidup mewah.
Setelah berjalan tiga puluh li lebih, ia tiba di sebuah kota besar. Lin Pingzhi pergi ke sebuah penginapan dan menyewa kamar, mengunci pintu dan jendela, lalu membuka kelima buntalan yang dibawanya. Empat buntalan berisi batangan emas dan uang perak serta perhiasan, buntalan kecil yang kelima berisi sebuah kotak berlapis kain brokat, di dalamnya ada sepasang kuda kumala putih yang tingginya lima cun. Ia berpikir, "Di kantor cabang Changsha saja tersimpan begitu banyak barang berharga, pantas saja Perguruan Qingcheng menjadi serakah". Ia mengambil pecahan-pecahan uang perak dan menaruhnya di kantongnya, mengabungkan isi kelima buntalan itu menjadi satu, menaruhnya di punggungnya, lalu pergi ke pasar untuk membeli dua ekor kuda yang bagus. Ia menaiki kedua ekor kuda itu bergantian, tiap hari ia hanya tidur tiga shichen, siang malam ia terus-menerus menempuh perjalanan.
* * *
Tak sampai sehari kemudian, ia tiba di kota Hengshan. Ia melihat bahwa di jalanan banyak sekali orang-orang dunia persilatan yang berlalu-lalang. Lin Pingzhi takut bertemu dengan Fang Renzhi dan kawan-kawannya, maka ia menundukkan kepala dan cepat-cepat mencari penginapan. Siapa yang tahu bahwa setelah bertanya di beberapa penginapan, semua telah terisi penuh. Pelayan di penginapan berkata, "Dua hari lagi adalah hari baik Paman Liu mencuci tangan di baskom emas, penginapan kecil kami sudah penuh, silahkan bertanya di tempat lain!"
Lin Pingzhi pergi ke jalan yang sepi untuk mencari penginapan, setelah bertanya di tiga tempat, ia berhasil mendapatkan sebuah kamar kecil. Ia berpikir, "Walaupun wajahku sudah kulumuri debu, namun si Fang Renzhi ini sangat pintar, aku takut ia akan mengenaliku". Ia pergi ke toko obat dan membeli tiga lembar koyo, lalu menempelkannya di mukanya sehingga kedua alisnya tertarik ke bawah, bibir kirinya juga tertarik ke bawah hingga terbalik dan memperlihatkan separuh giginya. Ketika ia berkaca di cermin, ia melihat sebuah wajah yang sangat menyedihkan, ia sendiri merasa muak melihatnya; lalu ia membungkus semua emas, perak dan perhiasan menjadi satu buntalan besar, mengikatnya erat-erat di punggungnya dan menutupinya dengan bajunya. Ia membungkuk sedikit, dan berubahlah ia menjadi seorang bongkok berpunuk besar. Ia berpikir, "Penampilanku begitu aneh seperti ini, ayah ibu pun tak akan mengenaliku, oleh karena itu aku tak perlu khawatir".
Setelah makan semangkuk mi paikut[2], ia berjalan-jalan di jalanan, berharap akan bertemu dengan orang tuanya, atau paling tidak mendengar kabar tentang Perguruan Qingcheng. Setelah setengah hari berlalu, ia mendengar suara gemericik, rupanya turun hujan. Di tepi jalan, ia membeli sebuah caping besar lalu memakainya. Ia melihat bahwa cakrawala nampak sangat gelap, nampaknya hujan deras akan turun dengan tiada henti-hentinya. Ia berbelok ke jalan lain dan melihat kedai teh penuh orang, ia masuk ke dalamnya lalu mencari tempat duduk. Pelayan kedai teh membawakan sepoci teh, sepiring kecil kuaci dan kacang panjang.
Ia minum secawan teh dan makan kuaci untuk menghalau rasa bosan, tiba-tiba terdengar suara seseorang berbicara, "Bongkok, kita duduk-duduk disini, boleh tidak?" Tanpa menunggu jawaban Lin Pingzhi, ia langsung duduk dengan sikap angkuh, diikuti oleh dua orang lain.
Mula-mula Lin Pingzhi bingung, tidak menyadari bahwa orang itu berbicara kepadanya, ia menjadi panik, namun setelah menyadari bahwa 'Si Bongkok' itu adalah dirinya, ia cepat-cepat tersenyum dan berkata, "Boleh, boleh! Silahkan duduk, silahkan duduk!" Ia memperhatikan ketiga orang itu, mereka semua memakai pakaian hitam, di pinggang mereka tergantung senjata.
Ketiga lelaki itu mengobrol sendiri tanpa mengacuhkan orang lain, mereka juga tak memperdulikan Lin Pingzhi. Seorang pemuda berkata, "Upacara cuci tangan di baskom emas Tuan Ketiga Liu ini benar-benar meriah, masih dua hari lagi, tapi kota Hengshan ini sudah penuh orang yang ingin memberi selamat". Seorang lelaki lain yang matanya buta sebelah berkata, "Sudah tentu. Perguruan Heng Shan sendiri tenar namanya, dan juga anggota Perguruan Pedang Lima Puncak yang lebih besar lagi namanya, siapa yang tak mau berteman dengan mereka? Apalagi ilmu silat Tuan Ketiga Liu Zhengfeng juga luarbiasa. Ilmunya bernama tiga puluh enam jurus 'Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Angsa'. Kabarnya dia adalah jagoan nomor dua di Perguruan Heng Shan, hanya kalah sedikit dari ketua perguruan Tuan Mo Da. Dari dulu sudah banyak orang yang ingin berteman dengannya. Tapi dia tak pernah merayakan ulang tahun, pesta pernikahan atau menikahkan anak, tak ada kesempatan untuk menemuinya. Begitu mendengar kabar tentang perayaan cuci tangan di baskom emas kali ini, tentu saja semua orang gagah dari dunia persilatan segera berkumpul disini. Aku lihat dua hari berikut ini kota Hengshan pasti akan sangat ramai".
Orang lain yang jenggotnya kelabu berkata, "Tapi tak semua orang datang kesini untuk berteman dengan Liu Zhengfeng, kita bertiga tentunya tidak datang kesini untuk melakukan hal itu, benar tidak? Setelah Liu Zhengfeng mencuci tangannya di baskom emas, berarti sejak saat itu ia tidak akan pernah bertarung lagi, sama sekali tidak akan mencampuri urusan dunia persilatan, di dunia persilatan tidak akan ada lagi tokoh seperti dia. Kalau dia sudah bersumpah tak akan pernah menghunus pedang lagi, tiga puluh enam jurus 'Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Angsa' yang hebat itu apa gunanya? Setelah upacara cuci tangan di baskom emas ini, ia akan menjadi seperti orang biasa, jagoan yang begitu kuat akan menjadi seperti orang cacat. Untuk apa orang lain ingin berteman dengannya?" Sang pemuda berkata, "Walaupun setelah itu Tuan Ketiga Liu tidak akan bertarung lagi, namun dia akan tetap menjadi tokoh kedua di Perguruan Heng Shan. Berteman dengan Tuan Ketiga Liu berarti juga berteman dengan Perguruan Heng Shan, dan sekaligus berteman dengan Perguruan Pedang Lima Puncak!" Si jenggot kelabu tertawa sinis, "Berteman dengan Perguruan Pedang Lima Puncak, memangnya kau pantas berteman dengan mereka?"
Si buta berkata, "Kakak Peng, kau tak bisa bilang begitu. Orang dunia persilatan yang banyak temannya tidak banyak, yang sedikit musuhnya tidak sedikit. Walaupun ilmu silat Perguruan Pedang Lima Puncak tinggi, namanya masyur, namun mereka juga tidak bisa memandang rendah teman-teman di dunia persilatan. Kalau mereka begitu angkuh, tak mau memandang orang lain, kenapa begitu banyak orang berbondong-bondong memberi selamat kepada Perguruan Heng Shan?"
Si marga Peng yang berjenggot kelabu itu mendengus, ia tak berbicara lagi, setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara pelan, "Kebanyakan cuma orang yang ingin dekat dengan kekuasaan, aku si tua ini sebal melihatnya".
Lin Pingzhi berharap ketiga orang itu tak berhenti mengobrol, mungkin ia bisa mendengar kabar tentang Perguruan Qingcheng, namun ternyata ketiga orang itu tak sepaham, maka mereka masing-masing minum teh dan tak berbicara lagi.
Tiba-tiba ia mendengar seseorang berbicara dengan suara pelan dari belakang punggungnya, "Paman Kedua Wang, katanya Tuan Ketiga Liu dari Perguruan Heng Shan itu baru lima puluhan tahun lebih umurnya, ilmu silatnya sedang hebat-hebatnya, kenapa tiba-tiba ingin cuci tangan di baskom emas? Bukankah ia menyia-nyiakan kepandaiannya?" Suara seorang tua berkata, "Banyak sebab orang dunia persilatan mencuci tangan di baskom emas. Kalau dia perampok besar dari dunia hitam yang seumur hidupnya melakukan kejahatan, setelah selesai cuci tangan, ia tidak lagi merampok, membunuh dan membakar. Pertama, ia sudah bertobat dan berubah menjadi baik, memberi nama baik bagi anak cucunya; kedua, kalau di daerahnya ada kejahatan besar, ia tidak akan dicurigai. Tapi keluarga Tuan Ketiga Liu di Hengshan sudah kaya sejak beberapa generasi yang lalu, jadi hal semacam itu tidak ada hubungannya dengan dia". Seorang lain berkata, "Benar, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia".
Paman Kedua Wang berkata, "Orang yang belajar silat, seumur hidupnya selalu bertarung, tak bisa menghindari melukai dan membunuh orang, banyak menimbulkan dendam. Ketika orang ini mejadi tua dan sadar bahwa di dunia persilatan banyak musuh, mau tak mau ia akan merasa selalu tak tenang. Seperti Tuan Ketiga Liu ini yang mengundang begitu banyak tamu dan mengumumkan bahwa sejak saat ini ia tidak akan menghunus pedang lagi, maksudnya ialah supaya musuh-musuhnya tak usah khawatir ia akan membalas dendam, dan juga berharap supaya mereka tidak membuat susah dirinya". Sang pemuda berkata, "Paman Kedua Wang, menurut aku perbuatan semacam itu merugikan diri sendiri". Paman Kedua Wang berkata, "Kenapa merugikan?" Pemuda itu berkata, "Walaupun Tuan Ketiga Liu tidak mencari orang, namun orang lain masih bisa mencarinya. Kalau ada orang yang ingin membunuhnya, dan Tuan Ketiga Liu tidak bertarung dengannya, bukankah ini berarti ia membiarkan orang lain menganiaya dirinya tanpa perlawanan?" Paman Kedua Wang tersenyum, "Anak muda memang belum berpengalaman. Kalau ada orang yang benar-benar ingin membunuhmu, masa kau tak melawan? Apalagi Perguruan Heng Shan namanya begitu masyur, dan ilmu silat Tuan Ketiga Liu begitu tinggi, ia tidak perlu membuat susah orang, orang lain akan lebih dahulu menyembah minta ampun. Apa disini ada yang sudah makan hati singa atau empedu macan tutul, dan berani membuat susah beliau?
Kalau pun Tuan Ketiga Liu tidak turun tangan sendiri, ia punya banyak murid, memangnya mereka gampang dikalahkan? Kau ini benar-benar suka khawatir tanpa alasan".
Si jenggot kelabu yang duduk di seberang Lin Pingzhi berbicara pada dirinya sendiri, "Diantara yang kuat ada yang lebih kuat lagi, diatas orang yang cakap, ada lagi yang lebih cakap lagi. Siapa yang berani menyebut dirinya tak tertandingi di kolong langit ini?" Suaranya begitu rendah sehingga kedua orang yang berada di belakang tak bisa mendengarnya.
Terdengar Paman Kedua Wang berkata, "Seperti para pengawal itu, kalau sudah cukup mengumpulkan harta, lalu mengundurkan diri secepatnya, cuci tangan di baskom emas dan tak lagi menjual nyawa di ujung pedang, itu baru tindakan yang cerdas". Beberapa kalimat itu menusuk telinga Lin Pingzhi, benar-benar membekas di hatinya, pikirnya, "Kalau saja ayahku sudah terlebih dahulu mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, cuci tangan di baskom emas, apakah keadaan akan menjadi seperti sekarang ini?"
Si jenggot kelabu kedengaran berbicara pada dirinya sendiri, "Gentong air selalu pecah dekat sumur, seorang jenderal selalu gugur dalam pertempuran. Orang yang menonton selalu lebih tahu dari yang bermain, dua kata 'mengundurkan diri' ini lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan". Si buta berkata, "Betul. Oleh karena itu beberapa hari ini aku si tua mendengar orang berkata, 'Nama besar Tuan Ketiga Liu saat ini seperti matahari di langit, namun tiba-tiba mengundurkan diri, sungguh luar biasa, membuat orang sangat kagum' ".
Tiba-tiba seorang lelaki setengah baya berpakaian sutra yang duduk di meja sebelah kiri berkata, "Beberapa hari yang lalu ketika aku berada di Wuhan, aku mendengar kawan-kawan dunia persilatan berkata bahwa Tuan Ketiga Liu cuci tangan di baskom emas untuk mengundurkan diri sebenarnya karena terpaksa, karena suatu masalah yang tak bisa diberitahukan kepada umum". Si buta berpaling dan berkata, "Teman-teman di Wuhan bilang begitu, teman yang ada disini ini bisakah memberitahu aku?" Orang itu tertawa dan berkata, "Perkataan seperti ini tidak apa-apa kalau dikatakan di Wuhan, tapi di kota Hengshan ini, tak boleh bicara sembarangan". Seorang lain yang buntak tubuhnya berkata dengan kasar, "Masalah ini sudah diketahui banyak orang, kenapa kau pura-pura merahasiakannya? Semua orang berkata, karena ilmu silat Tuan Ketiga Liu terlalu tinggi, dan hubungannya dengan orang lain pun terlalu baik, saat ini ia tak punya pilihan selain cuci tangan di baskom emas".
Suaranya begitu keras, seketika itu juga di kedai teh itu banyak mata yang memandang ke wajahnya. Beberapa orang serentak bertanya, "Kenapa kalau ilmu silatnya terlalu tinggi, hubungan dengan orang lain terlalu baik, lantas harus mundur dari dunia persilatan, apakah hal ini tidak aneh?"
Si buntak membual dengan bangga, "Orang yang tak tahu cerita sebenarnya tentu akan menganggapnya aneh, yang tahu sama sekali tidak menganggapnya aneh". Seseorang bertanya, "Apa cerita sebenarnya itu?" Si buntak hanya tersenyum tanpa berbicara apa-apa. Seorang kurus kering yang duduk di meja lain berkata dengan sinis, "Kenapa kalian banyak bertanya? Dia sendiri juga tak tahu, cuma omong sembarangan saja". Si buntak menjadi gusar, ia berkata dengan suara keras, "Kata siapa aku tidak tahu? Tuan Ketiga Liu cuci tangan di baskom emas demi kebaikan semua pihak, untuk menghindari persaingan di Perguruan Heng Shan".
Beberapa orang serentak berbicara, "Apa maksudnya demi kebaikan semua pihak?" "Mereka menghindari persaingan apa?" "Apa ada perseteruan diantara saudara seperguruan?"
Si buntak berkata, "Orang luar berkata bahwa Tuan Ketiga Liu adalah jago nomor dua di Perguruan Hengshan, tapi semua orang di dalam Perguruan Hengshan sendiri tahu kalau kepandaian Tuan Ketiga Liu dengan tiga puluh enam jurus 'Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Angsa' nya dari dahulu sudah jauh melebihi ketua perguruan yaitu Tuan Mo Da. Tuan Mo Da dengan satu tikaman bisa menusuk tiga ekor angsa, tapi Tuan Ketiga Liu dengan satu tikaman bisa menusuk lima ekor. Murid-murid Tuan Ketiga Liu, semuanya juga lebih pandai dari murid-murid Tuan Mo Da. Saat ini, keadaannya makin lama makin tegang. Setelah beberapa tahun, nama besar Tuan Mo Da tentunya akan dikalahkan oleh Tuan Ketiga Liu, kabarnya kedua belah pihak diam-diam sudah beberapa kali berbenturan. Tuan Ketiga Liu berasal dari keluarga kaya, ia tak mau berebut pengaruh dengan kakak seperguruannya, oleh karena itu ia ingin cuci tangan di baskom emas, supaya setelah itu ia bisa hidup dengan aman sentosa bersama keluarganya yang makmur".
Cukup banyak orang menganggukkan kepala, "Ternyata begitu. Tuan Ketiga Liu benar-benar memegang teguh prinsip keksatriaan, ini adalah hal yang sangat sukar dilakukan". Seseorang berkata, "Tuan Mo Da itu melakukan sesuatu yang tidak benar. Ia memaksa Tuan Ketiga Liu untuk keluar dari dunia persilatan, bukankah ini akan memperlemah kekuatan Perguruan Heng Shan sendiri?" Si lelaki setengah umur yang berpakaian sutra tertawa dingin, "Urusan di kolong langit ini, mana bisa kita ketahui dengan tuntas? Aku hanya ingin menduduki kursi ketua, masa bodoh kalau perguruanku bertambah kuat atau malah makin lemah".
Si buntak minum beberapa teguk teh, "Ting, ting!" Ia mengketuk-ketuk tutup poci teh, sambil berteriak, "Buatkan teh, buatkan teh!" Ia berkata lagi, "Kalau begitu, ini jelas adalah masalah besar di Perguruan Heng Shan, setiap perguruan sudah mengirim orang untuk memberi selamat, tapi Perguruan Heng Shan sendiri......"
Saat ia berbicara sampai disini, tiba-tiba dari mulut pintu terdengar suara gesekan rebab[3] ada seseorang bernyanyi, "Pujilah keluarga Yang, memegang teguh kesetiaan......Kekaisaran Song yang agung......menyokong dan melindungi......" Kata-katanya ditarik panjang-panjang, suaranya benar-benar memilukan. Semua orang serentak berpaling memandanginya. Mereka melihat sosok seorang tua yang bertubuh tinggi kurus duduk di sebelah meja, wajahnya kuyu, tubuhnya dibalut jubah panjang berwarna hijau yang sudah begitu sering dicuci hingga sebagian menjadi putih, penampilannya menyedihkan, jelas-jelas adalah seorang pengamen. Si buntak berkata, "Seperti jeritan setan, suara macam apa ini? Kau telah memotong pembicaraan bapakmu ini". Orang tua itu langsung merendahkan nada rebabnya, sambil bergumam, "Pantai berpasir emas......sepasang naga bersua......kalah dalam peperangan......"
Seseorang bertanya, "Teman, barusan kau berkata bahwa semua perguruan sudah mengirim orang untuk memberi selamat, tapi Perguruan Heng Shan sendiri bagaimana?" Si buntak berkata, "Murid-murid Tuan Ketiga Liu tentunya ada di kota Hengshan untuk menyambut para tamu, akan tetapi selain murid-murid Tuan Ketiga Liu sendiri, kalian apa pernah bertemu murid-murid Perguruan Heng Shan yang lain di kota ini?" Mereka semua saling memandang satu sama lain, lalu semua berkata, "Benar, mengapa tak terlihat satu pun murid lain? Bukankah ini berarti sama sekali tak memberi muka pada Tuan Ketiga Liu?"
Si buntak tersenyum kepada lelaki yang berpakaian sutra dan berkata, "Kalau begitu, menurutku kau pengecut yang takut kena masalah, tak berani membicarakan persaingan di Perguruan Heng Shan, memangnya kenapa? Orang Perguruan Heng Shan tak mungkin datang kesini, siapa yang akan tahu?"
Tiba-tiba suara rebab mulai terdengar lagi, iramanya berubah, orang tua itu bernyanyi lagi, "Bocah Dong, membuat bencana besar......" Si pemuda berseru, "Jangan ganggu orang disini, ambil uang ini!" Tangannya melempar, serenceng uang kepeng pun melayang. "Cring!" Uang itu jatuh di depan si orang tua, timpukannya sangat tepat sasaran. Orang tua itu mengucapkan terima kasih dan mengambil uang kepeng itu.
Si buntak memuji, "Anak muda, ternyata diam-diam kau ahli senjata rahasia, lemparan itu sangat bagus!" Si pemuda tersenyum, "Itu bukan sesuatu yang luar biasa. Kakak, kau bilang Tuan Mo Da pasti tak akan datang kesini!" Si buntak berkata, "Untuk apa dia datang kesini? Hubungan diantara Tuan Mo Da dan Tuan Ketiga Liu sudah menjadi seperti air dan api, begitu bertemu pasti akan bertarung. Karena Tuan Ketiga Liu sudah mundur selangkah, tentunya ia merasa sangat puas".
Pengamen tua itu tiba-tiba berdiri, perlahan-lahan berjalan ke sisinya, ia menelengkan kepalanya dan memandangi si buntak untuk beberapa saat. Si buntak berkata dengan marah, "Tua bangka, kau mau apa?" Orang tua itu mengeleng, "Kau omong sembarangan!" Ia membalikkan tubuhnya dan pergi. Si buntak murka, ia menjulurkan tangan hendak menjambak punggung orang tua itu, namun tiba-tiba di depan matanya berkelebat seberkas sinar hijau, "Tring, tring, tring!" Sebilah pedang yang sangat kurus mengayun ke arah meja.
Si buntak terkejut dan melompat ke belakang, takut pedang itu menusuk tubuhnya, ia melihat orang tua itu perlahan-lahan menyelipkan pedangnya ke dalam rebab hingga pedang itu tak kelihatan lagi. Rupanya pedang itu tersembunyi di dalam rebab, mata pedangnya masuk ke gagang rebab, siapapun tak akan mengira bahwa di dalam rebab tua itu tersembunyi sebuah senjata. Orang tua itu mengeleng-gelengkan kepalanya, "Kau omong sembarangan!" Ia perlahan-lahan meninggalkan kedai teh itu. Semua orang memandang sosoknya yang perlahan-lahan menghilang di tengah hujan, diiringi suara sayup-sayup rebab yang memilukan.
"Ah!", tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak kaget, "Kalian lihat, kalian lihat!" Semua orang memandang ke arah yang ditunjuk orang itu, mereka melihat tujuh cawan teh yang ada di meja si buntak, setiap cawan telah terpotong setengah cun. Tujuh lingkaran keramik tergeletak di samping cawan-cawan teh itu, namun cawan-cawan itu sendiri tak bergeming.
Semua orang di kedai teh itu datang berkerumun sambil berbicara dengan ribut. Seseorang berkata, "Siapa orang ini? Bagaimana ilmu pedangnya bisa begitu lihai?" Seseorang berkata, "Dengan sekali tebas memotong tujuh cawan teh, tapi cawan teh tidak terguling, benar-benar kepandaian yang luar biasa". Seseorang berkata pada si buntak, "Untungnya orang tua itu mengasihanimu, kalau tidak lehermu bisa bernasib sama dengan tujuh cawan teh ini". Seseorang lagi berkata, "Orang tua ini pasti seorang jago terkenal, tapi kenapa penampilannya biasa-biasa saja?"
Si buntak memandangi tujuh cawan teh yang tinggal separuh itu sambil termangu-mangu, wajahnya pucat pasi, perkataan orang pun tak didengarnya. Lelaki setengah baya yang berpakaian sutra berkata, "Benar kan? Dari dulu aku sudah menasehatimu supaya tidak banyak mulut, banyak omong selalu menimbulkan perselisihan. Rasa khawatir disebabkan karena perbuatan gegabah. Di depan mata kita di kota Hengshan ini banyak harimau mendekam dan naga bersembunyi, entah ada berapa jagoan kelas tinggi yang datang kesini. Bapak tua ini pasti teman baik Tuan Mo Da, ketika dia mendengar kau sembunyi-sembunyi berbicara tentang Tuan Mo Da, tentu saja ia ingin memberi pelajaran kepadamu".
Si jenggot kelabu tiba-tiba berkata dengan sinis, "Teman baik Tuan Mo Da? Dia adalah ketua Perguruan Heng Shan, 'Hujan Malam Di Xiaoxiang' Tuan Mo Da sendiri!"
Semua orang terkejut, serentak bertanya, "Apa? Dia......dia adalah Tuan Mo Da? Bagaimana kau tahu?"
Si jenggot kelabu berkata, "Tentu saja aku tahu. Tuan Mo Da suka sekali main rebab, orang bisa menangis kalau mendengar lagu 'Hujan Malam Di Xiaoxiang'. 'Rebab menyembunyikan pedang, pedang bersuara rebab' adalah ciri khas ilmu silat beliau. Kalian semua berada di kota Hengshan, bagaimana bisa tak tahu? Saudara ini barusan berkata bahwa Tuan Ketiga Liu bisa menusuk lima ekor angsa dengan sekali tikam, Tuan Mo Da hanya bisa menusuk tiga ekor. Dia lantas menebas putus tujuh buah cawan teh untuk kalian lihat. Cawan teh saja bisa ditebas putus, apa susahnya menusuk angsa? Oleh karena itu ia ingin meluruskan omong kosongmu".
Si buntak masih ketakutan, ia menundukkan kepala tak berani menjawab. Si lelaki berpakaian sutra membayar tehnya lalu pergi.
Semua orang di kedai teh itu terkejut melihat 'Hujan Malam Di Xiaoxiang' Tuan Mo Da muncul dan menunjukkan ilmu saktinya. Mereka semua berpikir bahwa ketika si pendek itu memuji Liu Zhengfeng dan agak mengecam tuan Mo Da, mereka sendiri ikut melakukan hal itu, bisa jadi mereka telah mengundang masalah bagi diri mereka sendiri. Satu demi persatu, mereka membayar teh dan meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap, kedai teh yang tadinya ramai menjadi sepi bagai kuburan. Kecuali Lin Pingzhi seorang, hanya ada dua orang lain yang tertidur di atas meja di sebuah sudut.
Lin Pingzhi memandang tujuh cawan teh yang terpotong separuh dan tujuh potongan keramik dari cawan-cawan itu, ia berpikir, "Orang itu penampilannya menyedihkan, sepertinya akan jatuh kalau didorong dengan satu jari saja, siapa yang tahu bahwa ia bisa memotong tujuh cawan teh dengan sekali tebas. Kalau aku tidak keluar dari Fuzhou, mana aku tahu bahwa di dunia ini ada tokoh seperti ini? Di Biro Pengawalan Fu Wei, aku seperti katak dalam tempurung, aku pikir jago-jago yang paling lihai di dunia persilatan, kurang lebih hanya setara dengan ayahku. Ai! Kalau aku bisa mengangkat orang ini sebagai guru, lalu belajar silat mati-matian, mungkin aku akan bisa membalas dendam pada musuh besar, kalau tidak hal ini hanya akan menjadi harapan kosong seumur hidupku". Ia berpikir lagi, "Kenapa aku tak mencari Tuan Mo Da itu, lalu memohon dengan tulus kepadanya agar dia menolong ayah ibu dan menerima aku sebagai murid?" Ia segera berdiri, tiba-tiba ia lagi-lagi berpikir, "Dia adalah ketua Perguruan Heng Shan, Perguruan Pedang Lima Puncak dan Perguruan Qingcheng kabarnya punya hubungan baik, bagaimana mungkin ia mau membuat temannya tersinggung demi aku, seseorang yang sama sekali tak punya hubungan dengannya?" Setelah hal itu terpikir olehnya, ia pun duduk kembali dengan putus asa.
* * *
Catatan Kaki
[1] Nama lain untuk Propinsi Hunan.
[2] Iga, biasanya iga babi.
[3] Huqin, alat musik gesek tradisional China.
-- Bagian 2
Tiba-tiba terdengar suara lembut merdu berkata, "Kakak kedua, hujan ini tidak berhenti-berhenti, bajuku basah kuyup, ayo minum secawan teh disini".
Lin Pingzhi terkejut, ia mengenali suara gadis jelek penjual arak yang menyelamatkan nyawanya, ia cepat-cepat menundukkan kepala. Ia mendengar suara seorang tua berkata, "Baiklah, kita minum teh panas untuk menghangatkan perut". Kedua orang itu masuk ke dalam kedai teh dan duduk di meja di seberang Lin Pingzhi. Lin Pingzhi memandang mereka sambil memicingkan mata, ia melihat bahwa gadis penjual arak itu memakai baju hijau, punggungnya menghadap ke arahnya, yang duduk di sebelahnya adalah orang yang mengaku bermarga Sa, orang tua yang menyaru sebagai kakek gadis itu. Ia berpikir, "Ternyata mereka berdua saudara seperguruan, tapi menyaru sebagai kakek dan cucunya, mereka datang ke Fuzhou merencanakan sesuatu. Tapi entah kenapa mereka menyelamatkan aku? Barangkali mereka tahu dimana ayah ibu berada".
Pelayan membereskan sisa-sisa cawan di atas meja, lalu mengambilkan teh. Si orang tua segera melihat tujuh cawan yang tinggal separuh di meja sebelah, mau tak mau ia berseru dengan kagum, "Adik kecil, coba kau lihat!" Gadis itu juga sangat heran, "Kungfu orang ini hebat sekali, siapa yang memotong ketujuh cawan teh ini?"
Orang tua itu berkata, "Adik kecil, aku ingin mengujimu. Sekali menikam tujuh penjuru, memotong emas mematahkan kumala, tujuh cawan teh ini, siapa yang memotong?" Gadis itu berkata dengan agak sebal, "Aku tidak melihatnya sendiri, mana aku tahu siapa yang memotong....." Mendadak ia bertepuk tangan sambil tersenyum, "Aku tahu! Aku tahu! Jurus ketujuh belas dari tiga puluh enam jurus Pedang Angin Puyuh Menjatuhkan Angsa yang bernama 'Sekali Tikam Menjatuhkan Sembilan Angsa'. Ini adalah karya agung Tuan Ketiga Liu, Liu Zhengfeng". Si orang tua mengeleng sambil tersenyum, "Nampaknya ilmu pedang Tuan Ketiga Liu belum mencapai taraf ini, tebakanmu baru benar separuh". Gadis itu menjulurkan telunjuknya dan menunjuk ke arahnya sambil tersenyum, "Kau jangan jawab, aku sudah tahu. Dia......dia......dia adalah 'Hujan Malam Di Xiaoxiang' Tuan Mo Da!"
Sekonyong-konyong serentak terdengar tujuh atau delapan suara tepuk tangan dan gelak tawa, semua orang itu berkata, "Adik memang pintar!"
Lin Pingzhi terkejut, "Ada begitu banyak orang disini?" Ia memicingkan mata dan melihat bahwa kedua orang yang sebelumnya tertidur di meja telah berdiri, selain itu ada empat orang lain yang keluar dari ruang belakang kedai teh, yang seorang berpakaian seperti kuli, yang seorang lagi membawa sempoa dan penampilannya seperti seorang pedagang, dan yang seorang lagi membawa seekor monyet yang bertengger di bahunya, seperti seorang tukang topeng monyet.
Gadis itu tertawa, "Ha, ternyata kalian tiga tukang tipu bersembunyi disini, kalian membuatku kaget setengah mati! Mana kakak pertama?" Si tukang monyet tertawa, "Kenapa begitu bertemu langsung memaki kami bertiga tukang tipu?" Si gadis tertawa, "Diam-diam bersembunyi membuat kaget orang, tentu saja kalian bertiga tukang tipunya dunia persilatan. Kakak pertama kenapa tidak ikut bersama kalian kemari?"
Si tukang monyet berkata, "Orang lain tidak ditanyakan, cuma menanyakan kakak pertama. Kita belum bicara apa-apa, kau sudah langsung menanyakan kakak pertama? Kenapa kau tak menanyakan kakak keenammu?" Gadis itu menghentakkan kakinya, "Bah! Monyet, kau ada disini dalam keadaan sehat walafiat, tidak mati, tidak sekarat, buat apa menanyakan dirimu?" Si tukang monyet tertawa, "Kakak pertama juga tidak mati dan tidak sekarat, buat apa kau tanyakan?" Gadis itu berkata dengan jengkel, "Aku tak mau bicara denganmu. Kakak keempat, kau selalu baik hati, bagaimana keadaan kakak pertama?" Orang yang berdandan seperti kuli itu belum sempat menjawab, tapi sudah ada beberapa orang yang serentak berkata, "Hanya kakak keempat yang baik, kami semua orang jahat. Nomor empat, jangan bicara dengannya". Si gadis berkata, "Memangnya kenapa? Kalau tidak mau bicara ya tidak usah bicara. Kalau kalian tidak bicara, aku juga sama sekali tak akan memberitahu kalian tentang hal-hal aneh yang aku alami bersama kakak kedua".
Orang yang berdandan seperti kuli itu sejak tadi tidak ikut bercanda dengan mereka, kelihatannya ia seseorang yang lugu, saat itu ia baru berbicara, "Kemarin kami berpisah dengan kakak pertama di Hengyang, dia menyuruh kami pergi dahulu. Saat ini kemungkinan besar dia sudah sadar dari mabuknya, tentunya sudah bisa menyusul". Gadis itu sedikit mengerutkan keningnya, "Mabuk?" Orang yang berdandan seperti kuli itu berkata, "Ya". Orang yang memegang sempoa berkata, "Kali ini dia bisa minum arak sepuasnya, dari pagi sampai tengah hari, lalu dari tengah hari sampai sore, paling tidak dia minum dua atau tiga puluh jin arak bagus!" Si gadis berkata, "Minum-minum bukankah merusak tubuh sendiri? Kalian kenapa tak nasehati dia?" Si pembawa sempoa berkata, "Kalau kakak pertama mau mendengar nasehat orang, matahari akan terbit dari barat. Kecuali kalau adik kecil yang menasehati dia, mungkin dia mau mengurangi minum satu atau setengah jin". Semua orang tertawa.
Si gadis berkata, "Kenapa dia minum-minum seperti itu? Apa dia merayakan sesuatu?" Si pembawa sempoa berkata, "Kau tanya kakak pertama sendiri saja. Kemungkinan besar dia tahu bahwa begitu sampai di kota Hengshan, dia akan bertemu adik kecil, hatinya senang, maka dia minum-minum". Si gadis berkata, "Omong kosong!" Tapi dari nada suaranya jelas bahwa dia senang.
Lin Pingzhi mendengarkan para saudara seperguruan itu bercanda, pikirnya, "Dari pembicaraan mereka, rupanya nona ini menaruh hati pada kakak pertamanya. Tapi kakak kedua sudah begini tua, kakak pertama tentunya lebih tua lagi, nona ini baru berusia tujuh atau delapan belas tahun, bagaimana dia bisa jatuh cinta kepada seorang tua bangka?" Ia memikirkan hal itu sekali lagi dan segera menyadari, "Aku tahu, nona ini mukanya bopeng-bopeng, wajahnya benar-benar jelek, tak ada yang menyukai dia, oleh karena itu ia cuma bisa jatuh cinta pada duda tua pemabuk itu".
Gadis itu bertanya lagi, "Kemarin pagi-pagi kakak pertama sudah minum arak?"
Si tukang monyet berkata, "Aku harus menceritakan semuanya kepadamu, karena kalau tidak kau tak akan melepaskan kami semua. Pagi kemarin, ketika kami bertujuh hendak berangkat, kakak pertama tiba-tiba mencium bau harum arak di jalanan, setelah mencari-cari, ternyata bau itu berasal dari hulu[1] yang dipegang seorang pengemis. Pengemis itu menenggak arak dalam hulu itu. Kakak pertama langsung mengeluarkan mangkuk arak, lalu mengobrol dengan pengemis itu, sambil memuji bau araknya yang harum, dan juga bertanya itu arak apa? Pengemis itu berkata, 'Ini arak monyet!' Kakak pertama berkata, 'Kenapa disebut arak monyet?' Pengemis itu berkata, 'Monyet-monyet di hutan pegunungan Xiang[2] barat bisa membuat arak dari buah-buahan. Monyet-monyet itu memetik buah ketika masih sangat segar dan manis, oleh karena itu arak yang dibuatnya juga sangat enak. Pengemis itu kebetulan berada di gunung itu ketika kawanan monyet sedang tidak ada, maka ia mencuri tiga hulu arak, sekalian membawa seekor monyet kecil. Ini dia monyetnya". Sembari berbicara ia menunjuk monyet yang bertengger di bahunya. Kaki belakang monyet itu diikat dengan seutas tali yang diikatkan ke lengannya. Monyet itu tak henti-hentinya membelai-belai kepalanya dan mengaruk-garuk pipinya sendiri sambil mengedip-kedipkan matanya, air mukanya sungguh lucu.
Si nona memandangi monyet itu sambil tersenyum, "Kakak keenam, tak heran julukanmu adalah Monyet Keenam. Kau dan si kecil ini benar-benar seperti sepasang kakak beradik".
Wajah si Monyet Keenam berubah serius, ia berkata dengan sungguh-sungguh, "Kita bukan kakak beradik sungguhan, hanya saudara seperguruan saja. Si kecil ini adalah kakak seperguruanku, aku nomor dua". Ketika semua orang mendengarnya, mereka tertawa terbahak-bahak.
Si nona tertawa, "Baiklah, kau berani memaki kakak pertama dari belakang, coba lihat kalau aku laporkan kau, akan sangat aneh kalau kakak pertama tidak menendangmu sampai berguling-guling beberapa kali!" Ia bertanya lagi, "Bagaimana adik seperguruan ini bisa jatuh ke tanganmu?" Monyet Keenam berkata, "Adikku? Maksudmu binatang ini? Ai, ceritanya panjang, kepalaku pusing, pusing!" Si nona tertawa, "Kau tak usah bilang pun aku sudah bisa menebaknya, pasti kakak pertama yang menginginkan monyet ini, lalu menyuruh kau merawatnya, dengan harapan bahwa ia akan membuat satu hulu arak untuk diminum olehnya". Monyet Keenam berkata, "Benar-benar sebuah......" Ia tadinya seperti akan berkata "omong kosong", tapi saat mengatakan satu kata yaitu 'sebuah', ia segera menahan diri dan merubah perkataannya menjadi, "Benar, benar. Tebakanmu benar".
Si nona tersenyum dan berkata, "Kakak pertama memang suka membuat rencana-rencana aneh seperti itu. Di gunung monyet ini bisa membuat arak, setelah ditangkap orang, bagaimana ia bisa memetik buah untuk membuat arak? Kalau kau melepaskan dia untuk memetik buah, bagaimana dia bisa tidak kabur?" Ia berhenti sejenak, lalu tertawa, "Kalau tidak, kenapa Monyet Keenam kita belum membuat arak?"
Monyet Keenam berkata dengan wajah sungguh-sungguh, "Adik, kau kurang ajar pada kakak seperguruan. Kau bicara sembarangan". Si nona tertawa, "Aiyo, kali ini kau sok senior. Kakak keenam, kau belum bicara tentang pokok pembicaraan kita, yaitu kenapa kakak pertama minum-minum dari pagi hingga malam tanpa henti".
Monyet Keenam berkata, "Baiklah. Waktu itu kakak pertama tak ambil pusing, langsung minta arak pada pengemis itu, aiyo, daki di badan pengemis itu tiga cun tebalnya, bajunya yang usang bolong-bolong dimakan kutu, mukanya penuh air mata dan ingus, kemungkinan besar hulunya juga banyak riak dan ingusnya......" Si nona menutup mulutnya sambil mengerutkan dahi, "Tak usah bicara lagi, kau buat mual orang yang mendengarkan". Monyet Keenam berkata, "Kau mual, tapi kakak pertama tidak. Pengemis itu berkata, tiga hulu arak monyet sudah kuminum, sisanya tinggal separuh hulu lebih, pasti tak akan kuberikan padamu. Kakak pertama mengeluarkan setahil perak, katanya setahil perak itu untuk minum seteguk". Si nona merasa sebal sekaligus geli, "Bah! Dasar kemaruk".
Monyet Keenam berkata, "Pengemis itu setuju, ia menerima setahil perak itu sambil berkata, 'Seteguk saja, tidak boleh lebih!' Kakak pertama berkata, 'Sudah bilang seteguk, ya cuma seteguk'. Ia menempelkan hulu di bibirnya, membuka mulut dan minum. Siapa yang tahu bahwa satu teguknya begitu panjang, terdengar suara 'gluk-gluk' tanpa henti, satu tarikan napasnya cukup untuk minum setengah hulu lebih. Ternyata kakak pertama memakai ilmu pernafasan yang diajarkan guru, sehingga ia tak usah ambil napas, seperti naga hitam minum air saja. Setengah hulu lebih itu dihabiskannya sampai tetes terakhir".
Ketika semua orang mendengarkan sampai disini, mereka serentak tertawa terbahak-bahak.
Monyet Keenam kembali berkata, "Adik kecil, kalau kemarin kau ada di Hengyang, dan melihat dengan mata kepala sendiri kungfu kakak pertama yang dipakai untuk minum arak itu, kau pasti akan menyembah dia saking kagumnya. Ia 'memusatkan perhatian pada dantian[3], napas bergerak di daerah terlarang, tubuh bagai mencapai langit melewati puncak megah, tenaga dalam seakan menjulang ke angkasa menggoyang Bintang Utara', ilmu pernapasannya memang sudah mencapai kesempurnaan, begitu mendalam dan halus tanpa batas". Si nona tertawa sampai hampir terguling-guling, lalu memaki, "Dasar pembual! Kau mengambarkan kakak pertama dengan begitu nakal. Hah, kau membuat rumus ilmu tenaga dalam kita jadi lucu-lucuan, awas kau!"
Monyet Keenam tertawa, "Aku bukan mengkarang-karang cerita. Enam saudara yang ada disini juga ikut menyaksikannya. Kakak pertama menggunakan ilmu pernapasan untuk minum arak monyet, benar tidak?" Beberapa orang yang ada di sisinya semua mengangguk dan berkata, "Adik kecil, semuanya itu benar-benar terjadi".
Si nona menghela napas, lalu berkata, "Kungfu semacam ini tentunya sulit dipelajari, kita semua tak bisa, hanya dia yang bisa, tapi cuma dipakai untuk menipu pengemis supaya bisa minum araknya". Nada suaranya sepertinya agak menyesali, namun juga mengandung pujian.
Monyet Keenam berkata, "Kakak pertama menenggak habis hulu itu, pengemis itu tentu saja tidak senang, ia menarik baju kakak pertama sambil berteriak, katanya jelas-jelas ia cuma boleh minum seteguk, tapi kenapa ia minum setengah hulu lebih sampai habis? Kakak pertama tertawa dan berkata, 'Aku memang cuma minum seteguk, apa kau lihat aku ambil napas? Kalau tak ambil napas, berarti cuma seteguk. Kita kan tidak bilang seteguk besar atau seteguk kecil. Sebenarnya, aku juga cuma minum setengah teguk, belum seteguk penuh. Seteguk satu tahil, setengah teguk harganya lima kepeng. Jadi kembalikan lima kepengku!' "
Si gadis tertawa, "Sudah minum arak orang, masih minta kembalian?" Monyet Keenam berkata, "Pengemis itu begitu sedih sampai hampir menangis. Kakak pertama berkata, 'Saudara, kulihat kau begitu khawatir, kau pasti seorang penikmat arak bagus. Ayo, ayo, ayo, kutraktir kau, silahkan minum sampai mabuk'. Ia menarik pengemis itu masuk ke kedai arak di tepi jalan, lalu keduanya saling bersulang tanpa henti, semangkuk demi semangkuk. Kami menunggu sampai tengah hari, tapi mereka berdua masih minum. Kakak pertama minta monyet ini dari si pengemis, lalu minta aku mengurusnya. Setelah lewat tengah hari, pengemis itu rubuh karena mabuk, merangkak-rangkak tapi tak bisa bangun. Kakak pertama sendiri masih terus minum, tapi kalau bicara lidahnya kelu, ia menyuruh kami pergi ke Hengshan, dan dia nanti akan menyusul".
Si gadis berkata, "Ternyata begitu kejadiannya". Ia bergumam untuk beberapa saat, lalu berkata, "Apa pengemis itu anggota Gaibang[4] ?" Orang yang bertampang kuli menggeleng, "Bukan, dia tak bisa silat, dan di punggungnya juga tak ada kantungnya".
Gadis itu memandang keluar untuk beberapa saat, ia melihat bahwa hujan masih belum berhenti, lalu berkata pada dirinya sendiri, "Kalau kemarin kau datang kesini bersama mereka, tentunya hari ini kau tak usah kehujanan".
Monyet Keenam berkata, "Adik kecil, katanya kau dan kakak kedua menjumpai banyak hal aneh di sepanjang jalan, ceritakanlah pada kami". Si gadis berkata, "Kenapa kalian tak sabaran? Tunggu kakak pertama datang baru bercerita juga tak terlambat, supaya aku tidak usah bercerita dua kali. Kalian rencananya akan bertemu di mana?" Monyet Keenam berkata, "Belum ada rencana. Kota Hengshan tidak besar, pasti bisa bertemu. Baiklah, kau menipu aku sehingga aku bercerita soal kakak pertama minum arak monyet, tapi kau sendiri tak mau bercerita tentang pengalamanmu".
Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkan gadis itu, ia berkata, "Kakak kedua, bagaimana kalau kau saja yang bercerita pada kakak keenam dan yang lain-lain?" Ia melirik ke arah punggung Lin Pingzhi dan berkata lagi, "Disini banyak mata-mata, ayo kita cari penginapan dulu, lalu baru bicara dengan tenang".
Seseorang bertubuh tinggi besar yang dari tadi diam saja, sekarang ikut bicara, "Penginapan besar dan kecil di kota Hengshan semua penuh dengan tamu-tamu yang ingin memberi selamat, kita juga tak mau menganggu keluarga Liu, tak lama lagi kita akan bertemu kakak pertama, kita pergi ke luar kota saja untuk bermalam di kuil atau rumah abu. Kakak kedua, bagaimana pendapatmu?" Saat itu kakak pertama belum datang, maka orang tua itu menjadi pemimpin saudara-saudara seperguruannya. Ia mengangguk dan berkata, "Baik. Kita tunggu disini saja".
Monyet Keenam sifatnya paling tak sabaran, ia berkata dengan suara pelan, "Si bongkok ini kelihatannya adalah seorang dungu, ia sudah duduk disini selama setengah hari, diam saja, apa dia waras? Kakak kedua, kau dan adik kecil datang ke Fuzhou untuk mencari apa? Biro Pengawalan Fu Wei sudah dihancurkan Perguruan Qingcheng, keluarga Lin itu apa benar-benar punya ilmu silat yang hebat?"
Ketika Lin Pingzhi mendengar mereka tiba-tiba membicarakan biro pengawalan milik keluarganya, ia makin seksama menyimak percakapan mereka.
Orang tua itu berkata, "Aku dan adik kecil bertemu dengan guru di Changsha, beliau menyuruh kami untuk pergi ke kota Hengshan, untuk bertemu dengan kakak pertama dan saudara-saudara seperguruan lain. Mengenai kejadian di Fuzhou, tak usah dibicarakan sekarang. Kenapa Tuan Mo Da tiba-tiba datang kesini dan mempertunjukkan jurus 'Sekali Tikam Menjatuhkan Sembilan Angsa' ini? Kalian semua melihatnya, benar tidak?" Monyet Keenam berkata, "Benar". Ia segera menceritakan satu persatu mengenai bagaimana semua orang membicarakan Liu Zhengfeng yang akan mencuci tangan di baskom emas, dan bagaimana Tuan Mo Da tiba-tiba muncul dan membuat semua orang terkejut.
Orang tua itu mendehem, tak berbicara untuk beberapa saat, lalu berkata, "Semua orang di dunia persilatan berkata bahwa Tuan Mo Da dan Tuan Ketiga Liu tidak cocok.
Sekarang Tuan Ketiga Liu akan mencuci tangan di baskom emas, akan tetapi Tuan Mo Da tidak diketahui keberadaannya, benar-benar membuat orang menebak-nebak apa sebabnya". Si pembawa sempoa berkata, "Kakak kedua, katanya ketua Perguruan Taishan, Pendeta Tianmen, sendiri hadir secara pribadi, dan sekarang sudah tiba di rumah keluarga Liu". Orang tua itu berkata, "Pendeta Tianmen sendiri datang? Muka Tuan Ketiga Liu sangat cemerlang. Karena sekarang Pendeta Tianmen sudah tinggal di rumah keluarga Liu, kalau kakak beradik seperguruan Mo dan Liu benar-benar berseteru, Tuan Ketiga Liu akan didukung oleh Pendeta Tianmen, seorang jago berilmu tinggi, Tuan Mo Da belum tentu bisa mengalahkannya".
Si gadis berkata, "Kakak kedua, Ketua Yu dari Perguruan Qingcheng akan membantu siapa?"
Begitu Lin Pingzhi mendengar lima kata "Ketua Yu dari Perguruan Qingcheng" itu, dadanya langsung berguncang hebat, seakan dipukuli keras-keras oleh seseorang.
Monyet Keenam dan yang lain serentak berbicara, "Ketua Yu sudah datang?" "Mengundang dia turun Gunung Qingcheng benar-benar tidak gampang". "Perguruan Heng Shan pasti ramai karena banyak jagoan berkumpul, jangan-jangan akan ada pertarungan diantara naga dan harimau". "Adik kecil, kau dengar dari siapa Ketua Yu sudah datang?"
Si gadis berkata, "Tidak perlu diberitahu orang, aku sudah melihat dia datang dengan mata kepalaku sendiri". Monyet Keenam berkata, "Kau sudah lihat Ketua Yu, di kota Hengshan?" Si gadis berkata, "Tidak cuma di kota Hengshan, tapi juga di Propinsi Fujian dan Jiangxi".
Si pembawa sempoa berkata, "Ketua Yu buat apa datang ke Fuzhou? Adik kecil, kau pasti tak tahu".
.
Si gadis berkata, "Kakak kelima, kau tak usah mendesak aku. Aku tadinya mau bicara, tapi karena kau membuatku kesal, aku tak akan bicara". Monyet Keenam berkata, "Ini urusan Perguruan Qingcheng, kalau didengar orang lain juga bukan masalah besar. Kakak kedua, untuk apa Ketua Yu datang ke Fujian? Kalian bagaimana bisa melihat dia?"
Orang tua itu berkata, "Kakak pertama belum datang, hujan pun belum berhenti, kita tidak ada kerjaan, biar aku ceritakan dari awal. Kita semua sudah tahu ujung pangkalnya, di kemudian hari kalau bertemu orang Perguruan Qingcheng, kalian sudah tahu harus berbuat apa. Di bulan dua belas tahun lalu, kakak pertama berkelahi dengan
Hou Renying dan Hong Renxiong dari Perguruan Qingcheng......"
"Hei!" Monyet Keenam tiba-tiba berkata, lalu tertawa. Si gadis melirik ke arahnya dan berkata, "Apa yang lucu?" Monyet Keenam tertawa terpingkal-pingkal, "Aku menertawai dua orang yang sok penting itu. Renying, Renxiong[5] nama macam apa itu? Bahkan di dunia persilatan mereka juga dijuluki 'Yingxiong Haojie, Qingcheng Sixiu' [6]. Malah lebih bagus namaku yang biasa-biasa saja, 'Lu Dayou', pasti tak akan mengundang masalah". Si gadis berkata, "Bagaimana bisa tak mengundang masalah? Kalau kau bukan marga Lu[7], tidak bernama Lu Dayou, dan diantara saudara-saudara seperguruan tidak menempati urutan keenam, bagaimana kau bisa dijuluki 'Monyet Keenam'? Lu Dayou tertawa, "Baiklah, sejak hari ini, aku akan merubah namaku menjadi 'Lu Dawu' [8]
Seseorang berkata, "Kau jangan memotong pembicaraan kakak kedua". Lu Dayou berkata, "Hei! Aku tak akan memotong pembicaraan kakak kedua!" Senyum mengembang di wajahnya. Si gadis mengerutkan keningnya seraya berkata, "Apa yang lucu? Kau ini memang suka buat onar!"
Lu Dayou tertawa dan berkata, "Aku ingat ketika kakak pertama menendang Hou Renying dan Hong Renxiong sampai jatuh terguling-guling tujuh atau delapan kali, mereka masih tak tahu orang yang menendang mereka itu siapa, dan juga tak tahu kenapa mereka kena pukul padahal semuanya adem ayem saja. Ternyata begitu kakak pertama mendengar nama mereka ia langsung merasa sebal, sambil minum arak ia berteriak keras-keras, 'Beruang Hitam[9] Babi Hutan, Empat Binatang Qingcheng' [10]. Hou dan Hong berdua jelas murka, dan hendak menantang berkelahi, tapi malah kena tendang kakak pertama sampai jatuh dari loteng kedai arak, hahaha!"
Begitu mendengar tentang hal itu, hati Lin Pingzhi menjadi lega, tiba-tiba ia merasa suka pada "kakak pertama" itu. Walaupun ia belum pernah bertemu dengan Hou Renying dan Hong Renxiong, namun mereka adalah saudara seperguruan Fang Renzhi dan Yu Renhao. Dengan menendang kedua orang itu sampai jatuh dari loteng kedai arak, "kakak pertama" telah membantu Lin Pingzhi melampiaskan amarahnya.
Orang tua itu berkata, "Ketika kakak pertama berkelahi dengan Hou dan Hong, mereka tidak tahu dia itu siapa, setelah kejadian itu mereka mengadakan penyelidikan. Maka Ketua Yu kemudian menulis surat kepada guru, kata-katanya sangat sopan, ia mengatakan bahwa ia kurang disiplin dalam mengajari murid-muridnya, sehingga murid-muridnya melakukan sesuatu yang menyinggung perguruan kita yang mulia dan murid-muridnya yang terhormat, oleh karena itu ia mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan sebagainya". Lu Dayou berkata, "Si marga Yu ini memang benar-benar licik. Ia menulis surat mohon maaf, tapi bukankah ia sebenarnya mengadu pada guru? Sampai kakak pertama harus berlutut di depan gerbang sehari semalam. Guru baru mengampuni dia setelah semua saudara perguruan memohonkan ampun". Si gadis berkata, "Mengampuni apa? Bukankah setelah itu ia masih dipukul dengan tongkat tiga puluh kali?" Lu Dayou berkata, "Aku menemani kakak pertama, ikut kena pukul sepuluh kali. He he, tapi bisa melihat kedua bocah Hou Renying dan Hong Renxiong itu jatuh terguling-guling dari loteng secara mengenaskan seperti itu, dipukul sepuluh kali dengan tongkat juga aku tidak menyesal. Hahaha!"
Si jangkung berkata, "Aku muak melihat kau seperti ini, kau sama sekali tak bertobat sedikitpun, sepuluh pukulan itu tak ada gunanya!" Lu Dayou berkata, "Bagaimana aku harus bertobat? Kalau kakak pertama mau menendang orang sampai jatuh dari loteng, bagaimana aku bisa mencegahnya?" Si jangkung berkata, "Tapi kau kan bisa menasehati dia. Perkataan guru benar: Lu Dayou mana bisa mendamaikan orang, kemungkinan besar dia malah menambah panas suasana, pantas kena pukul sepuluh kali dengan tongkat. Hahaha!" Orang-orang lain juga ikut tertawa.
Lu Dayou berkata, "Kali ini guru benar-benar memperlakukan aku dengan tidak adil. Coba kau pikir, tendangan kakak pertama sangat cepat, kedua pahlawan itu masing-masing menyerang dari kiri dan kanan, tapi kakak pertama cuma mengangkat cawan arak, tenang-tenang menengak araknya. Aku berteriak, 'Kakak pertama, hati-hati!' Tapi terdengar bunyi 'plak plak!' dua kali, lalu 'buk, buk!', tahu-tahu kedua pahlawan itu jatuh terguling-guling di tangga. Aku ingin melihat lebih jelas lagi supaya bisa mempelajari jurus 'Tendangan Ekor Macan Tutul' kakak pertama yang istimewa. Tapi aku tidak sempat melihatnya, jadi bagaimana aku bisa mempelajarinya? Bagaimana caranya aku bisa menambah panas suasana?"
Si jangkung berkata, "Monyet Keenam, aku mau tanya padamu. Waktu kakak pertama meneriakkan 'Beruang Hitam Babi Hutan, Empat Binatang Qingcheng' itu, kau ikut teriak atau tidak, kau harus bicara dengan jujur padaku". Lu Dayou tertawa cekikikan, lalu berkata, "Karena kakak pertama sudah berteriak, kita adik-adik seperguruannya, bagaimana bisa tak ikut teriak untuk mendukung kakak pertama? Apa kau mau suruh aku membantu Perguruan Qingcheng memaki kakak pertama?" Si jangkung tersenyum dan berkata, "Oh, begitu? Guru sama sekali tak memperlakukan kau dengan tak adil".
Lin Pingzhi berkata dalam hati, "Ternyata si Monyet Keenam ini juga orang baik, entah mereka dari perguruan apa?"
Si orang tua berkata, "Guru sudah menegur kakak pertama, kita semua harus mengingatnya. Guru berkata, 'Di dunia persilatan, julukan orang yang mempelajari ilmu silat sangat banyak. Semuanya dilebih-lebihkan, misalnya 'Penggetar Langit Selatan', atau 'Pendekar Pengejar Angin', 'Terbang Di Atas Rumput' dan lain-lain. Untuk apa kalian mengurusi hal-hal semacam itu? Kalau orang lain ingin disebut 'yingxiong haojie', kalian biarkan saja mereka. Kalau kelakuan mereka memang seperti pahlawan dan orang gagah, tentunya kita mengagumi mereka dan ingin menjalin persahabatan, bagaimana kita bisa memusuhi mereka? Tapi kalau mereka bukan pahlawan dan orang gagah, dunia persilatan akan menghakimi mereka, semua orang akan memandang rendah, untuk apa kalian mengurusi mereka?' Semua orang mengangguk sambil memuji. Lu Dayou berkata dengan suara pelan, "Tapi julukanku 'Monyet Keenam' inilah yang paling bagus, dijamin tak ada orang yang dengar lantas marah".
Si orang tua berkata, "Peristiwa kakak tertua menendang Hou Renying dan Hong Renxiong dari loteng itu dianggap sebagai kejadian yang sangat memalukan bagi Perguruan Qingcheng, oleh karena itu mereka lebih suka tutup mulut. Murid-murid perguruan kita sendiri juga jarang yang tahu. Guru juga terus memperingatkan supaya kita tidak menyebarkan desas-desus di luar, untuk menghindari perselisihan. Sejak saat ini, kita jangan membicarakannya lagi, supaya tidak terdengar orang lain lalu disebarluaskan".
Lu Dayou berkata, "Sebenarnya kungfu Perguruan Qingcheng itu hanya besar namanya saja, kalau kita membuat mereka tersinggung, sebenarnya juga bukan masalah besar......"
Sebelum ia menyelesaikan perkataannya, si orang tua sudah membentaknya, "Adik keenam, kau jangan bicara sembarangan, awas kalau aku pulang akan kulaporkan kepada guru, kau akan dipukul dengan tongkat sepuluh kali lagi. Kakak pertama dengan jurus 'Tendangan Ekor Macan Tutul' bisa menendang mereka dari loteng karena, pertama, ia mengambil keuntungan dari ketidaksiapan mereka, kedua, kakak pertama adalah tokoh yang menonjol di perguruan kita, tidak bisa ditandingi orang lain. Apa ilmu kalian sudah cukup untuk menendang mereka dari loteng?"
Lu Dayou menjulurkan lidahnya dan melambaikan tangannya sambil berkata, "Jangan bandingkan aku dengan kakak pertama".
Wajah orang tua itu nampak serius, ia berkata, "Ketua Yu dari Perguruan Qingcheng saat ini adalah pendekar yang luar biasa di dunia persilatan, siapa yang memandang rendah dia, tentu akan mengalami nasib buruk. Adik kecil, kau sudah melihat Ketua Yu, menurutmu dia itu bagaimana?"
Si gadis berkata, "Ketua Yu? Dia turun tangan dengan sangat kejam. Aku......aku sangat takut melihat dia. Setelah ini aku......aku tidak ingin bertemu dengannya lagi". Suaranya agak gemetar, seakan masih ketakutan. Lu Dayou berkata, "Ketua Yu turun tangan dengan sangat kejam? Apa kau lihat dia membunuh orang?" Tubuh si gadis seakan mengkerut, ia tak menjawab pertanyaan itu.
Si orang tua berkata, "Pada hari itu, ketika guru menerima surat Ketua Yu, ia begitu marah sampai ia memberi hukuman pukul yang berat pada kakak pertama dan adik keenam. Keesokan harinya ia menulis surat, lalu menyuruh aku mengantarkannya ke Gunung Qingcheng......"
Beberapa murid serentak berseru, "Ternyata hari itu ketika kau buru-buru turun gunung, kau pergi ke Qingcheng?" Si orang tua berkata, "Benar. Hari itu guru memerintahkan padaku untuk tidak memberitahu saudara-saudara yang lain, untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan". Lu Dayou bertanya, "Hal-hal yang tak diinginkan seperti apa? Guru sangat hati-hati. Kalau beliau memerintahkan sesuatu, pasti ada maksudnya, siapa yang berani tak menurut?"
Si jangkung berkata, "Kau tahu apa? Walaupun kakak kedua bicara padamu, tapi kau tentu bisa kelepasan bicara pada kakak pertama. Walaupun kakak pertama tidak berani melawan perintah guru, tapi ia bisa membuat onar dengan Perguruan Qingcheng menggunakan akal bulus yang licik dan aneh-aneh".
Si orang tua berkata, "Adik ketiga benar. Kakak pertama punya banyak teman di dunia persilatan, kalau dia ingin melakukan sesuatu, belum tentu ia sendiri yang turun tangan. Guru berkata kepadaku, bahwa seluruh isi surat itu adalah permintaan maaf kepada Ketua Yu, yaitu bahwa murid-muridnya telah berbuat onar, bahwa ia sangat menyesal, dan bahwa mereka seharusnya dikeluarkan dari perguruan, akan tetapi kalau ia melakukan hal ini, dunia persilatan akan mengira bahwa ada perselisihan diantara kedua perguruan kita yang mulia, tentunya akan sangat tidak enak dilihat, saat ini ia mempunyai dua murid yang bandel......" Berkata sampai disini, ia melirik Lu Dayou.
Lu Dayou nampak sebal, ia berkata dengan kesal, "Aku murid yang bandel!" Si gadis berkata, "Kau kalau dianggap sama dengan kakak pertama, apa kau merasa terhina?" Lu Dayou langsung merasa senang, ia berseru, "Betul! Betul! Ambilkan arak! Ambilkan arak!"
Kedai teh itu hanya menjual teh tidak menjual arak, pelayan kedai berlari menghampiri dan berkata, "Ha ni jia, Ha kedai kecil ini hanya punya Dongting Chun, Shuixian, Longqing, Qimen, Puer dan Tieguanyin[11]. Ha ni jia, tidak jual arak, ha ni jia". Orang dari Hengyang dan daerah Hengshan, kalau berbicara sering menambahkan kata 'ha' di awal kalimat. Pelayan kedai teh ini termasuk yang parah. Ni jia adalah singkatan ni lao ren jia[12], sebuah panggilan yang menunjukkan rasa hormat.
Lu Dayou berkata, "Ha ni jia, ha kedaimu yang mulia ini tidak jual arak, ha aku mau minum teh saja, tidak minum arak tidak apa-apa, ha ni jia". Pelayan kedai teh berkata, "Baik! Baik! Ha ni jia". Ia menuang air mendidih ke dalam beberapa poci teh sampai penuh.
Si orang tua berkata, "Di dalam surat guru, disebutkan bahwa kedua murid bandel sudah dihukum berat dengan dipukul, seharusnya keduanya dikirim ke Qingcheng untuk mohon maaf sebesar-besarnya, akan tetapi setelah dipukul kedua murid itu terluka parah, susah berjalan, maka ia mengirim murid kedua Lao Denuo untuk mengambil alih tanggung jawab. Keonaran ini seluruhnya disebabkan karena murid-murid yang bandel itu, ia berharap agar Ketua Yu sudi mengingat hubungan yang selalu baik diantara kedua perguruan, Qingcheng dan Huashan, dan tidak merasa tersinggung, di kemudian hari bila ia bertemu dengan Ketua Yu, ia sendiri akan minta maaf secara pribadi".
Lin Pingzhi berkata dalam hati, "Ternyata namamu Lao Denuo. Kalian anggota Perguruan Huashan, salah satu dari Perguruan Pedang Lima Puncak. Surat itu menyebut-sebut 'hubungan yang selalu baik diantara kedua perguruan' ". Mau tak mau jantungnya berdebar-debar, "Lao Denuo ini dan si gadis jelek sudah pernah melihatku dua kali, aku tak boleh membiarkan diriku dikenali oleh mereka".
Terdengar Lao Denuo kembali berkata, "Ketika aku tiba di Qingcheng, Hou Renying sudah tak mempersalahkan masalah itu, si Hong Renxiong masih merasa mendendam, beberapa kali ia mengeluarkan kata-kata pedas dan mencoba mengajak aku berkelahi......"
Lun Dayou berkata, "Sialan, orang-orang Perguruan Qingcheng itu begitu garang! Kakak kedua, kalau mau berkelahi, berkelahi saja, kau takut apa? Aku tahu si marga Hong itu bukan tandinganmu". Lao Denuo berkata, "Guru menyuruh aku naik ke Gunung Qingcheng untuk mohon maaf, bukan untuk membuat onar. Saat itu aku bersikap sabar dan tidak membalas. Aku menunggu selama enam hari di Gunung Qingcheng, sampai hari ketujuh aku baru diterima oleh Ketua Yu". Lu Dayou berkata, "Hah! Sombong sekali! Kakak kedua, jangan-jangan enam hari dan malam itu adalah saat-saat yang tidak enak bagimu".
Lao Denuo berkata, "Tentunya tidak sedikit kata-kata pedas yang kuterima dari murid-murid Qingcheng. Untungnya dalam hati aku tahu, guru mengutus aku untuk melakukan hal itu, bukan karena ilmu silatku lebih tinggi dari orang lain, tapi karena umurku sudah lanjut, dibandingkan dengan adik-adik seperguruan lain, aku tidak gampang marah. Semakin aku bisa menahan diri, semakin bisa menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Mereka tidak mengira, bahwa menyuruh aku tinggal selama enam hari di Kuil Cemara Angin di Gunung Qingcheng, akibatnya ternyata tidak baik bagi mereka. Aku tinggal di Kuil Cemara Angin dan tidak pernah bisa menemui Ketua Yu, maka aku merasa sangat bosan. Pada hari ketiga, pagi-pagi setelah bangun tidur aku berjalan-jalan, diam-diam aku melakukan latihan pernapasan supaya tidak lupa. Aku berjalan tak tentu arah sampai ke tempat berlatih silat di belakang Kuil Cemara Angin, dimana aku melihat banyak murid Perguruan Qingcheng sedang berlatih. Di dunia persilatan, menonton orang lain berlatih adalah tabu, maka aku segera berbalik dan kembali ke kamarku. Tapi aku sempat melihat sekilas sesuatu yang membuatku sangat curiga. Murid-murid itu semua mengunakan pedang, jelas-jelas sedang berlatih ilmu pedang yang sama, setiap orang baru saja mempelajarinya, oleh karena itu saat melancarkan jurus-jurusnya mereka masih kaku. Aku tak tahu ilmu pedang apa itu, karena aku hanya melihat sekilas dan tidak sempat melihat secara jelas. Setelah kembali ke kamar, makin lama kupikirkan makin aneh. Perguruan Qingcheng sudah lama termasyur, banyak murid-muridnya yang sudah masuk perguruan selama dua puluh tahun, lagipula murid-murid itu ada yang masuk terlebih dahulu dan ada yang belakangan, bagaimana murid-murid itu semua bisa serentak mempelajari ilmu pedang yang sama? Terutama karena diantara murid-murid yang berlatih pedang itu terdapat mereka yang disebut 'Empat Ksatria Qingcheng', yaitu Hou Renying, Hong Renxiong, Yu Renhao dan Luo Renjie. Saudara-saudara semua, kalau kalian melihat kejadian ini, apa pendapat kalian?"
Si pembawa sempoa berkata, "Mungkin Perguruan Qingcheng baru mendapatkan kitab ilmu pedang kuno yang dirahasiakan, atau mungkin Ketua Yu baru menciptakan ilmu pedang baru, oleh karena itu ia mengajarkannya kepada murid-muridnya".
Lao Denuo berkata, "Waktu itu aku juga punya pikiran yang sama, tapi setelah kupikir dengan hati-hati, kurasa itu tidak benar. Dengan taraf ilmu pedang Ketua Yu yang tinggi, kalau ia menciptakan jurus pedang baru, tentunya jurus-jurus pedang itu luar biasa. Kalau berasal dari kitab ilmu pedang rahasia, ilmu pedangnya tentunya sangat tinggi, kalau tidak dia tentunya hanya akan memandang sebelah mata dan tidak menyuruh murid-muridnya mempelajarinya. Bukankah hal ini bisa merusak ilmu pedang
perguruannya sendiri? Kalau jurus-jurus itu sangat hebat, murid-murid biasa tidak akan bisa memahaminya, kemungkinan besar ia akan memilih tiga atau empat murid yang berkepandaian tinggi untuk diajari, bukan menyuruh empat puluh lebih murid untuk serentak mempelajarinya. Ini seperti seorang guru silat yang mengajar hanya demi uang semata, apakah ini perbuatan seorang pendekar besar dari perguruan terkenal aliran lurus? Di pagi hari berikutnya, ketika aku melewati tempat berlatih di belakang kuil, aku melihat mereka masih berlatih pedang. Aku tak berani berhenti melangkah, namun dengan melihat sekilas, aku berhasil mengingat-ingat dua jurus, aku pikir setelah pulang nanti aku akan minta penjelasan guru. Saat itu Ketua Yu masih belum menemui aku, mau tak mau aku mengira bahwa Perguruan Qingcheng memendam rasa permusuhan terhadap Perguruan Huashan kita. Jurus-jurus pedang baru yang mereka pelajari, mungkin akan dipakai untuk menghadapi perguruan kita, maka aku mau tak mau harus lebih berhati-hati".
Si jangkung berkata, "Kakak kedua, mungkinkah mereka sedang berlatih formasi pedang baru?"
Lao Denuo berkata, "Mungkin saja. Tapi waktu itu aku melihat mereka berlatih berpasangan, pihak yang menyerang dan bertahan, keduanya memakai jurus-jurus yang sama, tidak seperti formasi pedang. Pagi-pagi pada hari ketiga, aku sedang berjalan-jalan melewati tempat latihan, tapi kulihat tempat latihan itu sunyi senyap, sama sekali tak ada seorangpun disana. Aku tahu mereka sengaja menghindariku, di dalam hati aku merasa curiga. Aku cuma berjalan-jalan biasa, hanya bisa melihat dari jauh, memangnya bisa melihat rahasia apa? Kelihatannya mereka sedang mempelajari suatu ilmu pedang lihai untuk menghadapi perguruan kita, kalau tidak kenapa mereka begitu khawatir? Malam itu, ketika tidur di atas ranjang aku bolak-balik memikirkan hal itu, sama sekali tak bisa tidur. Tiba-tiba dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara senjata beradu. Aku terkejut, jangan-jangan kuil ini kedatangan musuh yang hebat? Hal pertama yang terpikir olehku adalah, mungkinkah setelah kakak pertama menerima hukuman dari guru, ia menjadi gusar dan menyerang Kuil Cemara Angin? Dia sendirian melawan orang banyak, bagaimanapun juga aku harus membantunya. Kali ini di Gunung Qingcheng, aku tak membawa senjata, karena terburu-buru, aku tak bisa mencari pedang, terpaksa maju dengan tangan kosong......"
Lu Dayou tiba-tiba memuji, "Luar biasa! Kakak kedua, kau benar-benar pemberani! Aku tak berani melawan ketua Perguruan Qingcheng hanya dengan tangan kosong, Ketua Kuil Cemara Angin Yu Canghai!"
Lao Denuo berkata dengan gusar, "Monyet Keenam, kau ini bicara apa? Aku tidak bilang aku ingin melawan Ketua Yu dengan tangan kosong, tapi bahwa aku khawatir kakak pertama sedang dalam bahaya. Aku tahu jelas bahaya menghadang, namun mau tak mau aku harus menghadapinya. Apa kau suruh aku bersembunyi seperti seekor kura-kura yang menyembunyikan kepalanya?"
Ketika mendengar perkataan itu, para adik seperguruan tertawa. Lu Dayou membuat mimik muka yang lucu, lalu tertawa, "Aku kagum padamu, aku memujimu, kenapa kau malah naik darah?" Lao Denuo berkata, "Terima kasih. Pujian semacam ini tidak enak kedengarannya di telingaku". Beberapa adik seperguruan serentak berkata, "Kakak kedua cepat teruskan ceritamu, jangan biarkan Monyet Keenam menganggumu".
Lau Denuo meneruskan, "Aku segera diam-diam bangkit, lalu mencari asal suara itu, tapi makin dekat suara senjata beradu itu makin keras, hatiku meloncat-loncat tak keruan, diam-diam aku berpikir, 'Kita berdua ada di kolam naga dan sarang harimau, ilmu silat kakak pertama hebat, mungkin dia bisa kembali hidup-hidup, namun aku dalam keadaan bahaya'. Aku dengar suara senjata beradu dari belakang aula, di jendela belakang aula nampak sinar lentera bersinar terang benderang, aku membungkukkan badan dan perlahan-lahan berjalan mendekati, lalu melihat ke dalam lewat sela-sela jendela, saat itu aku menghembuskan napas panjang dan hampir tak bisa menahan tawa. Ternyata kecurigaanku menciptakan ketakutan yang aneh-aneh, beberapa hari belakangan itu Ketua Yu tak memperdulikan aku, aku jadi membayangkan yang tidak-tidak, selalu berpikir tentang hal-hal yang buruk. Dari mana kakak pertama datang untuk mencari musuh dan membuat onar? Aku melihat di dalam aula nampak dua pasang orang yang sedang beradu pedang, yang sepasang adalah Hou Renying dan Hou Renxiong, sedangkan yang sepasang lagi adalah Fang Renzhi dan Yu Renhao".
Lu Dayou berkata, "Hei! Murid-murid Perguruan Qingcheng ternyata sangat rajin belajar, malam-malam masih berlatih. Ini namanya mengasah tombak sebelum pergi berperang, atau membakar dupa di hari-hari biasa, atau mencengkeram kaki Buddha ketika dalam kesulitan[13]".
Lao Denuo melirik ke arah Lu Dayou sambil tersenyum, lalu meneruskan, "Aku lihat di tengah-tengah aula belakang, duduk seorang pendeta Tao bertubuh pendek kecil yang seluruh tubuhnya dibalut jubah hijau, kira-kira berumur lima puluh tahun, wajahnya cekung. Kalau melihat penampilannya, berat tubuhnya tak lebih dari tujuh atau delapan puluh jin saja. Menurut perkataan orang di dunia persilatan, ketua Perguruan Qingcheng adalah seorang pendeta bertubuh kerdil, tapi kalau tidak melihat sendiri, aku tidak percaya bahwa ia begitu mungil, dan juga tidak percaya bahwa dia adalah Ketua Yu yang begitu terkenal di kolong langit ini. Banyak murid-murid yang mengelilinginya, mereka semua memandang tanpa berkedip keempat murid yang sedang berlatih pedang. Setelah melihat beberapa jurus, aku segera tahu jurus apa yang sedang mereka mainkan, yaitu jurus-jurus baru yang sedang mereka pelajari beberapa hari belakangan itu".
"Aku tahu bahwa pada saat itu keadaan sangat berbahaya, kalau sampai diketahui orang Perguruan Qingcheng, tak hanya diriku sendiri yang terkena aib, kalau sampai tersebar keluar, nama baik perguruan kita juga akan tercoreng. Ketika kakak pertama menendang jatuh pemimpin 'Empat Ksatria Qingcheng' Hou Renying dan Hong Renxiong dari loteng, walaupun guru menghukum pukul kakak pertama, mengatakan bahwa dia melanggar peraturan perguruan, membuat onar dan menyinggung teman, namun dalam hati ia bisa-bisa malah merasa senang. Bagaimanapun juga, kakak pertama telah mengharumkan nama perguruan, 'Empat Ksatria Qingcheng' saja tak sanggup menangkis tendangan murid pertama perguruan kita. Tapi kalau aku mencuri lihat rahasia mereka, lalu tertangkap, aku akan lebih rendah dari maling yang mencuri harta orang. Begitu aku pulang, guru akan murka dan mengeluarkan aku dari perguruan".
"Tapi aku lihat mereka berlatih dengan sangat seru, mungkin masalah ini ada hubungannya dengan perguruan kita, bagaimana aku bisa memalingkan kepala? Dalam hati aku berkata, 'Aku hanya akan melihat beberapa jurus saja, lalu pergi'. Tapi setelah melihat beberapa jurus, aku melihat beberapa jurus lagi. Ilmu pedang keempat orang itu sangat aneh, seumur hidupku aku belum pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Tapi kalau ada yang berkata bahwa ilmu pedang ini kuat, aku rasa juga tidak. Aku cuma merasa ada sesuatu yang aneh, 'Kelihatannya tidak ada yang luar biasa di dalam ilmu pedang ini, untuk apa Perguruan Qingcheng siang malam meningkatkan latihannya? Jangan-jangan ilmu pedang ini adalah lawan ilmu pedang Perguruan Huashan kita? Sepertinya tidak'. Setelah menyaksikan beberapa jurus lagi, aku tak berani terus menonton, maka selagi mereka berempat sedang bertarung dengan seru, aku segera diam-diam kembali ke kamar. Kalau aku menunggu sampai mereka berhenti berlatih pedang, dan tidak lagi mengeluarkan suara, nanti aku tidak bisa meloloskan diri lagi. Ilmu silat Ketua Yu begitu hebat, di luar aula aku cuma berani berjalan selangkah demi selangkah, khawatir kalau dia menemukan aku".
"Malam itu, walaupun suara pedang tidak berhenti terdengar, tapi aku tak berani pergi menonton. Sebenarnya, kalau aku sudah tahu terlebih dahulu bahwa mereka berlatih pedang di hadapan Ketua Yu, bagaimanapun juga aku tak akan berani mencuri lihat. Kejadian sebelumnya cuma kebetulan saja. Adik keenam memuji keberanianku, aku rasa aku tak pantas mendapat pujian itu. Malam itu kalau kau melihat wajahku yang pucat pasi, aku akan sangat malu, dan kau pasti akan memaki kakak kedua sebagai orang paling penakut di kolong langit ini. Aku harus banyak berterima kasih padamu".
Lu Dayou berkata, "Aku tak berani, aku tak berani menerima terima kasihmu! Kakak kedua kau paling tidak adalah penakut nomor dua di kolong langit. Tapi kalau bertukar tempat denganku, aku pasti tak akan ketahuan oleh Ketua Yu. Kalau takut badanku menjadi kaku, tak bisa napas, selangkahpun aku tak bisa bergerak. Tidak ada bedanya dengan mayat. Ilmu Ketua Yu tinggi, tapi ia sama sekali tak akan bisa tahu bahwa di balik jendela, ada Lu Dayou si pahlawan mayat hidup". Semua orang tertawa terpingkal-pingkal.
Lao Denuo meneruskan, "Setelah itu, akhirnya Ketua Yu sudi menemuiku. Perkataannya sangat sopan, ia berkata bahwa guru sebenarnya tak perlu menghukum berat kakak pertama. Perguruan Huashan dan Qingcheng selalu berhubungan baik, murid-muridnya kadang-kadang suka bercanda, berkelahi seperti anak kecil, kenapa harus dianggap serius? Malam itu ia menjamuku. Esok harinya pagi-pagi, aku mohon diri. Ketua Yu mengantarkan sampai ke gerbang utama Kuil Cemara Angin. Aku seseorang yang kedudukannya lebih rendah, waktu mohon diri aku harus bersujud. Lutut kiriku sudah berlutut, tapi tangan kanan Ketua Yu pelan-pelan mengangkatku supaya bangkit berdiri. Kekuatannya memang benar-benar luar biasa, aku merasa seluruh tubuhku gemetar, sama sekali tak bertenaga. Kalau dia mau melempar aku sepuluh zhang lebih, mungkin aku akan jungkir balik tujuh atau delapan kali. Saat itu aku sama sekali tidak bisa melawan. Ia tersenyum kecil, lalu bertanya, 'Kakak pertamamu dibandingkan denganmu masuk perguruan berapa tahun lebih dahulu? Kau sudah punya ilmu sebelum berguru, benar tidak?' Setelah ia mengangkatku, aku tak bisa bernapas, setelah agak lama aku baru menjawab, 'Benar, murid sudah punya ilmu sebelum berguru. Ketika murid masuk ke Perguruan Huashan, kakak pertama sudah belajar di perguruan selama dua belas tahun!'. Ketua Yu tersenyum dan berkata, 'Lebih dari dua belas tahun, hmm, lebih dari dua belas tahun' ".
Si gadis bertanya, "Ia berkata 'lebih dari dua belas tahun' apa maksudnya?" Lao Denuo berkata, "Waktu itu air mukanya sangat aneh, aku pikir ia menganggap ilmu silatku biasa-biasa saja, kalaupun kakak pertama belajar kungfu dua belas tahun lebih dahulu dibanding aku, dia belum tentu jauh lebih pandai". Si gadis mendehem dan tak berbicara lagi.
Lao Denuo meneruskan, "Setelah pulang ke gunung, aku menyampaikan surat balasan Ketua Yu kepada guru. Isi surat itu sangat sopan dan rendah hati, setelah selesai membacanya guru sangat senang, ia bertanya tentang keadaan di Kuil Cemara Angin. Aku melaporkan tentang kejadian murid-murid Qingcheng berlatih di tengah malam. Guru menyuruh aku memperagakan beberapa jurus. Aku cuma ingat tujuh atau delapan jurus saja, yang segera kuperagakan. Setelah selesai melihat, guru berkata, 'Ini adalah Ilmu Pedang Penakluk Kejahatan Biro Pengawalan Fu Wei milik keluarga Lin!' "
--
Catatan Kaki
[1] Botol yang terbuat dari labu yang dikeringkan, biasanya untuk tempat arak.
[2] Nama lain propinsi Hunan.
[3] Titik di bawah pusar yang menjadi titik pemusatan tenaga dalam.
[4] Perserikatan pengemis (Kaypang dalam Bahasa Hokkian).
[5] Renying berarti 'pahlawannya manusia', Renxiong berarti 'jantannya manusia'.
[6] Kurang lebih berarti 'Pahlawan Orang Gagah, Empat Ksatria Qingcheng'
[7] Huruf 陆 (lu) selain nama marga juga terkadang dilafalkan sebagai 'liu', yang berarti 'enam'.
[8] Huruf terakhir di nama Lu Dayou, yaitu 有 (you) berarti 'ada' atau 'punya', sedangkan 无 (wu) berarti 'tidak ada' atau 'tidak punya'. Dayou sendiri berarti 'ada banyak' atau 'berkelimpahan'. Dawu tentunya berarti sebaliknya.
[9] Selain nama binatang, juga kiasan yang berarti 'pengecut'
[10] Gouxiong Yezhu, Qingcheng Sishou --- pelesetan dari julukan Hou Renying dan Hong Renxiong.
[11] Nama jenis-jenis teh.
[12] 'Kalian semua'.
[13] Ungkapan-ungkapan ini berarti 'baru bersiap-siap pada saat-saat terakhir'.