Pendekar Hina Kelana Bab 19 - Sebuah Pertaruhan
<< Bab Sebelumnya - Halaman Utama Pendekar Hina Kelana - Bab Selanjutnya >>
Terjemahan Cersil Pendekar Hina Kelana
oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.
Berdasarkan novel edisi ketiga.
[si tuan "Hitam-Putih" mengulurkan jari telunjuk dan jari tengahnya dengan cepat dan mencengkeram bilah pedang yang menusuk. Kelima penonton tidak bisa menahan teriakan kaget.] |
Smiling Proud Wanderer Jilid 2
Bab XIX Sebuah Pertaruhan
Bagian Pertama
Saat itu keduanya itu sudah sangat lelah, mereka masing-masing bersandar pada dinding tebing dan memejamkan mata untuk beristirahat.
Tak lama kemudian, Linghu Chong tertidur, di dalam mimpinya, tiba-tiba ia melihat Yingying membawa tiga ekor kodok yang telah terpanggang hangus di tangannya, lalu memberikannya kepadanya seraya bertanya, "Apa kau sudah lupa padaku?" Linghu Chong berseru, "Tak lupa! Tak lupa! Kau......kau pergi ke mana?" Ia melihat bayangan Yingying tiba-tiba menghilang dan cepat-cepat berseru, "Kau jangan pergi! Aku ingin mengatakan banyak hal kepadamu". Namun ia malah melihat golok, tombak, pedang dan gada datang untuk membunuhnya, dan iapun berteriak keras-keras, lalu terbangun. Xiang Wentian tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata, "Kau mimpi bertemu kekasihmu, ya? Kau ingin mengatakan banyak hal padanya?"
Wajah Linghu Chong memerah, ia tak tahu apa lagi perkataannya saat bermimpi yang didengar oleh Xiang Wentian. Xiang Wentian berkata, "Adik, kalau kau ingin bertemu dengan kekasihmu, kau harus menyembuhkan lukamu dengan baik dahulu, kalau kau sudah sembuh, baru dapat mencari dia". Linghu Chong berkata dengan muram, "Aku......aku tak punya kekasih. Lagipula lukaku tak bisa disembuhkan". Xiang Wentian berkata, "Aku berhutang nyawa padamu, walaupun kau adalah adikku sendiri, namun aku merasa tak enak hati, aku harus membayar satu jiwa padamu. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat, pasti lukamu akan bisa disembuhkan".
Sebelumnya Linghu Chong sudah tak lagi memperdulikan hidup matinya karena memang tak ada pilihan lain, maka ia terpaksa bersikap tak perduli. Namun sekarang ia mendengar Xiang Wentian berkata bahwa lukanya dapat disembuhkan, kalau perkataan ini diucapkan oleh orang lain, ia belum tentu akan percaya, akan tetapi kepandaian Xiang Wentian luar biasa, ilmu silatnyapun tinggi. Selain Kakek Guru Feng Qingyang, seumur hidupnya ia belum pernah menemui orang lain yang begitu hebat, bahkan kalau dibandingkan dengan sang guru, Yue Buqun, kepandaiannya juga tentunya lebih tinggi. Maka ketika ia berkata dengan enteng tentang hal itu, artinya sangat besar. Dalam hatinya langsung timbul perasaan girang, katanya, "Aku.....aku......" Setelah mengucapkan dua kata "aku" itu, ia tak dapat berbicara lagi. Saat itu bulan sabit dingin menyinari mulut lembah, cahayanya yang murni menyelimuti bumi, dasar lembah masih gelap gulita, namun dalam pandangan Linghu Chong segalanya menjadi terang benderang, seakan mentari menyinari matanya.
Xiang Wentian berkata, "Kita akan menemui seseorang. Orang ini wataknya sangat aneh, oleh karena itu ia tak boleh tahu tentang masalah ini sebelumnya. Kalau kau percaya padaku, aku akan mengatur semuanya". Linghu Chong berkata, "Bagaimana aku bisa tak percaya? Kakak berusaha menyembuhkanku, ini adalah seperti berusaha menyembuhkan seekor kuda yang sudah mati seakan kuda itu masih hidup, memang sangat tipis harapannya. Kalau dapat sembuh, kita akan bersujud pada langit dan bumi karena hal itu adalah suatu keberuntungan yang tak terduga, tapi kalau tak dapat sembuh, hal ini adalah sesuatu yang memang sudah sepantasnya terjadi!"
Xiang Wentian tersenyum kecil, "Adik, kita berdua hidup dan mati bersama, maka aku juga tak bisa menyembunyikan apapun darimu. Namun taktik yang akan kujalankan ini tak boleh sampai bocor keluar sebelumnya, setelah masalah selesai, aku akan menjelaskan semuanya padamu". Linghu Chong berkata, "Kakak tak usah khawatir, apapun yang kau katakan, aku akan selalu menurutinya". Xiang Wentian berkata, "Adik, aku adalah pelindung kanan Sekte Rembulan dan Matahari, dalam pandangan orang-orang aliran lurusmu, tingkah laku kami mau tak mau akan terlihat agak aneh dan menyimpang. Kakak ingin kau melakukan suatu hal, kalau berhasil, akan sangat berfaedah untuk menyembuhkan lukamu, namun sebelumnya aku beritahukan dahulu, bahwa dalam masalah ini kakak akan memakai dirimu, dan akan membuatmu menelan pil pahit". Linghu Chong menepuk dadanya dan berkata, "Kau dan aku sudah mengangkat saudara, maka selembar nyawaku ini adalah milikmu. Apa artinya menelan sedikit pil pahit? Orang yang menjunjung tinggi kesetiakawanan, masa harus tawar menawar atau berusaha keras untuk membujuk seseorang?" Xiang Wentian amat girang, katanya, "Kalau begitu kita tak usah banyak saling mengucapkan terima kasih!" Linghu Chong berkata, "Tentu saja!"
Sejak ia belajar di Perguruan Huashan, perasaannya sepenuhnya tertumpah pada adik kecil seorang, walaupun ia bersahabat dengan Lu Dayou, namun ia hanya menganggapnya sebagai adik seperguruan saja. Saat ini, ia baru merasakan kesetiakawanan yang dijunjung tinggi di dunia persilatan, yaitu apa yang disebut 'persahabatan sampai mati', dimana seseorang rela untuk menyerahkan nyawanya bagi seorang sahabat. Sebenarnya ia sangat sedikit tahu mengenai pengalaman hidup, sikap dan tingkah laku Xiang Wentian, sangat jauh kalau dibandingkan dengan bagaimana ia mengenal Shi Daizi, Gao Genming dan adik-adik seperguruannya yang lain. Namun karena hatinya dipenuhi rasa kagum dan merasa senasib sepenangungan, dengan sendirinya ia menjadi seseorang yang rela mati demi sahabatnya itu.
Xiang Wentian menjulurkan lidahnya dan menjilat-jilat bibirnya, lalu berkata, "Entah kemana perginya kaki kuda itu? Sialan, aku telah membunuh begitu banyak anjing, tapi tak satupun nampak di lembah ini". Ketika melihat raut wajahnya, Linghu Chong tahu bahwa ia bermaksud untuk mencari mayat untuk dimakan, ia tercengang namun tak berani banyak bicara, maka ia memejamkan matanya dan tidur.
Pagi-pagi keesokan harinya, Xiang Wentian berkata, "Adik, disini selain rumput dan lumut tak ada sesuatu yang bisa dimakan, kalau kita akan bertahan disini, kita harus mencari mayat untuk dimakan, tapi orang-orang yang kemarin jatuh ke dasar jurang ini semua tua-tua dan liat, kurasa kau tak akan berselera memakannya".
Linghu Chong cepat-cepat berkata, "Aku sedikitpun tak punya selera makan".
Xiang Wentian tertawa, "Kalau begitu kita harus mencari jalan untuk keluar dari sini. Aku akan mengubah penampilanmu dahulu". Ia pergi ke dasar jurang untuk mencari lumpur, lalu mengoleskannya di wajahnya. Setelah itu ia mengosok-gosok dagunya untuk beberapa saat sambil mengerahkan tenaga, sehingga janggutnya yang panjang luruh seluruhnya, menyusul sepasang tangannya meremas-remas kepalanya, dan rambut beruban yang memenuhi kepalanyapun rontok semuanya sehingga kepalanya berubah menjadi botak licin. Ketika Linghu Chong melihat bagaimana dalam sekejap penampilannya dapat berubah sedemikian rupa, ia ingin tertawa sekaligus kagum. Xiang Wentian kembali mengambil lumpur dan membuat hidungnya menjadi makin besar, lalu mengoleskannya ke pipinya sehingga nampak tembam. Sekarang walaupun ada orang yang memperhatikan wajahnya dengan seksama, ia masih akan sulit dikenali.
Xiang Wentian berjalan di depan untuk mencari jalan keluar, kedua tangannya dimasukkan di dalam lengan baju, untuk menyembunyikan rantai besi yang membelenggu pergelangan tangannya, kalau ia tak mengeluarkan tangannya, tak ada orang yang tahu bahwa si botak gendut ini adalah Xiang Wentian yang gagah dan berjiwa bebas itu.
Mereka berjalan kian kemari di lembah itu, setelah lewat tengah hari, mereka menemukan sebatang pohon persik, buah persiknya masih hijau dan terasa masam di mulut, namun mereka tak perduli dan memakannya sampai kenyang. Setelah beristirahat selama satu shichen lebih, mereka berjalan lagi. Saat senja tiba, akhirnya Xiang Wentian menemukan jalan keluar dari lembah itu, namun untuk keluar mereka harus melewati sebuah tebing yang tingginya beberapa ratus chi, maka ia mengendong Linghu Chong di punggungnya, lalu mendakinya.
Setelah naik ke atas tebing, nampak sebuah jalan kecil berliku-liku yang menembus rerumputan panjang, walaupun pemandangan itu nampak liar, namun setelah berhasil keluar dari tempat berbahaya dimana burungpun tak nampak, mereka berdua menarik napas panjang.
Pagi-pagi keesokan harinya, mereka berdua berjalan ke timur, setelah sampai di sebuah kota kecil, Xiang Wentian mengambil sebuah lembaran emas dari saku dadanya, lalu meminta Linghu Chong menukarnya dengan tahil perak di toko perak. Setelah itu mereka bermalam di sebuah penginapan. Xiang Wentian memesan rupa-rupa makanan dan menyuruh pelayan penginapan untuk membawakan seguci besar arak, lalu mereka berdua minum sepuasnya sampai menghabiskan setengah guci arak itu. Tanpa makan nasi, yang seorang tertidur di meja, sedangkan yang seorang lagi terkapar mabuk di atas ranjang. Sampai sinar mentari yang merah menyinari jendela keesokan harinya, mereka barulah sadar. Mereka saling tersenyum ketika mengingat pertempuran sengit di paviliun dan balok batu kemarin lusa yang seakan terjadi di dunia lain.
Xiang Wentian berkata, "Adik, kau tunggulah disini, aku akan keluar sebentar". Namun ternyata ia pergi selama satu shichen lebih. Linghu Chong khawatir ia bertemu musuh di jalan, namun ia melihat bahwa Xiang Wentian kembali dengan membawa berbagai bungkusan kecil dan besar, sambil mengempit bermacam-macam barang. Rantai besi yang membelenggu pergelangan tangannya telah hilang entah kemana, tentunya ia telah menyuruh seorang pandai besi untuk membukanya. Xiang Wentian membuka bungkusan-bungkusan itu, ternyata isinya adalah berbagai macam pakaian mewah, katanya, "Kita berdua akan berdandan seperti saudagar kaya, makin dermawan makin baik". Mereka berdua lantas berganti pakaian sehingga penampilan mereka sama sekali berubah. Ketika mereka keluar dari penginapan, pelayan membawakan dua ekor kuda bertubuh tinggi yang indah pelana dan kekangnya, yang rupanya juga telah dibeli oleh Xiang Wentian.
Mereka berdua menunggang kuda perlahan-lahan ke timur. Setelah berjalan dua hari, Linghu Chong merasa lelah, maka Xiang Wentian menyewa sebuah kereta besar untuk ditumpanginya, sesampainya di Kanal Besar[1], mereka menukar kereta dengan kapal dan pergi ke selatan. Di sepanjang jalan, Xiang Wentian membuang uang bagai air, lembaran emas yang dibawanya seakan tak habis-habisnya dipakai. Setelah melewati Sungai Yangtze, di kedua sisi kanal nampak banyak toko dan pasar yang ramai, baju-baju yang dibeli Xiang Wentianpun makin mewah.
Di hari-hari yang panjang di atas kapal, Xiang Wentian bercerita tentang kabar dan kisah-kisah menarik dari dunia persilatan. Banyak diantaranya yang belum pernah didengar oleh Linghu Chong, maka ia mendengarkannya dengan penuh semangat. Namun Xiang Wentian tak pernah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Sekte Iblis yang bermarkas di Heimuya, dan Linghu Chong juga tak pernah menanyakannya.
Pada hari ini, mereka tiba di Hangzhou, di atas kapal Xiang Wentian dengan seksama mengatur penyamaran Linghu Chong dan dirinya sendiri, ia mengunting sedikit rambut Linghu Chong, memotongnya dengan gunting menjadi sebuah kumis tipis, lalu menempelkannya di atas bibir pemuda itu dengan lem. Setelah semuanya siap, mereka turun dari kapal, membeli dua ekor kuda dan memasuki Kota Hangzhou.
Dahulu Hangzhou dikenal dengan nama Linan, pada zaman Song Selatan kota ini pernah menjadi ibu kota, dari dulu kota ini selalu menjadi tempat yang menyenangkan untuk didiami. Di dalam kota, jalanan ramai penuh pejalan kaki, suara musik dan nyanyian terdengar dimana-mana. Linghu Chong mengikuti Xiang Wentian ke tepi Danau Barat, ia melihat ombak biru di danau yang bagai cermin, dan daun-daun pohon liu membelai air danau, pemandangannya indah bagai kediaman para dewata. Linghu Chong berkata, "Aku sering dengar orang berkata, 'di atas ada surga, di bawah ada Su dan Hang[2]. Aku belum pernah pergi ke Suzhou, dan tak tahu bagaimana rupanya. Namun hari ini aku telah melihat Danau Barat dengan mata dan kepalaku sendiri, nama besar tempat ini sebagai surga memang bukan omong kosong belaka".
Xiang Wentian tersenyum, kudanya mencongklang ke suatu tempat yang salah satu sisinya menghadap sebuah bukit kecil, sedangkan sisi lainnya dipisahkan dari air danau oleh sebuah tanggul panjang, tempat itu sungguh sunyi dan terpencil. Kedua orang itu turun dari kuda, mengikat kuda-kuda mereka di pohon liu, lalu menaiki tangga batu di sisi bukit. Xiang Wentian sepertinya telah tiba di tempat lama yang sering dikunjunginya, jalan yang mereka lalui juga telah dikenalnya dengan baik. Setelah berbelok beberapa kali, dimana-mana penuh pohon plum, batangnya yang tua tumbuh melintang, ranting dan daunnya rimbun, sehingga dapat dibayangkan betapa indahnya tempat itu di awal musim semi ketika bunga-bunganya bermekaran bagai lautan salju yang semerbak.
Mereka menerobos sebuah hutan plum yang lebat, lalu berjalan di atas sebuah jalan besar yang berlapiskan batu sampai ke sebuah rumah besar yang gerbangnya dilapisi lak merah dan putih dindingnya. Setelah mereka makin mendekat, terlihat bahwa diluar gerbang itu tertulis dua huruf besar yaitu 'Mei Zhuang'[3], disisinya tertulis empat huruf lagi, yaitu 'ditandatangani oleh Yu Yunwen'. Linghu Chong tak banyak makan sekolahan dan tak tahu bahwa Yu Yunwen adalah tokoh Dinasti Song Selatan yang berjasa mengalahkan bangsa Jin, namun ia merasa bahwa di balik huruf-huruf yang anggun itu ada semangat kepahlawanan yang kuat.
Xiang Wentian berjalan ke depan dan menarik cincin tembaga pintu gerbang yang berkilauan bagai salju karena rajin digosok, lalu berpaling seraya berbisik, "Dalam segala hal, menurutlah padaku. Adik, dalam hal ini mau tak mau kita harus mempertaruhkan nyawa, kalaupun semua berjalan dengan lancar, kau masih akan tetap mengalami kesulitan selama beberapa hari". Linghu Chong mengangguk-angguk sambil berkata, "Tak apa-apa!" Ia berpikir, "Mei Zhuang ini tentunya adalah kediaman seorang hartawan Kota Hangzhou ini, mungkinkah ini kediaman seorang tabib ternama? Kakak berkata bahwa aku harus mempertaruhkan nyawa, apakah cara pengobatan ini akan sangat menyakitkan, atau bahkan sangat berbahaya?" Ia melihat Xiang Wentian mengetuk dengan cincin itu empat kali, berhenti, mengetuk dua kali, berhenti, mengetuk lima kali, lalu berhenti lagi, dan akhirnya mengetuk tiga kali lagi. Setelah itu ia melepaskan cincin dan menunggu di samping gerbang.
Setelah beberapa lama, pintu gerbang perlahan-lahan membuka, dari dalam keluar dua orang tua yang memakai pakaian pelayan dengan berendeng pundak. Linghu Chong agak terkejut, sinar mata kedua orang itu tajam, langkah mereka kokoh, jelas bahwa ilmu silat mereka tak rendah, untuk apa mereka menjadi pelayan rendahan di tempat ini? Orang yang berada di kiri berkata, "Tuan-tuan berdua berkunjung ke wisma kami yang sederhana ini, entah ada urusan penting apa?" Xiang Wentian berkata, "Murid Perguruan Songshan dan murid Perguruan Huashan hendak mohon bertemu dengan keempat sesepuh 'Empat Sahabat Jiangnan'[4] ". Orang itu berkata, "Majikan wisma ini tak mau menemui tamu". Sambil berbicara ia hendak menutup pintu.
Xiang Wentian mengambil sebuah benda dari saku dadanya dan membentangkannya, Linghu Chong lagi-lagi terkejut ketika melihat benda yang ada di tangannya memancarkan sinar yang berkilauan, benda itu adalah bendera panca warna yang bersulamkan mutiara dan batu mulia. Linghu Chong tahu bahwa benda itu adalah bendera komando Ketua Perserikatan Zuo dari Perguruan Songshan, dimana bendera itu berada, seakan Ketua Perserikatan Zuo datang secara pribadi ke tempat itu, para anggota Perguruan Pedang Lima Puncak semua segan dan patuh pada perintah pembawa bendera itu. Linghu Chong samar-samar merasa bahwa ada sesuatu yang tak beres. Ia menduga bahwa Xiang Wentian telah mendapatkan bendera itu dengan cara-cara yang tidak benar, mungkin ia telah membunuh seorang tokoh penting Perguruan Songshan dan merampas bendera itu, ia juga berpikir bahwa mungkin orang-orang aliran lurus mengejarnya gara-gara bendera ini. Sekarang ia mengaku sebagai anggota Perguruan Songshan, entah untuk menjalankan tipu muslihat apa? Dirinya sendiri telah berjanji untuk menurut, maka ia hanya bisa diam dan menyaksikan apa yang terjadi.
Ketika kedua pelayan itu melihat bendera itu, air muka mereka agak berubah, dan mereka serentak berkata, "Bendera komando Ketua Perserikatan Zuo?" Xiang Wentian berkata, "Tepat sekali!" Pelayan yang berada di sebelah kanan berkata, "Empat Sahabat Jiangnan sama sekali tak punya hubungan dengan Perguruan Pedang Lima Puncak, bahkan kalau Ketua Perserikatan Zuo datang secara pribadi, majikan kami belum tentu.....belum tentu....hehehe". Walaupun ia tidak mengatakannya, tapi maksudnya jelas, "Walaupun Ketua Perserikatan Zuo datang secara pribadi, majikan kami belum tentu mau menemuinya". Ketua Perserikatan Zuo dari Perguruan Songshan adalah seorang tokoh yang berkedudukan tinggi dan terhormat, orang ini tidak ingin menghinanya, namun jelas bahwa orang itu mengangap kedudukan Empat Sahabat Jiangnan jauh lebih tinggi dari Ketua Perserikatan Zuo.
Linghu Chong berpikir, "'Empat Sahabat Jiangnan" ini tokoh-tokoh macam apa? Kalau mereka benar-benar punya nama besar di dunia persilatan, kenapa aku belum pernah mendengar guru atau ibu guru menyebut-sebut nama mereka? Selama berkelana di dunia persilatan, aku sering mendengar orang berbicara tentang para jago dan sesepuh di dunia ini, namun aku belum pernah mendengar orang berbicara tentang 'Empat Sahabat Jiangnan' ".
Xiang Wentian tersenyum kecil, lalu kembali memasukkan bendera komando ke dalam saku dadanya seraya berkata, "Bendera komando keponakan seperguruan Zuoku hanya pantas untuk menakut-nakuti orang saja. Padahal keempat sesepuh Jiangnan itu orang macam apa, bendera ini tentunya hanya dipandang dengan sebelah mata saja......" Linghu Chong berkata dalam hati, "Kau bilang 'Keponakan seperguruan Zuo? Tentunya kau sedang berpura-pura menjadi paman seperguruan Ketua Perserikatan Zuo. Wah, makin lama perkataanmu makin tak masuk akal". Terdengar Xiang Wentian terus berbicara, "Hanya saja aku belum beruntung dapat menemui keempat sesepuh Jiangnan, aku membawa bendera ini semata-mata sebagai tanda pengenal saja".
"Oh", ujar kedua pelayan itu. Ketika mereka mendengar ia menjunjung tinggi derajat Empat Sahabat Jiangnan, raut wajah mereka menjadi agak ramah. Yang seorang berkata, "Apakah tuan paman guru Ketua Perserikatan Zuo?"
Xiang Wentian lagi-lagi tersenyum dan berkata, "Tepat sekali. Aku bukan siapa-siapa di dunia persilatan, tentu saja kalian berdua tidak mengenaliku. Tempo hari Saudara Ding di kaki Gunung Qilian seorang diri membasmi empat begundal, dan dengan sekali sabetan pedang menundukkan dua pendekar; Saudara Shi demi menolong seorang anak yatim piatu di Sungai Heng di Hubei membunuh tiga belas kepala gerombolan Naga Hijau dengan Golok Bagua Ungu Emasmu hingga darah mereka memenuhi hulu Sungai Han. Perbuatan-perbuatan yang hebat seperti itu masih kuingat dengan baik".
Kedua orang yang berpakaian seperti pelayan itu yang seorang bernama Ding Tian, sedangkan yang seorang lagi bernama Shi Lingwei, sebelum mereka menyepi ke Mei Zhuang mereka adalah dua tokoh dunia persilatan setengah lurus setengah sesat yang kelakuannya sangat telengas. Mereka punya suatu kesamaan, yaitu setelah melakukan suatu perbuatan, mereka amat jarang memberitahukan nama mereka, oleh karena itu, walaupun ilmu silat mereka tinggi, namun nama mereka jarang terdengar. Kedua kejadian yang diungkit oleh Xiang Wentian itu memang adalah perbuatan yang paling membanggakan dalam hidup mereka. Pertama, karena musuh sangat kuat dan mereka berdua melawan banyak musuh, namun mereka menang dengan telak; kedua, karena dalam kedua kejadian itu musuhlah yang berada di pihak yang salah, sedangkan mereka berdua bertindak sebagai ksatria pembela keadilan, walaupun mereka tak ingin membesar-besarkannya, namun kalau ada orang yang mengetahuinya tanpa disengaja, mereka diam-diam merasa girang. Ketika Ding dan Shi berdua mendengar perkataan Xiang Wentian, mau tak mau wajah mereka nampak senang. Ding Tian tersenyum dan berkata, "Hal kecil seperti itu, untuk apa disebut-sebut? Wawasan tuan memang sangat luas".
Xiang Wentian berkata, "Di dunia persilatan, orang yang mencari nama dan gila hormat amat banyak, namun seorang budiman yang benar-benar berbakat dan luas pengetahuannya, yang mendirikan jasa besar namun tak mau membesar-besarkannya, amatlah jarang. Nama besar Kakak Ding si 'Pedang Kilat Satu Kata' dan Kakak Kesembilan Shi si 'Dewa Lima Jalan' sudah lama kukagumi. Keponakan Zuo berkata bahwa ada masalah yang harus kita segera bicarakan dengan Empat Sahabat Jiangnan. Aku sudah lama mengundurkan diri, tapi kupikir kalaupun aku tak dapat menemui Empat Sahabat Jiangnan, namun dapat bertemu dengan 'Pedang Kilat Satu Kata' dan 'Dewa Lima Jalan' berdua, perjalananku tidaklah sia-sia, oleh karena itu aku setuju untuk pergi ke Hangzhou. Keponakan Zuo berkata bahwa kalau ia datang sendiri secara pribadi, jangan-jangan keempat sesepuh tak sudi bertemu muka dengannya, karena reputasinya yang beberapa tahun terakhir ini tersiar di dunia persilatan. Ia khawatir kalau keempat sesepuh itu akan memandang rendah dirinya, namun karena aku tak pernah ikut-ikutan mencampuri urusan dunia persilatan, mungkin aku tak akan mengundang rasa tak suka mereka. Hahaha!"
Ketika Ding dan Shi berdua mendenganya memuji-muji Empat Sahabat Jiangnan, dan juga memuji mereka berdua, mereka sangat girang dan ikut tertawa terbahak-bahak beberapa kali. Mereka melihat bahwa si botak gendut ini pakaiannya mewah dan mahal, wajahnya tak sedap dipandang, namun bicaranya amat sopan dan anggun, tentunya ia bukan orang biasa. Karena ia adalah paman guru Zuo Lengchan, tentunya ilmu silatnya tidak rendah, maka dalam hati merekapun muncullah rasa hormat.
Shi Lingwei mengambil keputusan untuk melaporkan kedatangan mereka pada majikannya, ia berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, "Apa tuan ini murid Perguruan Huashan?"
Xiang Wentian cepat-cepat berkata, "Dia adalah Saudara Feng, paman guru ketua Perguruan Huashan sekarang, Yue Buqun".
Ketika Linghu Chong mendengarnya dengan enteng berbohong, sebelumnya ia telah menduga bahwa Xiang Wentian juga akan mengarang nama dan jabatan palsu baginya, namun ia sama sekali tak mengira bahwa ia akan mengatakan bahwa dirinya adalah paman guru gurunya sendiri. Walaupun Linghu Chong selalu memandang enteng pada segala macam hal, namun kalau ia harus berpura-pura menjadi senior guru yang dihormatinya, ia merasa tak enak hati. Mau tak mau tubuhnya gemetar, namun untungnya wajahnya ditutupi bedak kuning tebal, sehingga rasa terkejutnya sama sekali tak terlihat.
Ding Jian dan Shi Lingwei saling memandang, dalam hari mereka merasa agak curiga, "Walaupun usia orang ini yang sebenarnya tak dapat dipastikan, tapi walaupun ia berkumis kecil, kemungkinan besar usianya tidak lebih dari empat puluh tahun, bagaimana ia bisa menjadi paman guru Yue Buqun?"
Walaupun Xiang Wentian telah mendandani wajah Linghu Chong sehingga kelihatan lebih tua, namun bagaimanapun juga sulit untuk mengubahnya menjadi seorang tua, riasan yang terlalu tebal justru akan membongkar rahasia mereka, maka ia cepat-cepat menyela, "Usia Saudara Feng ini beberapa tahun lebih muda dari Yue Buqun, tapi dia adalah adik seperguruan Saudara Feng Qingyang, dan juga satu-satunya ahli waris ilmu pedang Saudara Feng yang tiada duanya, ilmu pedangnya amat hebat, di Perguruan Huashan sangat sedikit orang yang dapat menandinginya".
Linghu Chong terperanjat, "Dari mana Kakak Xiang tahu bahwa aku adalah ahli waris Kakek Guru Feng?" Namun ia segera sadar, "Ilmu pedang Kakek Guru Feng amat hebat, dahulu tentunya ia pernah menggetarkan dunia persilatan. Wawasan Kakak Xiang sangat luas, begitu dia melihat ilmu pedangku, ia langsung dapat menduganya. Kalau Biksu Fang Zheng tahu, Kakak Xiang tentunya juga tahu".
"Ah!", ujar Ding Jian, ia adalah seorang ahli pedang, ketika ia mendengar bahwa Linghu Chong mempunyai ilmu pedang yang luar biasa, mau tak mau ia merasa tergelitik untuk menjajalnya. Namun ia melihat bahwa wajah orang ini tembam dan kekuningan, penampilannya menyedihkan, sama sekali tak seperti seorang jago pedang, maka ia berkata, "Siapakah nama kalian berdua yang mulia?"
Xiang Wentian berkata, "Aku marga Tong, namaku Tong Huajin. Saudara Feng ini bernama Erzhong". Ding dan Shi berdua serentak menyoja dan berkata, "Kami sudah lama mengagumi kalian berdua".
Xiang Wentian diam-diam tertawa dalam hati, nama palsunya 'Tong Huajin' berarti 'tembaga berubah menjadi emas'[5], tembaga yang berubah menjadi emas berarti palsu; nama 'Erzhong' diperolehnya dengan memisahkan kata 'chong'[6]. Di dunia persilatan sama sekali tak ada dua orang seperti itu, namun Ding dan Shi berdua malah berkata, "Kami sudah lama mengagumi kalian berdua". Jangankan mengagumi, entah kapan Ding dan Shi pernah mendengar nama mereka berdua.
Ding Jian berkata, "Silahkan masuk ke ruang tamu untuk minum teh sambil menunggu aku melapor pada tuan rumah, namun apakah beliau bersedia menemui kalian, sukar dikatakan". Xiang Wentian tersenyum, "Walaupun kalian dengan rendah hati menyebut diri sendiri pelayan, namun sebenarnya kalian dan Empat Sahabat Jiangnan seperti saudara saja. Keempat sesepuh itu tak mungkin tak memberi muka pada Saudara Ding dan Shi". Ding Jian tersenyum kecil sambil minggir ke samping untuk memberi jalan. Xiang Wentian cepat-cepat melangkah masuk, Linghu Chong mengikuti di belakangnya.
Mereka melewati sebuah halaman besar yang di kiri kanannya terdapat dua pohon plum tua, batang pohon-pohon itu sekeras besi, ulet dan kokoh. Ketika mereka sampai di ruang tamu, Shi Lingwei mempersilahkan mereka duduk, lalu berdiri di samping untuk menemani mereka, sedangkan Ding Jian masuk ke dalam rumah untuk melapor pada sang majikan.
Xiang Wentian melihat bahwa Shi Lingwei tetap berdiri, sedangkan ia sendiri duduk di kursi. Ia merasa hal ini kurang pantas, namun Shi Lingwei adalah pelayan di Mei Zhuang ini, sehingga ia tak dapat mempersilahkannya duduk, maka ia berkata, "Saudara Feng, coba lihat lukisan ini, walaupun goresan kuasnya sedikit, namun kekuatannya benar-benar luar biasa". Sambil berbicara, ia bangkit dan melangkah ke depan lukisan yang tergantung di tengah ruang tamu itu.
Setelah berpergian bersama dengannya selama beberapa hari, Linghu Chong tahu bahwa walaupun Xiang Wentian cerdas dan banyak akal, namun ia sama sekali bukan ahli di bidang sastra dan seni lukis, kalau ia sekarang tiba-tiba memuji lukisan itu, tentunya ia punya maksud lain, maka ia segera menjawab dan ikut menghampiri lukisan itu. Ia melihat bahwa lukisan itu mengambarkan seorang dewa dari belakang, tintanya seakan masih basah, goresannya amat kuat. Walaupun Linghu Chong tak mengerti tentang seni lukis, namun ia tahu bahwa lukisan ini adalah sebuah karya yang luar biasa, ia juga melihat bahwa inskripsi sepuluh huruf di lukisan itu berbunyi, 'Dan Qingsheng[7] setelah mabuk berat membuat lukisan pomo[8]', goresannya tegas dan kuat, seakan setiap goresannya diukir dengan pedang. Setelah memperhatikannya untuk beberapa saat, Linghu Chong berkata, "Saudara Tong, begitu aku melihat huruf 'mabuk' di lukisan ini, aku menjadi sangat girang. Dalam huruf dan lukisan ini sepertinya terkandung ilmu pedang yang luar biasa tingginya". Ketika ia melihat goresan kedelapan huruf itu dan postur dewa dalam lukisan itu, mau tak mau ia teringat pada ilmu pedang yang terukir di dinding gua belakang di Huashan.
Sebelum Xiang Wentian menjawab, Shi Lingwei berkata dari belakang punggung mereka berdua, "Tuan Feng ini rupanya adalah seorang ahli ilmu pedang. Majikan keempat kami berkata bahwa saat itu ia melukis lukisan ini setelah mabuk berat dan tanpa sengaja memasukkan semangat ilmu pedang ke dalamnya. Ini adalah karya yang paling dibanggakannya seumur hidupnya, setelah ia sadar dari mabuknya, ia tak mampu melukis seperti ini lagi. Ternyata Tuan Feng dapat mengenali semangat ilmu pedang dalam lukisan ini, tuan keempat tentunya akan mengangapmu sebagai seorang sahabat. Aku akan masuk untuk memberitahunya". Ia berbicara dengan girang, lalu masuk ke bagian dalam rumah.
Xiang Wentian mendehem, lalu berkata, "Saudara Feng, ternyata kau paham tentang seni lukis dan tulisan indah". Linghu Chong berkata, "Aku sama sekali tak tahu apa-apa, aku hanya mengarang-karang saja dan kebetulan benar. Kalau Dan Qingsheng ini ingin berbicara tentang lukisan dan tulisan indah denganku, aku hanya akan unjuk kebodohanku saja".
* * *
Catatan Kaki Penerjemah
[1] Kanal Besar (Grand Canal) yang dibangun pada zaman Dinasti Sui dan menghubungkan Sungai Yangtze, Sungai Kuning dan Sungai Huai.
[2] Kota Suzhou dan Hangzhou.
[3] 梅庄 (Mei Zhuang) berarti Wisma Plum.
[4] 江南四友 (Jiangnan Xiyou; Hokkian: Kanglam Si Yu)
[5] Marga 'Tong' (童) pelafalannya mirip dengan kata 'tong' (铜) yang berarti tembaga.
[6] Karakter 'chong' (冲) terdiri dari radikal 'er' (二) dan 'zhong' (中).
[7] 丹青 (danqing) berarti warna merah dan hijau, atau lukisan.
[8] Teknik melukis dengan tinta China yang berarti 'cipratan tinta'
Bagian kedua
Sekonyong-konyong terdengar seseorang berkata dengan lantang dari balik pintu, "Apakah dari lukisanku ia dapat menangkap semangat ilmu pedang? Pandangan mata orang ini benar-benar hebat!" Di tengah suara ribut itu, seseorang memasuki ruangan, janggutnya tergantung sampai ke perutnya, tangan kirinya mengenggam sebuah cawan arak, dari wajahnya nampaknya ia sedang mabuk.
Shi Lingwei mengikuti dari belakang dan berkata, "Kedua tuan ini adalah Tuan Tong dari Perguruan Songshan dan Tuan Feng dari Perguruan Huashan. Tuan keempat, Tuan Feng ini begitu melihat lukisan pomo tuan, langsung berkata bahwa di dalamnya terkandung ilmu pedang yang cemerlang".
Tuan keempat itu, Dan Qingsheng, melirik ke arah Linghu Chong dan memandanginya dari ujung kaki sampai ubun-ubunnya dengan matanya yang merah karena mabuk untuk beberapa saat, lalu berkata, "Kamu paham seni lukis? Bisa ilmu pedang?" Caranya bertanya sungguh kasar.
Ketika Linghu Chong melihat bahwa cawan yang berada di gengamannya ialah cawan zamrud yang berwarna hijau kumala, dan juga tahu dari aromanya bahwa arak dalam cawan itu adalah arak bunga pir, tiba-tiba ia teringat akan perkataan Zu Qianqiu di atas kapal ketika mereka berlayar di Sungai Kuning, katanya, "Puisi Bai Letian[1] Dengan Riang Berpesiar ke Hangzhou berbunyi, 'Lengan baju merah gadis penenun sutra mencerminkan kelopak bunga kesemek, bendera hijau kedai arak kontras dengan arak bunga pir'. Minum arak bunga pir ini harus dengan cawan zamrud, tuan keempat benar-benar seorang ahli arak". Linghu Chong belum pernah membaca banyak buku, ia sama sekali tak tahu apa-apa tentang puisi dan ilmu sastra, namun ia memang cerdas dan dapat mengingat perkataan orang lain yang sebelumnya belum pernah didengarnya, saat ini ia langsung menirukan perkataan Zu Qianqiu.
Begitu Dan Qingsheng mendengarnya, ia lantas membuka matanya lebar-lebar, tiba-tiba ia memeluk Linghu Chong seraya berseru, "Aha, seorang sobat datang berkunjung. Mari, mari minum tiga ratus cawan arak. Saudara Feng, si tua ini gila arak, gila melukis dan gila ilmu pedang, orang memanggilku ahli ketiga macam seni itu, namun diantara ketiganya, arak adalah yang nomor satu, melukis yang kedua, dan ilmu pedang yang terakhir".
Linghu Chong amat girang, pikirnya, "Danqing, aku tak tahu apa-apa. Aku datang untuk menyembuhkan luka dan sama sekali tak ingin beradu pedang dengan orang. Tapi minum arak, itulah yang kuharap-harapkan". Ia segera mengikuti Dan Qingsheng masuk ke dalam, Xiang Wentian dan Shi Lingwei mengikuti di belakang mereka. Setelah melewati sebuah serambi yang berkelok-kelok, mereka tiba di sebuah ruangan di sebelah barat. Begitu tirai penutup pintu dibuka, aroma harum arak segera menyeruak menyengat hidung.
Sejak kecil Linghu Chong gemar minum arak, hanya saja guru dan ibu guru tak pernah memberinya banyak uang saku, maka ia hanya asal minum saja, namun ia tak dapat membedakan baik buruknya arak. Sejak ia mendengar Luzhuweng berbicara tentang Seni Arak di Luoyang, dan menunjukkan padanya berbagai macam arak, barulah ia tahu tentang arak bagus dan seni minum. Pertama, hal itu memang sesuai dengan wataknya, kedua, ada seorang ahli yang mengajarinya, maka sejak itu ia dapat menghargai arak bagus. Begitu mencium aroma arak itu, ia berkata, "Bagus sekali, ini adalah Arak Fen kelas satu. Hmm, Arak Seratus Rumput ini jangan-jangan sudah tujuh puluh lima tahun umurnya, arak monyet ini lebih sukar lagi didapat". Ketika mencium bau arak monyet itu ia teringat pada sang adik keenam, Lu Dayou, mau tak mau hatinya terasa pedih.
Dan Qingsheng bertepuk tangan sambil tertawa, serunya, "Hebat sekali, hebat sekali! Begitu Saudara Feng masuk ke dalam ruangan arakku, kau langsung mengenali ketiga arak terkenal simpananku, kau benar-benar seorang ahli, luar biasa, luar biasa!"
Linghu Chong melihat bahwa ruangan dipenuhi koleksi berbagai benda indah yang ternyata adalah bermacam-macam guci, botol, hulu dan cawan arak, maka ia berkata, "Simpanan tuan bukan cuma tiga macam arak bagus saja. Arak Gadis Merah Shaoxing ini adalah jenis yang terbaik, arak anggur Daerah Barat dari Turfan ini empat kali disuling dan difermentasikan, tak ada duanya saat ini". Dan Qingsheng terkejut sekaligus girang, tanyanya, "Aku menyimpan arak anggur Turfan yang empat kali disuling dan difermentasikan ini dalam tong yang disegel, anak muda, bagaimana kau bisa mencium baunya?" Linghu Chong tersenyum simpul dan berkata, "Arak bagus macam ini, walaupun disembunyikan di dalam ruang bawah tanah yang terletak beberapa zhang dalam tanah, keharumannya tak dapat ditutup-tutupi".
Dan Qingsheng berseru, "Mari, mari kita minum arak anggur yang empat kali disuling dan difermentasikan ini". Ia mengeluarkan tong kayu yang tersembunyi di pojok ruangan itu. Tong kayu itu sudah menjadi hitam saking tuanya, di atasnya tertulis huruf-huruf Daerah Barat yang bengkak-bengkok, tutupnya disegel dengan lilin, cap yang terdapat di segel nampak serius. Dan Qingsheng memegang tutup kayu tong itu, lalu dengan hati-hati membukanya, wangi arakpun langsung memenuhi ruangan itu.
Setetes arakpun tak pernah membasahi bibir Shi Lingwei, begitu ia mencium bau arak yang keras, mau tak mau ia lantas merasa mabuk.
Dan Qingsheng mengibaskan tangannya sambil berkata, "Kau keluarlah, jangan sampai kau mabuk". Ia mengeluarkan tiga cawan arak dan menaruhnya berdampingan, lalu ia mengangkat tong arak dan menuangkan isinya ke dalam cawan-cawan itu, arak itu berwarna kuning seperti minyak, dan memenuhi cawan sampai ke bibirnya, namun karena sifatnya yang kental seakan mengandung lem, sama sekali tak tumpah sedikitpun. Linghu Chong diam-diam memuji, "Ilmu silat orang ini hebat, ia dapat menuang arak dari tong kayu yang beratnya seratus jin lebih ke cawan-cawan mungil dengan begitu persis sehingga tak tercecer setitikpun".
Dan Qingsheng mengempit tong kayu itu, tangan kirinya mengangkat cawan sambil berkata, "Mari minum, mari minum!" Sepasang matanya memandangi raut wajah Linghu Chong tanpa berkedip untuk melihat ekspresi wajahnya setelah merasakan arak itu. Linghu Chong mengangkat cawan dan minum separuh isinya, lalu mengecapkan bibirnya untuk merasakan rasanya, hanya saja wajahnya tertutup bedak tebal, sehingga ekspresinya nampak acuh tak acuh, seakan tak benar-benar senang. Wajah Dan Qingsheng nampak cemas, seakan khawatir kalau ahli arak ini merasa araknya biasa-biasa saja dan tak ada istimewanya.
Linghu Chong memejamkan matanya untuk beberapa saat, lalu membuka matanya kembali dan berkata, "Aneh sekali, aneh sekali!" Dan Qingsheng berkata, "Apanya yang aneh?" Linghu Chong berkata, "Hal ini sulit dijelaskan, aku tak mengerti". Pandangan mata Dan Qingsheng bersinar-sinar girang, katanya, "Maksudmu......?" Linghu Chong berkata, "Seumur hidupku, aku baru pernah sekali minum arak ini di Kota Luoyang, walaupun sangat lezat, namun ada sedikit rasa kecut di dalamnya. Menurut seorang sesepuh di dunia arak, hal ini disebabkan karena arak itu terguncang-guncang dalam perjalanan. Arak anggur Turfan yang disuling dan difermentasi empat kali ini makin sering dipindahkan, rasanya makin berkurang mutunya. Dari Turfan sampai ke Hangzhou entah ada berapa laksa li, namun arak tuan ini tak nyana sama sekali tak terasa kecut, hal ini......"
Dan Qingsheng tertawa terbahak-bahak, ia sangat bangga, katanya, "Ini adalah resep rahasia yang tak kuberitahukan kepada siapapun. Aku menukar resep ini dengan tiga jurus ilmu pedang kepada jago pedang Daerah Barat yang bernama Mohuaerche, apa kau ingin tahu ceritanya?"
Linghu Chong menggeleng, "Dapat merasakan arak ini saja aku sudah puas, aku tak berani banyak bertanya tentang resep rahasia tuan ini".
Dan Qingsheng berkata, "Mari minum, mari minum". Tiga cawan arak kemudian, Dan Qingsheng melihat bahwa Linghu Chong masih tak bertanya tentang resep rahasianya, mau tak mau muncullah rasa tergelitik dalam hatinya, katanya, "Sebenarnya resep rahasia ini tak ada artinya, sama sekali tak ada keistimewaannya". Linghu Chong tahu bahwa semakin ia bersikap acuh tak acuh, Dan Qingsheng akan makin ingin berbicara, maka ia cepat-cepat berkata, "Tuan tak usah mengatakannya, tiga jurus pedang itu tentunya bukan hal kecil. Kalau aku sembarangan mempelajari resep rahasia yang ditukar dengan sesuatu yang begitu penting, hatiku mana bisa tenang? Pepatah berkata, 'Tanpa jasa tak patut menerima upah'......" Dan Qingsheng berkata, "Kau telah menemaniku minum dan mengatakan dari mana asal usul arak ini, kau sudah berjasa besar. Kau harus mendengar resep rahasia ini".
Linghu Chong berkata, "Aku sudah amat berterima kasih karena tuan sudi menemuiku dan memberiku minum arak kelas satu, mana bisa....." Dan Qingsheng berkata, "Aku akan bicara, kau dengarlah baik-baik". Xiang Wentian menasehati, "Saudara Feng, janganlah menolak maksud baik tuan keempat".
Dan Qingsheng berkata, "Benar, benar! Aku akan mengujimu, apa kau tahu berapa tahun usia arak ini?"
Linghu Chong menenggak habis arak dalam cawan, mengecapnya untuk beberapa saat, lalu berkata, "Ada suatu keanehan lagi dalam arak ini, sepertinya arak ini sudah berusia seratus dua puluh tahun, tapi juga seperti baru berumur dua atau tiga belas tahun. Lama tapi terasa baru, baru tapi terasa lama, kalau dibandingkan dengan arak berumur seratus tahun yang biasa, rasanya unik".
Xiang Wentian agak mengerutkan dahinya, pikirnya, "Sekarang ia sedang unjuk kebodohan. Arak berumur seratus dua puluh tahun dan yang dua atau tiga belas tahun umurnya berbeda seratus tahun lebih, bagaimana bisa disejajarkan?" Ia khawatir Dan Qingsheng tak suka mendengarnya, tapi ternyata orang tua itu tertawa terbahak-bahak, hingga janggutnya yang panjang melambai-lambai, lalu berkata, "Saudaraku, ternyata kau lihai. Itulah resep rahasianya. Aku beritahu kau, Mohuaerche, si jago pedang Daerah Barat itu, memberiku sepuluh tong arak bagus Turfan berusia seratus dua puluh tahun yang telah tiga kali disuling dan difermentasi, lalu membawanya ke Hangzhou diatas punggung lima ekor kuda bagus. Setelah itu aku menyuling dan memfermentasikannya sekali lagi sehingga sepuluh tong arak bagus itu menjadi satu tong arak saja. Kuhitung-hitung, peristiwa ini memang terjadi dua belas setengah tahun yang lalu. Arak bagus ini telah melewati laksaan li gunung gemunung namun tak menjadi kecut, dalam rasa arak ini ada yang baru dalam yang lama, dan ada yang lama dalam yang baru, itulah rahasianya".
Xiang Wentian dan Linghu Chong serentak bertepuk tangan sambil berkata, "Begitu rupanya". Linghu Chong berkata, "Kalau dapat membuat arak seperti ini, menukar sepuluh jurus ilmu pedangpun tak sia-sia. Tuan hanya menukarnya dengan tiga jurus saja, berarti tuan sudah untung besar. Namun kurasa tiga jurus pedang tuan ini amat hebat, lebih hebat dari sepuluh jurus pedang biasa". Xiang Wentian berpikir, "Adikku ini ilmu pedangnya hebat, tak nyana ia juga pintar bicara seperti ini". Ia tak tahu bahwa Linghu Chong dari dulu pandai bersilat lidah sehingga sering dimarahi Yue Buqun karena terlalu fasih berbicara.
Dan Qingsheng bertambah girang, katanya, "Anak muda, kau benar-benar mengerti isi hatiku. Saat itu, kakak pertama dan kakak ketiga mengomeliku karena menukar tiga jurus itu dengan arak, sehingga kepandaian Daratan Tengah kita bocor ke Daerah Barat. Walaupun kakak kedua hanya tersenyum dan tak bicara apa-apa, namun dalam hati ia juga tidak setuju. Hanya kaulah yang mengerti keuntungan besar yang kudapat, ayo kita minum lagi". Karena ia melihat bahwa Xiang Wentian tak mengerti seni minum arak, ia tak lagi memperhatikannya.
Linghu Chong minum secawan arak lagi, lalu berkata, "Tuan keempat, ada satu cara lagi untuk menikmati arak ini, namun sayang saat ini kita tak dapat melakukannya". Dan Qingsheng segera bertanya, "Bagaimana caranya? Kenapa, kita tak bisa melakukannya?" Linghu Chong berkata, "Turfan adalah tempat yang terpanas di kolong langit ini, kabarnya dahulu ketika Biksu Xuanzhang[2] pergi ke India untuk mengambil kitab, ia melewati Gunung Huoyan[3]". Dan Qingsheng berkata, "Benar, tempat itu memang amat panas. Di musim panas, walaupun kau berendam di tong yang berisi air dingin seharian, panasnya masih sukar ditahan. Saat musim dingin tiba, dinginnya menembus tulang. Oleh karenanya, daerah itu dapat menghasilkan anggur yang luar biasa". Linghu Chong berkata, "Saat aku minum beberapa macam arak di Kota Luoyang, hawa masih dingin, namun sesepuh seni arak itu membawa sebongkah es, lalu meletakkan cawan arak di atasnya. Begitu arak bagus ini didinginkan, suatu rasa yang lain muncul. Namun sekarang awal musim panas, sehingga kita tak dapat merasakan arak yang didinginkan ini".
Dan Qingsheng berkata, "Ketika aku berada di Daerah Barat, sayang waktu itu juga masih musim panas, Mohuarche juga berbicara tentang kelezatan anggur yang didinginkan. Adik, ini hal gampang, kau tinggallah di kediamanku ini selama setengah tahun, saat musim dingin tiba, kita akan dapat merasakannya". Ia berhenti sejenak, lalu mengerutkan keningnya dan berkata, "Namun sayang kita harus menunggu untuk sedemikian lamanya, ini benar-benar membuat orang tak sabar".
Xiang Wentian berkata, "Sayang di sekitar Jiangnan ini tidak ada jago yang mempelajari 'Tapak Es Dingin', 'Cakar Angin Dingin' atau kungfu yin murni lainnya, kalau tidak....." Sebelum ia selesai berbicara, Dan Qingsheng berseru dengan girang, "Ada, ada!" Ia menaruh tong arak, lalu dengan bersemangat cepat-cepat melangkah keluar.
Linghu Chong melirik ke arah Xiang Wentian dengan penuh rasa curiga. Senyum terkembang di wajah Xiang Wentian, namun ia tak berkata apa-apa.
Tak seberapa lama kemudian, Dan Qingsheng menarik masuk seorang tua berpakaian hitam yang amat tinggi dan kurus sambil berkata, "Kakak kedua, kali ini bagaimanapun juga aku harus minta bantuanmu". Linghu Chong melihat bahwa raut muka orang ini halus namun pucat pasi seperti wajah mayat, sehingga orang yang melihatnya akan berdiri bulu romanya. Dan Qingsheng memperkenalkan mereka berdua, ternyata orang tua ini adalah tuan kedua Mei Zhuang, Heibaizi[4]. Rambutnya hitam legam, namun kulitnya pucat pasi sehingga ia memang benar-benar 'hitam putih'. Heibaizi berkata dengan dingin, "Membantu dalam masalah apa?" Dan Qingsheng berkata, "Mohon kau unjuk kepandaianmu mengubah air menjadi es, supaya kedua sahabatku ini dapat menyaksikannya".
Heibaizi memutar sepasang matanya yang aneh dan terpisah dengan jelas hitam dan putihnya, lalu berkata, "Kepandaian yang tak ada artinya ini? Apa tak ditertawakan oleh para jago?" Dan Qingsheng berkata, "Aku tak akan menyembunyikan hal ini darimu, Saudara Feng ini berkata, bahwa kalau arak anggur Turfan didinginkan, rasanya akan menjadi unik. Namun musim panas telah tiba, dimana kita bisa mendapatkan es?" Heibaizi berkata, "Arak ini amat wangi, untuk apa didinginkan lagi?"
Linghu Chong berkata, "Turfan adalah tempat yang sangat panas......" Dan Qingsheng berkata, "Benar, panas sekali!" Linghu Chong berkata, "Walaupun tempat itu menghasilkan anggur yang bagus, namun anggur itu juga mengandung hawa panas". Dan Qingsheng berkata, "Benar. Itu memang sudah semestinya". Linghu Chong berkata, "Hawa panas itu menyusup ke dalam anggur, setelah seratus tahun, walaupun sudah banyak berkurang, namun masih meninggalkan rasa pedas, hal ini sukar untuk dihindari". Dan Qingsheng berkata, "Betul sekali, betul sekali! Kalau saja adik tak berbicara, aku akan mengira bahwa hal ini disebabkan karena ketika menyuling arak, apinya terlalu besar. Sayangnya, aku telah keliru menyalahkan si tukang masak istana itu". Linghu Chong bertanya, "Tukang masak istana apa?" Dan Qingsheng tersenyum, "Aku khawatir jangka waktu menyuling arak itu tidak tepat sehingga merusak sepuluh tong arak bagus ini, maka aku sengaja pergi ke istana kekaisaran di Beijing dan menangkap tukang masak kaisar dan menyuruhnya membuat api untuk menyuling arak".
Heibaizi menggeleng sambil berkata, "Kau benar-benar membesar-besarkan masalah sepele".
Xiang Wentian berkata, "Rupanya begitu. Bagi seorang pendekar biasa, minum arak yang agak pedas tentunya tak menjadi soal, tapi karena tuan kedua dan keempat sudah pensiun di tepi Danau Barat yang indah pemandangannya ini tanpa memperdulikan urusan duniawi lagi, tentunya tak bisa disamakan dengan orang-orang kasar dunia persilatan. Setelah arak ini didinginkan dan hawa panasnya lenyap, arak ini akan sesuai dengan kedudukan kalian berdua sebagai jago-jago berkepandaian tinggi. Ini adalah seperti kalau dalam bermain catur[5], hanya mengandalkan kekuatan saja, permainan seperti itu hanya akan terhitung permainan kelas rendah saja, sedangkan permainan kelas satu atau dua melibatkan pikiran dan semangat......"
Mata Heibaizi yang aneh mendelik, ia mencengkeram bahu Xiang Wentian seraya bertanya dengan penuh gairah, "Kau juga bisa main catur?" Xiang Wentian berkata, "Seumur hidupku, aku paling gemar main catur, namun sayang bakatku kurang, kemampuanku bermain caturku rendah, maka aku pergi ke selatan dan utara Sungai Yangtze, dan ke hulu dan hilir Sungai Kuning, untuk mencari kitab-kitab catur. Dalam tiga puluh tahun belakangan ini, aku telah menghafalkan tidak sedikit permainan catur yang terkenal di sepanjang masa". Heibaizi cepat-cepat bertanya, "Kau menghafalkan permainan yang mana saja?" Xiang Wentian berkata, "Misalnya permainan yang disaksikan Wang Zhi[6] di Lankeshan ketika ia bertemu dengan seorang dewa, permainan diantara Liu Zhongfu dan seorang dewa di Lishan[7], dan permainan diantara mertua dan menantu siluman rubah yang didengar oleh Wang Jixin[8]....."
Sebelum ia selesai berbicara, Heibaizi telah menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, "Dongeng macam itu mana bisa dipercaya? Lagipula mana ada kitab catur yang berdasarkan pada dongeng-dongeng itu?" Seraya berbicara ia melepaskan cengkeramannya pada bahu Xiang Wentian.
Xiang Wentian berkata, "Dahulu aku juga mengira bahwa cerita-cerita itu hanya bualan orang iseng, tapi dua puluh lima tahun yang lalu aku melihat kitab catur bergambar tentang permainan diantara Liu Zhongfu dan si nenek dewa dari Lishan, langkah-langkahnya sungguh hebat, orang biasa yang hidup di dunia ini tak dapat membuatnya, maka aku menjadi percaya sepenuhnya bahwa kisah itu bukan cuma hanya dongeng. Apa tuan juga suka permainan ini?"
Dan Qingsheng tertawa terbahak-bahak hingga janggutnya melambai-lambai. Xiang Wentian bertanya, "Kenapa tuan tertawa?" Dan Qingsheng bertanya, "Kau bertanya pada kakak keduaku apa dia suka bermain catur? Hahaha, nama Taois kakak keduaku ialah Heibaizi, menurutmu dia suka main catur atau tidak? Kakak kedua mencintai catur, seperti aku mencintai arak". Xiang Wentian berkata, "Aku bicara sembarangan, aku benar-benar telah unjuk kebodohan dengan kapakku di hadapan Lu Ban[9], mohon tuan tak menyalahkanku".
Heibaizi berkata, "Apa kau benar-benar pernah melihat kitab catur bergambar tentang permainan diantara Liu Zhongfu dan nenek dewa itu? Aku pernah membaca catatan-catatan kuno tentang hal itu. Kabarnya Liu Zhongfu adalah jago catur kelas wahid saat itu, namun dapat dikalahkan dengan telak oleh seorang perempuan petani tua, sehingga ia langsung memuntahkan beberapa sheng[10] darah, oleh karena itu kitab itu disebut 'Kitab Muntah Darah'. Apa di dunia ini memang benar-benar ada 'Kitab Muntah Darah'?" Ketika memasuki ruangan sebelumnya, wajahnya nampak dingin dan acuh tak acuh, namun sekarang ia nampak amat bersemangat.
Xiang Wentian berkata, "Dua puluh lima tahun yang lalu, aku sempat membacanya di rumah kuno sebuah keluarga bangsawan di Chengdu, Sichuan. Karena permainan itu benar-benar mengesankan, setelah dua puluh lima tahun aku masih mengingat seratus dua belas langkahnya satu persatu".
Heibaizi berkata, "Semuanya ada seratus dua belas langkah? Susunlah untukku supaya aku bisa melihatnya. Mari, mari masuk ke ruangan caturku untuk menyusun papan caturnya".
Dan Qingsheng menjulurkan tangannya untuk menghalangi mereka, katanya, "Tunggu dulu! Kakak kedua, kalau kau tak membuatkan es untukku, aku tak akan membiarkanmu pergi". Sambil berbicara ia mengangsurkan sebuah baskom porselen putih yang dipenuhi air jernih.
Heibaizi menghela napas, lalu berkata, "Adik keempat memang agak sinting, apa boleh buat". Ia memasukkan ibu jari tangan kanannya ke dalam baskom porselen. Dalam sekejap dari dari permukaan air muncul uap putih yang tipis, tak lama kemudian, di dinding luar baskom itu muncul selapis es, lalu di permukaan air juga muncul kepingan-kepingan es tipis yang makin lama makin tebal. Sepeminuman teh kemudian, air di dalam baskom telah seluruhnya berubah menjadi es.
Linghu Chong dan Xiang Wentian berdua bersorak memuji. Xiang Wentian berkata, "Kungfu 'Jari Angin Hitam' ini kabarnya sudah lama tak diwariskan di dunia persilatan, namun ternyata tuan kedua......" Dan Qingsheng cepat-cepat berkata, "Ini bukan 'Jari Angin Hitam', melainkan 'Jari Langit Sakti' yang lebih kuat dibandingkan dengan 'Jari Angin Hitam' ". Sambil berbicara, ia meletakkan keempat cawan arak di atas permukaan air, lalu menuang arak anggur ke dalam cawan-cawan itu. Tak lama kemudian, dari anggur itu mengepul uap putih tipis. Linghu Chong berkata, "Sudah cukup!"
Dan Qingsheng mengangkat sebuah cawan arak dan meminumnya sampai habis, arak itu rasanya sudah matang dan lezat, sama sekali tak berbau, dan juga menyegarkan sehingga membuat hati senang dan pikiran menjadi terang, maka iapun memuji, "Bagus sekali! Aku pandai membuat arak ini, Saudara Feng pintar mencicipinya, kakak kedua pandai membuatkan es. Bagaimana dengan kau?" Ia memandang ke arah Xiang Wentian dan berkata sembari tersenyum, "Kau pintar mengiringi kesana kemari saja".
Dan Qingsheng membalik keempat cawan arak itu, lalu ia cepat-cepat menaruh baskom porselen yang penuh es itu diatas cawan-cawan arak itu, lalu berkata, "Hawa dingin mengalir dari atas ke bawah, dengan cara ini, hawa es akan mengalir ke bawah dengan sedikit lebih cepat". Linghu Chong berkata, "Walaupun hawa es akan mengalir ke bawah dengan cepat, namun dengan cara seperti ini, cawan arak akan dingin seluruhnya, sehingga tak memadai untuk arak kelas satu. Kalau hawa es menembus dari bawah ke atas, dalam arak akan terdapat beberapa lapis suhu yang berlainan, dan kita akan bisa merasakan rasanya yang berbeda-beda". Ketika Dan Qingsheng mendengar bagaimana Linghu Chong dapat merasakan arak dengan begitu mendalam, ia makin merasa kagum dan girang. Ketika ia merasakan arak itu, benar saja, ternyata ia dapat merasakan beberapa rasa yang berbeda.
Heibaizi minum arak itu dengan sembarangan, ia tak perduli apakah rasa arak itu lezat atau tidak, ia menarik tangan Xiang Wentian seraya berkata, "Ayo, ayo! Susunlah papan catur Kitab Muntah Darah Liu Zhongfu supaya aku bisa melihatnya". Xiang Wentian menarik lengan baju Linghu Chong, Linghu Chong segera mengerti, ia berkata, "Aku juga ingin ikut melihat". Dan Qingsheng berkata, "Apanya yang bagus dilihat? Lebih baik kita berdua disini saja minum arak". Linghu Chong berkata, "Kita minum arak sambil menonton pertandingan catur saja". Sambil berbicara ia mengikuti Heibaizi dan Xiang Wentian keluar. Dan Qingsheng tak punya pilihan lain, ia terpaksa mengempit tong arak besar itu dan ikut masuk ke ruangan catur.
* * *
Ruangan yang luas itu kosong melompong kecuali sebuah meja batu dan dua buah kursi empuk di tengahnya, di atas meja batu itu terukir sembilan belas garis vertikal dan horizontal yang membentuk papan catur, di kedua sisinya ada dua kotak yang masing-masing berisi biji catur hitam dan putih. Di ruangan catur itu selain meja, kursi dan biji-biji catur, sama sekali tak ada barang lain, sehingga tidak menganggu konsentrasi para pemain catur.
Xiang Wentian melangkah ke depan meja batu dan menaruh sebuah biji catur di keempat sudut papan catur yang disebut ping, shang, qu dan ru, lalu ia menaruh sebuah biji catur putih di titik enam-tiga 'pingbu' dan sebuah biji hitam di titik sembilan-tiga. Setelah itu di titik enam-lima ia menaruh sebuah biji putih dan sebuah biji hitam di titik sembilan-lima, setelah melakukannya berulang-ulang, perlahan-lahan papan caturpun penuh.
Biji catur hitam dan putih sejak awal mula bertarung dengan sengit, keduanya sama sekali tak pernah salah melangkah, ketika menontonnya, keringat dingin bercucuran dari dahi Heibaizi.
Diam-diam Linghu Chong tercengang, dengan matanya sendiri barusan ini ia menyaksikan 'Jari Langit Sakti' mengubah air menjadi es, tenaga dalam yang diperlukan untuk melakukan hal itu amat kuat, namun saat itu Heibaizi bersikap acuh tak acuh; catur hanyalah suatu permainan, namun kepalanya penuh keringat; kelihatan bahwa ia sangat tertarik kepadanya, orang ini keranjingan catur seperti gila, kemungkinan besar Xiang Wentian telah sengaja memilih kelemahannya untuk diserang. Ia berpikir lagi, "Apa hubungan tabib terkenal itu dengan mereka?"
Ketika Heibaizi melihat bahwa setelah menjalankan langkah yang keenam puluh enam, untuk beberapa saat lamanya Xiang Wentian tak menaruh biji catur, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Bagaimana langkah berikutnya?" Xiang Wentian tersenyum, "Kunci permainan terletak disini. Menurut pendapat tuan kedua, seharusnya bagaimana?" Heibaizi berpikir keras untuk beberapa saat, lalu mengumam, "Biji catur yang mana? Duan tidak tepat, lianjuga tidak benar. Chong tidak bisa dijalankan. Ingin menjalankan huo tapi tidak bisa[11]. Ini......ini......ini......" Tangannya meraih sebuah biji catur putih, lalu mengetuk-ketukannya dengan pelan ke meja batu, namun sepenanakan nasi kemudian, ia masih masih tak bisa menjalankan biji catur itu. Saat itu Dan Qingsheng dan Linghu Chong telah menghabiskan tujuh atau delapan belas cawan arak anggur yang keras.
Dan Qingsheng melihat bahwa wajah Heibaizi makin lama makin hijau, maka ia berkata, "Saudara Tong, apa dengan Kitab Muntah Darah ini kau ingin membuat kakak keduaku muntah darah? Langkah berikutnya kau beritahukan saja secara terus terang".
Xiang Wentian berkata, "Baik! Langkah ke enam puluh tujuh ini seperti ini". Maka ia menaruh sebuah biji catur di titik 7-4 'sangbu'.
Heibaizi menepuk pahanya keras-keras seraya berseru, "Benar, ternyata semua langkah itu tak bagus, yang paling bagus adalah langkah 'tuo xian ta tou', kalau biji catur ini ditaruh disini, memang sangat hebat".
Xiang Wentian tersenyum simpul, "Langkah Liu Zhongfu memang cemerlang, namun langkah itu hanyalah langkah seorang juara catur nasional yang seorang manusia biasa, kalau dibandingkan dengan langkah si nenek dewa dari Lishan, masih kalah jauh". Heibaizi cepat-cepat bertanya, "Langkah nenek dewa Lishan itu seperti apa?" Xiang Wentian berkata, "Tak ada jeleknya kalau tuan kedua memikirkannya".
Heibaizi berpikir untuk beberapa saat, namun akhirnya ia menyimpulkan bahwa situasinya sangat tidak menguntungkan dan sulit untuk dibalikkan, sambil menggeleng ia berkata, "Karena ini adalah langkah dewa, kita manusia biasa mana bisa memikirkannya? Saudara Tong tak usah membuat orang terus menebak-nebak". Xiang Wentian tersenyum, lalu berkata, "Strategi yang cemerlang ini memang hanya bisa dijalankan oleh seorang dewa". Heibaizi adalah seorang ahli catur, dan oleh karenanya juga pandai membaca pikiran musuh, karena Xiang Wentian tidak memberitahukan langkah itu secara terus terang, sehingga membuat hatinya tergelitik, ia menduga bahwa Xiang Wentian pasti mempunyai maksud tertentu, maka iapun berkata, "Saudara Tong, beritahukanlah langkah itu kepadaku, aku jamin bahwa kau tak akan sia-sia mengatakannya".
Linghu Chong berpikir, "Jangan-jangan Kakak Xiang tahu bahwa 'Jari Langit Sakti' tuan kedua bisa menyembuhkan lukaku, sehingga ia mencari jalan yang berbelit-belit seperti ini untuk mohon pertolongannya?"
Xiang Wentian mendongak, tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Aku dan Saudara Feng sama sekali tak ingin meminta apapun dari kalian berempat. Kalau tuan kedua berkata seperti itu, berarti tuan kedua memandang rendah kami berdua".
Heibaizi menjura dalam-dalam sambil berkata, "Mohon maaf atas perkataanku yang sembarangan". Xiang Wentian dan Linghu Chong membalas penghormatan itu.
Xiang Wentian berkata, "Kami berdua datang ke Mei Zhuang untuk bertaruh dengan tuan-tuan berempat". Heibaizi dan Dan Qingsheng serentak bertanya, "Bertaruh? Bertaruh apa?" Xiang Wentian berkata, "Aku hendak bertaruh bahwa di Mei Zhuang ini tak ada orang yang dapat mengunguli ilmu pedang Saudara Feng ini". Heibaizi dan Dan Qingsheng serentak berpaling ke arah Linghu Chong. Wajah Heibaizi nampak acuh tak acuh, ia sama sekali tak bersuara. Namun Dan Qingsheng tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Apa taruhannya?"
Xiang Wentian berkata, "Kalau kami kalah, lukisan ini akan menjadi milik tuan-tuan berempat". Sambil berbicara ia menurunkan sebuah buntalan dari punggungnya dan membukanya, di dalamnya terdapat dua buah gulungan. Ia membuka salah satu gulungan itu, yaitu sebuah lukisan kuno, di sudut kanan atasnya tertulis sebuah inskripsi enam belas huruf yang berbunyi 'Para Musafir Di Antara Gunung Dan Sungai Oleh Fan Zhongli Dari Dinasti Song Utara'[12]. Sebuah gunung tinggi menjulang tinggi ke angkasa, dilukis dengan goresan tinta yang tebal, gunung itu nampak begitu megah. Walaupun Linghu Chong tak paham seni lukis, namun ia tahu bahwa lukisan pemandangan itu adalah sebuah karya yang hebat. Begitu melihat gunung tinggi yang diselimuti pepohonan yang rimbun itu, walaupun hanya sebuah lukisan di atas kertas, namun orang yang melihatnya mau tak mau merasa seakan sedang mendongak memandang sebuah gunung yang menjulang tinggi.
Dan Qingsheng berseru, "Aiyo!" Pandangan matanya terpaku pada lukisan itu tanpa bergeser, setelah beberapa lama, ia baru berkata, "Ini adalah karya asli Fan Kuan dari Dinasti Song Utara, kau......kau......dari mana mendapatkannya?"
Xiang Wentian tersenyum kecil, namun tak menjawab. Perlahan-lahan, ia menggulung kembali gulungan itu. Dan Qingsheng berkata, "Tunggu dulu!" Ia menarik lengan Xiang Wentian untuk menghalanginya menggulung gulungan itu, namun tak nyana ketika telapak tangannya menyentuh lengan Xiang Wentian, sebuah tenaga dalam yang halus namun kuat mengalir keluar dan menolak telapaknya dengan lembut. Namun Xiang Wentian seakan tak tahu apa-apa dan tetap menggulung lukisan itu. Dan Qingsheng amat tercengang, barusan ini ia menarik lengan Xiang Wentian, namun karena takut akan merobek lukisan itu, ia sama sekali tak memakai tenaga dalam. Tenaga dalam lawan begitu kuat, jelas-jelas ilmu tenaga dalam kelas satu, apalagi ia belum menggunakan seluruh kekuatannya. Diam-diam ia merasa kagum dan berkata, "Tong tua, ternyata ilmu silatmu begitu hebat, jangan-jangan tak kalah dengan aku Dan Qingsheng".
Xiang Wentian berkata, "Tuan keempat mengolok-olokku. Diluar ilmu pedang, kungfu keempat majikan Mei Zhuang tak ada tandingannya di dunia ini. Aku Tong Huajin bukan siapa-siapa, mana bisa dibandingkan dengan keempat tuan-tuan ini?" Wajah Dan Qingsheng berubah masam, katanya, "Kenapa kau berkata "diluar ilmu pedang"? Apa ilmu pedangku benar-benar tak bisa mengungulinya?"
Xiang Wentian tersenyum simpul, lalu berkata, "Bagaimana kalau tuan kedua melihat kaligrafi ini?" Ia membuka sebuah gulungan lain, yaitu sebuah karya kaligrafi bergaya kuangcao[13] yang tulisannya bergulung-gulung bagai naga atau ular.
Dan Qingsheng berkata dengan heran, "Eh, eh, eh!" Setelah tiga kali berkata, mendadak ia berseru, "Kakak ketiga, kakak ketiga! Harta karun terbesar seumur hidupmu sudah datang!" Suara teriakannya ini amat keras, sehingga dinding, pintu dan jendela semua terguncang serta debu luruh dari balok-balok penyangga atap. Teriakan inipun muncul secara mendadak sehingga mau tak mau Linghu Chong terkejut.
* * *
Catatan Kaki Penerjemah
[1] Nama lain dari Bai Juyi (lihat catatan kaki di Bab IV).
[2] Tokoh dari Kisah Perjalanan ke Barat (Siyou Ji) (Hokkian: Tong Sam Cong).
[3] Huoyanshan atau Gunung Berapi (Flaming Mountains) adalah perbukitan yang termasuk dalam rangkaian Pegunungan Tianshan. Perbukitan ini terletak di sebelah timur Kota Turfan, Xinjiang.
[4] 黑白子 (Heibaizi) berarti 'Si Hitam Putih'.
[5] Qi atau catur China. Di Jepang dikenal dengan nama go.
[6] Alkisah di zaman Dinasti Jin, ada seorang penebang kayu bernama Wang Zhi. Pada suatu hari, ketika ia mendaki gunung untuk menebang kayu, ia melihat dua orang tua bermain qi, maka iapun meletakkan kapaknya dan menonton kedua orang itu. Setelah permainan selesai dan kedua orang tua itu telah pergi, Wang Zhi memutuskan untuk mengambil kapaknya dan kembali bekerja. Namun ternyata gagang kapaknya sudah lapuk. Dengan bingung ia kembali ke desanya, namun ternyata lima ratus tahun telah berlalu dan semua orang yang dikenalnya telah meninggal dunia. Cerita ini mirip dengan cerita Rip van Winkle yang ditulis oleh Washington Irving, namun paling tidak seribu tahun lebih tua.
[7] Konon di zaman Dinasti Song Utara, Liu Zhongfu, jago catur saat itu, bermain catur dengan seorang gadis di sebuah kedai teh. Liu Zhongfu menang dengan mudah dan bersikap angkuh. Gadis itu pergi dan kembali dengan seorang nenek yang lalu meneruskan permainan gadis itu. Dalam sekejap, nenek itu dengan mudah mengalahkan Liu Zhongfu. Liu Zhongfu begitu kesal hingga ia muntah darah. Setelah gadis dan nenek itu pergi, ia baru sadar bahwa keduanya bukan manusia melainkan dewa.
[8] Dikisahkan pada masa Dinasti Tang ketika Kaisar Xuan Zong melarikan diri dari pemberontakan An Lushan, jago caturnya yang bernama Wang Jixin ikut serta. Di perjalanan, Wang Jixin bermalam di rumah seorang nenek petani, ketika hendak tidur, ia mendengar nenek itu dan menantunya bermain catur dengan menyebutkan langkah-langkah mereka secara lisan. Wang Jixin tercengang mendengar permainan mereka yang cemerlang dan menghafalkannya. Keesokan harinya ia hendak bertanya pada keduanya, namun ternyata rumah itu tak berpenghuni. Ia menduga bahwa nenek dan menantunya itu adalah sepasang siluman rubah yang menyaru menjadi manusia.
[9] Lu Ban (魯班) (507-440 SM) adalah seorang tukang kayu, insinyur dan penemu yang hidup pada masa Musim Gugur dan Musim Semi. Ia adalah pelindung tukang bangunan dan tukang kayu.
[10] Satu sheng hampir sama dengan satu liter.
[11] Ini adalah istilah-istilah khusus dalam permainan Weiqi.
[12] Fan Zhongli atau Fan Kuan (范宽) (990-1020 M) adalah pelukis terkemuka abad ke X dan XI M. Para Musafir Di Antara Gunung Dan Sungai adalah lukisannya yang paling terkenal dan merupakan adikarya aliran lukisan Song Utara.
[13] Gaya kaligrafi yang tulisannya liar dan kadang-kadang tak terbaca hurufnya.
Bagian ketiga
Terdengar seseorang berseru dari kejauhan, "Kalian meributkan apa?" Dan Qingsheng berseru, "Kalau kau tak datang melihatnya dan orang ini sudah mengambilnya kembali, kau akan menyesal seumur hidupmu". Orang yang berada diluar itu berkata, "Kau menemukan kaligrafi palsu lagi, benar tidak?"
Tirai yang menutupi pintu tersingkap dan seseorang memasuki ruangan, tubuhnya buntak dan kepalanya botak licin, selembar rambutpun tiada, tangan kanannya mengenggam sebuah kuas tulis, bagian depan bajunya penuh bercak-bercak tinta. Ketika ia mendekat untuk melihat, mendadak sepasang matanya melotot dan napasnya menjadi terengah-engah, lalu dengan suara gemetar ia berkata, "Ini......ini karya asli! Benar-benar.....benar-benar karya dari Dinasti Tang.....oleh Zhang Xu[1] yang berjudul 'Kitab Sesuka Hati'......tak mungkin......tak mungkin palsu".
Tulisan yang bergaya caoshu[2] itu nampak bebas dan berani, bagai seorang jago dunia persilatan yang sedang mengerahkan ilmu ringan tubuhnya, melompat tinggi dan merunduk rendah, gerakannya sebat dan lincah namun tetap anggun. Linghu Chong paling banyak hanya mengenali satu dari kesepuluh huruf itu, namun ia melihat bahwa di bagian akhir karya itu terdapat banyak stempel, maka ia menduga bahwa tulisan itu tentunya bukanlah karya sembarangan.
Dan Qingsheng berkata, "Ini adalah kakak ketiga Tubiweng[3], ia mendapatkan julukan itu karena ia begitu cinta tulisan indah hingga telah membotaki ratusan ribu kuas tulis, bukan karena kepalanya botak. Jangan sampai salah mengerti". Linghu Chong tersenyum dan berkata, "Baik".
Si Tubiweng itu menjulurkan telunjuk tangan kanannya lalu menulis di udara dengan mengikuti goresan-goresan kuas di 'Kitab Sesuka Hati' itu, ekspresi wajahnya seperti orang mabuk kepayang, sama sekali tak memandang ke arah Xiang Wentian dan Linghu Chong berdua, bahkan perkataan Dan Qingshengpun sama sekali tak masuk ke dalam telinganya.
Tiba-tiba pikiran Linghu Chong terguncang, "Langkah yang diambil Kakak Xiang ini jangan-jangan sudah direncanakan terlebih dahulu. Aku ingat ketika aku pertama kali bertemu dengannya di paviliun itu, di punggungnya memang sudah ada buntalan itu". Namun ia berpikir kembali, "Tapi saat itu di dalam buntalan belum tentu disembunyikan dua gulungan ini, mungkin demi memohon keempat majikan Mei Zhuang ini untuk menyembuhkan penyakitku, di perjalanan ketika aku beristirahat di penginapan, ia membelinya, atau malah mencuri atau merampasnya. Hmm, kemungkinan besar ia telah mencurinya, pusaka yang tak ternilai harganya seperti ini, mana ada yang menjualnya?" Ia mendengar Tubiweng itu menulis di udara, jarinya mengeluarkan suara berdesir yang amat lirih, tenaga dalamnya kuat, tak kalah dengan Heibaizi, lagi-lagi ia berpikir, "Luka dalamku disebabkan oleh Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, tenaga dalam ketiga majikan Mei Zhuang ini tak kalah dengan Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, tuan pertama mungkin lebih lihai lagi. Selain itu masih ada Kakak Xiang, kalau kelima orang itu bersama-sama mengerahkan tenaga, mungkin mereka bisa menyembuhkan lukaku. Aku harap agar hal ini tak banyak menghabiskan tenaga dalam mereka".
Xiang Wentian tak menunggu sampai Tubiweng selesai menulis di udara, ia segera menggulung kembali 'Kitab Sesuka Hati' dan memasukannya ke dalam buntalan.
Tubiweng memandangnya dengan heran, setelah beberapa saat, ia berkata, "Mau ditukar dengan apa?" Xiang Wentian menggeleng sambil berkata, "Tak akan ditukar dengan apapun!" Tubiweng berkata, "Dua puluh delapan jurus ilmu menotok dengan kuas tulis 'Genderang Batu[4] '!" Heibaizi dan Dan Qingsheng serentak berseru, "Jangan!" Tubiweng berkata, "Bisa saja. Kenapa tak bisa? Kalau aku bisa menukarnya dengan karya asli bergaya kuangcao Zhang Xu ini, kenapa aku harus merasa sayang dengan ilmu menotok dengan kuas tulis 'Genderang Batu' itu?"
Xiang Wentian menggeleng, "Tidak bisa!" Tubiweng berkata, "Kalau begitu, untuk apa kau menunjukannya pada kami?" Xiang Wentian berkata, "Kalau begitu ini salahku. Anggap saja bahwa tuan ketiga belum pernah melihatnya". Tubiweng berkata, "Kalau sudah lihat, ya sudah lihat. Mana bisa dianggap belum pernah melihatnya?" Xiang Wentian berkata, "Kalau tuan ketiga benar-benar menginginkan karya asli Zhang Xu ini, tidaklah sukar, tuan hanya perlu bertaruh saja dengan kami". Tubiweng cepat-cepat bertanya, "Bertaruh apa?"
Dan Qingsheng berkata, "Kakak ketiga, orang ini agak sinting. Dia berkata bahwa ia ingin bertaruh bahwa di Mei Zhuang ini, tidak ada orang yang dapat mengungguli ilmu pedang sobat Feng dari Perguruan Huashan ini". Tubiweng berkata, "Kalau ternyata ada orang yang bisa mengungguli sobat Feng ini, lalu bagaimana?" Xiang Wentian berkata, "Kalau di Mei Zhuang, tak perduli siapa, ada yang bisa mengalahkan pedang di tangan Saudara Fengku ini, maka aku akan menghadiahkan karya asli Zhang Xu yang berjudul 'Kitab Sesuka Hati' ini pada tuan ketiga, menghadiahkan karya asli Fan Kuan 'Para Musafir Di Antara Gunung Dan Sungai' ini pada tuan keempat, dan aku juga akan menuliskan satu persatu dua puluh permainan catur termasyur para dewa untuk tuan kedua". Tubiweng berkata, "Bagaimana dengan kakak pertama kami? Apa yang akan kau hadiahkan kepadanya?"
Xiang Wentian berkata, "Aku punya sebuah naskah kecapi yang berjudul Guangling San[5], mungkin tuan pertama......"
Linghu Chong terkejut, pikirnya, "Naskah kecapi Guangling San ini adalah naskah yang digali Sesepuh Qu Yang dari makam kuno, ia memasukannya ke dalam lagu Xiao Ao Jiang Hu, dari mana Kakak Xiang mendapatkannya?" Tiba-tiba ia sadar, "Kakak Xiang adalah pelindung kanan Sekte Iblis, sedangkan Tetua Qu adalah tetua Sekte Iblis, keduanya kemungkinan besar bersahabat. Setelah Tetua Qu mendapatkan naskah kecapi ini, ia sangat girang, bisa saja ia lantas memberitahu Kakak Xiang. Kalau Kakak Xiang ingin meminjam dan menyalinnya, Tetua Qu tentunya akan memberikannya dengan senang hati". Ketika teringat bahwa naskah itu masih ada, sedangkan orangnya sudah tiada, mau tak mau ia menghela napas.
Tubiweng menggeleng, "Sejak kematian Ji Kang, Guangling San sudah tak diwariskan lagi di dunia ini, perkataan Saudara Tong ini mengandung suatu kebohongan".
Xiang Wentian tersenyum, "Aku punya seorang sahabat yang keranjingan main kecapi. Ia berkata bahwa setelah kematian Ji Kang, di dunia ini tidak ada lagi Guangling San. Naskah musik ini memang sejak zaman Dinasti Jin Barat sudah dilupakan orang, namun bagaimana dengan sebelum zaman Dinasti Jin Barat[6]?"
Tubiweng bertiga saling memandang dengan bingung, untuk sesaat mereka tak mengerti maksud perkataan itu.
Xiang Wentian berkata, "Sahabatku ini sangat cerdas, selain itu ia juga sangat pemberani, ia mengali makam para ahli kecapi yang hidup sebelum zaman Jin. Memang kalau ada kemauan pasti ada jalan, setelah mengali puluhan makam, akhirnya ia menemukan naskah ini di makam Cai Yong dari Dinasti Han Timur".
Tubiweng dan Dan Qingsheng berseru kaget. Heibaizi perlahan-lahan mengangguk-angguk sambil berkata, "Benar-benar cerdas dan pemberani!"
Xiang Wentian membuka buntalannya dan mengambil sebuah kitab tipis, di sampulnya tertulis lima huruf yang berbunyi 'Naskah Kecapi Guangling San', dengan santai ia membolak-balik halaman-halamannya, benar saja, di dalamnya tertulis sebuah naskah kecapi. Ia memberikan kitab itu kepada Linghu Chong seraya berkata, "Saudara Feng, kalau di Mei Zhuang ada seorang jago yang bisa mengalahkan ilmu pedangmu, serahkanlah naskah kecapi ini pada tuan pertama".
Linghu Chong menerimanya dan memasukannya ke dalam saku dadanya, pikirnya, "Mungkin ini adalah barang peninggalan Tetua Qu. Karena Tetua Qu sudah meninggal, kalau Kakak Xiang ingin mengambil naskah kecapi ini, apa susahnya?"
Dan Qingsheng tertawa, "Saudara Feng ini ahli minum arak, ilmu pedangnyapun tentunya cemerlang, tapi dia masih sangat muda, masa di Mei Zhuang kami ini......hehehe, ini lucu sekali".
Heibaizi berkata, "Kalau ternyata di Mei Zhuang kami ini memang tidak ada orang yang bisa mengalahkan Saudara Feng, apa yang harus kami berikan?"
Linghu Chong dan Xiang Wentian sebelumnya telah membuat perjanjian, bahwa dalam segala hal ia akan menurutinya, namun sekarang situasi telah berkembang menjadi seperti ini, ia merasa bahwa Xiang Wentian sudah bertindak keterlaluan, mereka datang untuk mohon penyembuhan, tapi kenapa ia malah dengan angkuh menghina pihak lain? Lagipula tenaga dalamnya telah musnah seluruhnya, bagaimana ia bisa bertarung dengan para jago ini?" Maka ia berkata, "Kakak Xiang memang suka bercanda, aku cuma seorang pemuda yang belum banyak belajar, mana berani berdebat tentang ilmu pedang dengan tuan-tuan?"
Xiang Wentian berkata, "Kau memang harus mengucapkan perkataan itu demi kesopanan, kalau tidak orang akan menganggapmu jumawa dan angkuh".
Tubiweng seakan tak memasukkan perkataan kedua orang itu ke dalam telinganya, sambil mengumam ia berkata, " 'Dengan tiga cawan arak Zhang Xu menjadi dewa caoshu, membuka topi di hadapan para bangsawan, mengayunkan kuas di atas kertas bagai mega dan kabut'. Kakak kedua, Zhang Xu dijuluki Dewa Caoshu, tiga baris sajak itu ditulis oleh Du Fu[7] tentangnya dalam puisinya 'Lagu Delapan Dewa Mabuk'. Orang ini adalah salah satu dari 'Delapan Dewa Mabuk' itu. Kau sudah melihat 'Kitab Sesuka Hati' itu, tentunya kau bisa membayangkan keadaan saat ia mengayunkan kuasnya sambil mabuk berat. Ai, benar-benar seperti kuda sembrani yang terbang di angkasa tanpa bisa dikekang, tulisan yang indah, tulisan yang indah!" Dan Qingsheng berkata, "Benar, orang ini suka minum, tentunya dia adalah orang yang hebat, tulisan indahnya tentunya juga tak buruk". Tubiweng berkata, "Han Yu[8] menulis tentang Zhang Xu, 'Rasa girang, murka, malu, gelisah, khawatir, sedih, gembira, nyaman, benci, kagum, mabuk berat dan bosan. Apapun yang menggerakkan hatinya, akan diungkapkannya melalui kaligrafi caoshunya, bagai mengayunkan pedang, betapa menyenangkannya!" Ia mengangkat jari-jarinya dan lagi-lagi menulis di udara kosong, setelah menulis beberapa huruf, ia berkata kepada Xiang Wentian, "Hei, bukalah lagi supaya aku bisa melihatnya".
Xiang Wentian menggeleng-geleng sambil tersenyum, katanya, "Setelah tuan ketiga menang, kitab ini akan menjadi milik tuan, kenapa harus tak sabaran begitu?"
Heibaizi pandai bermain catur, cara berpikirnya hati-hati, sebelum berpikir tentang kemenangan, ia sudah terlebih dahulu berpikir tentang kekalahan, maka lagi-lagi ia bertanya, "Kalau di Mei Zhuang ini tidak ada yang bisa mengungguli ilmu pedang pendekar muda Feng, kami harus menyerahkan apa?" Xiang Wentian berkata, "Kami datang ke Mei Zhuang bukan untuk memohon tuan-tuan melakukan sesuatu atau suatu benda apapun. Saudara Feng hanya ingin mencapai puncak ilmu silat di kolong langit dan bertukar jurus dengan para jago saat ini. Kalau kami beruntung dan dapat menang, kami akan segera berbalik dan pergi, kami sama sekali tak menginginkan barang taruhan apapun". Heibaizi berkata, "Oh, jadi pendekar muda Feng ini datang untuk mencari nama. Kalau kau bisa mengalahkan 'Empat Sahabat Jiangnan', tentunya namanya akan menguncang dunia persilatan". Xiang Wentian menggeleng, "Tuan kedua salah mengerti, setelah pertandingan ilmu pedang di Mei Zhuang hari ini, tak perduli siapapun yang kalah atau menang, kalau satu katapun bocor keluar, kami akan jadi jahanam terkutuk yang lebih rendah dari kotoran anjing".
Dan Qingsheng berkata, "Baik, baik! Kau bicara dengan terus terang! Ruangan ini sangat luas, aku akan bertukar jurus dengan Saudara Feng disini. Saudara Feng, dimana pedangmu?" Xiang Wentian tersenyum, lalu berkata, "Kami menghormati tuan-tuan berempat, mana berani membawa senjata ke Mei Zhuang?"
Dan Qingsheng berteriak keras-keras, "Ambilkan dua bilah pedang!"
Dari luar ada seseorang yang menjawab, setelah itu Ding Jian dan Shi Lingwei membawa dua bilah pedang, ketika sampai di hadapan Dan Qingsheng, mereka menjura dan menyerahkannya dengan hormat. Dan Qingsheng mengambil pedang dari tangan Ding Jian, lalu berkata, "Berikanlah pedang ini padanya". Shi Lingwei berkata, "Baik!" Ia membawa pedang dengan kedua tangannya dan berjalan ke depan Linghu Chong.
Linghu Chong merasa jengah, ia berpaling dan memandang Xiang Wentian. Xiang Wentian berkata, "Ilmu pedang tuan keempat amat hebat, Saudara Feng, kalaupun kau hanya bisa mempelajari satu jurus saja, kau akan mendapatkan faedah yang berguna sepanjang hidupmu".
Linghu Chong tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, pertandingan pedang ini tak dapat dihindari lagi, maka ia terpaksa sedikit menjura dan mengangsurkan kedua tangannya untuk menerima pedang itu.
Sekonyong-konyong Heibaizi berkata, "Adik keempat, tunggu dulu. Saudara Tong ini bertaruh bahwa di Mei Zhuang ini tak ada orang yang bisa mengungguli Saudara Feng. Ding Jian dapat memainkan pedang, dan dia juga orang Mei Zhuang, maka kau tak perlu turun tangan sendiri". Semakin lama ia mendengar Xiang Wentian berbicara dengan penuh percaya diri, ia makin merasa bahwa dalam hal ini ada sesuatu yang tidak beres, maka ia segera memutuskan bahwa Ding Jian harus turun tangan terlebih dahulu untuk menguji Linghu Chong. Ia berpikir bahwa ilmu pedang Ding Jian hebat, selain itu ia juga berkedudukan sebagai pembantu di Mei Zhuang, kalaupun ia kalah, ia tak akan merusak reputasi Mei Zhuang, setelah diuji, mereka akan tahu bagaimana sebenarnya ilmu pedang Feng Erzhong ini.
Xiang Wentian berkata, "Baik, baik. Selama ada seseorang dari Mei Zhuang ini yang dapat mengalahkan ilmu pedang Saudara Fengku, kami akan mengaku kalah, tak perlu tuan-tuan berempat sendiri yang turun tangan. Saudara Ding ini dijuluki orang dunia persilatan 'Pedang Kilat Satu Kata', jurus pedangnya sebat tanpa tanding, jarang ditemui di dunia ini. Saudara Feng, bagus juga kalau sebelumnya kau mendapat pelajaran dari Pedang Kilat Satu Kata Saudara Ding ini".
Dan Qingsheng melemparkan pedangnya ke arah Ding Jian, sambil tersenyum ia berkata, "Kalau kau sampai kalah, kau akan kuhukum mengambil arak dari Turfan".
Ding Jian menjura dan menerima pedang itu, lalu berbalik ke arah Linghu Chong seraya berkata, "Si Ding ini mohon petunjuk ilmu pedang dari Tuan Feng". "Sret!", ia menghunus pedang. Linghu Chong juga segera mengeluarkan pedang dari sarungnya, lalu meletakkan sarung itu diatas meja batu.
Xiang Wentian berkata, "Tuan-tuan bertiga, Saudara Ding, kita bertanding ilmu pedang, tak usah mengadu tenaga dalam". Heibaizi berkata, "Tentunya kedua belah pihak akan tahu kapan harus berhenti". Xiang Wentian berkata, "Saudara Feng, kau sama sekali tak boleh menggunakan tenaga dalam sedikitpun. Kita bertanding ilmu pedang, barangsiapa yang melancarkan jurus-jurus yang bagus akan menang, yang teledor akan kalah. Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan terkenal di dunia persilatan, kalau kau menang karena tenaga dalam, kita akan dianggap kalah". Linghu Chong diam-diam merasa geli, "Kakak Xiang tahu aku sama sekali tak punya tenaga dalam, namun sengaja berkata begitu untuk mengibuli mereka". Maka ia berkata, "Kalau adik menggunakan tenaga dalam, tuan-tuan bertiga dan Saudara Ding dan Shi akan tertawa sampai gigi mereka copot, tentu saja aku tak akan berani menggunakannya sedikitpun".
Xiang Wentian berkata, "Kami datang ke Mei Zhuang dengan maksud yang tulus. Saudara Feng, kalau kau terlalu rendah hati, kau malah akan bersikap tak hormat pada tuan-tuan berempat. 'Ilmu Awan Lembayung' Perguruan Huashanmu jauh diatas ilmu tenaga dalam Perguruan Songshan kami, semua orang di dunia persilatan tahu akan hal ini. Saudara Feng, bagaimana kalau kau berdiri di atas sepasang jejak kakiku ini, kedua kakimu tak boleh sampai keluar, lalu bertukar jurus dengan Saudara Ding?"
Setelah ia mengucapkan perkataan itu, ia bergeser ke samping, terlihat bahwa di atas dua keping bata hitam di lantai tertera dua buah jejak kaki yang dalamnya dua cun. Ternyata ketika barusan ini ia berbicara, ia diam-diam mengerahkan tenaga dalamnya dan membuat dua buah jejak kaki di atas bata hitam yang keras itu.
Heibaizi, Tubiweng dan Dan Qingsheng bertiga serentak bersorak, "Kungfu yang bagus!" Mereka melihat bagaimana ketika Xiang Wentian berbicara, dengan tenang ia mengerahkan tenaga dalam ke telapak kakinya dan membuat jejak kaki diatas bata hitam itu tanpa membuat batanya pecah berkeping-keping. Kedua jejak kaki itu juga sama dalamnya dan rata, seakan telah diukir dengan seksama menggunakan sebuah pisau tajam, tenaga dalamnya luar biasa, lebih tinggi dari mereka. Dan Qingsheng dan yang lain-lain mengira bahwa ia hanya pamer tenaga dalam, perbuatan semacam ini mau tak mau terlihat agak dangkal, tak seperti sikap seorang jago sejati. Tenaga dalamnya memang mencengangkan dan membuat orang kagum, namun mereka tak mengerti apa maksudnya sebenarnya. Linghu Chong tentu saja mengerti bahwa Xiang Wentian bermaksud untuk mempertunjukkan bahwa tenaga dalamnya lebih tinggi dari dirinya sendiri. Tenaga dalam Xiang Wentian saja sudah begitu hebat, tenaga dalamnya sendiri tentunya lebih lihai lagi, sehingga saat lawan bertanding nanti, lawan tak akan berani mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghindari diri sendiri dipermalukan. Lagipula, selain ilmu pedang, ilmu silatnya yang lain tak ada artinya, ilmu ringan tubuh dan melompat bukan keahliannya. Kalau kedua kakinya menginjak jejak kaki itu dan ia hanya mengerahkan ilmu pedang, ia akan dapat menyembunyikan kelemahannya.
Linghu Chong melangkah dan berdiri diatas jejak kaki Xiang Wentian, sambil tersenyum, ia berkata, "Silahkan, Saudara Ding!"
Ding Jian berkata, "Tuan Feng, mohon maaf!" Ia mengayunkan pedangnya dengan melintang sehingga mengeluarkan suara berdesir pelan, dalam pandangan mata para hadirin, pedang itu nampak seperti kilat panjang yang berkelebat dengan cepat. Ia sudah mengundurkan diri selama lebih dari sepuluh tahun di Mei Zhuang, namun kungfunya sama sekali tak mengalami kemunduran. Setiap jurus 'Pedang Kilat Satu Kata' yang dilancarkannya bagai kilat yang membelah angkasa, menggetarkan jiwa orang yang melihatnya dan membuatnya ketakutan terlebih dahulu. Bertahun-tahun yang silam Ding Jian pernah dikalahkan oleh seorang perampok buta, semata-mata karena lawan matanya buta dan hanya bisa mendengarkan gerakan pedang, maka kekuatan Pedang Kilat Satu Kata untuk menakut-nakuti musuh sama sekali tak dapat digunakan. Saat ini ketika ia mengerahkan ilmu pedangnya, seluruh ruangan langsung seakan dipenuhi cahaya kilat yang menyilaukan mata orang yang menyaksikannya.
Namun begitu jurus pertama Pedang Kilat Satu Kata dilancarkan, Linghu Chong segera menemukan tiga kelemahan besar di dalamnya. Ding Jian sama sekali tak buru-buru hendak menyerang, pedangnya hanya terus mengayun, seakan hendak memberi hormat pada tamu yang datang, namun sebenarnya ia bermaksud membuat Linghu Chong bingung, sehingga tak dapat menangkis serangan yang akan dilancarkannya belakangan. Ketika ia melancarkan jurus kelima, Linghu Chong sudah menemukan delapan belas kelemahan, maka ia berkata, "Mohon maaf!" Pedangnya menusuk dengan miring.
Saat itu pedang Ding Jian sedang mengayun dari kiri ke kanan dengan sebat, ujung pedang Linghu Chong masih berjarak sekitar dua chi dan enam atau tujuh cun dari pergelangan tangannya, namun gerakan menyabet Ding Jian itu sudah cukup untuk membuat pergelangannya tertusuk mata pedang Linghu Chong. Tenaga sabetan itu terlalu kuat dan tak bisa ditarik kembali, maka kelima penontonpun serentak berseru, "Awas!"
Heibaizi kebetulan sedang mengenggam dua butir biji catur hitam dan putih, ia baru saja hendak melemparkan biji-biji catur itu ke pergelangan tangan Linghu Chong supaya pergelangan tangan Ding Jian tak terpotong, namun ia berpikir, "Kalau aku turun tangan membantu Ding Jian, itu berarti bahwa dua orang melawan seorang, Mei Zhuang akan dianggap kalah dan tak perlu ada pertandingan selanjutnya". Saat ia ragu-ragu, pergelangan tangan Ding Jian terus mengayun dengan cepat ke arah mata pedang. Shi Lingwei berteriak keras-keras, "Aiyo!"
Dengan secepat kilat, pergelangan tangan Linghu Chong sedikit berputar, sehingga pedang menjadi miring, "Plak!", pergelangan tangan Ding Jian menghantam badan pedang dan sama sekali tak terluka. Ding Jian tertegun, ia tahu bahwa lawan telah bermurah hati padanya, dalam seketika itu, ia masih dapat mempertahankan pergelangannya. Kalau pergelangannya sampai putus, kepandaian silatnya akan musnah, keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhnya, sambil menjura ia berkata, "Banyak terima kasih atas kemurahan hati Pendekar Besar Feng". Linghu Chong menjura membalas menghormat seraya berkata, "Aku tak berani".
Ketika Heibaizi, Tubiweng dan Dan Qingsheng melihat bagaimana Linghu Chong memutar pedangnya supaya darah Ding Jian tak tertumpah, mereka makin suka pada Linghu Chong. Dan Qingsheng menuang secawan arak seraya berkata, "Saudara Feng, ilmu pedangmu amat hebat, mari minum secawan arak ini".
Linghu Chong berkata, "Aku tak patut menerima pujian itu". Ia menerima secawan arak itu dan meminumnya. Dan Qingsheng menemaninya minum secawan, lalu mengisi penuh cawannya lagi seraya berkata, "Saudara Feng, kau bermurah hati telah tak memotong tangan Ding Jian, aku sekali lagi mengangkat secawan arak untukmu". Linghu Chong berkata, "Itu hanya kebetulan, apa anehnya?" Dengan kedua tangannya ia mengangkat cawan itu dan meminumnya. Dan Qingsheng lagi-lagi menemaninya minum secawan arak, lalu menuangkan secawan arak lagi seraya berkata, "Cawan ketiga ini kita berdua tak akan meminumnya dahulu, aku dan kau akan bermain-main, lalu siapa yang kalah dialah yang harus minum secawan arak ini". Linghu Chong tersenyum, "Kalau begitu aku jelas kalah, lebih baik aku meminumnya dahulu". Dan Qingsheng mengoyang-goyangkan tangannya, "Jangan buru-buru, jangan buru-buru!" Ia menaruh cawan itu diatas meja batu, menerima pedang dari tangan Ding Jian, lalu berkata, "Saudara Feng, silahkan mulai duluan".
* * *
Ketika Linghu Chong minum arak, dalam hati ia telah memperhitungkan, "Menurut perkataannya, ia pertama gila arak, kedua gila melukis, dan ketiga gila pedang, ilmu pedangnya tentunya amat hebat. Kulihat dari lukisan dewa yang tergantung di ruang tamu itu, goresan kuasnya sebat dan kuat, namun sepertinya ia agak tak bisa menahan dirinya sendiri, kalau ilmu pedangnya juga seperti ini, tentunya kelemahannya juga banyak". Ia menjura dan berkata, "Tuan keempat, mohon ampunmu". Dan Qingsheng berkata, "Tak usah banyak peradatan, ayo mulai". Linghu Chong berkata, "Baik!" Ia mengangkat pedangnya dan menusuk ke arah bahu Dan Qingsheng.
Tikaman itu miring, jelas-jelas sama sekali tak memakai tenaga dalam, selain itu juga tak menuruti aturan, dalam ilmu pedang di kolong langit ini, tak mungkin ada jurus semacam ini. Dan Qingsheng tercengang dan berkata, "Apa-apaan ini?" Karena ia sudah tahu bahwa Linghu Chong berasal dari Perguruan Huashan, ia telah memikirkan berbagai macam ilmu pedang Huashan, namun tak nyana tikaman ini sama sekali berbeda, bukan cuma bukan ilmu pedang Huashan, melainkan juga sama sekali bukan ilmu pedang.
Ketika Linghu Chong mempelajari ilmu pedang kepada Feng Qingyang, selain mempelajari 'Sembilan Pedang Dugu' yang tak tertandingi sepanjang masa, ia juga telah memahami prinsip dasar ilmu pedang yaitu 'tanpa jurus menang dari yang berjurus'. Prinsip utamanya saling mengisi dan melengkapi 'Sembilan Pedang Dugu', 'Sembilan Pedang Dugu' halus serta mendalam, dan merupakan puncak seni pedang, namun secara keseluruhan jurus di dalamnya masih dapat ditelusuri. Kalau prinsip 'tanpa jurus menang dari yang berjurus' dimasukkan ke dalamnya, maka ia akan makin bebas alami dan sebat, sehingga orang tak mampu menebak gerakannya. Maka ketika Linghu Chong melancarkan tikaman itu, Dan Qingsheng tertegun, ia merasa bahwa kalau ia menangkis serangan itu, ia benar-benar tak tahu bagaimana cara menangkisnya, maka ia hanya dapat mundur dua langkah untuk menghindar.
Ketika Linghu Chong memaksa Ding Jian melempar pedang dan mengaku kalah hanya dengan satu jurus, walaupun Heibaizi dan Tubiweng diam-diam memuji ilmu pedangnya, namun mereka sama sekali tak terkejut. Mereka berpikir bahwa ia sudah berani menantang Mei Zhuang, maka kalau bahkan seorang pembantu di Mei Zhuangpun tak bisa ia lawan, tentunya akan sangat lucu. Ketika mereka melihat Dan Qingsheng dipaksa mundur dua langkah, merekapun terpana.
Setelah mundur dua langkah, Dan Qingsheng mengambil dua langkah ke depan lagi. Pedang Linghu Chongpun mengikuti menikam, kali ini ke sisi kiri tubuhnya, ia menikam dengan enteng, dengan sama sekali tak menghiraukan prinsip-prinsip ilmu pedang. Dan Qingsheng mengayunkan pedangnya untuk menangkis, namun sebelum kedua pedang itu beradu, ia sadar bahwa ujung pedang lawan telah menikam ke arah sisi kanan tubuhnya. Kalau lawan sampai dapat menyerang titik yang penting ini, ia akan benar-benar sulit menyelamatkan diri, hal ini sama sekali tak dapat dibiarkan. Pada saat yang genting, ia mengubah jurusnya, kedua kakinya menjejak dan ia melompat mundur sejauh sekitar satu zhang. Dengan lantang ia berseru, "Ilmu pedang yang bagus!" Tanpa berhenti ia langsung menerjang ke depan, dengan mencurahkan seluruh tenaganya ke dalam pedang, ia menikam kuat-kuat dengan sebat.
Linghu Chong melihat bahwa di lengan kanannya ada titik lemah yang besar, maka pedangnya dengan cepat menebas ke arah siku kanan lawan. Kalau Dan Qingsheng tak bisa mengubah jurus yang sedang dilancarkannya, siku kanannya akan tertebas oleh lawan. Namun ilmu silatnya memang hebat, ia cepat-cepat menekuk pergelangan tangannya dan menusukkan pedangnya ke lantai. Dengan meminjam daya tolak lantai, ia berjumpalitan dan mendarat dengan kokoh di tempat yang dua zhang jauhnya. Jarak diantara punggungnya dan dinding hanya beberapa cun saja, kalau saja ia menggunakan sedikit lebih banyak tenaga untuk berjumpalitan, punggungnya akan menghantam tembok, sesuatu yang akan merusak reputasinya sebagai seorang jago. Namun walaupun dapat meloloskan diri, ia telah menghindar dengan susah payah sehingga di wajahnya samar-samar muncul rona merah keungguan.
Namun ia adalah seorang yang periang dan pemurah, maka ia hanya mengacungkan jempol sambil tertawa terbahak-bahak, lalu berseru, "Ilmu pedang yang bagus!" Ia mengayunkan pedangnya dengan jurus 'Pelangi Putih Menembus Mentari' yang berubah menjadi 'Pohon Liu Digoyang Angin Musim Semi', dan lalu berubah lagi menjadi 'Naga Hujan Mengangkasa Burung Hong Terbang Tinggi', ketiga jurus itu menjadi satu kesatuan yang begitu mulus, hingga seakan gerakan kakinya yang bergeser tak terlihat, namun saat ketiga jurus itu selesai dilancarkan, ujung pedangnya telah tiba di muka Linghu Chong.
Linghu Chong memiringkan pedangnya dan menepuk pelan, menekan badan pedang Dan Qingsheng, tepukan ini posisi dan arahnya amat tepat. Tepat pada saat itu, Dan Qingsheng menyorongkan pedangnya ke depan dengan penuh tenaga, tenaganya terpusat pada mata pedang, namun di badan pedangnya sama sekali tak ada tenaga. Terdengar sebuah dentingan pelan, pedang yang ada di tangannya menjadi turun. Pedang Linghu Chong bergerak ke depan, menikam ke arah dadanya. "Ah!", seru Dan Qingsheng sambil melompat menghindar ke sebelah kiri.
Tangan kirinya membentuk jurus pedang, sedangkan pedang di tangan kanannya kembali menyerang, kali ini ia menebas dan membacok kuat-kuat, ia membacok dari atas dan berteriak, "Awas!" Ia sama sekali tak ingin melukai Linghu Chong, namun jurus 'Naga Kumala Menggelantung' ini sebat dan ganas, kalau lawan tak memperhatikannya dengan seksama, dan kalau dirinya sendiri tak bisa menahan tangannya, jangan-jangan ia akan benar-benar melukainya.
Linghu Chong menjawab, "Ya!" Pedangnya menyungkit ke atas, "Wus!", mata pedangnya menyerempet mata pedang lawan dengan miring. Kalau Dan Qingsheng mengambil kesempatan ini dan membacok ke bawah, sebelum mata pedangnya mengenai ubun-ubun Linghu Chong, kelima jarinya yang mengenggam pedang akan putus tertebas terlebih dahulu. Ia melihat pedang lawan mengeser pedangnya sendiri ke atas, jurus ini tak dapat dipecahkan, maka dengan tiba-tiba ia menghantamkan telapak kirinya ke bawah kuat-kuat, tenaga tolakan ini memukul lantai, "Blang!", dengan meminjam tenaga tolakan itu, ia melompat ke belakang sejauh sekitar satu zhang.
Sebelum ia sempat berdiri dengan kokoh, ia telah memutar pedangnya tiga kali di depan tubuhnya sehingga seakan membentuk tiga lingkaran cahaya. Ketiga lingkaran cahaya itu seakan menjadi nyata, setelah berputar-putar sejenak di udara, mereka perlahan-lahan bergerak ke arah Linghu Chong. Mula-mula lingkaran-lingkaran hawa pedang ini nampaknya tak sekuat dan sesebat Pedang Kilat Satu Kata, namun hawa pedang memenuhi ruangan itu dan angin dinginpun menyerang tubuh. Pedang Linghu Chong menyorong ke depan dan menusuk miring lingkaran cahaya itu dari sebelah kiri, tepat disela-sela dimana tenaga dari gerakan pertama Dan Qingsheng sudah hilang, sedangkan tenaga dari gerakan kedua belum muncul. "Ah!", ujar Dan Qingsheng, ia mundur dan lingkaran hawa pedang itupun mengikutinya mundur juga. Mendadak terlihat lingkaran itu mengkerut, lalu mengembang, dan setelah itu menerjang ke arah Linghu Chong. Pergelangan tangan Linghu Chong menyentak, pedangnya menusuk ke depan, "Ah!", lagi-lagi Dan Qingsheng berseru seraya cepat-cepat mundur.
Sambil maju dan mundur dengan tiba-tiba seperti ini, Dan Qingsheng menyerang dengan sebat, dan mundur dengan cepat juga, dalam sekejap, ia telah menyerang sebelas kali dan mundur sebelas kali juga, terlihat kumis dan janggutnya melambai-lambai, sinar pedangnya berkilauan dan memantul di wajahnya hingga wajahnya seakan dilapisi oleh seberkas sinar biru. Diiringi sebuah seruan pendek, puluhan lingkaran cahaya besar dan kecil serentak menyerang Linghu Chong. Karena ilmu pedangnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, puluhan gerakan itu bagaikan satu jurus saja. Setiap gerakan dari puluhan gerakan itu mematikan, dan setiap gerakan terdiri dari berbagai perubahan, kalau digabungkan menjadi satu, kerumitannya benar-benar tak tertandingi.
Dengan kesederhanaan, Linghu Chong berhasil mengatasi kerumitan, ia sedikit berjongkok, mata pedangnya menyungkit ke puluhan lingkaran cahaya dan langsung menuju ke perut Dan Qingsheng.
Dan Qingsheng kembali berteriak dan melompat ke belakang dengan sekuat tenaga, "Bruk!", ia terduduk keras-keras di meja batu, menyusul terdengar suara berdentang-denting, rupanya beberapa cawan arak di atas meja telah terjatuh ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Ia tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Hebat sekali! Hebat sekali! Saudara Feng, ilmu pedangmu jauh lebih tinggi dariku. Mari, mari, mari! Aku hendak mempersembahkan tiga cawan arak untukmu".
Heibaizi dan Tubiweng tahu seberapa tingginya pencapaian ilmu pedang sang adik keempat, namun dalam enam belas kali serangan, sepasang kaki Linghu Chong sama sekali tak pernah meninggalkan jejak kaki yang dibuat Xiang Wentian, tapi dapat memaksa Dan Qingsheng mundur delapan belas kali, kehebatan ilmu pedangnya benar-benar mengundang rasa jeri dan hormat.
Dan Qingsheng menuangkan arak dan bersama Linghu Chong minum tiga cawan arak, lalu berkata, "Diantara Empat Sahabat Jiangnan, ilmu silatku paling rendah. Walaupun aku mengaku kalah, namun kakak kedua dan ketiga belum tentu mau mengakuinya. Kemungkinan besar mereka juga ingin mencoba bertanding denganmu juga". Linghu Chong berkata, "Kita berdua telah bertukar banyak jurus, tuan keempat sama sekali tak kalah satu juruspun, mana bisa kita menentukan siapa yang kalah dan menang?" Dan Qingsheng menggeleng, "Dari jurus pertama aku sudah kalah, tujuh belas jurus setelah itu tak ada gunanya. Menurut kakak pertama, jiwaku terlalu sempit, ia memang sedikitpun tak salah". Linghu Chong tertawa, "Tuan keempat berjiwa besar, kekuatan minumnyapun setinggi langit". Dan Qingsheng tertawa dan berkata, "Baik, baik. Ayo kita minum arak lagi. Aku hanya kuat minum saja, namun ilmu pedangku kalah denganmu!"
Ia amat membanggakan ilmu pedangnya, namun hari ini ia kalah di tangan seorang pemuda tak bernama, namun tak nyana ia sama sekali tak merasa kesal, jiwa besar dan periang seperti ini, adalah sikap kelas satu diantara manusia. Xiang Wentian dan Linghu Chong mau tak mau mengaguminya, mereka merasa bahwa budi pekerti orang ini amat tinggi.
* * *
Tubiweng berkata pada Shi Lingwei, "Pelayan Shi, tolong ambilkan kuas gundulku". Shi Lingwei mengiyakan, lalu mengambil sebuah senjata dan menyerahkannya dengan kedua tangannya. Linghu Chong meliriknya dan melihat bahwa senjata itu adalah sebuah kuas panguan[9] baja yang panjangnya satu chi enam cun. Anehnya, di ujung kuas terdapat bulu domba yang bekas tercelup tinta, seperti kuas yang sehari-hari dipakai untuk menulis. Biasanya ujung kuas panguan digunakan untuk menotok jalan darah, namun ujung kuasnya ini justru terbuat dari bulu domba yang lembut, kalau digunakan untuk menotok jalan darah orang, bagaimana ia dapat meraih kemenangan? Sepertinya ia mempunyai ilmu silat khusus, atau tenaga dalamnya amat hebat sehingga ia dapat melukai orang dengan bulu domba.
Tubiweng mengambil kuas panguan itu, lalu berkata sambil tersenyum kecil, "Saudara Feng, apa kedua kakimu masih akan tetap berada di dalam jejak kaki itu?"
Linghu Chong cepat-cepat mundur dua langkah, lalu menjura seraya berkata, "Aku tak berani. Aku hendak minta petunjuk tuan, aku mana berani bersikap semberono?"
Dan Qingsheng menangguk, "Benar, waktu kau bertanding ilmu pedang denganku, kau dapat berdiri saja tanpa bergerak-gerak, namun dengan kakak ketiga kau tak dapat melakukan hal itu".
Tubiweng mengangkat kuas panguannya dan berkata sambil tersenyum, "Goresan kuasku ini mengikuti goresan para ahli kaligrafi terkenal, Saudara Feng mahir ilmu surat dan silat, tentunya kau akan dapat mengenali gerakan kuasku. Karena Saudara Feng adalah seorang sahabat, aku tak akan mencelupkan ujung kuasku dalam tinta".
Linghu Chong agak terkejut, pikirnya, "Kalau kau tak menganggapku seorang sahabat, kau akan mencelupkan ujung kuasmu dalam tinta. Kalau ujung kuasnya dicelupkan ke dalam tinta, memangnya kenapa?" Ia tak tahu bahwa saat Tubiweng menghadapi musuh, tinta di ujung kuas panguan ini dibuat dari bahan-bahan obat khusus, setelah tinta mengenai kulit, bekasnya tak dapat dihilangkan walaupun dicuci dengan air selama beberapa tahun atau dikerik dengan pisau. Bertahun-tahun silam ketika para jago persilatan bertarung dengan Empat Sahabat Jiangnan, Tubiweng ini adalah lawan yang paling memusingkan, kalau tak hati-hati, wajah bisa digambari lingkaran-lingkaran, palang, atau bahkan ditulisi satu atau dua kata, sehingga untuk beberapa tahun wajah mereka tak sedap dilihat. Mereka lebih senang dibacok, atau lengannya dipotong daripada wajahnya digambari olehnya. Tubiweng melihat bahwa ketika bertanding dengan Ding Jian dan Dan Qingsheng, Linghu Chong bersikap jujur dan murah hati, maka ia tidak mencelupkan ujung kuasnya dalam tinta. Walaupun Linghu Chong tidak mengerti maksudnya, namun ia berpikir bahwa ia bersikap sopan padanya, maka ia menjura seraya berkata, "Terima kasih atas kebaikan tuan. Aku tak banyak belajar, maka aku pasti tak akan bisa mengenali goresan-goresan kuas tuan ketiga".
Tubiweng agak kehilangan harapan, katanya, "Kau tak mengerti seni tulisan indah? Baiklah, aku akan menjelaskannya terlebih dahulu. Goresan-goresan kuasku ini disebut 'Puisi Jenderal Pei', perubahan-perubahannya didasarkan pada kitab kaligrafi Yang Zhenqing[10], seluruhnya ada dua puluh tiga huruf, dan setiap hurufnya terdiri dari tiga sampai enam belas goresan, dengarkanlah baik-baik! 'Jenderal Pei! Penguasa enam penjuru, jenderal perwira yang membersihkan sembilan ladang[11]. Kuda perangnya bagai naga dan harimau, betapa gagahnya mencongklang mendaki bukit!' "
Linghu Chong berkata, "Banyak terima kasih atas petunjuknya". Namun dalam hati ia berpikir, "Tak perduli kau mau menulis sajak atau tulisan indah apa, semuanya toh aku tak mengerti".
Tubiweng mengayunkan kuasnya dan menotol ke arah pipi kanan Linghu Chong tiga kali secara berturut-turut, yaitu tiga goresan pertama dari huruf '裴' (pei), tiga totolan ini adalah jurus kosong, kuas terangkat tinggi, seakan hendak menulis dari atas ke bawah, namun pedang Linghu Chong menusuk ke depan dengan sebat ke arah bahunya. Tubiweng tak punya pilihan lain dan terpaksa menarik kuasnya kebawah untuk menangkis serangan itu, namun pedang Linghu Chong sudah ditarik kembali. Senjata keduanya belum sampai beradu, gerakan-gerakan yang mereka lancarkan semuanya jurus kosong, akan tetapi Tubiweng sudah menjalankan separuh gerakan pertama 'Puisi Jenderal Pei' dan tak bisa menyelesaikannya. Kuasnya menangkis udara kosong dan ia segera melancarkan gerakan kedua. Namun Linghu Chong tak menunggu ujung kuasnya bergerak, pedangnya langsung menyerang sebuah titik yang mau tak mau harus dipertahankannya. Tubiweng mengayunkan kuasnya ke belakang untuk menangkis, namun lagi-lagi pedang Linghu Chong sudah ditarik kembali, gerakan kedua inipun juga hanya dapat diselesaikan separuh jalan.
Kedua gerakan Tubiweng dihalang-halangi oleh lawan, sehingga ia tak mampu menyelesaikan tulisan indah yang amat dibanggakannya itu, maka ia merasa sangat kesal, seakan ia adalah seorang ahli tulisan indah yang mengangkat kuasnya dan menulis beberapa kata, lalu di sampingnya ada seorang bocah nakal yang menarik-narik gagang kuas dan lengannya, sehingga ia sama sekali tak bisa menulis satu katapun dengan baik. Tubiweng berpikir, "Aku telah membacakan 'Puisi Jenderal Pei' ini kepadanya, maka ia sudah tahu apa yang akan kutulis dan dapat meramalkan gerakanku, setelah ini aku tak akan melancarkan gerakan-gerakan selanjutnya sesuai dengan urutannya". Ia membuat sebuah totolan palsu, lalu kuasnya mengayun dari pojok kanan atas ke pojok kiri bawah dengan penuh tenaga, menulis kata '若' (ruo) dengan gaya caoshu yang terkesan sembarangan. Pedang Linghu Chong menusuk ke arah iga kanannya. Tubiweng terkejut, ia cepat-cepat membalik kuas panguannya untuk menghantam pedang. Namun tak nyana tikaman Linghu Chong ini sama sekali palsu dan ia hanya berpura-berpura melancarkan gerakan itu, lagi-lagi Tubiweng hanya bisa menyelesaikan separuh tulisannya. Ia telah menuangkan begitu banyak tenaga ke dalam tulisan bergaya caoshunya ini, lalu tiba-tiba berbalik arah di tengah jalan, maka tak hanya gerakan kuasnya ynag terhambat, namun pada saat yang sama tenaga dalamnya juga beralih, napasnyapun terputus dan ia merasakan qi dan darah di dantiannya bergejolak hingga sakitnya sulit dilukiskan.
Ia menarik napas panjang, lalu kuasnya kembali menari, hendak menulis kata '腾' (teng), namun lagi-lagi di tengah jalan ia diserang oleh Linghu Chong dan terpaksa menarik kuasnya kembali. Tubiweng amat gusar, ia berseru, "Hei bocah, kau membuat masalah saja!" Gerakan kuas panguan makin cepat, namun bagaimanapun caranya ia mengubah gerakannya, ia hanya mampu menulis goresan kedua dari setiap kata yang ditulisnya sebelum terpaksa berhenti karena serangan Linghu Chong.
Ia berteriak keras-keras dan gaya menulisnya tiba-tiba berubah, tak lagi liar seperti sebelumnya, melainkan tebal dan berat dengan penuh tenaga, sudut-sudutnya tajam bagai pedang atau busur dan nampak amat lugas. Linghu Chong tak tahu bahwa gaya ini diilhami oleh 'Inskripsi Gunung Bameng' yang ditulis oleh jenderal besar negara Shu Han, Zhang Fei[12], namun ia tahu bahwa gaya menulisnya sangat berbeda dari sebelumnya. Ia tak perduli lawan melancarkan jurus apa, begitu kuasnya bergerak, ia langsung menyerang titik lemahnya. Tubiweng berteriak keras-keras dengan kesal, namun bagaimanapun juga ia mengubah tulisannya, ia tetap hanya dapat menulis separuh jalan dan sama sekali tak dapat menyelesaikan satu hurufpun.
Gaya tulisan Tubiweng berubah lagi, ia menulis dengan gaya caoshu dalam 'Otobiografi Huai Su'[13], gerakannya bebas dan sebat, berputar-putar tanpa aturan, pikirnya, "Gaya caoshu Huai Su memang sudah sulit dibaca, sekarang aku akan membuatnya lebih sulit dibaca lagi, kurasa bocah ini tak akan dapat membaca tulisan bergaya kuangcao ciptaanku ini". Ia tak tahu bahwa jangankan tulisan bergaya caoshu, huruf-huruf dalam tulisan biasapun banyak yang tak dapat dibaca oleh Linghu Chong. Ia menduga bahwa Linghu Chong dapat terlebih dahulu mengetahui arah gerakannya karena pemuda itu dapat membaca tulisannya, namun di mata Linghu Chong hal itu semata-mata adalah cara menggunakan senjata, ia berhasil memecahkan serangan musuh karena ia menyerang titik-titik lemah lawan.
Ketika Tubiweng hanya dapat menyelesaikan setiap huruf bergaya kuangcao ini separuh jalan, rasa gusarnya makin memuncak, sekonyong-konyong ia berseru, "Tak usah bertanding! Tak usah bertanding!" Ia melompat ke belakang, mengangkat tong arak Dan Qingsheng, lalu menuangkan isinya ke atas meja batu. Ia mencelupkan kuasnya ke dalam arak, lalu menulis di atas permukaan dinding yang putih, yang ditulisnya adalah 'Puisi Jenderal Pei'. Kedua puluh tiga huruf itu ditulisnya dengan hidup dan penuh semangat, terutama huruf 'ruo' yang bagai seekor naga yang hendak terbang ke angkasa. Setelah selesai menulis, ia menghembuskan napas lega, tertawa terbahak-bahak, lalu menelengkan kepalanya untuk mengagumi huruf-huruf besar di dinding yang berwarna kuning gading bagai minyak itu, katanya, "Diantara tulisan indah yang kubuat seumur hidupku, karya inilah yang terbaik".
Makin lama memandanginya ia makin bangga, katanya, "Kakak kedua, berikanlah ruangan catur ini kepadaku, aku merasa berat berpisah dengan tulisan ini, aku khawatir kalau setelah ini aku tak akan mampu menulis tulisan sebagus ini lagi". Heibaizi berkata, "Baiklah! Karena di ruangan ini selain papan catur tak ada benda lain, kalaupun kau tak menginginkannya, aku tetap harus pindah, kalau harus memandang tulisan indahmu yang besar-besar dan bagai naga terbang serta burung hong menari ini, mana bisa aku memusatkan perhatian pada catur?" Tubiweng mengangguk-angguk dengan puas diri sambil memandangi tulisannya itu, ia memuji dirinya sendiri, "Kalaupun Adipati Yan dari Lu hidup kembali, iapun belum tentu bisa menulis seperti ini". Ia berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, "Saudara, hanya karena kau memaksa aku, ilham menulisku yang terperam di dalam perutku dan tak dapat dikerahkan barusan ini tiba-tiba dapat mengalir keluar dari ujung jari-jariku, di langit dan bumi ini tiada karya yang lebih bagus. Ilmu pedangmu bagus, ilmu menulisku bagus, ini namanya masing-masing punya kelebihan sendiri-sendiri, tak ada yang menang atau kalah".
Xiang Wentian berkata, "Benar, masing-masing punya kelebihan sendiri-sendiri, tak ada yang menang atau kalah". Dan Qingsheng berkata, "Lagipula, ini juga berkat arakku yang lezat".
* * *
Heibaizi agak merasa bersalah, katanya, "Adik ketigaku ini polos dan terus terang, ia keranjingan tulisan indah, namun bukan berarti bahwa ia mengaku kalah". Xiang Wentian berkata, "Aku mengerti, karena kita sudah bertaruh bahwa di Mei Zhuang tidak ada yang dapat mengungguli ilmu pedang Saudara Feng, selama kedua belah pihak tidak ada yang menang atau kalah, kami belum kalah taruhan". Heibaizi mengangguk sambil berkata, "Tepat sekali". Ia mengangsurkan tangannya ke bawah meja batu dan mengeluarkan sebuah lempengan besi berbentuk bujur sangkar. Di atas permukaan lempeng besi itu terukir sembilan belas garis permainan catur, ternyata lempeng besi itu adalah sebuah papan catur besi. Ia memegang sudut papan catur itu seraya berkata, "Saudara Feng, aku akan memakai papan catur ini sebagai senjata, mohon petunjukmu tentang langkah-langkahmu yang cemerlang".
Xiang Wentian berkata, "Kabarnya papan catur tuan kedua ini adalah sebuah harta mustika dan dapat memunahkan berbagai senjata dan senjata rahasia". Heibaizi menatapnya tanpa berkedip untuk sesaat, katanya, "Saudara Tong memang amat luas wawasannya, aku sangat kagum, sangat kagum. Sebenarnya senjataku ini sama sekali bukan sebuah mustika, namun ia dibuat dari besi berani, sehingga dapat menarik biji-biji catur yang terbuat dari besi. Kalau kita bermain catur di atas punggung kuda atau kapal, guncangan tidak akan membuat papan catur jadi berantakan". Xiang Wentian berkata, "Begitu rupanya".
Sambil mendengarkan, Linghu Chong berpikir, "Untung saja Kakak Xiang memberiku petunjuk, kalau tidak belum-belum pedangku akan tertarik oleh papan caturnya, dan tanpa bertanding kita akan langsung kalah. Dalam bertanding dengan orang ini, aku tak boleh membiarkan pedangku bersentuhan dengan papan caturnya". Ia segera mengarahkan mata pedangnya ke tanah, lalu menyoja seraya berkata, "Mohon petunjuk tuan kedua". Heibaizi berkata, "Aku tak berani, ilmu pedang Saudara Feng amat cemerlang, seumur hidupku aku belum pernah melihatnya. Silahkan mulai!"
Dengan enteng Linghu Chong menebas, pedangnya mengayun kesana kemari dan bergetar, lalu maju ke depan. Heibaizi tertegun, pikirnya, "Jurus apa ini?" Ia melihat bahwa mata pedang mengarah ke tenggorokannya, maka ia segera mengangkat papan caturnya untuk menghalanginya. Linghu Chong mengubah arah mata pedangnya, sekarang ia menusuk ke arah bahu kanannya, Heibaizi lagi-lagi mengangkat papan caturnya untuk menangkis serangan. Linghu Chong tak menunggu sampai pedang mendekati papan catur, ia segera menariknya kembali dan menikam ke arah perut lawan.
Heibaizi kembali menahan serangan itu, pikirnya, "Kalau aku tak menyerang balik, bagaimana aku bisa mendahului langkah musuh?" Dalam permainan catur, mendahului langkah musuh amat ditekankan, dalam pertandingan ilmu silat, mendahului langkah musuh juga penting. Heibaizi mengerti teori permainan catur, tentu saja ia juga sangat mengerti kenapa ia harus mendahului langkah musuh, maka ia segera mengangkat papan catur dan menghantamkannya ke bahu kanan Linghu Chong. Papan catur itu berbentuk bujur sangkar yang sisi-sisinya berukuran dua chi, sedangkan tebalnya mencapai satu cun, sebuah senjata yang amat berat, kalau sampai menghantam pedang, kalaupun papan itu tak mengandung besi berani, pedang tetap akan patah.
Linghu Chong sedikit mengegos, lalu ia menikam dengan miring ke iga kanan lawan. Heibaizi melihat bahwa walaupun tikaman lawan ini sepertinya tidak menggunakan jurus tertentu, namun titik yang diserangnya harus dipertahankan. Ia cepat-cepat mengayunkan papan catur untuk menghantam pedang dari samping dan sekaligus mendorongnya ke depan. Jurus 'Da Fei' ini sebenarnya adalah jurus bertahan, namun mengandung serangan balik, kalau lawan menanggapi jurus ini, jurus-jurus berikutnya akan mengalir dengan cepat. Namun tak nyana Linghu Chong mengacuhkannya, pedangnya menyungkit dengan miring dan langsung menyerangnya. Jurus bertahan Heibaizi yang mengandung serangan balik ini hanya dapat dijalankan separuhnya, ia hanya dapat menangkis serangan, namun tak berdaya menyerang balik.
Setelah itu, dengan tikaman demi tikaman, Linghu Chong terus menyerang tanpa berhenti sama sekali sampai lebih dari empat puluh kali. Heibaizi sibuk menangkis ke kiri dan ke kanan, mempertahankan bagian depan dan melindungi bagian belakang, pertahanannya begitu ketat sehingga seakan setetes airpun tak bisa lolos dan memasuki daerahnya, benar-benar amat ketat tanpa tanding. Namun setelah kedua orang itu bertukar empat puluh jurus lebih, keempat puluh jurus Heibaizi adalah jurus bertahan, tak nyana ia sama sekali tak mampu melancarkan satupun jurus serangan.
Tubiweng, Dan Qingsheng, Ding Jian dan Shi Lingwei berempat memandang mereka dengan tercengang, mereka melihat bahwa ilmu pedang Linghu Chong tidak amat sebat atau ganas, perubahan-perubahannya juga tak ada yang sebegitu lihai, namun setiap serangannya selalu membuat Heibaizi kewalahan dan memaksanya melindungi titik-titik lemahnya. Tubiweng dan Dan Qingsheng tahu betul bahwa setiap jurus pasti ada kelemahannya, namun kalau seseorang dapat mendahului menyerang titik lemah lawan, titik lemah diri sendiri tak harus menjadi kelemahan, kalaupun ia mempunyai laksaan titik lemah, hal ini tidak akan banyak berarti. Serangan Linghu Chong yang susul-menyusul sampai empat puluh kali lebih adalah berdasarkan prinsip ini.
Heibaizi juga makin cemas, ia hendak menyerang balik, namun begitu papan caturnya bergerak, mata pedang lawan langsung mengarah ke titik lemahnya yang terungkap, dalam empat puluh jurus lebih itu, ia sama sekali tak bisa menyerang balik, seakan ia sedang bermain catur melawan seorang lawan yang jauh lebih cemerlang, ketika lawan melancarkan empat puluh langkah lebih secara susul-menyusul, ia terpaksa hanya mengikuti langkah-langkah lawan dan sama sekali tak dapat berbuat sekehendak hatinya sendiri.
Heibaizi sadar bahwa kalau mereka terus bertanding seperti ini, walaupun mereka bertukar seratus atau dua ratus jurus, dirinya akan selalu dalam keadaan diserang dan tak dapat membalas, pikirnya, "Kalau hari ini aku tak mengambil resiko, maka nama besarku sebagai seorang pendekar yang sudah kupupuk seumur hidup akan hancur begitu saja". Dengan cepat ia mengayunkan papan caturnya untuk menghantam pinggang kiri Linghu Chong. Linghu Chong tak menghindar, namun pedangnya menikam ke arah perut lawan. Namun kali ini Heibaizi tak menangkis dengan papan caturnya, ia malah mengambil kesempatan untuk menghantam lawan dengan papan catur itu, seakan telah bertekad bulat untuk mempertaruhkan nyawanya dan bertarung dengan lawan hingga sama-sama hancur. Ketika ujung pedang mendekat, ia menjulurkan tangan kirinya untuk menjepit ujung pedang dengan telunjuk dan jari tengahnya sehingga kedua mata pedang yang tajam tertekan. Ia telah berlatih ilmu sakti 'Jari Langit Hitam', tenaga dalam kedua jarinya ini amat kuat, sama sekali tak kalah dengan senjata lihai lain.
Ketika kelima penonton melihatnya mengambil resiko seperti ini, mereka mau tak mau berseru kaget, serangan semacam itu bukan terhitung pertandingan persahabatan lagi, melainkan pertarungan hidup dan mati. Kalau ia tak dapat menjepit ujung pedang itu, pedang akan menembus perutnya. Dalam sekejap, telapak tangan kelima penonton dipenuhi keringat dingin. Terlihat bahwa kedua jari Heibaizi telah mendekati mata pedang, tak perduli apakah ia akan dapat menjepit ujung pedang itu atau tidak, salah seorang dari mereka pasti akan terluka atau tewas. Kalau ia dapat menjepit ujung pedang itu sehingga pedang Linghu Chong tak dapat maju ke depan, papan catur akan menghantam pinggang Linghu Chong, dan pemuda itu akan sama sekali tak dapat menghindar; kalau ia tak bisa menjepit ujung pedang itu, atau tak dapat menahan pedang maju ke depan, Heibaizi juga tak akan punya waktu untuk menghindar dengan melompat ke belakang.
Tepat ketika jari Heibaizi hampir menyentuh mata pedang, ujung pedang tiba-tiba mengungkit ke atas dan menikam ke arah tenggorokannya.
Perubahan ini sama sekali tak terbayangkan oleh siapapun, dalam ilmu silat sepanjang masa, jurus semacam ini tak mungkin ada. Ternyata, tikaman pertama ke perut hanya gerakan palsu. Gerakan palsu seperti itu hanya lelucon kalau dipakai dalam pertarungan diantara para jago. Namun walaupun gerakan itu tak sesuai dengan aturan ilmu pedang, jurus itu telah dilancarkan oleh Linghu Chong. Ketika ujung pedang menyungkit ke arah tenggorokannya, Heibaizi tak punya waktu untuk menjepit ujung pedang dengan kedua jarinya, kalau papan caturnya terus menghantam, ujung pedang itu akan terlebih dahulu menembus tenggorokannya.
Heibaizi amat terkejut, tangan kanannya dengan sekuat tenaga menahan papan caturnya. Namun pikirannya cepat, dan ia pandai bermain catur, dalam keadaan genting seperti ini, ia dapat menduga pikiran musuh, kalau ia membatalkan serangan dengan papan caturnya, pedang lawan juga tak akan menikam.
Benar saja, ketika Linghu Chong melihat papan caturnya tak lagi bergerak ke depan, pedangnyapun berhenti bergerak, ujung pedang hanya tinggal berjarak beberapa cun saja dari tenggorokannya, dan papan caturpun juga hanya tinggal berjarak beberapa cun saja dari pinggang Linghu Chong. Keduanya berhadap-hadapan tanpa ada yang mau mengalah, tubuh mereka sama sekali tak bergeming.
Walaupun keduanya sama-sama tak sudi mengalah, namun secara keseluruhan Linghu Chong berada di atas angin. Papan catur adalah sebuah benda yang berat, ia hanya dapat memukul dengan keras kalau dihantamkan dari jarak beberapa chi untuk melukai lawan. Namun saat ini Linghu Chong hanya terpisah beberapa cun saja jauhnya dari papan catur itu, walaupun papan catur didorong keras-keras ke arahnya, tetap tak akan dapat melukainya. Akan tetapi pedang Linghu Chong hanya perlu menusuk dengan enteng saja, dan nyawa lawanpun akan melayang. Siapa yang berada di atas angin, semua orang dapat melihatnya dengan jelas.
Xiang Wentian tertawa, "Keduanya tak ada yang berani bergerak terlebih dahulu, dalam permainan catur, ini disebut 'shuang huo'. Tuan kedua memang cerdas dan pemberani, dapat bertarung dengan Saudara Feng tanpa ada yang menang atau kalah".
Linghu Chong menarik pedangnya, mundur dua langkah, lalu menjura sambil berkata, "Mohon maaf!"
Heibaizi berkata, "Saudara Tong bercanda saja. Mana bisa disebut tak ada yang menang atau kalah? Ilmu pedang Saudara Feng amat hebat, aku kalah telak".
Dan Qingsheng berkata, "Kakak kedua, senjata rahasia biji caturmu tiada taranya di dunia persilatan, kalau tiga ratus enam puluh biji catur hitam dan putih melesat, tiada orang yang dapat menangkisnya, kenapa kau tak menguji kungfu menangkal senjata rahasia Saudara Feng ini?"
Hati Heibaizi tergerak, ia memandang ke arah Xiang Wentian yang lamat-lamat mengangguk, lalu melirik ke arah Linghu Chong, namun dilihatnya bahwa raut wajah pemuda itu sama sekali tak berubah, maka ia berpikir, "Ilmu pedang orang ini luar biasa cemerlang, jangan-jangan di dunia ini tak ada yang dapat mengunggulinya. Melihat dari air muka mereka berdua, sepertinya mereka amat percaya diri, kalau aku memakai senjata rahasia, sepertinya aku akan cuma mempermalukan diriku sendiri lagi". Maka ia segera menggeleng dan berkata sembari tersenyum, "Aku toh sudah kalah, untuk apa pakai senjata rahasia segala?"
Catatan Penulis: Ada kritikus yang menulis tentang adegan Linghu Chong mencicipi arak dengan Dan Qingsheng di Mei Zhuang dengan sangat teliti sehingga saya merasa amat berterima kasih. Namun cara orang zaman dahulu di negara kita membuat arak dan peralatan minum arak sangat berlainan dengan kita sekarang, kalau saya memakai standar yang saya jumpai di Amerika Serikat untuk menulis tentang bagaimana Dan Qingsheng dan Linghu Chong mencicipi arak, belum tentu akan sesuai. Kalau kita ingin memakai standar zaman sekarang untuk menilai orang zaman dahulu, anggur terbaik saat ini berasal dari Prancis, lalu dari Jerman, Italia, Spanyol, Portugal dan Swiss. Belgia dan Austria juga menghasilkan anggur yang baik. Dalam beberapa tahun belakangan ini, Penfold Granger dari Australia tiba-tiba muncul dan populer di dunia internasional sehingga harganya melonjak; selain itu, Chile, Argentina, Afrika Selatan dan Selandia Baru juga menghasilkan anggur yang baik. Kualitas anggur merah dan putih dari Kalifornia, Amerika Serikat, berada pada urutan selanjutnya, dan tak diterima di toko anggur maupun restoran masakan barat kelas tinggi, kalau tidak peringkat restoran tersebut akan turun. Kalau orang Amerika minum anggur merah, mereka sering memasukkan limun jeruk yang ditambahi es, seperti orang Hong Kong atau Singapura suka menambahkan es atau soda ke dalam brandy. Kalau standar semacam ini dipakai untuk membicarakan adegan Linghu Chong mencicipi arak di Mei Zhuang, tentunya tak cocok. Selain itu orang Prancis juga menghasilkan anggur yang disuling yaitu Cognac dan Armagnac, dalam novel-novel sekarang disebut anggur yang keras dan agak berbeda dengan anggur biasa. Nama 'brandy' berasal dari bahasa Belanda, mirip dengan anggur dari Prancis, sering dicampur dengan sulingan berbagai macam anggur lain, setiap merek mempunyai campuran yang berbeda-beda, sama sekali tidak murni.
Catatan Kaki Penerjemah
[1] Zhang Xu ( 张旭) yang berasal dari Suzhou adalah seorang pejabat di masa pemerintahan Kaisar Xuanzong. Ia adalah salah seorang dari Delapan Dewa Mabuk bersama dengan Li Bai dan sastrawan-sastrawan Dinasti Tang lain. Konon ia mendapat pencerahan tentang intisari kaligrafi setelah menyaksikan permainan pedang.
[2] Caoshu (草书) atau 'tulisan cepat' adalah salah satu gaya kaligrafi yang huruf-hurufnya disingkat.
[3] Tubi (秃笔) berarti 'kuas tulis gundul' atau 'tak pandai mengarang'.
[4] Gaya kaligrafi yang dipakai untuk menulis di atas balok-balok batu berbentuk genderang pada masa Negara-Negara Berperang (Warring States) (475-221 SM).
[5] Lihat catatan kaki di Bab VII.
[6] Lihat catatan kaki di Bab VII.
[7] Du Fu (杜甫) (712-770) adalah salah satu penyair paling terkenal dari Dinasti Tang. Ia menulis sajak tentang Delapan Dewa Mabuk, termasuk tentang Zhang Xu.
[8] Han Yu (韩愈) (768-824) adalah seorang penyair dan penulis esai yang hidup pada masa Dinasti Tang. Ia adalah salah seorang dari 'Delapan Penulis Prosa Terbaik Dinasti Tang dan Song'.
[9] Panguan adalah hakim yang mengadili orang mati di akherat.
[10] Yang Zhenqing (颜真卿) (709-785 M) adalah seorang pejabat dan ahli kaligrafi ternama yang hidup pada masa Dinasti Tang. Untuk melihat 'Puisi Jenderal Pei' yang ditulisnya
[11] Kiasan untuk dunia.
[12] Salah satu tokoh Kisah Tiga Negara (Hokkian: Thio
Hui). Inskripsi yang ditemukan di Kota Lanzhong, Sichuan, ini berbunyi
'Jenderal Zhang Fei memimpin sepuluh ribu pejuang pemberani mengalahkan
penjahat Zhang He di Gunung Bameng'. Inskripsi ini konon ditulis oleh Zhang Fei
sendiri, namun ada yang berpendapat bahwa inskripsi ini palsu.