Pendekar Hina Kelana Bab 18 - Bekerja Sama
<< Bab Sebelumnya - Halaman Utama Pendekar Hina Kelana - Bab Selanjutnya >>
Terjemahan Cersil Pendekar Hina Kelana
oleh Grace Tjan
Cerita asli oleh Jin Yong (Chin Yung / Louis Cha)
Berdasarkan novel edisi ketiga.
Berdasarkan novel edisi ketiga.
[Pria tua itu menoleh ke belakang dan menatap Linghu Chong dengan dingin. Dengan sedikit keterkejutan terlihat di wajahnya, dia mendengus. Linghu Chong mengangkat cangkirnya. "Silakan!" dia berkata.] |
Smiling Proud Wanderer Jilid 2
Bab XVIII Bekerja Sama
Bagian Pertama
Linghu Chong tak sadarkan diri, entah berapa lama waktu telah berlalu, terkadang ia sedikit sadar, namun tubuhnya seakan melayang-layang di atas awan, tak seberapa lama kemudian, ia kembali pingsan. Dalam keadaan diantara sadar dan tak sadar, terkadang seakan ada seseorang yang menuangkan air ke dalam mulutnya, terkadang seakan ada seseorang yang memanggang sekujur tubuhnya dengan api, kaki dan tangannya memang tak dapat digerakkan, dan kelopak matanya tak dapat dibuka.
Pada suatu hari, ketika pikirannya agak terang, ia merasa sepasang tangan mencengkeram kedua pergelangan tangannya, dua aliran tenaga yang panas bagai api masuk melalui pembuluh-pembuluh di pergelangan tangannya. Tenaga itu langsung bertumbukan dengan hawa-hawa murni yang selama ini tersimpan dalam tubuhnya.
Sekujur tubuhnya terasa amat sakit hingga sulit dilukiskan, ia membuka mulut hendak berteriak, namun sama sekali tak dapat bersuara sedikitpun, seakan ia sedang menjalani seribu satu macam siksaan kejam.
Dalam keadaan bingung seperti itu, ia tak tahu entah sudah berapa hari berlalu, ia hanya merasa bahwa setiap kali hawa murni itu memasuki tubuhnya, penderitaannya agak berkurang dibandingkan dengan kali yang terakhir, namun pikirannya lebih terang, dan ia tahu bahwa ada seseorang yang ilmu tenaga dalamnya amat tinggi sedang mengobati lukanya, pikirnya, "Apakah guru dan ibu guru memohon seorang sesepuh berilmu tinggi untuk menyelamatkan nyawaku? Tapi, kemana Yingying pergi? Guru dan ibu guru juga pergi kemana? Adik kecil juga kenapa tak menjumpaiku?" Ketika berpikir tentang Yue Lingshan, hawa murni dan darah di dadanya langsung bergolak, dan iapun kembali tak sadarkan diri.
Demikianlah, setiap hari ada seseorang yang datang dan memasukkan tenaga ke dalam tubuhnya. Pada suatu hari, setelah tenaga dalam dimasukkan ke dalam tubuhnya, pikirannya menjadi terang, katanya, "Banyak.....banyak terima kasih sesepuh. Aku......aku ada dimana?" Ia perlahan-lahan membuka matanya dan melihat sebuah wajah penuh kerut-merut yang tersenyum lembut.
Linghu Chong merasa bahwa wajah itu sepertinya telah dikenalnya dengan baik, setelah memandanginya dengan bingung selama beberapa saat, ia melihat bahwa di kepala orang itu tak ada rambut, melainkan bekas-bekas bakaran dupa, ia adalah seorang biksu. Samar-samar ia teringat, katanya, "Kau......kau.....adalah Guru......Guru Besar Fang".
Wajah biksu tua itu nampak senang, sambil tersenyum ia berkata, "Bagus sekali, bagus sekali! Kau sudah bisa mengenaliku, aku adalah Fang Sheng". Linghu Chong berkata, "Benar, benar. Kau adalah Guru Besar Fang Sheng". Saat itu ia telah sadar bahwa ia berada di sebuah ruangan kecil, diatas meja terdapat sebuah lampu mirip piala yang samar-samar memancarkan cahaya kuning, dirinya sendiri terbaring di atas sebuah bangku panjang, ditutupi selimut berisi kapuk.
Fang Sheng berkata, "Bagaimana perasaanmu?" Linghu Chong berkata, "Sudah sedikit lebih baik. Aku.....aku ada dimana?" Fang Sheng berkata, "Di Biara Shaolin". Linghu Chong tercengang, ia bertanya, "Aku......aku ada di Biara Shaolin? Dimana Yingying? Bagaimana aku bisa sampai di Biara Shaolin?" Fang Sheng tersenyum, lalu berkata, "Kau baru saja sadar, kau tak boleh banyak berpikir supaya kau tak kembali sakit. Masalah-masalah lain bisa menunggu".
Setelah itu, setiap pagi dan malam Fang Sheng masuk ke dalam ruangan kecil itu dan membantunya menyembuhkan diri. Belasan hari kemudian, Linghu Chong dapat duduk dan makan minum sendiri, akan tetapi setiap kali ia bertanya dimana Yingying, dan bagaimana ia dapat sampai ke Shaolin, Fang Sheng hanya tersenyum saja dan tidak menjawab.
Pada suatu hari, sambil menyalurkan tenaga dalam kepada Linghu Chong, Fang Sheng berkata, "Pendekar Muda Linghu, saat ini boleh dikatakan bahwa nyawamu sudah dapat diselamatkan. Tapi ilmu silat si biksu tua ini terbatas, tak bisa membuyarkan berbagai hawa murni aneh dalam tubuhmu, saat ini kita hanya mengulur waktu sehari demi sehari, tapi aku khawatir kalau tak sampai setahun lagi, luka dalammu akan kembali kambuh. Saat itu, para dewapun akan sukar menyelamatkan nyawamu". Linghu Chong mengangguk, "Dahulu Tabib Ping juga pernah berkata demikian padaku. Guru Besar telah berusaha sekuat tenaga menyelamatkanku, aku amat berterima kasih. Panjang pendeknya hidup seseorang sudah ditakdirkan, walaupun kepandaian guru besar tinggi, namun tak dapat melawan kehendak langit". Fang Sheng menggeleng sambil berkata, "Kami umat Buddha tidak percaya takdir, hanya pada karma. Dahulu aku sudah pernah berbicara denganmu tentang hal ini, saudara kepala biara kami, Fang Zheng, tenaga dalamnya amat hebat, kalau ia berjodoh denganmu, ia dapat mengajarkan ilmu rahasia Kitab Pengubah Urat[1] padamu, otot dan tulang saja dapat diperbaharui, apalagi kalau cuma membuyarkan hawa murni aneh? Sekarang aku akan mengajakmu menemui kepala biara".
Linghu Chong sudah lama mendengar tentang kepala Biara Shaolin, Biksu Fang Zheng, ia amat girang, katanya, "Banyak terima kasih karena guru besar telah sudi mempertemukanku dengan beliau. Kalaupun aku tak beruntung dan tak dapat menerima restu guru besar kepala biara, dapat menemui biksu agung yang terkemuka di zaman ini saja adalah suatu keberuntungan yang sukar didapat". Ia segera bangkit dari tempat tidur dengan perlahan-lahan, berganti pakaian yang pantas, lalu mengikuti Biksu Fang Sheng keluar dari ruangan kecil itu.
Setibanya di luar kamar, sinar mentari menyilaukan matanya, seakan ia memasuki langit dan bumi baru, semangatnyapun timbul kembali.
Ketika ia melangkah, sepasang kakinya terasa nyeri dan lemas, maka ia terpaksa berjalan perlahan-lahan, namun ia melihat bahwa di biara itu terdapat banyak gedung yang megah. Di sepanjang jalan mereka berjumpa dengan banyak biksu yang jauh sebelum mereka mendekat segera menyingkir ke samping, mereka menangkupkan tangan dan menjura pada Fang Sheng dengan hormat.
Setelah melewati tiga serambi panjang, mereka tiba di depan sebuah gedung batu. Fang Sheng berkata pada calon biksu kecil di luar gedung itu, "Fang Sheng mohon bertemu dengan saudara kepala biara". Setelah calon biksu itu melapor pada atasannya di dalam, ia segera keluar kembali dan berkata sambil menangkupkan tangannya, "Kepala biara mempersilahkan guru besar masuk".
Linghu Chong mengikuti dibelakang Fang Sheng dan memasuki gedung itu, ia melihat seorang biksu tua berperawakan pendek kecil sedang duduk di atas bantalan semedi. Fang Sheng menjura memberi hormat, lalu berkata, "Fang Sheng menghadap kepala biara dan memperkenalkan murid kepala Perguruan Huashan, Pendekar Muda Linghu, Linghu Chong". Linghu Chong segera berlutut dan bersujud memberi hormat. Kepala biara Fang Zheng bangkit sedikit dari tempat duduknya dan mengangkat tangan kanannya sambil berkata, "Pendekar muda tak usah banyak peradatan. Silahkan duduk".
Setelah selesai menghormat, Linghu Chong duduk di bantalan di sebelah kanan Fang Sheng, ia melihat bahwa raut wajah kepala biara Fang Zheng itu kurus kering, ekspresinya ramah dan sabar, entah berapa umurnya sebenarnya. Diam-diam ia merasa heran, "Tak nyana biksu yang namanya menggetarkan zaman ini ternyata penampilannya begitu biasa, kalau tak tahu sebelumnya, siapa yang akan menduga bahwa dia adalah ketua perguruan nomor satu di dunia persilatan?".
Biksu Fang Sheng berkata, "Setelah menyembuhkan diri selama dua bulan lebih, keadaan Pendekar Muda Linghu sekarang sudah jauh lebih baik". Linghu Chong terperanjat, pikirnya, "Ternyata aku tak sadarkan diri selama dua bulan lebih, kusangka hanya dua puluhan hari saja".
Fang Zheng berkata, "Bagus sekali". Ia berpaling ke arah Linghu Chong, "Pendekar muda, gurumu yang terhormat Yue Buqun ketua Perguruan Huashan adalah orang yang tegas dan berpendirian, namanya yang bersih tersiar ke seluruh dunia persilatan, aku sudah lama mengaguminya". Linghu Chong bangkit dan berkata, "Kami tak berani menerima pujian itu. Aku terluka parah hingga tak sadarkan diri, dan telah menerima pertolongan Guru Besar Fang Sheng. Ternyata dua bulan lebih telah berlalu, apakah guru dan ibu guruku baik-baik saja?" Seharusnya ia tak bertanya kepada orang lain tentang keadaan guru dan ibu gurunya sendiri, namun ia amat mengkhawatirkan mereka dan tak dapat menahan diri untuk bertanya.
Fang Zheng berkata, "Kabarnya Tuan Yue, Nyonya Yue dan para murid Perguruan Huashan sekarang berada di Fujian".
Hati Linghu Chong langsung terasa lega, "Terima kasih atas pemberitahuan Guru Besar Fang Zheng". Setelah itu, mau tak mau pikirannya menjadi galau, "Akhirnya guru dan ibu guru mengajak adik kecil ke rumah keluarga Adik Lin".
Fang Zheng berkata, "Pendekar muda, silahkan duduk. Menurut Adik Fang Sheng, ilmu pedang pendekar muda sangat hebat dan telah menguasai ilmu yang diturunkan oleh Sesepuh Feng, hal ini sangat mengembirakan". Linghu Chong berkata, "Aku tak berani menerima pujian ini". Fang Zheng berkata, "Tuan Feng sudah lama mengundurkan diri, kukira beliau sudah meninggal dunia, ternyata ia masih hidup, hal ini membuatku sangat senang". Linghu Chong berkata, "Benar".
Fang Zheng perlahan-lahan berkata, "Setelah pendekar muda terluka, karena kesalahan dalam pengobatan, di dalam tubuhmu terdapat berbagai macam hawa murni yang sulit dibuyarkan, Adik Fang Sheng telah menjelaskannya dengan terperinci. Setelah menelaah masalah ini, aku menyimpulkan bahwa hanya dengan berlatih ilmu tenaga dalam rahasia perguruan kami, yaitu Kitab Pengubah Urat, barulah kau dapat sedikit demi sedikit membuyarkan berbagai hawa murni itu dengan tenaga dalammu sendiri. Kalau kita memasukkan tenaga dari luar ke dalam tubuhmu secara paksa, kita akan dapat memperpanjang hidupmu untuk sementara waktu, namun ini adalah seperti minum racun untuk melepaskan dahaga, dan akan mendatangkan bencana. Adik Fang Sheng sudah menggunakan tenaga dalam untuk memperpanjang hidupmu selama dua bulan lebih, namun setelah ia memasukkan tenaga dalamnya ke dalam tubuhmu, sekarang di dalam tubuhmu ada satu macam hawa murni lagi. Kalau pendekar muda mencoba mengerahkan tenaga, kau akan merasakannya". Linghu Chong mengerahkan sedikit tenaga, benar saja, hawa murni di dantiannya langsung bergolak hingga sulit dikendalikan. Ia kesakitan dan tubuhnya bergoyang-goyang, keringat dingin menetes-netes dari dahinya.
Fang Sheng menangkupkan tangannya sambil berkata, "Aku tak becus dan malah membuat pendekar muda tambah menderita". Linghu Chong berkata, "Kenapa guru besar berkata demikian? Demi aku guru besar telah berusaha sekuat tenaga dan menghabiskan tenaga dalam yang sudah lama dilatih. Aku dapat tetap hidup adalah karena budi baik guru besar". Fang Sheng berkata, "Aku tak berani menerima pujian itu. Dahulu Tuan Feng pernah menanam budi besar kepadaku, perbuatanku ini hanya dapat membalas sedikit budi baik Tuan Feng itu".
Fang Zheng mengangkat kepalanya dan berkata, "Apa itu budi baik dan dendam kesumat? Budi baik adalah karma, dendam kesumat juga karma, dendam kesumat tak boleh melekat, budi baik juga tak boleh melekat. Semua hal di dunia yang fana ini bagai awan berarak yang dapat buyar sewaktu-waktu, seratus tahun lagi, mana ada budi baik atau dendam kesumat?"
Fang Sheng menjawab, "Benar. Banyak terima kasih atas petunjuk kakak".
Fang Zheng berkata dengan perlahan-lahan, "Bagi kami murid Buddha, rasa welas asih adalah yang terpenting, karena kami tahu pendekar muda sudah menderita luka dalam, kami berusaha sekuat tenaga menolongmu. Ilmu sakti dalam Kitab Pengubah Urat itu diciptakan oleh Leluhur Pertama Ajaran Chan[2] Timur kami, yaitu Bodhidharma[3], dan diwarisi oleh Leluhur Kedua Ajaran Chan, Guru Besar Huike. Nama agama asli Guru Besar Huike ialah Shenguang, asalnya dari Luoyang, sejak muda ia telah menguasai ajaran-ajaran Konghucu yang mendalam dan sulit dimengerti. Saat Leluhur Bodhidharma tinggal di Kuil Xiben, Guru Besar Shenguang datang untuk mohon diterima sebagai murid. Leluhur Bodhidharma tahu bahwa ia telah mempelajari banyak ilmu yang berbeda-beda dan memendam banyak prasangka, cerdas namun terlalu percaya diri, sukar baginya untuk mencapai pencerahan, maka ia langsung menolaknya. Guru Besar Shenguang memohon-mohon dengan sangat untuk waktu yang lama, namun masih tak dapat diterima, maka ia mengangkat pedang dan membacok putus lengan kirinya".
"Ah!", ujar Linghu Chong, "Guru Besar Shenguang ini ternyata begitu kuat tekadnya untuk mempelajari agama".
Fang Zheng berkata, "Ketika Leluhur Pertama Bodhidharma menyaksikan ketulusan tekadnya, beliau lalu menerimanya sebagai murid dan menganti nama agamanya menjadi Huike, hingga akhirnya ia mewarisi mantel Leluhur Pertama Bodhidharma dan mengajarkan prinsip-prinsip Ajaran Chan. Yang dipelajari Leluhur Kedua Huike dari Leluhur Pertama Bodhidharma adalah Jalan Besar Dharma Sang Buddha sesuai dengan Sutra Lakavantara untuk menerangi hati dan memahami diri sendiri. Walaupun ilmu silat ajaran kami tersiar di kolong langit, namun sebenarnya ilmu silat itu hanya pelajaran yang tidak penting, tak patut disebut-sebut. Leluhur Pertama Bodhidharma hanya mengajarkan cara untuk memperkuat tubuh dan menjaga kesehatan kepada murid-muridnya. Kalau tubuh kuat pikiran akan terang, dan kalau pikiran terang, pencerahan akan mudah dicapai. Namun angkatan-angkatan murid berikutnya banyak yang tergila-gila pada ilmu silat sehingga mereka hanya mementingkan yang remeh temeh dan melalaikan hal yang penting, tanpa memperhatikan tujuan Leluhur Pertama ketika mengajarkan ilmu silat waktu itu. Sayang sekali, sayang sekali". Sambil berbicara ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah beberapa lama, Fang Zheng berbicara lagi, "Setelah Leluhur Pertama meninggal dunia, Leluhur Kedua menemukan sebuah kitab di samping bantalan semedinya, yaitu Kitab Pengubah Urat ini. Argumen dalam kitab ini amat mendalam, Leluhur Kedua membaca dan mempelajarinya dengan seksama, namun ia tak dapat memahaminya, ia tahu bahwa setelah Leluhur Pertama bersemedi menghadap tembok selama sembilan tahun, beliau meninggalkan kitab ini di sisi tebing, walaupun kitab itu tipis, namun tentunya bukan sesuatu yang remeh. Maka beliau pergi ke gunung-gunung terkenal, mengunjungi para biksu terkemuka yang kiranya dapat memahami maknanya yang begitu mendalam. Saat itu Leluhur Kedua sendiri sudah tergolong seorang biksu terkemuka, namun walaupun sudah berpikir keras, beliau juga tak dapat memahaminya. Sangat sulit menemukan orang yang lebih bijak dari beliau di dunia ini, oleh karena itu, selama lebih dari dua puluh tahun ia membawa-bawa kitab itu tanpa dapat memecahkan rahasianya. Pada suatu hari, karena karma Leluhur Kedua yang sangat baik, ia bertemu dengan seorang biksu India bernama Banlamidi di Gunung Emei[4] di Sichuan, mereka berdiskusi tentang ajaran Sang Buddha dan menjadi sangat akrab. Leluhur Kedua mengeluarkan Kitab Pengubah Urat dan mempelajarinya dengan seksama bersama Banlamidi. Kedua biksu terkemuka itu saling mencerahkan di Puncak Emas Gunung Emei, setelah tujuh kali tujuh atau empat puluh sembilan hari, akhirnya mereka dapat mengerti semuanya dengan jelas".
Fang Sheng menangkupkan tangannya dan memuji, "Amituofo, shanzai, shanzai!"
Kepala Biara Fang Zheng meneruskan, "Tapi apa yang dijelaskan oleh Guru Besar Banlamidi kebanyakan adalah falsafah Ajaran Chan. Dua belas tahun kemudian, Leluhur Kedua berjumpa dengan seorang pemuda yang mahir ilmu silat di jalanan Kota Changan, setelah berbicara dengannya tiga hari tiga malam lamanya, barulah seluruh misteri ilmu silat dalam Kitab Pengubah Urat dapat dipahaminya". Ia berhenti sejenak, lalu berkata, "Pemuda itu adalah seseorang yang berjasa besar dalam pendirian Dinasti Tang, di kemudian hari ia membantu Taizong[5] untuk memadamkan pemberontakan Suku Turki dan menjadi seorang jenderal. Ia adalah Li Jing yang dianugerahi gelar Adipati Wei. Jasa besar yang didirikan Adipati Wei agaknya adalah berkat faedah yang diperolehnya dari Kitab Pengubah Urat".
"Oh", ujar Linghu Chong, "Rupanya begitulah sejarah Kitab Pengubah Urat".
Fang Zheng berbicara lagi, "Kungfu dalam Kitab Pengubah Urat menggunakan seluruh pembuluh darah dalam tubuh dan mempersatukan daya kelima organ tubuh, bersifat menyeluruh namun tak menyebar, terus berjalan tanpa putus. Qi berasal dari dalam, sedangkan darah mengalir dari luar. Setelah mempelajari kitab ini, kekuatan dapat dikerahkan dengan sekehendak hati, pengumpulan dan pengerahan tenaga terjadi secara alami, dan terjadi dengan sendirinya tanpa diperintahkan, bagai ombak pasang atau guntur yang mengelegar. Pendekar muda, orang yang mempelajari Kitab Pengubah Urat ini adalah bagai sebuah sampan di tengah ombak besar lautan. Ketika ombak yang ganas datang, sampan akan naik turun mengikuti gelombang, untuk apa mengerahkan tenaga? Bahkan kalau kau ingin mengerahkan tenaga, dari mana asal tenaga itu? Dimanakah tenaga itu akan dipakai?"
Linghu Chong mengangguk-angguk, ia merasa bahwa prinsip ini memang didasari oleh pengetahuan yang luas dan mendalam, serta berhubungan erat dengan teori ilmu pedang yang diajarkan Feng Qingyang kepadanya.
Fang Zheng berkata lagi, "Karena kekuatan Kitab Pengubah Urat ini begitu besar, dalam beberapa ratus tahun ini ilmu ini tidak diajarkan kepada siapapun, kalau tak berjodoh, ilmu ini tidak diwariskan kepada siapapun, sekalipun kepada murid berbakat dari perguruan sendiri. Apabila tak berjodoh atau beruntung, orang tak bisa mempelajarinya. Seperti Adik Fang Sheng ini yang ilmu silatnya sudah tinggi dan selalu mematuhi pantangan, seorang tokoh luar biasa dari biara kami, namun guru kami yang berasal dari angkatan terdahulu tidak pernah mengajarkan kitab ini kepadanya".
Linghu Chong berkata, "Benar. Aku tak punya keberuntungan maupun karma, maka aku tak berani memohon-mohon dengan lancang".
Fang Zheng menggeleng sambil berkata, "Bukan begitu. Pendekar muda justru yang mempunyai karma".
Linghu Chong terkejut sekaligus girang, jantungnya berdebar-debar, tak nyana ilmu rahasia Shaolin ini, yang bahkan tak diajarkan pada seorang biksu terkemuka seperti Fang Sheng, ternyata berjodoh dengan dirinya.
Fang Zheng berkata dengan perlahan-lahan, "Agama Buddha terbuka lebar-lebar bagi siapa saja, namun hanya orang yang berjodoh dengannya saja yang bisa mencapai pencerahan. Pendekar muda adalah ahli waris Tuan Feng, ini adalah karma; pendekar muda telah datang ke Biara Shaolin kami, ini adalah juga karena karma; kalau pendekar muda tak mempelajari Kitab Pengubah Urat, pendekar muda pasti akan meninggal, jika Adik Fang Sheng mempelajarinya, ia akan mendapat banyak faedah, namun kalau tak mempelajarinyapun ia tak akan mendapat akibat yang buruk, perbedaan ini adalah karena karma juga".
Fang Sheng menangkupkan tangannya sembari berkata, "Keberuntungan dan karma Pendekar Muda Linghu amat besar, Fang Sheng juga merasa senang atas keberuntunganmu ini".
Fang Zheng berkata, "Adik, watak aslimu cenderung melekat, kau selalu melekat pada segala sesuatu, kau tak pernah bisa memahami ketiga prinsip tertinggi untuk membebaskan diri, yaitu 'kekosongan, tanpa bentuk dan tanpa berbuat', sehingga kau tak bisa mengerti arti kehidupan dan kematian yang sesungguhnya. Aku bukannya tak mau mengajarkan Kitab Pengubah Urat padamu, namun aku khawatir bahwa setelah mempelajari ilmu silat kelas wahid ini, kau akan tergila-gila padanya dan tak bisa tidak akan melalaikan kewajibanmu bersemedi".
Fang Sheng nampak jeri, ia bangkit dan dengan hormat berkata, "Petunjuk kakak adalah benar adanya".
Fang Zheng sedikit mengangguk untuk membesarkan hatinya, setelah beberapa saat, terlihat seulas senyum tipis terkembang di wajah Fang Sheng, rasa girang terpancar di wajah Fang Zheng, dan iapun mengangguk-angguk, lalu berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, "Sebenarnya dalam hal ini masih ada suatu rintangan berat lagi, namun sekarang rintangan itu sudah dapat diatasi. Sejak zaman Leluhur Pertama Bodhidharma, Kitab Pengubah Urat ini hanya diajarkan kepada murid perguruan sendiri, tidak diajarkan kepada orang luar. Aku tak dapat melanggar larangan ini. Oleh karena itu pendekar muda harus masuk ke Biara Shaolin kami yang terletak di Gunung Song ini sebagai murid dari kalangan awam". Setelah berhenti sejenak, ia berkata lagi, "Kalau pendekar muda tak keberatan untuk menjadi murid angkatan 'Guo' biksu tua ini, kau boleh mengubah namamu menjadi Linghu Guochong".
Fang Sheng berkata dengan girang, "Selamat pendekar muda, kakak kepala biaraku seumur hidupnya hanya pernah menerima dua orang murid, dan semua kejadiannya sudah lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Sebagai murid pamungkas kakak kepala biaraku, pendekar muda tidak akan hanya dapat mempelajari ilmu silat yang amat tinggi dari Kitab Pengubah Urat, namun juga dua belas ilmu Shaolin yang dikuasai dengan mahir oleh kakak kepala biaraku, sesuai dengan kemampuanmu. Saat itu tentunya pendekar muda akan dapat membuat perguruan kami makin berjaya, dan menjadikan namanya gilang-gemilang di dunia persilatan".
Linghu Chong bangkit dan berkata, "Banyak terima kasih atas maksud baik guru besar kepala biara, aku sangat berterima kasih, hanya saja aku tergolong murid Perguruan Huashan, maka aku tak bisa masuk perguruan lain". Fang Zheng tersenyum kecil, lalu berkata, "Justru itulah rintangan berat yang kubicarakan sebelumnya. Pendekar muda, saat in kau bukan lagi murid Perguruan Huashan, jangan-jangan kau sendiri belum tahu akan hal ini".
Linghu Chong terkejut, dengan suara gemetar ia berkata, "Aku......aku......kenapa aku bukan lagi murid Perguruan Huashan?"
Fang Zheng mengambil sepucuk surat dari lengan bajunya, lalu berkata, "Silahkan pendekar muda baca sendiri". Tangannya mengayun pelan, dan surat itupun melayang dengan lurus ke arah Linghu Chong.
Linghu Chong menyambut surat itu dengan kedua belah tangannya, ia merasa tubuhnya gemetar, ia tak kuasa menahan rasa terkejutnya, "Tenaga dalam guru besar kepala biara ini benar-benar tak terukur kedalamannya, sepucuk surat yang begitu ringan seperti ini saja dapat dilemparkannya dengan tenaga yang begitu kuat". Terlihat bahwa surat itu disegel dengan stempel merah terang bertuliskan 'Stempel Ketua Perguruan Huashan', diatasnya tertulis 'Kepada Yang Terhormat Guru Besar Kepala Biara Shaolin'. Kesembilan huruf itu tegak lurus, gaya tulisannya penuh wibawa, itu memang tulisan tangan sang guru Yue Buqun sendiri. Linghu Chong samar-samar merasakan firasat yang tak enak, kedua tangannya gemetar, ia mengeluarkan surat dan setelah membacanya sekali, ia sukar percaya bahwa di dunia ini dapat terjadi hal semacam itu. Ia membacanya sekali lagi, langit dan bumipun serasa berputar, "Bruk!", ia tersungkur ke lantai.
Ketika ia sadar kembali, ternyata ia sedang bersandar di dada Biksu Fang Sheng, Linghu Chong berusaha untuk bangkit, namun ia tak kuasa menahan tangis sedihnya. Fang Sheng bertanya, "Kenapa pendekar muda begitu berduka? Apakah ada kejadian buruk yang menimpa gurumu yang terhormat? Linghu Chong menyerahkan surat itu, lalu berkata dengan tersedu sedan, "Silahkan guru besar baca sendiri".
Fang Sheng menerimanya dan membaca surat itu yang berbunyi:
"Ketua Perguruan Huashan Yue Buqun menghaturkan sembah sujud ke hadapan guru besar kepala Biara Shaolin: ketua Perguruan Huashan sudah lama tak menyampaikan salam hormat, mohon maaf. Perihal murid pemberontak perguruan kami Linghu Chong, wataknya memang keras kepala, ia telah berkali-kali melanggar peraturan perguruan, bahkan belakangan ini ia bergaul dengan kaum sesat dan berkawan dengan para penjahat. Ia berkata bahwa ia beruntung dapat bersahabat dengan mereka, hal ini sukar dimaklumi. Buqun tak berguna, walaupun sudah memperketat disiplin dan menjatuhkan hukuman berat, namun tetap tak ada hasilnya. Untuk menegakkan keadilan di dunia persilatan dan mempertahankan nama baik perguruan lurus, bersama ini murid pemberontak Linghu Chong dikeluarkan dari perguruan kami. Sejak saat ini, murid pemberontak ini sudah bukan murid perguruan kami lagi, kalau ia masih bersekongkol dengan kaum cabul dan sesat, dan membuat bencana di dunia persilatan, mohon supaya kawan-kawan sesama perguruan lurus membinasakan dia. Buqun akan sangat berterima kasih. Surat ini kutulis dengan penuh rasa khawatir dan malu, aku ingin menulis lebih lanjut namun surat ini harus kuakhiri sampai disini, mohon agar guru besar maklum".
Setelah selesai membacanya, Fang Sheng terkejut, namun ia tak mampu berkata apa-apa untuk menghibur Linghu Chong. Ia segera mengembalikan surat itu pada Fang Zheng, ketika ia melihat wajah Linghu Chong penuh air mata, ia menghela napas dan berkata, "Pendekar muda, kau bergaul dengan orang-orang Heimuya, seharusnya kau tak melakukan hal itu".
Fang Zheng berkata, "Semua ketua perguruan lurus tentunya telah menerima surat gurumu yang terhormat dan menyampaikannya pada anggota mereka. Kalaupun kau tak terluka, begitu kau keluar dari gerbang ini, di seluruh dunia persilatan setiap langkahmu akan penuh onak dan duri, semua murid perguruan lurus akan memusuhimu".
Linghu Chong tertegun, ia ingat bahwa di tepi kali itu, Yingying telah mengucapkan perkataan yang serupa. Saat ini, tak hanya kaum sesat saja yang ingin membunuh dirinya, namun orang-orang perguruan lurus juga memusuhinya, walaupun dunia luas, namun sama sekali tiada tempat berlindung; ia juga ingat pada budi sang guru yang amat besar, guru dan ibu guru selalu bagai ayah dan ibu sendiri baginya, tak hanya berjasa mengajarkan ilmu silat kepadanya, tapi juga membesarkannya dari kecil. Namun ia malah keras kepala dan berbuat onar sehingga dikeluarkan dari perguruan. Ia menduga bahwa ketika sang guru menulis surat itu, rasa sedihnya justru lebih dalam dari duka di dalam hatinya sendiri. Ia begitu sedih sekaligus malu, sehingga ia ingin membenturkan kepalanya ke dinding sampai mati.
Melalui pandangan matanya yang kabur karena penuh air mata, ia melihat bahwa wajah Biksu Fang Sheng dan Fang Zheng berdua menunjukkan rasa iba kepadanya. Sekonyong-konyong ia ingat bagaimana Liu Zhengfeng ingin mencuci tangan di baskom emas dan mengundurkan diri dari dunia persilatan, namun karena bersahabat dengan tetua Sekte Iblis Qu Yang, nyawanya melayang di tangan Perguruan Songshan. Jelas bahwa yang lurus dan yang sesat tak dapat hidup berdampingan, bahkan Liu Zhengfeng yang ilmu silatnya tinggi dan berkuasa saja tak dapat menghindarinya, apalagi dirinya yang terkucil dan tak punya sandaran, seorang pemuda tak berarti yang sedang terluka parah dan sekarat? Belum lagi pertemuan besar kaum sesat di Wubagang yang membuat masalah bertambah runyam.
Fang Zheng berkata dengan perlahan-lahan, "Lautan kesengsaraan tak bertepi, namun kalau seseorang berpaling, ia dapat melihat tepi lautan. Seorang penjahat yang telah melakukan kejahatan yang tak berampun sekalipun, selama hatinya menyadari kesalahannya, sang Buddha tak akan menolaknya. Usiamu masih muda, dan kau hanya salah langkah karena bergaul dengan penjahat, masa tak ada jalan bagi dirimu untuk membuka lembaran baru? Hubunganmu dengan Perguruan Huashan sudah putus sama sekali, sejak saat ini, sebagai murid Biara Shaolin kami, kau akan dapat dengan tulus memperbaiki kesalahanmu dan terlahir kembali. Di dunia persilatanpun, kurasa juga tak akan ada orang yang akan membuatmu susah". Ia mengatakan hal itu dengan tenang, namun terdengar berwibawa.
Linghu Chong berpikir, "Saat ini aku tak punya jalan lain, kalau aku berlindung di Biara Shaolin, aku tak hanya bisa belajar ilmu tenaga dalam yang hebat dan menyelamatkan nyawaku, tapi juga karena nama besar Shaolin, di dunia persilatan benar-benar tak akan ada orang yang berani mencari gara-gara dengan murid Biksu Fang Zheng". Namun tepat pada saat itu, sifat keras kepalanya muncul, semangatnyapun timbul, pikirnya, "Kalau seorang lelaki sejati tak mampu berdikari di dunia ini, dan harus berlindung di balik ketiak perguruan lain, orang gagah macam apa dia? Di dunia persilatan ada laksaan orang yang ingin membunuhku, biar saja mereka membunuhku. Guru tak menghendakiku dan mengeluarkanku dari perguruan, maka aku akan pergi dan datang sesuka hatiku, memangnya kenapa?" Ketika berpikir mengenai hal itu, mau tak mau darahnya bergolak, mulutnya kering kehausan, ia ingin menenggak puluhan cawan arak keras, segala perkara hidup dan mati serta urusan perguruan lenyap dari pikirannya, seketika itu juga, bahkan Yue Lingshan yang selalu dipikirkannyapun berubah menjadi seorang asing.
Ia bangkit dan bersujud pada Fang Zheng dan Fang Sheng, dengan hormat mengetukkan kepalanya ke lantai beberapa kali.
Kedua biksu itu mengira ia sudah memutuskan untuk masuk ke Biara Shaolin, senyum terkembang di wajah mereka.
Linghu Chong bangkit dan berkata dengan lantang, "Aku sudah tak diterima oleh guruku, maka aku tak punya muka untuk masuk perguruan lain. Aku amat berterima kasih atas kebaikan guru besar berdua, sekarang aku minta diri dahulu".
Fang Zheng terpana, ia tak menyangka bahwa pemuda ini tak takut mati.
Fang Sheng mencoba untuk membujuknya, "Pendekar muda, masalah ini adalah masalah besar yang menyangkut hidup dan matimu, kau sama sekali tak boleh menuruti perasaan pribadimu".
Linghu Chong tertawa terkekeh-kekeh, ia menjura menghormat, lalu berbalik keluar pintu gedung. Dadanya dipenuhi rasa penasaran karena diperlakukan dengan tak adil, namun tak nyana langkahnya sangat enteng, dengan langkah-langkah besar iapun keluar dari Biara Shaolin.
* * *
Catatan Kaki Penerjemah
[1] 易筋经 (Yi Jin Jing; Hokkian: Ih Kin Keng).
[2] Dikenal juga sebagai aliran Zen dalam agama Buddha.
[3] Dikenal juga sebagai Dama (Hokkian: Tat Mo).
[4] Hokkian: Gunung Gobi.
[5] Li Shimin (599-649 M), kaisar kedua Dinasti Tang.
Bagian kedua
Begitu ia keluar dari biara, rasa putus asa timbul di hatinya, ia mendongak ke angkasa dan tertawa panjang, pikirnya, "Orang aliran lurus menganggapku musuh, orang-orang aliran sesat ingin membunuhku, kemungkinan besar Linghu Chong tak akan bisa hidup lebih dari sehari ini, entah siapa yang akan mencabut nyawaku".
Ia meraba bajunya sendiri, di sakunya tak ada uang, di pinggangnya tak ada pedang, bahkan kecapi pendek hadiah Yingying itupun entah sudah hilang dimana, ia benar-benar tak punya apa-apa di dunia ini, dan juga tak punya beban pikiran apapun. Ia segera menuruni Gunung Song, pikirnya, "Di dunia ini sangat banyak orang, namun tak semua orang anggota perguruan atau partai, sejak saat ini aku adalah seorang yatim yang tak punya rumah atau perguruan, guru, ibu guru dan adik kecil memandangku seperti orang asing. Adik kecil curiga aku menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Kejahatan Adik Lin, menganggapku seseorang yang tak tahu malu dan memandang rendah aku, mana bisa ia cuma menganggapku sebagai seorang asing saja?"
Setelah berjalan sampai tengah hari, ia tahu bahwa ia telah jauh meninggalkan Biara Shaolin, ia sudah amat kelelahan, dan perutnyapun keroncongan, pikirnya, "Aku harus pergi kemana untuk mencari makanan?" Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki, tujuh atau delapan orang berlari ke arah barat, semuanya memakai pakaian ketat dan menyandang senjata, lari mereka amat cepat. Linghu Chong berpikir, "Kalau kalian ingin membunuhku, langsung saja turun tangan, supaya aku tak repot-repot mencari makanan. Kalaupun aku makan kenyang aku akan mati juga, untuk apa melakukan hal yang tak perlu dilakukan?" Ia segera berdiri di tengah jalan, mementang sepasang tangannya dan berseru, "Linghu Chong ada disini. Kalau ingin bunuh aku, bunuh saja sekarang".
Ternyata ketika beberapa lelaki itu berlari sampai ke hadapannya, mereka hanya meliriknya saja, menghindarinya dan terus berlari. Seseorang berkata, "Orang ini orang gila". Seseorang lain berkata, "Benar. Jangan membuat keonaran yang tidak perlu supaya masalah yang penting tidak tertunda". Seseorang lainnya lagi berkata, "Kalau orang ini sampai lolos, celaka sekali". Dalam sekejap ia telah berlari jauh. Linghu Chong berpikir, "Ternyata mereka mengejar orang lain".
Setelah suara langkah kaki orang-orang itu tak terdengar lagi, terdengarlah derap kaki kuda dari barat, dan lima orang penunggang kuda datang mencongklang bagai angin, melesat dari samping tubuhnya. Setelah penunggang kuda itu mencongklang lebih dari sepuluh zhangjauhnya, salah seorang penunggang kuda tiba-tiba berbalik. Penunggang kuda itu adalah seorang nyonya setengah baya, ia berkata, "Tuan, mohon tanya, apa tuan melihat seorang tua yang memakai jubah putih? Orang ini perawakannya kurus tinggi dan di pinggangnya tergantung sebilah golok melengkung". Linghu Chong berkata, "Tidak lihat". Nyonya itu tak berbicara lagi, ia memutar kepala kudanya dan mengejar keempat penunggang kuda yang lain.
Linghu Chong berpikir, "Rupanya mereka mengejar seorang tua berjubah putih. Aku tak ada kerjaan, lebih baik aku melihat-lihat keramaian saja". Ia segera berbalik ke arah timur. Setelah berjalan tak sampai sepenanakan nasi lamanya, dari belakangnya menyusul lebih dari sepuluh penunggang kuda lain. Setelah lewat disampingnya, seorang tua berusia lima puluhan tahun lebih berpaling, lalu bertanya, "Saudara, apa kau melihat seorang tua yang berjubah putih? Perawakannya kurus tinggi, di pinggangnya tergantung golok melengkung". Linghu Chong berkata, "Tidak lihat".
Setelah berjalan beberapa lama lagi, ia tiba di sebuah pertigaan, dari arah barat laut terdengar bel berdenting-denting, tiga orang penunggang kuda dengan cepat datang mencongklang, mereka semua adalah pemuda berusia dua puluhan tahun. Orang yang paling depan mengangkat cambuk kuda, lalu berkata, "Hei, mohon tanya, apa kau melihat seorang....." Linghu Chong menyela, "Apa kau mau bertanya tentang seorang tua berjubah putih yang di pinggangnya tergantung sebilah golok melengkung dan perawakannya kurus tinggi, benar tidak?" Rasa girang muncul di wajah ketiga orang itu, mereka serentak berkata, "Benar, dimana orang itu?" Linghu Chong menghela napas, lalu berkata, "Aku belum lihat dia". Pemuda yang berada di depan itu murka, bentaknya, "Kurang ajar! Kalau kau belum melihatnya, dari mana kau bisa tahu?" Linghu Chong tersenyum dan berkata, "Memangnya kalau belum lihat, lantas tidak bisa tahu?" Pemuda itu mengangkat cambuknya, hendak mencambuk kepala Linghu Chong, namun seorang pemuda lain berkata, "Adik Kedua, tak usah bikin gara-gara, ayo cepat kejar mereka". Pemuda yang membawa cambuk itu mendengus, lalu melecutkan cambuknya di udara dan melarikan kudanya dengan cepat.
Linghu Chong berpikir, "Orang-orang ini mengejar seorang tua berjubah putih, entah karena masalah apa? Melihat-lihat keramaian memang menarik, tapi kalau mereka tahu bahwa aku adalah Linghu Chong, mereka pasti akan langsung membunuhku". Ketika berpikir tentang hal itu, mau tak mau ia merasa agak takut, namun ia berubah pikiran, "Saat ini aliran lurus dan sesat sama-sama ingin mencabut nyawaku, dengan sembunyi-sembunyi, walaupun makin terdesak, aku akan dapat memperpanjang hidupku barang beberapa hari lagi, namun pada akhirnya aku harus menghadapi bacokan penghabisan. Apa bagusnya hidup sehari lagi dalam ketakutan seperti itu? Lebih baik aku menerima apapun yang terjadi, coba lihat siapa yang akan mencabut nyawaku". Ia segera mengikuti kepulan debu yang ditimbulkan oleh ketiga penunggang kuda itu.
Selanjutnya ada lagi rombongan-rombongan yang datang dengan cepat, semuanya dengan hati-hati bertanya padanya tentang orang tua yang "memakai jubah putih, berperawakan kurus tinggi dan membawa golok lengkung di pinggangnya". Linghu Chong berpikir, "Semua orang yang mengejar orang tua berpakaian putih itu tak tahu dimana ia berada, namun mereka semua pergi ke arah yang sama, benar-benar aneh".
Setelah berjalan sekitar satu li lagi, ia melewati sebuah hutan cemara, dan tiba-tiba sebuah tanah lapang muncul di depan matanya, tanah lapang itu penuh sesak dengan orang, paling tidak ada enam sampai tujuh ratus orang, namun tanah lapang itu memang amat luas, walaupun bagian tengahnya ditempati oleh enam atau tujuh ratus orang, namun orang-orang itu hanya mengambil sebagian kecil tanah lapang itu. Sebuah jalan besar yang lurus menembus ke tengah kerumunan orang itu dan Linghu Chongpun melangkah mengikuti jalan itu.
Setelah tiba di dekat mereka, ia melihat bahwa di tengah-tengah kerumunan itu ada sebuah paviliun kecil, seperti paviliun yang terdapat di tepi jalan untuk tempat orang beristirahat, buatannya sederhana dan kasar. Kerumunan orang itu mengelilingi paviliun itu, hanya terpisah beberapa zhang darinya, namun mereka tak mendesak ke depan.
Linghu Chong lalu berjalan mendekat beberapa zhang lagi, ia melihat bahwa di dalam paviliun itu ada seorang tua berpakaian putih, ia sendirian dan sedang duduk di depan sebuah meja sambil minum arak, apakah di pinggangnya tergantung sebuah golok melengkung atau tidak, saat ini tidak dapat terlihat. Walaupun orang ini sedang duduk, namun ia nampak setinggi orang biasa yang sedang berdiri.
Linghu Chong melihat bahwa walaupun ia sedang dikepung musuh, ia masih tenang-tenang minum arak, mau tak mau rasa kagum muncul dalam hatinya, seumur hidupnya para pahlawan yang pernah dijumpainya atau didengarnya, sangat sedikit yang begitu gagah seperti orang ini. Perlahan-lahan ia maju ke depan, menerobos kerumunan orang.
Setiap orang memandangi orang tua berjubah putih itu tanpa berkedip, mereka sama sekali tak memperhatikan Linghu Chong yang datang menghampiri.
Linghu Chong memandangi orang tua itu dengan seksama, ia melihat bahwa raut wajahnya kurus, di bawah dagunya tergantung janggut panjang kelabu yang jarang-jarang dan tergantung sampai ke dada, tangannya mengenggam secawan arak, matanya memandang ke kejauhan dimana bumi yang tanahnya kuning bertemu dengan langit biru, sama sekali tak memperhatikan kerumunan orang yang mengepungnya. Di punggungnya tergantung sebuah buntalan, namun saat memperhatikan pinggangnya, tak ada golok melengkung. Ternyata ia tak menyandang senjata apapun.
Linghu Chong tak tahu siapa nama dan dari mana orang tua itu berasal, tak tahu mengapa begitu banyak orang dunia persilatan membuatnya susah, lebih-lebih tak tahu lagi apakah dia lurus atau sesat, ia hanya mengagumi sikap gagahnya yang seakan tak memperdulikan siapapun di sekitarnya walaupun saat ini semua orang dunia persilatan sedang memusuhinya, tanpa disadarinya muncullah perasaan senasib sepenanggungan dengan orang itu. Ia maju ke depan dengan langkah-langkah besar dan berkata dengan lantang, "Sesepuh, kau sendirian minum arak tanpa teman, tentunya kau kesepian, aku akan menemanimu minum arak". Ia masuk ke dalam paviliun itu, menyoja kepadanya dan duduk.
Orang tua itu berpaling, pandangan matanya yang tajam dan dingin menyapu ke arah Linghu Chong, ia melihat bahwa Linghu Chong tak membawa senjata, raut wajahnya seperti orang sakit-sakitan, seorang pemuda yang belum pernah dijumpainya. Wajah orang tua itu nampak sedikit terkejut, lalu ia mendengus, namun tak menjawab. Linghu Chong mengangkat poci arak dan menuangkan arak ke cawan arak di depan orang tua itu, dan juga menuangkan arak ke sebuah cawan lain, lalu mengangkat cawan itu seraya berkata, "Mari minum!" Ia menenggak arak itu, arak itu sangat keras, begitu masuk ke dalam mulut, mulutnya seakan diiris-diiris pisau, dan arang membara seakan masuk ke dalam perutnya, dengan lantang ia memuji, "Arak bagus!"
Dari luar paviliun, terdengar suara kasar seorang lelaki berseru, "Bocah bodoh, cepatlah keluar! Kami hendak mengadu nyawa dengan Xiang Wentian, jangan menghalang-halangi kami". Linghu Chong tersenyum, "Aku cuma minum arak dengan Sesepuh Xiang, aku menghalang-halangi apa?" Ia menuang secawan arak lagi, lalu mendongak dan meminumnya, ibu jarinya mengacung, lalu ia berkata, "Arak bagus!"
Dari sebelah kiri terdengar sebuah suara yang berkata dengan dingin, "Bocah, lekaslah pergi, jangan sampai kau membuang nyawa dengan sia-sia disini. Kami diperintahkan oleh Ketua Dongfang untuk menangkap pengkhianat Xiang Wentian. Orang luar yang membuat onar atau menghalang-halangi kami akan mati secara mengenaskan".
Linghu Chong melihat ke arah asal suara itu, ia melihat bahwa orang yang berbicara itu adalah seorang lelaki kurus kecil yang wajahnya seperti kertas emas, pakaiannya hitam-hitam, di pinggangnya terlilit sehelai ikat pinggang kuning. Di sisinya berdiri dua atau tiga ratus orang, pakaian mereka semua hitam-hitam, namun ikat pinggang mereka bermacam-macam warnanya. Tiba-tiba Linghu Chong ingat saat ia berjumpa dengan tetua Sekte Iblis Qu Yang di luar Kota Heng Shan, Qu Yang juga memakai pakaian hitam seperti itu, samar-samar ia juga ingat bahwa di pinggangnya juga terlilit ikat pinggang kuning. Lelaki ceking yang berkata bahwa mereka telah diperintahkan oleh Ketua Dongfang untuk menangkap pengkhianat dan semua orang ini adalah anggota Sekte Iblis, mungkinkah si ceking itu juga adalah seorang tetua Sekte Iblis?
Ia menuang secawan arak lagi dan menenggaknya sampai habis, lalu memuji, "Arak bagus!" Ia berkata kepada Xiang Wentian, si tua berjubah putih itu, "Sesepuh Xiang, aku sudah minum tiga cawan arakmu, banyak terima kasih, banyak terima kasih!"
Mendadak dari arah timur seseorang berkata dengan lantang, "Bocah ini adalah murid Perguruan Huashan yang sudah dikeluarkan, Linghu Chong". Linghu Chong melirik orang itu, ia mengenalinya sebagai murid Perguruan Qingcheng, Hou Renxiong. Saat ia memperhatikan dengan lebih seksama, ternyata di sisinya tak sedikit terdapat tokoh-tokoh Perguruan Pedang Lima Puncak.
Seorang pendeta Tao berkata dengan lantang, "Linghu Chong, kata gurumu kau bergaul dengan iblis-iblis sesat, ternyata memang benar. Kedua tangan Xiang Wentian ini berlumuran darah segar para pahlawan, untuk apa kau bersama dengannya? Kalau kau tak cepat-cepat pergi, kami akan mencincangmu menjadi daging cacah". Linghu Chong berkata, "Yang berbicara itu paman guru dari Perguruan Taishan bukan? Aku belum pernah berjumpa dengan Sesepuh Xiang ini, hanya saja aku melihat kalian ratusan orang mengepung satu orang, perbuatan macam apa ini? Sejak kapan Perguruan Pedang Lima Puncak bekerja sama dengan Sekte Iblis? Aliran lurus dan sesat bersama-sama datang menghadapi Xiang Wentian seorang, apa tidak akan ditertawakan para ksatria di kolong langit ini?" Pendeta Tao itu berkata, "Kapan kami bekerja sama dengan Sekte Iblis? Sekte Iblis mengejar pengkhianat sekte mereka, namun kami hendak membalas dendam kawan-kawan kami yang kehilangan nyawa di tangan penjahat ini. Kami bertindak sendiri-sendiri, sama sekali tak bekerja sama!" Linghu Chong berkata, "Baik, baik, baik, kalian bertarunglah melawan dia satu lawan satu, aku ingin melihat keramaian sambil minum arak".
Hou Renxiong berseru, "Memangnya kau ini siapa? Kita bunuh dulu bocah ini, baru membuat perhitungan dengan si marga Xiang itu". Linghu Chong tersenyum, "Untuk membunuh Linghu Chong seorang, untuk apa kalian semua turun tangan? Saudara Hou, kau saja yang melakukannya". Hou Renxiong pernah ditendang Linghu Chong dari loteng kedai arak, ia tahu bahwa ilmu silatnya berada dibawahnya, maka ia tak berani turun tangan. Namun ia tak tahu bahwa tenaga dalam Linghu Chong telah musnah, dan oleh karenanya Linghu Chong yang sekarang sangat berbeda dengan Linghu Chong dulu. Orang-orang yang lain nampaknya sangat jeri pada Xiang Wentian dan tak berani menerjang ke dalam paviliun.
Lelaki kurus kecil dari Sekte Iblis itu berseru, "Marga Xiang, cepat ikut kami menghadap ketua, mohon ampunan beliau, belum tentu tidak ada jalan keluar. Kau adalah pahlawan agama kita, masa kita benar-benar ingin bertarung mati-matian sehingga ditertawakan orang luar?"
"Hah!", ujar Xiang Wentian, ia mengangkat cawannya dan minum seteguk arak, bunyi bergemerincingpun terdengar.
Linghu Chong melihat bahwa ternyata kedua tangannya dibelenggu oleh rantai besi, ia amat terkejut, "Ternyata ia melarikan diri dari penjara, bahkan belenggu yang mengikat tangannya saja masih belum dilepaskan". Rasa simpatinya makin bertambah, pikirnya, "Orang ini sama sekali tak bisa melawan, lebih baik kalau aku membantunya bertahan sejenak, dan menghantarkan nyawaku di tengah kekacauan ini". Ia langsung bangkit, dengan berkacak pinggang, ia berkata dengan lantang, "Tangan Sesepuh Xiang ini terlilit rantai besi, bagaimana ia bisa berkelahi dengan kalian? Aku sudah minum tiga cawan arak beliau, maka aku harus membantunya melawan musuh-musuh yang tangguh. Siapa yang hendak menyerang Sesepuh Xiang harus terlebih dahulu membunuh Linghu Chong".
Ketika Xiang Wentian melihat bagaimana Linghu Chong bersikap seperti orang sinting, maju membela dirinya tanpa alasan yang jelas, mau tak mau ia tercengang, dengan suara lirih ia berkata, "Bocah, kenapa kau ingin membantuku?" Linghu Chong berkata, "Apabila menjumpai ketidakadilan, hunus golokmu dan bantulah yang lemah". Xiang Wentian berkata, "Mana golokmu?" Linghu Chong berkata, "Aku memakai pedang, sayang disini tak ada pedang". Xiang Wentian berkata, "Bagaimana ilmu pedangmu? Kau murid Perguruan Huashan, jangan-jangan ilmu pedangmu tak terlalu cemerlang". Linghu Chong tersenyum, "Memang aslinya tak cemerlang, selain itu aku menderita luka parah, tenaga dalamku juga sama sekali tak ada, celaka sekali". Xiang Wentian berkata, "Kau ini sangat aneh. Baiklah, kau akan kuberi pedang untuk bermain-main". Terlihat seberkas sinar putih berkelebat, ternyata ia telah menerobos masuk ke dalam kerumunan itu.
Dalam sekejap sinar golok berkilauan, lebih dari sepuluh buah senjata serentak membacok ke arahnya. Xiang Wentian mengegos dan terus maju ke arah si pendeta Tao. Pendeta Tao itu mengangkat pedangnya dan menikam, namun bayangan Xiang Wentian berkelebat sampai di belakang punggungnya. Siku kirinya bergerak ke belakang dan memukul punggung pendeta itu, lalu kedua tangannya mengayun dengan enteng dan pedang sang pendetapun terbelit oleh rantai besi, kaki kanannya menjejak tanah dan ia melompat kembali ke paviliun. Gerakan-gerakan ini begitu sebat dan cepat tanpa tanding. Walaupun para pendekar aliran lurus ingin menghadangnya, mereka tak punya kesempatan untuk melakukannya. Seorang lelaki mengejar dengan amat cepat, setelah hanya berjarak beberapa chi saja jauhnya dari paviliun, ia mengangkat goloknya dan membacok, namun punggung Xiang Wentian seakan bermata, tak nyana tanpa berpaling, kaki kirinya menendang ke belakang dan menendang dada orang itu. Orang itu menjerit dan terpelanting keluar, namun tangan kanannya telah membacok dengan sekuat tenaga hingga tak bisa ditarik lagi, dan golok itupun membacok putus kaki kanannya sendiri.
Tubuh pendeta Tao dari Perguruan Taishan itu bergoyang-goyang, lalu tersungkur ketanah, darah segar tak henti-hentinya menyembur dari mulutnya.
Gerombolan Sekte Iblis bersorak-sorai bagai guntur, puluhan orang berseru, "Pelindung Kanan Xiang, kepandaianmu sungguh hebat!"
Xiang Wentian tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya dan menyoja ke arah para pendekar Sekte Iblis untuk menyampaikan terima kasih atas pujian mereka, rantai besi di tangannya bergemerincing. Ia mengayunkan tangannya, dan pedang itupun menembus papan meja, lalu ia berkata, "Ambil dan pakailah!"
Linghu Chong merasa amat kagum, pikirnya, "Orang ini memandang kerumunan ini dengan sebelah mata, ternyata ia mempunyai kepandaian yang begitu luar biasa". Namun ia tak mengangsurkan tangan untuk mengambil pedang itu, katanya, "Ilmu silat Sesepuh Xiang begitu luar biasa, aku tak perlu unjuk kebodohan". Lalu ia menyoja sambil berkata, "Aku mohon diri dulu". Sebelum Xiang Wentian sempat menjawab, terlihat sinar pedang berkilauan, tiga bilah pedang terhunus menuju ke arah paviliun itu, rupanya Hou Renxiong dan para murid Perguruan Qingcheng datang menyerang. Pedang ketiga orang itu semuanya tertuju ke arah Linghu Chong, yang sebilah menuju ke punggungnya, sedangkan yang dua lagi ke arah pinggang bawahnya, tak sampai satu chi jaraknya. Hou Renxiong berteriak, "Linghu Chong, ayo berlutut!" Begitu mengucapkan perkataan itu, pedangnya lantas maju ke depan hingga menyentuh kulit Linghu Chong.
Linghu Chong berpikir, "Linghu Chong adalah seorang lelaki yang punya harga diri, walaupun hari ini tak bernasib baik, namun aku tak sudi mati dibawah pedang kalian murid Perguruan Qingcheng yang hina". Saat itu tubuhnya telah dikepung oleh ketiga pedang lawan, begitu ia berbalik, sebilah pedang akan menusuk dadanya, dan dua bilah pedang lainnya akan menikam perutnya, maka ia segera tertawa terbahak-bahak, "Baik, aku akan berlutut". Lutut kanannya agak menekuk, sedangkan tangan kanannya menghunus pedang yang menancap di meja, ia mengayunkan tangannya ke belakang dan pergelangan tangan ketiga murid Perguruan Qingcheng itupun serentak putus, menyusul ketiga bilah pedang mereka terjatuh ke tanah. Wajah Hou Renxiong bertiga pucat pasi, benar-benar sulit dipercaya bahwa di dunia ini ada hal semacam itu, untuk sesaat mereka kehilangan akal karena ketakutan, lalu mereka melompat mundur. Diantara mereka ada seorang murid Qingcheng yang baru berusia tujuh atau delapan belas tahun, ia menangis dengan pilu karena kesakitan. Dalam hati Linghu Chong merasa iba, "Adik, kaulah yang terlebih dahulu ingin membunuhku!"
Xiang Wentian bersorak memuji, "Ilmu pedang yang bagus!" Lalu ia berkata lagi, "Pedangmu tak bertenaga, tenaga dalammu sangat kurang".
Linghu Chong tersenyum, "Bukan hanya sangat kurang, tapi aku sama sekali tak punya tenaga dalam".
Tiba-tiba Xiang Wentian berteriak keras-keras, menyusul rantai besinya bergemerincingan, rupanya dua orang lelaki berpakaian hitam telah menerjang masuk ke dalam paviliun dan menyerang Xiang Wentian dengan sebat. Diantara kedua orang itu, yang seorang memakai sepasang gada besi, sedangkan yang seorang lagi membawa sepasang piring besi, semua senjata itu amat berat. Keempat senjata itu beradu dengan rantai Xiang Wentian, lelatu berterbangan ke segala penjuru. Xiang Wentian mengegos beberapa kali karena hendak menjerat si pembawa gada dari belakang, namun sepasang gada orang itu melindungi seluruh titik vital tubuhnya dengan ketat. Kedua tangan Xiang Wentian terbelenggu rantai besi sehingga tak mampu bergerak dengan leluasa.
Rombongan Sekte Iblis berteriak-teriak, ada dua orang lagi yang menerjang masuk ke dalam paviliun. Kedua orang ini memakai godam perunggu bersisi delapan dan mereka berulang-ulang memukul sembarangan dengan godam mereka. Begitu kedua orang yang membawa empat godam itu tiba, orang yang memakai sepasang gada besi itu tak lagi bertahan dan berbalik menyerang. Xiang Wentian menerjang dan mengegos ke sana kemari, namun walaupun gerakan tubuhnya amat sebat, ia masih tak dapat melukai lawannya. Setiap kali ada peluang, ia menyerang seorang dengan rantai besinya, namun ketiga orang lainnya lantas menerjang ke arahnya dengan nekad sambil menyerang dengan ganas.
Setelah bertukar sepuluh jurus lebih, pemimpin rombongan Sekte Iblis berseru, "Delapan Tombak maju!" Delapan orang berpakaian hitam yang membawa tombak menerjang ke dalam paviliun dari segala penjuru, dari timur, barat, utara dan selatan, sepasang tombak menikam ke arah Xiang Wentian.
Xiang Wentian berkata kepada Linghu Chong, "Sobat kecil, kau cepatlah pergi!" Sebelum suaranya hilang, delapan tombak telah menikam ke arahnya. Pada saat yang sama, empat godam perunggu mengempur dada dan perutnya, sepasang gada besi memukul ke arah tulang keringnya, dan sepasang piring besi menghantam ke arah wajahnya, dari segala penjuru senjata musuh mengancam. Kedua belas jago Sekte Iblis itu bertarung menggunakan tenaga yang telah mereka himpun seumur hidup, mereka turun tangan dengan sama sekali tak menunjukkan belas kasihan. Rupanya mereka semua tahu bahwa bertarung dengan Xiang Wentian adalah pekerjaan yang paling berbahaya di dunia dan semakin lama mereka bertarung, walaupun hanya sedetik, mereka selangkah makin dekat ke pintu neraka.
Ketika Linghu Chong melihat mereka serentak menyerang dengan begitu ganas sehingga Xiang Wentian sulit meloloskan diri, ia berseru, "Memalukan sekali!"
Namun Xiang Wentian dengan amat sebat memutar tubuhnya dan mengayunkan rantai besinya hingga menghantam berbagai senjata itu dengan suara berdentang-denting. Tubuhnya bagai sebuah gasing, sehingga mata semua orang yang melihatnya menjadi kabur. "Trang, trang!", dua piring besi menghantam rantai besi hingga terpental ke atas dan menembus atap paviliun, lalu melayang keluar. Xiang Wentian tak memperhatikan jurus-jurus lawannya lagi, ia berputar makin cepat sehingga kedelapan tombak itu terpelanting. Pemimpin Sekte Iblis berkata, "Perlambat serangan, biarkan tenaganya habis sendiri!" Kedelapan pemegang tombak serentak menjawab, "Baik!" Mereka mundur dua langkah, menunggu sampai tenaga Xiang Wentian agak melemah, begitu ada sela diantara rantai besi yang berputar itu, mereka akan segera menyerang.
Diantara para hadirin, mereka yang sedikit berpengalaman tahu bahwa, walaupun ilmu silat Xiang Wentian tinggi, namun ia pasti tak mampu berputar dengan cepat seperti itu tanpa henti, kalau ia terus melakukannya, ia akan kehabisan tenaga dan dapat diringkus tanpa banyak perlawanan.
Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak, kaki kirinya sedikit menekuk dan ia menyerang dengan rantai besinya, tepat mengenai pinggang orang yang bersenjata godam perunggu. "Ah!", orang itu menjerit, godamnya memukul ke belakang dan memukul ubun-ubunnya sendiri, otaknyapun lantas berhamburan. Kedelapan penombak serentak menyerang, masing-masing menusuk dari segala penjuru ke arah Xiang Wentian. Xiang Wentian menangkis dua batang tombak dengan rantai besinya, keenam tombak baja sisanya secara kebetulan serentak menusuk ke sisi kiri tubuhnya. Dalam keadaan seperti ini, walaupun Xiang Wentian dapat menghindari tombak pertama, ia tak akan dapat menghindari tombak kedua, dan kalaupun ia mampu menghindari tombak kedua, ia masih tak akan bisa menghindari tombak ketiga, apalagi enam tombak sekaligus.
Linghu Chong melihat keenam tombak itu serentak menyerang, ia tahu Xiang Wentian tak akan mampu menghindarinya, mendadak sebuah ide muncul di otaknya, ia teringat pada jurus keempat Sembilan Pedang Dugu, yaitu 'Jurus Pemecah Tombak'. Keadaan saat itu sangat genting, mana ada waktu untuk berpikir? Sinar pedangnya berkelebat, "Trang!", kedelapan batang tombak itu serentak jatuh ke tanah. Delapan batang tombak terjatuh, namun hanya ada satu bunyi berdentang yang terdengar, seakan kedelapan tombak itu jatuh ke tanah secara bersamaan. Dengan sekali sabetan pedang, Linghu Chong telah menebas pergelangan tangan kedelapan orang itu, ada yang lebih dahulu dan ada yang belakangan, namun karena gerakan pedang begitu cepat, kedelapan orang itu seperti terkena sabetan pedang pada saat yang sama.
Karena pedangnya sudah bergerak, gerakannya sulit untuk dihentikan di tengah jalan, dan ia menyusul melancarkan jurus kelima, yaitu 'Jurus Pemecah Ruyung'. Nama 'Jurus Pemecah Ruyung' ini adalah nama umum saja, di dalamnya terkandung banyak perubahan, mulai dari cambuk baja, ruyung besi, pasak penotok, kuas tulis, tongkat penyangga, tusuk konde Emei, pisau, kapak lebar, piring besi, gada bersisi delapan, sampai pusut besi dan senjata-senjata pendek lain, semua dapat dipecahkan dengannya. Sinar pedang kembali susul-menyusul berkilauan, sepasang gada besi dan sepasang godam perunggupun terjatuh ke tanah. Dari kedua belas anggota Sekte Iblis yang menyerang ke dalam paviliun, kecuali seorang yang telah terlebih dahulu dibunuh oleh Xiang Wentian, dan orang yang piring besinya telah dipukul jatuh, kesepuluh orang lainnya pergelangan tangannya semua telah tertusuk pedang dan senjata mereka telah jatuh ke tanah. Kesebelas orang itu berteriak, dalam keadaan terdesak mereka lari mundur ke tengah-tengah rombongan mereka.
Para pendekar aliran lurus tak dapat menahan diri untuk bersorak, "Ilmu pedang yang bagus! Ilmu pedang Perguruan Huashan benar-benar telah membuka mata kami!"
Pemimpin rombongan Sekte Iblis itu memberi aba-aba lagi, lima orang segera menyerang ke dalam paviliun. Yang seorang adalah seorang nyonya setengah baya yang bersenjatakan sepasang golok, ia menyerang Linghu Chong, sedangkan empat lelaki kekar mengepung Xiang Wentian. Gerakan golok nyonya itu sangat sebat, sebatang golok untuk melindungi diri, sedangkan yang satu lagi menyerang dengan cepat, selagi golok di tangan kiri menyerang musuh, golok di tangan kanan bertahan, dan selagi golok di tangan kanan menyerang musuh, golok di tangan kiri bertahan. Dengan mengunakan sepasang golok itu, setiap jurus bertahan dan sekaligus menyerang musuh. Pertahanannya amat ketat, sedangkan serangannya juga sebat dan bertenaga. Linghu Chong tak bisa melihat jurus-jurusnya dengan jelas dan harus mundur empat langkah.
Tepat pada saat itu, terdengar suara kesiuran angin, seakan ada seseorang yang sedang bertarung dengan Xiang Wentian memakai senjata lemas. Di tengah kesibukannya melayani musuh, Linghu Chong sempat melirik ke arahnya, ia melihat dua orang yang memakai bandulan berantai besi dan dua orang lain yang memakai ruyung lemas, senjata mereka beradu dengan sengit melawan rantai besi yang membelenggu tangan Xiang Wentian. Rantai bandulan jauh lebih panjang dari rantai besi, kalau diayunkan, jangkauan rantai itu lebih dari satu zhang, dan rantai itu beberapa kali melayang di atas ubun-ubun Linghu Chong. Terdengar Xiang Wentian memaki, "Nenekmu!" Seorang lelaki berseru, "Pelindung Kanan Xiang, mohon maaf!" Ternyata rantai baja bandulannya telah membelit rantai besi Xiang Wentian, seketika itu juga bandulan ketiga orang lainnya serentak menghantam ke arah tubuh Xiang Wentian.
"Hei!", teriak Xiang Wentian, ia menarik keras-keras rantai bandulan sehingga orang itu menghadang di depan tubuhnya, kedua ruyung lemas dan bandulan baja lantas menghantam punggungnya.
Linghu Chong menikam dengan miring, gerakan pedangnya cepat dan tepat mengenai pergelangan tangan nyonya itu, namun tiba-tiba terdengar bunyi berdentang dan pedangnya menjadi melengkung. Tak nyana golok daun liu yang berada di tangan nyonya itu tak terjatuh, tangannya mengayun dan golok itu menyapu dari samping. Linghu Chong terkejut, namun ia segera sadar, "Ia memakai pelindung besi di pergelangan tangannya, oleh karena itu pedang tak bisa menembusnya". Ia sedikit memutar pergelangannya, pedangnya mengungkit ke atas dan menusuk titik 'jianzhen' di bahu kiri nyonya itu. Nyonya itu terperanjat, namun ia sangat berani dan ganas, walaupun bahu kirinya amat sakit, namun golok ditangan kanannya masih terus membacok. Pedang Linghu Chong berkelebat, titik 'jianzhen' di bahu kanan nyonya itupun tertusuk. Ia tak mampu memegang senjatanya lagi dan melemparkan sepasang goloknya ke arah Linghu Chong dengan sekuat tenaga, namun kedua lengannya sudah tak bertenaga, sehingga kedua golok itu hanya terlontar sejauh satu chi saja dan lantas terjatuh ke tanah.
Linghu Chong baru saja menundukkan nyonya itu, namun dari sayap kanan rombongan perguruan lurus, seorang pendeta Tao menghampirinya sambil mengangkat pedang, dengan wajah pucat pasi ia berseru, "Kurasa di Perguruan Huashan tidak ada ilmu pedang iblis sesat seperti ini". Dari pakaian yang dikenakannya, Linghu Chong tahu bahwa ia adalah seorang sesepuh Perguruan Taishan, ia menduga bahwa ia tak rela orang-orang seperguruannya terluka di tangan Xiang Wentian dan ingin membuat perhitungan. Walaupun Linghu Chong telah dikeluarkan oleh sang guru, namun sejak kecil ia telah menjadi anggota Perguruan Huashan, dan selalu ingat bahwa "Perguruan Pedang Lima Puncak adalah cabang dari pohon yang sama". Ketika melihat sesepuh dari Perguruan Taishan itu, dengan sendirinya rasa hormat muncul di hatinya. Ia membalik pedangnya hingga ujungnya menghadap ke tanah, merangkap kedua tangannya dan berkata, "Murid tak berani menyinggung paman guru dari Perguruan Taishan".
Nama Tao pendeta itu ialah Tianyi, satu angkatan dengan Pendeta Tianmen dan Tiansong, dengan dingin ia berkata, "Kau memakai ilmu pedang apa?" Linghu Chong berkata, "Ilmu pedang yang dipakai murid diajarkan oleh seorang sesepuh Perguruan Huashan". Pendeta Tianyi mendengus, "Omong kosong. Entah iblis sesat siapa yang kau angkat sebagai guru, awas pedang!" Ia menikam ke arah dada Linghu Chong, sinar pedangnya berkilauan dan pedangnya memperdengarkan bunyi berdengung, hanya dengan sekali sabetan, ia telah mengancam tujuh titik penting di dada, yaitu shanzhong, shencang, lingxu, shenfeng, bulang, youmen dan tonggu. Tak perduli kemanapun Linghu Chong menghindar, salah satu titik itu akan tertikam pedang. Jurus ini disebut 'Tujuh Bintang Di Angkasa Luas', dan merupakan jurus andalan ilmu pedang Perguruan Taishan.
Begitu jurus ini dilancarkan, lawan harus menggunakan ilmu ringan tubuh yang tinggi dan segera melompat sejauh sekitar satu zhang untuk menghindar, lawan juga harus tahu bahwa jurus 'Tujuh Bintang Di Angkasa Luas' ini amat berbahaya dan harus dengan tanpa ragu-ragu sedikitpun segera melompat sehingga dapat menghindari pedang menusuk dadanya. Dan setelah mendarat, ia harus mengatasi tiga jurus yang sebat dan ganas. Ketiga jurus ini masing-masing lebih ganas dari yang sebelumnya dan saling terkait, benar-benar sulit ditangkis. Pendeta Tianyi telah melihat betapa lihainya ilmu pedang Linghu Chong, maka ia langsung menggunakan jurus andalan ini sebagai jurus pembuka. Sejak para sesepuh Perguruan Taishan menciptakan jurus ini, jurus tersebut mungkin belum pernah digunakan sebagai jurus pembuka ketika bertarung dengan orang lain.
Linghu Chong terkejut, ia teringat pada jurus yang dilihatnya terukir di dinding gua belakang di Siguoya, saat itu ia telah mempelajarinya untuk melawan Tian Boguang, namun ia tidak mempelajarinya secara benar sehingga ia tak dapat meraih kemenangan, namun ia sudah mengerti gerakan jurus pedang itu. Saat ini pedang musuh hampir menyentuh tubuhnya, ia tak punya waktu untuk berpikir, maka ia segera menikam perut Pendeta Tianyi. Tikaman itu memang adalah jurus dari dinding gua itu, jurus yang diciptakan oleh tetua Sekte Iblis untuk memecahkan jurus yang dipakai pendeta itu. Secara kasat mata, seakan ia dan lawan tak ada yang kalah atau menang, sama-sama binasa. Saat ini jurus 'Tujuh Bintang Di Angkasa Luas' Perguruan Taishan telah dipecah menjadi dua bagian, pada bagian pertama pedang mengancam tujuh titik utama di dada, sehingga membuat lawan ketakutan setengah mati, setelah itu pada bagian kedua, barulah dipilih titik yang akan ditikam. Walaupun pedang mengancam ketujuh titik jalan darah, namun untuk mencabut nyawa musuh, hanya diperlukan satu tikaman saja. Tak perduli tikaman itu menusuk titik yang mana, kemenangan tetap dapat diraih, oleh karena tak perlu menusuk ketujuh titik itu sekaligus, sesuatu yang memang tidak mungkin dilakukan. Pembagian jurus ini menjadi dua bagian adalah sebab kenapa jurus ini amat lihai. Namun tempo hari para tetua Sekte Iblis itu telah menelaahnya dengan seksama, mereka justru mencari titik kelemahan dalam kelihaian jurus ini, apabila begitu jurus pertama selesai dilancarkan, lawan langsung menyerang perut, jurus 'Tujuh Bintang Di Angkasa Luas' ini akan putus di tengah-tengah dan tak dapat dilancarkan secara utuh.
Begitu Pendeta Tianyi melihat gerakan pedang Linghu Chong yang luar biasa, ia tahu bahwa ia tak bisa menghindarinya, maka ia menjadi pucat pasi karena ketakutan dan berteriak sekeras kerasnya karena mengira bahwa pedang telah menembus perutnya. Dalam keadaan panik, ia tak lagi bisa merasakan rasa sakit, pikirannya kacau balau, ia mengira dirinya sudah mati, lalu pingsan dan tersungkur ke tanah. Padahal ketika ujung pedang Linghu Chong hampir menyentuh perutnya, ia menghentikan jurus itu, tak nyana jurus menusuk perut Linghu Chong yang lihai ini ternyata membuatnya ketakutan setengah mati sampai pingsan.
Ketika orang-orang Perguruan Taishan melihat Pendeta Tianyi tersungkur, mereka semua mengira bahwa ia telah dilukai oleh Linghu Chong dan merekapun memaki-maki dengan ribut. Lima orang pendeta Tao muda lantas mengangkat pedang dan menyerang, karena ingin cepat-cepat membalas dendam guru mereka, kelima pedang mereka mengayun-ayun dan menikam bagai badai yang mengamuk. Linghu Chong menusuk dengan susul-menyusul dan mengenai kelima pergelangan tangan para pendeta itu, pedang merekapun jatuh ke tanah dengan suara berdentang-dentang. Kelima orang itu menjadi panik dan melompat mundur. Pendeta Tianyi bangkit dengan tertatih-tatih dan berseru, "Dia membunuhku! Dia membunuhku!"
Ketika kelima muridnya melihat bahwa tubuhnya tak terluka, namun ia terus berteriak-teriak, mereka tercengang, tak tahu apakah ia masih hidup atau sudah mati.
Para hadirin tahu bahwa Linghu Chong hanya melancarkan separuh jurus saja, namun ia dapat mengalahkan Pendeta Tianyi, seorang jago Perguruan Taishan hingga mati hidupnya tak diketahui, mereka amat terkejut.
Saat itu, orang-orang yang mengepung Xiang Wentian telah berubah. Kedua lelaki yang membawa pedang sekarang adalah orang Perguruan Heng Shan, pedang mereka naik turun dengan cepat, mencari sela-sela diantara pertahanan rantai besi Xiang Wentian. Seseorang lain membawa perisai di tangan kiri dan golok di tangan kanan, ia adalah seorang tokoh Sekte Iblis, orang ini menggunakan perisai untuk melindungi tubuhnya sambil mengerahkan ilmu goloknya. Ia berguling ke sebelah kaki Xiang Wentian dan menyerang bagian bawah tubuhnya. Xiang Wentian dua kali menghantamkan rantai besinya keras-keras ke perisainya, namun tak bisa melukainya, sedangkan goloknya yang berada di balik perisai terus keluar masuk dengan sebat.
Linghu Chong berpikir, "Orang ini memakai perisai untuk melindungi diri, pertahanannya sangat rapat, namun begitu ia mengeluarkan goloknya untuk menyerang, titik kelemahannya muncul, dan musuh dapat mematahkan lengannya".
Mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang berseru, "Bocah, kau mau hidup atau tidak?" Walaupun suara itu tidak nyaring, namun sangat dekat, tak sampai dua chijauhnya dari telinganya. Linghu Chong berpaling dengan kaget dan saling berhadap-hadapan dengan seseorang sehingga hidungnya hampir menyentuh hidung orang itu. Ia cepat-cepat menghindar, namun kedua telapak orang itu telah menekan dadanya. Orang itu berkata dengan dingin, "Kalau aku mengerahkan tenaga dalamku, tulang-tulang igamu akan patah". Dalam hati Linghu Chong tahu bahwa perkataan orang itu bukan bualan belaka, ia berdiri diam dan tak berani bergerak, jantungnya seakan berhenti berdenyut. Sepasang mata orang itu menatap Linghu Chong tanpa berkedip, namun karena jarak diantara mereka terlalu dekat, Linghu Chong sebaliknya tak dapat melihat wajahnya. Namun melihat sinar matanya yang tajam berkilat-kilat, ia berpikir, "Ternyata aku akan mati di tangan orang ini". Hatinya malah terasa lega karena masalah hidup matinya akhirnya akan segera ada penyelesaiannya.
Orang itu sebelumnya melihat bahwa mata Linghu Chong memancarkan rasa takut yang amat sangat, namun sesaat kemudian, sinar matanya menunjukkan sikap acuh tak acuh, seperti tak takut menghadapi maut, bahkan para jago kelas wahid di dunia persilatanpun sulit untuk melakukan hal ini, maka mau tak mau ia merasa kagum. Orang itu tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Aku menyerangmu dengan sembunyi-sembunyi dan menotok titik jalan darah pentingmu. Walaupun aku membunuhmu, kurasa kau tak akan rela menerimanya!" Ia menarik kedua tangannya dan mundur tiga langkah.
Sekarang Linghu Chong baru dapat melihatnya dengan jelas, orang itu bertubuh buntak, wajahnya gemuk dan kekuningan, usianya sekitar limapuluhan tahun, kedua telapaknya yang amat gemuk kecil sekaligus tebal, salah satu telapaknya terangkat tinggi, sedangkan yang satu lagi rendah, menunjukkan jurus 'Tapak Songyang'. Linghu Chong tersenyum kecil dan berkata, "Sesepuh Perguruan Songshan, siapa nama tuan yang terhormat? Banyak terima kasih karena telah bermurah hati padaku".
Orang itu berkata, "Aku Xiaogan Yue Hou". Setelah berhenti sejenak, ia berkata lagi, "Ilmu pedangmu benar-benar amat tinggi, namun pengalaman bertempurmu masih terlalu sedikit". Linghu Chong berkata, "Aku sungguh malu. Paman Guru 'Tapak Yinyang Besar' Yue, gerakanmu terlalu cepat bagiku". Yue Hou berkata, "Aku tak berani menerima panggilan paman guru itu". Ia mengangkat tangan kirinya dan membacok dengan tangan kanannya. Ia adalah murid kelima ketua Perguruan Songshan, Zuo Lengchan, penampilannya sangat jelek, namun begitu ia turun tangan, seluruh tubuhnya seakan menjadi gunung yang kokoh, pembawaannya berwibawa, sehingga ia menjadi sangat menarik.
Linghu melihat bahwa ternyata di sekujur tubuhnya tak ada satupun titik kelemahannya, maka ia berseru memuji, "Ilmu pukulan yang bagus!" Ia menusuk ke atas dengan miring, karena tahu bahwa di seluruh tubuh Yue Hou tak ada titik lemah, gerakan pedangnya ini bertahan sekaligus menyerang, sembilan bagian kosong, dan satu bagian benar-benar serangan. Yue Hou melihat pedang Linghu Chong menikam dengan miring ke atas, tak perduli bagian tubuh mana yang akan dipukul oleh sepasang tangannya, telapak tangannya akan tertusuk ujung pedangnya dengan sendirinya, maka ketika pukulannya baru berjalan sekitar satu chi jauhnya, ia segera menariknya mundur, lalu berseru, "Ilmu pedang yang bagus!" Linghu Chong berkata, "Maaf aku telah berbuat kasar".
Le Hou berseru, "Awas!" Sebuah kesiuran angin yang sangat keras menyapu ke arah tubuh Linghu Chong. Dalam hati Linghu Chong berseru, "Celaka!" Saat ini jarak diantara dirinya dan Yue Hou masih jauh, ketika ia memukul dengan kedua tangannya, Linghu Chong tak dapat menangkisnya dengan pedang, ketika ia baru saja hendak melompat untuk menghindar, ia merasakan hawa dingin tiba-tiba menerpa, sehingga ia langsung menggigil kedinginan. Tenaga di kedua telapak Yue Hou tak sama, yang satu yang dan yang satu yin, pukulan yang dilancarkan lebih dahulu, namun pukulan yin yang pertama sampai di tubuhnya. Linghu Chong tertegun, namun hawa pukulan yang panas membara telah menerpa hingga ia seakan tercekik, tubuhnyapun lantas bergoyang-goyang.
Kalau pukulan yin dan yang mengenai tubuh, tentunya sangat berbahaya, namun walaupun tenaga dalam Linghu Chong telah musnah, hawa murni di dalam tubuhnya justru melimpah, diantaranya hawa murni dari Enam Dewa Lembah Persik, juga hawa murni dari Biksu Bujie, dan ketika menyembuhkan luka di Biara Shaolin, ia juga menerima tenaga dari Biksu Fang Sheng, hawa murni itu masing-masing amat kuat. Ketika pukulan yin dan yang itu mengenai tubuhnya, dengan sendirinya hawa murni yang berada di dalam tubuhnya bereaksi, melindungi jantung, pembuluh darah dan organ-organ tubuhnya sehingga tak terluka. Sekujur tubuhnya tergetar, sakitnya sulit untuk dilukiskan, karena khawatir Yue Hou akan memukul lagi, ia segera menerjang keluar dari pavilun sambil menenteng pedang dan langsung menikam.
Setelah melancarkan pukulannya, Yue Hou mengira bahwa kalaupun lawan tak langsung mati berdiri di tempat, ia tentunya akan tersungkur karena menderita luka parah, tak nyana ia malah tak kurang suatu apa, bahkan menyusul sinar pedang berkilat-kilat menikam ke arah telapaknya. Ia tercengang, lalu menyilangkan sepasang tangannya, yang satu memukul ke wajah Linghu Chong, sedangkan yang satu lagi memukul ke perutnya. Ketika ia baru saja hendak mengerahkan tenaganya, tiba-tiba ia merasa kesakitan luar biasa, ternyata kedua telapaknya telah tertusuk menjadi satu oleh pedang musuh, entah karena Linghu Chong menusuk kedua telapaknya secara susul-menyusul, atau karena sepasang telapaknya sendiri yang menghantam ujung pedang pemuda itu, namun terlihat bahwa telapak kiri berada di depan dan telapak kanan di belakang, dan ujung pedang menembus dari punggung telapak kiri sepanjang lima cun lebih.
Kalau Linghu Chong mengambil kesempatan dalam kesempitan dan mendorong maju pedangnya, ia akan dapat menikam dadanya hingga tembus, akan tetapi karena mengingat kemurahan hatinya ketika ia sebelumnya memukul, begitu pedang menembus kedua telapaknya, Linghu Chong segera menghentikan gerakan pedangnya.
Yue Hou berteriak keras-keras, menarik kedua telapaknya dan melompat mundur.
Dalam hati Linghu Chong merasa iba, ia menjura dan berkata, "Mohon maaf!" Jurus yang baru saja dilancarkannya adalah jurus andalan dari 'Jurus Pemecah Pukulan' Sembilan Pedang Dugu, sejak Feng Qingyang mengundurkan diri, jurus ini belum pernah terlihat di dunia persilatan. Tiba-tiba terdengar suara ribut di belakangnya, Linghu Chong berpaling dan melihat tujuh atau delapan orang lelaki sedang mengepung Xiang Wentian, diantara mereka, dua orang yang tenaga pukulannya amat kuat telah mematahkan tiang dan balok penyangga atap paviliun. Serpihan-serpihan balok dan genting jatuh berhamburan dari atap. Namun para petarung terlalu sibuk berkelahi sehingga mereka tak memperdulikan pecahan-pecahan genting yang menimpa ubun-ubun mereka.
Ketika ia sedang melihat kejadian itu, Yue Hou dengan sembunyi-sembunyi mendekat dan memukulnya dari jauh, tenaga pukulan itu mengenai dada Linghu Chong sehingga tubuhnya melayang dan pedangnya terjatuh. Sebelum punggungnya menyentuh tanah, tujuh atau delapan orang sudah memburu ke arahnya dan serentak mengangkat senjata hendak mencincangnya.
Linghu Chong menyeringai dan berkata, "Kalian mau gampangnya saja, ya?" Sekonyong-konyong ia merasa pinggangnya terlilit erat, seuntai rantai besi melayang ke arahnya dan mengangkat tubuhnya hingga melayang tinggi di awang-awang.
* * *
Orang yang menyelamatkan nyawa Linghu Chong memang si jago Sekte Iblis, Xiang Wentian. Ketika ia dikepung dan digempur baik oleh aliran sesat maupun lurus, ketika tenaganya sudah hampir habis, tiba-tiba muncul seorang pemuda pembela keadilan yang tak takut langit dan bumi seperti ini dan membantunya memukul balik musuh-musuh tangguhnya, maka dengan sendirinya rasa setia kawan muncul dalam hatinya. Ketika ia melihat Linghu Chong memukul mundur musuh-musuhnya, ia tahu bahwa ilmu pedang pemuda itu setinggi langit, namun tenaga dalamnya amat lemah, dalam kepungan musuh-musuh tangguh seperti ini, keadaannya sungguh berbahaya. Ia harus menghadapi musuh, namun juga dari waktu ke waktu memperhatikan keadaan Linghu Chong, tak lama kemudian, pemuda itu terkena pukul hingga melayang, maka ia segera melemparkan rantai besinya, menariknya dan lari secepat-secepatnya. Begitu Xiang Wentian mengerahkan ilmu ringan tubuhnya, larinya benar-benar lebih cepat dari kuda yang berlari, dalam sekejap ia telah lari puluhan zhang jauhnya.
Di belakang mereka puluhan orang lari mengejar bagai terbang, terdengar pula puluhan orang berteriak-teriak, "Xiang Wentian kabur! Xiang Wentian kabur!"
Xiang Wentian murka, tiba-tiba ia berbalik dan menerjang sejauh beberapa langkah. Para pengejar semua amat terkejut dan cepat-cepat berhenti. Salah seorang dari mereka ilmu ringan tubuhnya lebih rendah dari yang lain, ia telah berlari dengan sangat cepat dan tak bisa menghentikan langkah kakinya, sehingga menabrak Xiang Wentian. Xiang Wentian menendangnya dengan kaki kirinya sehingga ia melayang dan tersungkur ke tengah-tengah rombongan pengejar, lalu segera berbalik dan kembali lari. Tak lama kemudian rombongan itu mulai mengejar kembali, tapi kali ini tak ada seorangpun yang berani lari dengan kencang, sehingga makin lama jarak diantara mereka makin jauh.
Xiang Wentian berlari dengan cepat, dalam hati ia berpikir, "Anak muda ini sama sekali belum pernah bertemu denganku sebelumnya, namun tak nyana ia rela mengorbankan nyawanya demi aku, kawan sejati seperti ini, mana bisa dicari di kolong langit ini? Tapi anjing-anjing sialan ini masih terus membuntutiku, bagaimana caranya agar aku bisa meloloskan diri dari mereka?"
Setelah berlari untuk beberapa saat, tiba-tiba ia teringat akan suatu tempat dan ia menjadi girang, "Tempat itu sangat bagus!" Akan tetapi ia berpikir kembali, "Tapi tempat itu jauh, entah aku punya tenaga untuk berlari sampai kesana atau tidak? Tak apa-apa, kalau tenagaku tak cukup, anjing-anjing ini lebih tak punya tenaga lagi". Ia mendongak dan melihat matahari untuk memastikan arah, lalu menerobos sebuah ladang jagung dengan miring, lalu berlari ke arah timur laut.
Setelah berlari lebih dari sepuluh li, ia tiba di sebuah jalan besar. Tiba-tiba tiga ekor kuda yang berlari dengan kencang melesat dari samping tubuhnya, Xiang Wentian memaki, "Nenekmu!" Ia mengerahkan tenaga dan berlari kencang, setelah mengejar sampai di belakang seekor kuda, ia melompat ke udara, menendang si penunggang kuda hingga jatuh, lalu mendarat di punggung kuda. Ia menaruh Linghu Chong diatas pelana di depannya, lalu mengayunkan rantai besinya dan memukul jatuh kedua penunggang kuda lainnya. Urat dan tulang kedua orang itu terputus dan merekapun tewas. Mereka bertiga adalah orang biasa, dilihat dari penampilannya, mereka bukan orang dunia persilatan. Mereka hanya secara kebetulan bertemu dengan malaikat maut dan lantas menghantar nyawa tanpa sebab. Setelah para penunggang mereka terjatuh, kedua kuda yang lain terus berlari. Rantai besi Xiang Wentian mengayun dan menarik kekang mereka, rantai besi itu begitu lincah dan enteng di tangannya, seakan merupakan perpanjangan lengannya. Ketika Linghu Chong melihatnya membunuh orang tak berdosa dengan kejam, mau tak mau ia diam-diam menghela napas.
Setelah berhasil merampas tiga ekor kuda, semangat Xiang Wentian timbul, ia mendongak dan tertawa terbahak-bahak, katanya, "Adik, anjing-anjing itu tak bisa mengejar kita". Linghu Chong tersenyum hambar seraya berkata, "Kalau hari ini mereka tak bisa mengejar kita, besok mereka masih dapat menyusul kita". Xiang Wentian memaki, "Nenekmu, mereka mengejar kentut! Kita berdua akan bunuh mereka satu persatu sampai habis".
Xiang Wentian bergantian menunggangi ketiga ekor kuda itu, setelah mencongklang di jalan raya untuk beberapa saat, ia masuk ke sebuah jalan gunung kecil yang makin lama makin terjal, sehingga akhirnya kuda-kuda itu tak bisa mendakinya. Xiang Wentian bertanya, "Kau lapar tidak?" Linghu Chong berkata, "Eh, apa kau membawa bekal?" Xiang Wentian berkata, "Tak ada bekal, minum darah kuda!" Ia turun dari kudanya, kelima jarinya mencengkeram leher kuda dan lantas melubanginya, darahpun mengalir bagai air dari mata air. Xiang Wentian menempelkan mulutnya di leher kuda, minum beberapa teguk darah, lalu berkata, "Kau minumlah!"
Melihat kejadian itu, Linghu Chong amat terkejut. Xiang Wentian berkata, "Kalau tak minum darah kuda, mana punya tenaga untuk berkelahi?" Linghu Chong berkata, "Kita akan berkelahi lagi?" Xiang Wentian berkata, "Kau takut?" Semangat kepahlawanan Linghu Chong muncul, ia tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Menurutmu aku takut atau tidak?" Ia menempelkan mulutnya di leher kuda dan merasakan darah menyembur ke tenggorokannya, dan ia langsung meminumnya.
Saat darah kuda itu pertama kali masuk ke dalam mulut, rasanya amis menusuk hidung, namun setelah minum beberapa teguk, tak lagi berbau tak enak, Linghu Chong bahkan minum sepuluh teguk besar lagi sampai perutnya kembung kekenyangan, baru menarik mulutnya. Menyusul Xiang Wentian menempelkan mulutnya di leher kuda dan minum darah, namun tak seberapa lama kemudian, kuda itu tak kuat lagi, sambil meringkik panjang dengan pilu, kuda itu terjatuh ke tanah dengan lemas. Xiang Wentiang melayangkan kaki kirinya dan menendang kuda itu ke dalam jurang, Linghu Chong tercengang, kuda itu bagai raksasa, beratnya paling tidak delapan ratus jin, namun ia dapat menendangnya dengan begitu enteng. Xiang Wentian juga menendang kuda yang kedua, berbalik, lalu menebas keras-keras kaki belakang kuda yang ketiga, kemudian ia juga menebas kaki belakangnya yang lain. Ringkikan kuda itu seakan menggetarkan langit, bahkan setelah ia ditendang masuk ke dalam jurang oleh Xiang Wentian, suara ringkikannya masih terdengar santer.
Xiang Wentian berkata, "Ambillah sepotong kaki, kalau kau makan perlahan-lahan, cukup untuk bekal sepuluh hari". Saat itu Linghu Chong baru sadar bahwa ia memotong kaki kuda untuk bekal, bukan karena senang bertindak kejam, maka ia segera menuruti perkataannya dan mengambil potongan kaki kuda itu. Ia melihat Xiang Wentian mendaki gunung sambil menenteng kaki kuda, dan iapun mengikutinya dari belakang. Xiang Wentian memperlambat langkahnya dan berjalan perlahan-lahan. Tenaga dalam Linghu Chong telah sama sekali musnah, setelah berjalan tak sampai setengah li, ia sudah tertinggal jauh, dengan terengah-engah, ia berusaha mengejar, wajahnyapun menjadi pucat. Xiang Wentian berhenti dan menunggunya. Setelah berjalan sekitar satu li lagi, Linghu Chong sudah tak kuat berjalan lagi dan duduk di sisi jalan untuk beristirahat.
Xiang Wentian berkata, "Adik, kau ini memang aneh, tenaga dalammu begitu lemah seperti ini, tapi setelah tubuhmu terkenal pukulan tapak Yinyang si keparat Yue Hou itu, tak nyana kau malah tenang-tenang saja, benar-benar sulit dimengerti". Linghu Chong tersenyum getir, "Masa seperti itu tenang-tenang saja? Organ-organ tubuhku kacau balau terkena getaran dan entah berapa puluh luka dalam yang kuderita. Aku sendiri juga sangat heran, kenapa waktu itu aku masih belum mati? Jangan-jangan setiap saat aku bisa roboh dan tak bisa bangun lagi". Xiang Wentian berkata, "Kalau begitu, kita beristirahat agak lama dulu saja". Tadinya Linghu Chong hendak berkata dengan terus terang bahwa hidupnya tak akan lama lagi, maka ia tak perlu menunggunya sehingga bisa dikejar oleh musuh, namun ia berubah pikiran. Orang ini berjiwa ksatria, ia tak akan meninggalkannya sendiri dan kabur, kalau ia berkata demikian, mau tak mau ia akan menghina Xiang Wentian.
Xiang Wentian duduk di atas sebuah batu dan bertanya, "Adik, bagaimana tenaga dalammu bisa musnah?"
Linghu Chong tersenyum simpul, lalu berkata, "Ceritanya sangat lucu". Ia segera bercerita dengan singkat tentang bagaimana ia sampai terluka, tentang bagaimana Enam Dewa Lembah Persik memasukkan tenaga untuk menyembuhkan lukanya, dan tentang bagaimana setelah itu Biksu Bujie juga memasukkan hawa murni ke dalam tubuhnya.
Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak, suara tawanya mengetarkan lembah itu, lalu ia berkata, "Hal yang begitu aneh seperti ini, baru pertama kali didengar oleh si Xiang tua ini".
Di tengah gelak tawa, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dari kejauhan, "Xiang Wentian, kau tak bisa kabur, lebih baik kau menyerah dengan baik-baik saja".
Xiang Wentian tetap tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Lucu sekali, lucu sekali! Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie ini semua benar-benar manusia tertolol di kolong langit ini". Ia beberapa kali lagi tergelak, lalu dahinya berkerut dan ia memaki, "Nenekmu, banyak keparat mengejar kita". Ia mengangsurkan kedua tangannya dan membopong Linghu Chong, ia tak sempat membawa kaki kuda dan menaruhnya di pinggir jalan, lalu ia mengerahkan tenaga dan lari dengan kencang. Larinya begitu cepat hingga Linghu Chong merasa bagai menunggang awan, tak lama kemudian tiba-tiba segala sesuatu terlihat putih, ternyata mereka memang tengah menerobos kabut tebal, pikirnya, "Bagus sekali. Begitu kita naik gunung, ratusan orang itu tak bisa beramai-ramai mengejar kita. Mereka harus berkelahi satu lawan satu, aku dan Tuan Xiang ini pasti dapat mengatasi mereka". Namun suara teriakan di belakang mereka makin lama makin dekat, jelas bahwa orang yang mengejar mereka ilmu ringan tubuhnya tinggi, walaupun masih kalah dibandingkan dengan Xiang Wentian, namun Xiang Wentian membopong orang, dan ia sudah lama berlari, maka mau tak mau larinya menjadi agak lambat.
Xiang Wentian berlari ke sebuah sudut jalan, lalu menaruh Linghu Chong di tanah sambil berkata dengan lirih, "Jangan bersuara". Mereka berdua merapat ke dinding tebing, tak seberapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki, rupanya ada orang yang menghampiri mereka.
Kedua orang yang datang itu berlari dengan cepat, di tengah kabut tebal, mereka tak melihat Xiang Wentian dan Linghu Chong. Sampai mereka telah berlalu, mereka baru sadar bahwa Xiang Wentian dan Linghu Chong ada di dekat mereka. Xiang Wentian menunggu sampai mereka berhenti dan berbalik, lalu ia mendorong keras-keras dengan kedua tangannya dan kedua orang itupun terjatuh ke dalam jurang tanpa sempat mengerang, sesaat kemudian, terdengar sayup-sayup suara berdebam, rupanya mereka telah jatuh ke dasar jurang. Linghu Chong berpikir, "Ketika kedua orang itu terjatuh, kenapa mereka sama sekali tak menjerit? Ah, aku tahu, begitu mereka terkena pukulan, mereka sudah mati dahulu sebelum terjatuh". Xiang Wentian tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata, "Kedua bangsat ini biasanya suka menyombongkan diri, menyebut diri mereka 'Sepasang Pedang Diancang, Hawa Pedangnya Menembus Langit' segala, sekarang bajingan-bajingan itu sudah jatuh ke dalam jurang, biar mereka membusuk hingga baunya menembus langit".
Linghu Chong pernah mendengar nama 'Sepasang Pedang Diancang' itu, kabarnya ilmu pedang mereka berdua sangat hebat, dan mereka telah membunuh tidak sedikit tokoh-tokoh aliran sesat, tak nyana mereka harus mati disini tanpa sebab yang jelas, bahkan wajah merekapun tak sempat dilihatnya.
Xiang Wentian membopong Linghu Chong lagi dan berkata, "Dari sini ke Ngarai Xianchou masih sepuluh li lebih jauhnya, begitu sampai di mulut ngarai, kita tak usah takut lagi pada bangsat-bangsat ini". Makin lama larinya makin cepat. Terdengar suara langkah kaki beberapa orang, ternyata masih ada beberapa orang yang mengejar mereka. Saat ini jalan gunung yang mereka lalui berbelok ke timur, di sampingnya sudah tak ada jurang yang dalam lagi, Xiang Wentian tak bisa mengulangi tipuan lamanya lagi, yaitu bersembunyi di dinding tebing dan menyergap musuh, ia hanya bisa berlari sekuat tenaga saja.
Terdengar sebuah teriakan, sebuah senjata rahasia melayang ke arah mereka, suaranya ketika terbang di udara nyaring, rupanya senjata rahasia itu banyak jumlahnya. Xiang Wentian menaruh Linghu Chong ditanah, berbalik dan menangkapnya, lalu memaki, "Marga He, kau mau apa mengail di air keruh?"
Dari tengah-tengah kabut tebal sebuah suara berseru, "Kau membuat bencana di dunia persilatan, setiap orang berhak menghukummu. Sambutlah sebuah pusutku ini". Terdengarlah suara berdesir yang tak putus-putus, ia berkata "sebuah pusut", namun yang melesat ke arah mereka paling tidak ada tujuh atau delapan buah.
Ketika Linghu Chong mendengar desir senjata rahasia itu di udara, ia diam-diam merasa cemas, "Walaupun ilmu pedang yang diajarkan Kakek Guru Feng padaku bisa memukul jatuh segala senjata rahasia, namun tenaga yang dibawa oleh pusut ini begitu kuat, kalaupun pedangku bisa memukul jatuh mereka, namun tenaga dalamku sama sekali tak ada, pedangku tentu akan patah". Terlihat Xiang Wentian sedang mengambil kuda-kuda, bagian atas tubuhnya membungkuk, raut wajahnya tegang, sama sekali tak seperti sikap acuh tak acuhnya ketika dikepung musuh di paviliun itu. Pusut-pusut itu satu persatu melayang ke hadapannya, semuanya tak menimbulkan suara, barangkali semua telah ditangkapnya.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, entah berapa banyak pusut yang telah dengan serentak dilontarkan, Linghu Chong tahu bahwa ini adalah cara melempar senjata rahasia yang disebut 'Hujan Bunga Memenuhi Langit'. Biasanya, dalam cara melempar senjata rahasia ini digunakan panah uang emas, kuaci besi dan lain-lain senjata rahasia yang amat kecil, namun dari suara yang ditimbulkan pusut-pusut itu ketika melayang di udara, beratnya paling tidak setengah jin atau satu jin. Entah bagaimana puluhan pusut itu dapat serentak dilemparkan? Ketika ia mendengar suaranya yang sebat dan bertenaga ketika melayang di udara, ia segera bertiarap di tanah, namun ia mendengar Xiang Wentian berteriak, "Aiyo!", seakan ia terluka parah.
Linghu Chong amat terkejut, ia melompat ke depan dan menghadang di depan Xiang Wentian seraya bertanya, "Tuan Xiang, anda terluka?" Xiang Wentian berkata, "Aku.....aku tak bisa bertahan lagi, kau.....kau.....cepat lari......" Linghu Chong berkata, "Kita berdua hidup dan mati bersama, Linghu Chong tak akan meninggalkanmu sendirian!".
Terdengar musuh yang mengejar berseru, "Xiang Wentian kena pusut terbang!" Samar-samar di tengah putihnya kabut belasan orang perlahan-lahan mendekat.
Tepat pada saat itu, Linghu Chong merasakan angin kencang menerpa dari kanan tubuhnya, Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak, belasan orang yang berada di depan mereka tersungkur ke tanah. Ternyata ia telah menangkap puluhan pusut terbang di tangannya, lalu berpura-pura terluka supaya musuh tak curiga, lalu ia melemparkan pusut-pusut itu dengan ilmu 'Hujan Bunga Memenuhi Langit'. Saat itu kabut tebal memenuhi angkasa, penglihatan tak jelas; suara Linghu Chong yang cemas penuh ketulusan, begitu mendengarnya, musuh langsung percaya dan tak curiga; selain itu, para pengejar tak menyangka bahwa Xiang Wentian dapat menggunakan ilmu 'Hujan Bunga Memenuhi Langit' untuk melemparkan senjata rahasia yang begitu berat, sehingga belasan pengejar yang paling depan mati atau terluka, tak satupun yang dapat menghindar.
Xiang Wentian membopong Linghu Chong, berbalik dan kembali lari, katanya, "Bagus
sekali adik, ternyata kau orang yang sangat setia kawan". Ia mengira Linghu Chong dengan berani maju membela dirinya karena gejolak darah panas anak mudanya, namun ketika barusan ini ia berpura-pura terluka parah dengan sangat meyakinkan, tak nyana Linghu Chong tak sudi meninggalkan dirinya untuk mencari selamat sendiri, itulah 'rasa setia kawan' yang paling dijunjung tinggi di dunia persilatan.
Tak lama kemudian, musuh kembali mendekat, terdengar suara berdesir yang tak kunjung putus, senjata rahasia berterbangan tanpa henti. Xiang Wentian harus melompat tinggi atau menunduk rendah untuk menghindarinya, maka musuh dapat makin mendekat. Xiang Wentian meletakkan Linghu Chong di tanah, berteriak keras-keras dan menerjang masuk ke dalam kerumunan para pengejar, suara senjata beradu berdentang-denting, lalu ia berlari kembali sambil mengendong seseorang di punggungnya. Ia mengikat kedua tangan orang itu dengan rantai besi yang membelenggunya, mengendongnya kembali, lalu membopong Linghu Chong, setelah itu ia kembali berlari. Sambil tersenyum ia berkata, "Sekarang kita punya perisai hidup".
Orang itu berteriak-teriak, "Jangan lempar senjata! Jangan lempar senjata!" Namun para pengejar mengacuhkannya dan tetap melemparkan senjata rahasia. Tiba-tiba orang itu menjerit, "Aiyo!" Sebuah senjata rahasia menancap di punggungnya. Di atas punggungnya Xiang Wentian mengendong perisai hidup, sedangkan sepasang tangannya membopong Linghu Chong, namun ia masih dapat berlari dan melompat dengan lincah. Orang di atas punggungnya memaki-maki, "Wang Chonggu keparat, kau tak setia kawan, jelas-jelas tahu aku......aiyo, sebuah panah, nenekmu. Zhang Furong, kau siluman rubah, kau......kau meminjam tangan orang untuk membunuhku". Terdengar suara berdesir susul-menyusul, suara makian orang itu makin pelan, sampai akhirnya ia tak bersuara lagi. Xiang Wentian tertawa, "Perisai hidup berubah menjadi perisai mati".
Karena ia tak usah menghindari senjata rahasia lagi, ia mengerahkan tenaga dan berlari dengan kencang, setelah melewati dua lembah, ia berkata, "Kita sudah sampai!" Ia menghela napas panjang, lalu tertawa terbahak-bahak, hatinya terasa amat lega, sepuluh li jalanan gunung yang baru mereka lalui benar-benar amat berbahaya, ia benar-benar tak dapat memastikan apakah ia akan dapat meloloskan diri dari musuh yang mengejarnya.
Ketika Linghu Chong memandang ke sekelilingnya, ia agak terkejut, di depan matanya nampak sebuah balok batu yang amat sempit yang mengarah ke jurang yang dalamnya laksaan ren[1]. Bagian balok kayu yang terlihat tak lebih dari tujuh atau delapan chi, sisanya tak terlihat karena diselimuti kabut tebal, entah dimana ujungnya. Xiang Wentian berkata dengan lirih, "Di tengah kabut putih ini ada seutas rantai besi, jangan sembarangan melangkah". Linghu Chong berkata, "Baik!" Mau tak mau ia merasa cemas, pikirnya, "Lebar balok ini tak sampai satu chi, sedangkan dibawahnya ada jurang dalam, benar-benar sangat berbahaya. Kalau balok ditukar dengan rantai besi, dengan kemampuanku sekarang ini, sulit bagiku untuk melewatinya".
Xiang Wentian membuka rantai besi yang melilit tangan si 'perisai mati', mengambil sebilah pedang dari pinggang orang itu, lalu memberikannya kepada Linghu Chong. Ia menegakkan sang perisai di depan tubuhnya, lalu diam menunggu musuh yang mengejarnya.
* * *
Setelah menunggu tak sampai sepeminuman teh kemudian, rombongan pengejar pertama tiba, dalam rombongan ini terdapat tokoh-tokoh perguruan lurus maupun sesat. Ketika mereka melihat betapa berbahayanya keadaan di sekeliling mereka, dan sikap Xiang Wentian akan 'bertarung dengan punggung menghadap ke air'[2], mereka tak berani mendekatinya. Setelah beberapa lama, musuh yang datang makin banyak, mereka berkerumun di tempat yang lima atau enam zhang jauhnya sambil memaki keras-keras, tak lama kemudian, panah terbang, belalang terbang, panah rahasia dan macam-macam senjata rahasia lainnya berterbangan ke arah Linghu Chong dan Xiang Wentian. Mereka bersembunyi di balik sang 'perisai', sehingga segala senjata rahasia itu hanya mengenai sang 'perisai'.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah raungan yang mengetarkan lembah itu, seorang biksu pengemis bertubuh besar menerjang sambil mengayun-ayunkan tongkat biksunya, tongkat besi yang beratnya tujuh atau delapan puluh jin itu menghantam ke arah pinggang Xiang Wentian. Xiang Wentian menunduk, tongkat biksu itu melayang di atas ubun-ubunnya, sedangkan rantai besinya sendiri mengayun dan memukul tulang kaki sang biksu. Biksu pengemis itu telah mengayunkan tongkatnya kuat-kuat, ia tak dapat menariknya kembali untuk menangkis serangan, maka ia segera melompat untuk menghindar. Rantai besi Xiang Wentian berputar-putar dan berhasil menjerat pergelangan kaki kanannya, lalu mengayun ke atas dengan meminjam tenaga sang biksu sendiri. Sang biksu tak punya tempat berpijak dan tergelincir ke dalam jurang yang dalam. Xiang Wentian lalu menarik rantai besinya hingga terlepas dari pergelangan kaki biksu itu. Raungan biksu pengemis yang amat mengenaskan itu mengema di seluruh lembah. Semua orang yang mendengarnya berdiri bulu romanya, dengan sendirinya mereka mundur beberapa langkah, seakan takut kalau Xiang Wentian akan menjatuhkan mereka ke dalam jurang juga.
Kedua belah pihak sama-sama tak bergerak untuk beberapa waktu lamanya, namun mendadak dua orang melompat keluar dari kerumunan. Yang seorang membawa sepasang gada di tangannya, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang biksu yang membawa sebatang sekop bulan sabit. Keduanya berendeng pundak dan serentak menyerang, sebuah gada berada di atas dan yang satu lagi di bawah, masing-masing memukul ke arah wajah dan perut Xiang Wentian, sedangkan sekop bulan sabit mendesak ke bagian kiri tubuhnya. Ketiga senjata ini semuanya amat berat, dan disertai tenaga dalam yang kuat, dan saat menyerang, mereka sangat hebat. Kedua orang itu telah memperhitungkan keadaan di sekelilingnya mereka sebelum menyerang sehingga Xiang Wentian tak dapat menghindar ke samping dan terpaksa mengadu rantai besinya untuk menangkis serangan. Benar saja, rantai besi Xiang Wentian mengayun, "Trang! Trang! Trang", Xiang Wentian memukul balik sepasang gada dan sekop bulan sabit itu tiga kali. Keempat senjata itu mengeluarkan lelatu api, ini adalah cara berkelahi yang mengadu keras dengan keras, sama sekali tak mengandung tipuan. Kerumunan musuh bersorak-sorai dengan gegap gempita.
Setelah sejata mereka terbentur ke samping, mereka menyerang lagi, keempat senjata itu kembali beradu. Tubuh sang biksu dan lelaki itu beberapa kali bergoyang-goyang, namun Xiang Wentian tetap berdiri dengan kokoh, tanpa memberi kesempatan lawan untuk mengambil napas, ia meraung dan mengayunkan rantai besinya untuk memukul ke depan. Kedua orang itu mengangkat senjata untuk menangkis serangan, "Trang, trang, trang!", senjata mereka beradu tiga kali. Biksu itu meraung keras-keras dan membuang sekop bulan sabitnya, darah segar menyembur dari mulutnya. Lelaki yang satunya mengangkat gadanya tinggi-tinggi, hendak memukul Xiang Wentian. Xiang Wentian membusungkan dadanya, tak menangkis atau melancarkan jurus, dan hanya tertawa terbahak-bahak. Terlihat bahwa ketika sepasang gada itu tinggal berjarak setengah chi dari dadanya, tiba-tiba gada-gada itu terjatuh ke tanah. Lelaki itu juga ikut tersungkur bersama sepasang gadanya, lalu tertelungkup di tanah dan tak bergerak-gerak lagi, ternyata kedua musuh itu telah diguncang sampai mati oleh kekuatan Xiang Wentian yang luar biasa.
Kerumunan orang gagah yang berkumpul di tebing itu saling memandang dengan wajah pucat pasi, tak ada yang berani maju.
Xiang Wentian berkata, "Adik, kita akan main tarik ulur dengan mereka, kau duduk saja dan beristirahatlah".
Mendadak terdengar sebuah suara lantang berkata, "Iblis sesat kurang ajar, berani-beraninya kau memandang sebelah mata para pahlawan di kolong langit ini". Empat orang pendeta Tao yang membawa pedang maju dan berjalan ke depan Xiang Wentian, empat pedangpun dengan serentak terhunus melintang ke arahnya, mereka berkata, "Bangkit dan bertarunglah!" Xiang Wentian tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata dengan sinis, "Memangnya si marga Xiang ini pernah bersalah apa pada Perguruan Emei kalian?" Pendeta Tao yang paling kiri berkata, "Iblis sesat membahayakan dunia persilatan, kita yang berada di jalan yang benar harus menegakkan keadilan, membasmi iblis-iblis sesat adalah kewajiban kami". Xiang Wentian tertawa, lalu berkata, "Membasmi iblis-iblis sesat memang kewajiban yang harus kalian laksanakan! Diantara begitu banyak orang di belakang kalian ini setengahnya adalah orang Sekte Iblis, kenapa kalian tidak membasmi mereka?" Pendeta Tao itu berkata, "Basmi gembongnya dulu!".
Xiang Wentian masih tetap duduk sambil memeluk lututnya, ia mendongak dan memandangi awan yang berarak di langit, lalu berkata dengan hambar, "Ternyata begitu. Benar, benar sekali!"
Sekonyong-konyong ia berteriak keras-keras sambil melompat, rantai besinya meliuk-liuk bagai naga air yang terbang di angkasa dan menyapu dengan sebat ke arah keempat orang itu. Serangan ini begitu mendadak, namun keempat pendeta itu adalah jago-jago Perguruan Emei, mereka segera memposisikan pedang mereka dengan tegak lurus untuk menangkis serangan ke pinggang mereka. Pendeta Tao yang berdiri paling kanan menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Xiang Wentian, "Trang!", ketiga pedang itu serentak melengkung ketika menghantam rantai besi. Xiang Wentian menelengkan kepalanya untuk menghindari tikaman pedang keempat. Permainan pedang pendeta itu sebat bagai angin, ia berturut-turut menikam tiga kali dan membuat Xiang Wentian kerepotan. Ketiga pendeta lain mundur, dan setelah menukar pedang mereka, kembali terjun dalam pertarungan. Gerakan keempat pedang itu berpadu dengan serasi, seperti sebuah barisan pedang kecil. Keempat pedang itu menari-nari di udara, kadang berpisah dan kadang bersatu.
Setelah menyaksikan pertarungan itu selama beberapa waktu, Linghu Chong sadar bahwa untuk mengayunkan rantai besi, Xiang Wentian harus serentak menggerakkan kedua tangannya, sehingga gerakannya tak seleluasa kalau ia dapat dengan bebas menggerakkan tangannya, kalau keadaan terus menerus seperti ini, sulit baginya untuk menghindari kekalahan. Linghu Chong maju dari samping kanan Xiang Wentian dan menikam ke arah rusuk salah seorang pendeta. Posisi dan arah tikaman ini sangat aneh sehingga pendeta itu sulit menghindar, "Wus!", sisi tubuhnya terkena tikaman.
Sebuah pikiran muncul dalam otak Linghu Chong, "Kabarnya Perguruan Emei selalu menjaga nama baik mereka dan tak pernah ikut campur dalam urusan dunia persilatan, reputasinya sangat baik. Aku akan membantu Tuan Xiang keluar dari kepungan, namun aku tak perlu membunuh para pendeta ini". Ketika ujung pedangnya baru saja menyentuh kulit musuh, ia segera menariknya kembali. Akan tetapi karena pedangnya ditarik dengan tiba-tiba, jurus yang dilancarkannya tidak sempurna. Tak nyana lengan pendeta itu malah mengempit pedangnya, walaupun ia amat kesakitan.
Linghu Chong menarik pedangnya, dan tanpa ampun lagi sebuah luka panjang tersayat di lengan dan iga pendeta itu. Karena sejenak tertahan, pedang seorang pendeta lain yang berusia setengah baya menghantam pedangnya. Lengan Linghu Chong kesemutan, ia ingin melepaskan pedangnya, namun ia sadar bahwa tanpa senjata, ia akan menjadi seorang cacat, maka ia mati-matian mempertahankan pedangnya. Ia merasakan gelombang demi gelombang tenaga menerpanya lewat pedangnya dan menyerang pembuluh jantungnya.
Pendeta Tao yang pertama iganya tertusuk pedang, luka yang dideritanya tidak parah, namun ketika ia mengempit pedang Linghu Chong, goresan di lengannya amat dalam hingga sampai ke tulang, darah segar menyembur dari lukanya dan ia tak mampu bertarung lagi. Kedua pendeta yang lain saat itu berada di balik punggung Linghu Chong, sedang sibuk mengempur Xiang Wentian dengan sebat, ilmu pedang kedua pendeta itu hebat dan aneh, kedua pedang mereka berpadu dan pertahanan mereka amat kuat.
Setiap selesai melayani beberapa jurus, Xiang Wentian mundur selangkah, lalu akhirnya mundur lagi sepuluh langkah lebih sehingga tubuhnya masuk ke dalam kabut putih. Kedua pendeta itu terus menyerang hingga setengah dari pedang mereka juga ikut menghilang di balik kabut. Tiba-tiba dari ujung balok batu ada seseorang berteriak, "Awas! Disana ada jembatan rantai besi!" Begitu kata 'besi' itu terucap, terdengar teriakan mengenaskan kedua pendeta itu, tubuh mereka menerjang ke dalam kabut putih, rupanya mereka telah ditarik oleh Xiang Wentian. Suara teriakan yang mengenaskan itu dengan cepat menghilang, berpindah dari jembatan ke dalam jurang, dan dalam sekejap tak ada suara yang terdengar lagi.
Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak sembari melangkah keluar dari balik kabut putih, namun ketika ia melihat tubuh Linghu Chong terhuyung-huyung ia terkejut dan berhenti tertawa.
Ketika Linghu Chong dengan susul-menyusul melukai orang di paviliun itu, keempat pendeta Perguruan Emei itu menyaksikannya dan mereka tahu bahwa mereka tak bisa menandingi ilmu pedangnya, namun mereka juga melihat bahwa tenaga dalamnya ternyata biasa-biasa saja. Saat ini pendeta itu terus menerus menyerang mengunakan tenaga dalamnya, jangankan sekarang ketika Linghu Chong telah kehilangan seluruh tenaga dalamnya, dahulupun latihan tenaga dalamnya dangkal, tak bisa dibandingkan dengan tenaga dalam pendeta yang telah berlatih ilmu tenaga dalam Perguruan Emei selama lebih dari tiga puluh tahun ini. Untungnya, hawa murni dalam tubuhnya berlimpah, sehingga ia bisa bertahan untuk sementara, namun darah dan hawa murni dalam tubuhnya bergejolak, matanya berkunang-kunang. Tiba-tiba ia merasa titik dazhui di punggungnya seakan ditembus sebuah hawa panas dan tekanan di tangannya menjadi enteng, semangat Linghu Chong bangkit, ia tahu bahwa Xiang Wentian telah membantunya, namun ia segera merasakan bahwa Xiang Wentian ternyata menyalurkan tenaga dalam penyerang ke bawah melalui lengan, pinggang dan kakinya sehingga selanjutnya lenyap di tanah tanpa bekas.
Pendeta Tao itu merasa bahwa keadaan tidak menguntungkan, ia berteriak, lalu menarik pedangnya dan melompat ke belakang seraya berkata, "Ilmu iblis penghisap bintang! Ilmu iblis penghisap bintang!"
Ketika para hadirin mendengar perkataan 'ilmu iblis penghisap bintang' itu, tak sedikit dari mereka yang wajahnya berubah pucat pasi.
Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Benar, inilah Ilmu Penghisap Bintang, kalian yang tertarik boleh mencobanya".
Seorang tetua Sekte Iblis yang berikat pinggang kuning berkata dengan suara serak, "Apakah Ren.....Ren.....telah muncul juga? Kita harus pulang untuk melapor pada ketua, supaya beliau bisa mengambil keputusan". Rombongan Sekte Iblis berkata bahwa mereka setuju dan serentak berbalik, separuh dari seratus orang lebih yang berada di tempat itu segera berpencar. Anggota aliran lurus yang tertinggal saling berbisik untuk beberapa saat, lalu satu demi satu ikut berpencar juga sehingga akhirnya hanya belasan orang yang tertinggal.
Terdengar sebuah suara yang lantang berseru, "Xiang Wentian, Linghu Chong, ternyata kalian memakai ilmu iblis penghisap bintang, kalian benar-benar tak dapat diselamatkan lagi, setelah ini kalau kawan-kawan dari dunia persilatan menghadapi kalian, kami tak akan membatasi diri pada cara-cara yang jujur saja. Ini adalah akibat dari perbuatan kalian sendiri, dalam keadaan genting, kalian tak boleh menyesal". Xiang Wentian tertawa, "Si marga Xiang ini mana pernah menyesal? Kalian lebih dari seratus orang mengepung kami berdua, apa itu cara yang jujur? Hahaha, lucu sekali, lucu sekali!" Belasan orang itupun lantas pergi.
Xiang Wentian mendengarkan dengan seksama, setelah yakin bahwa para pengejar memang benar-benar sudah pergi jauh, ia berbisik, "Anjing-anjing itu pasti akan segera kembali. Kau naiklah ke punggungku". Ketika Linghu Chong melihat raut wajahnya yang bersungguh-sungguh, tanpa banyak bertanya lagi, ia langsung naik ke punggungnya. Xiang Wentian membungkuk, menjulurkan kaki kirinya perlahan-lahan, lalu berjalan ke lembah yang dalam itu. Linghu Chong merasa agak cemas, ia melihat Xiang Wentian mengayunkan rantai besinya sehingga melilit sebatang pohon yang tumbuh menonjol dari dinding tebing, menguji apakah batang pohon itu cukup kuat untuk menahan beban dua orang, lalu perlahan-lahan melompat ke bawah. Tubuh kedua orang itu tergantung di udara, Xiang Wentian berayun-ayun beberapa kali sampai ia menemukan tempat untuk berpijak, lalu pergelangan tangannya menyentak hingga rantai besi terlepas dari batang pohon. Kedua tangan Xiang Wentian menekan dinding tebing untuk menahan tubuh mereka supaya tak terjatuh, lalu rantai besinya dililitkan pada sebuah batu besar menonjol yang diinjaknya, dan kedua orang itupun turun lagi beberapa zhang.
Selama mereka menuruni tebing dengan cara demikian, terkadang dinding tebing gundul tanpa pepohonan sedikitpun, dan juga tak ada batu karang yang menonjol, maka Xiang Wentian menempuh bahaya dengan langsung meluncur di dinding tebing. Setelah meluncur sepuluh zhang lebih, mereka meluncur dengan makin cepat, namun begitu Xiang Wentian melihat titik yang dapat memperlambat gerakan mereka, ia segera mengerahkan ilmu saktinya dan memukulkan telapaknya, atau menjejakkan kakinya, untuk memperlambat kecepatan turunnya.
Keadaan yang sangat berbahaya ini membuat Linghu Chong ketar ketir, meluncur ke jurang dalam seperti ini tak kalah berbahayanya dengan pertarungan sengit yang baru saja berlalu, namun ia berpikir bahwa pengalaman aneh penuh bahaya yang jarang ditemui seumur hidup ini, kalau tak bertemu dengan orang aneh seperti Xiang Wentian ini, jangan-jangan tak bisa dialaminya dalam seratus kehidupanpun. Maka ketika sepasang kaki Xiang Wentian menapak tanah di dasar jurang, ia malah merasa agak kecewa dan berharap agar dasar jurang itu lebih dalam seratus zhang lagi. Ketika ia memandang ke atas, mulut jurang nampak dipenuhi awan putih dan balok batu menjadi seperti bayangan hitam yang amat sempit.
Linghu Chong berkata, "Tuan Xiang....." Namun Xiang Wentian mengangsurkan tangannya dan menutup mulutnya, sembari telunjuknya menunjuk ke atas. Linghu Chong segera sadar, benar saja, para pengejar telah kembali, namun sejauh mata memandang, sama sekali tak nampak sesosok manusiapun di atas balok batu.
Xiang Wentian menarik tangannya kembali, lalu ia menempelkan telinganya ke dinding tebing dan mendengarkan dengan seksama. Setelah beberapa lama, ia tersenyum dan berkata, "Nenekmu, ada yang menjaga di atas sana, dan ada yang mencari ke segala penjuru". Ia berpaling dan menatap Linghu Chong tanpa berkedip, "Kau adalah murid perguruan lurus terkemuka, tapi si marga Xiang adalah orang aliran sesat, keduanya selamanya adalah musuh bebuyutan. Kenapa kau rela menyinggung kawan-kawan dari aliran lurus dan dengan nekad menyelamatkan nyawaku?"
Linghu Chong berkata, "Aku kebetulan berada di sana, lalu bergabung dengan tuan dan menghadapi para orang gagah dari aliran lurus dan sesat, aku tak mati hanya karena nasib baik saja. Tuan Xiang berkata bahwa aku telah menyelamatkan nyawa tuan, hal ini benar-benar.....ah......benar-benar....." Xiang Wentian menyela, "Benar-benar omong kosong belaka, benar tidak?" Linghu Chong berkata, "Aku tak berani bilang kalau itu omong kosong belaka, tapi kalau dikatakan bahwa aku telah menyelamatkan nyawa tuan, hal ini sama sekali tak benar". Xiang Wentian berkata, "Apa yang sudah dikatakan oleh si marga Xiang ini tak akan ditarik kembali. Aku berkata bahwa kau telah berjasa menyelamatkan nyawaku, maka kau benar-benar telah berjasa menyelamatkan nyawaku". Linghu Chong tersenyum dan tak lagi membantah.
Xiang Wentian berkata, "Barusan ini anjing-anjing itu berteriak-teriak tentang 'Ilmu Penghisap Bintang[3]' dan mereka begitu ketakutan sehingga berpencar sendiri. Apa kau tahu 'Ilmu Penghisap Bintang' itu kungfu macam apa?" Linghu Chong berkata, "Mohon tuan jelaskan". Xiang Wentian mengerutkan keningnya, "Tak usah banyak peradatan segala, membuat orang yang mendengarnya menjadi kesal saja. Begini saja, kau panggil aku kakak, aku panggil kau adik". Linghu Chong berkata, "Aku tak berani". Xiang Wentian berkata dengan gusar, "Baiklah, kau tahu aku orang Sekte Iblis dan memandang rendah diriku. Kau menyelamatkan nyawaku, namun apakah nyawa si tua ini masih ada atau tidak adalah hal sepele yang tak penting. Kalau kau memandang rendah aku, ayo kita bertarung saja". Walaupun suaranya lirih, namun wajahnya penuh amarah, agaknya ia benar-benar naik darah.
Linghu Chong menyeringai, "Tak usah bertarung, lagipula aku sama sekali tak akan bisa menandingimu. Karena kakak sudah memutuskan demikian, adik akan menurut". Ia berpikir, "Bahkan dengan Tian Boguang si maling cabul pemetik bungapun aku bersahabat, memangnya kenapa kalau aku juga bersahabat dengan Xiang Wentian? Orang ini berjiwa pahlawan dan bersikap bebas, benar-benar seorang lelaki sejati, aku memang suka dengan orang-orang seperti ini". Ia menjura dan berkata, "Kakak, terimalah hormat adik".
Xiang Wentian amat girang, katanya, "Di kolong langit ini adik angkatku cuma kau seorang, ingatlah baik-baik". Linghu Chong tersenyum, "Adik merasa amat dihormati". Menurut kebiasaan didunia persilatan, kalau ada dua orang yang mengangkat saudara, paling tidak mereka harus mengambil sejumput tanah sebagai penganti dupa, lalu bersumpah bahwa di kemudian hari mereka akan berbagi untung dan malang. Namun mereka berdua sama-sama berwatak bebas dan tak suka diatur, setelah bertempur bersama, mereka merasa cocok satu sama lain dan saling berlaku tulus, maka mereka tak memperdulikan segala adat istiadat pengangkatan saudara yang rumit seperti itu, begitu mereka mengangkat saudara, maka mereka berduapun bersaudara.
Xiang Wentian adalah orang Sekte Iblis, namun di dalam Sekte Iblis sangat sedikit orang yang tak dipandangnya dengan sebelah mata, hari ini ia telah mendapatkan seorang adik yang berjiwa ksatria, maka hatinya amat girang. Ia berkata, "Sayang disini tak ada arak, kalau tidak kita berdua akan minum puluhan cawan arak terkutuk sepuasnya". Linghu Chong berkata, "Benar. Tenggorokan adik sebelumnya sudah gatal, sekarang karena kakak menyebut-sebutnya, tambah gatal lagi".
Xiang Wentian menunjuk ke atas seraya berkata, "Anjing-anjing itu belum pergi jauh, lebih baik kita tinggal di dasar jurang ini untuk beberapa hari. Adik, ketika barusan ini si hidung kerbau Emei itu menyerangmu dengan tenaga dalam, setelah aku membantumu dengan tenaga dalammu, tenaga dalam si hidung kerbau itu menjadi seperti apa?" Linghu Chong berkata, "Kakak sepertinya menarik tenaga dalam pendeta itu hingga masuk ke tanah". Xiang Wentian menepuk pahanya sambil berkata dengan girang, "Benar, benar sekali! Adik, kau memang cepat mengerti. Kungfu ini kuciptakan dengan tak sengaja, di dunia persilatan tak ada yang tahu tentang ilmu ini, yang kuberi nama 'Ilmu Kecil Penghisap Tenaga Ke Dalam Tanah' ". Linghu Chong berkata, "Nama itu adalah nama yang aneh". Xiang Wentian berkata, "Kungfu ini kalau dibandingkan dengan Ilmu Penghisap Bintang yang begitu mendengar namanya saja orang dunia persilatan menjadi pucat pasi, memang tak ada artinya, oleh karena itu kusebut 'ilmu kecil'. Kungfuku ini cuma seperti mencangkok batang tanaman saja, sebuah tipuan kecil dengan meminjam tenaga lawan, lalu menyalurkannya ke dalam tanah sehingga tak bisa mencelakai orang, namun aku sendiri tak mendapat faedah apapun darinya. Lagipula, kungfu ini hanya berguna kalau musuh menyerang dengan tenaga dalamnya, namun tak dapat digunakan untuk mengambil tenaga dalam lawan. Ketika musuh menyadari bahwa tenaga dalamnya mengalir keluar, mau tak mau ia akan menjadi pucat karena ketakutan, namun tak seberapa lama kemudian, tenaganya akan pulih kembali. Aku tahu bahwa mereka pasti akan kembali karena begitu si hidung kerbau dari Perguruan Emei itu tahu bahwa tenaganya telah pulih kembali, ia akan sadar bahwa Ilmu Kecil Penghisap Tenaga Ke Dalam Tanahku ini hanya tipuan belaka yang tak perlu ditakuti. Kakakmu ini tak pernah suka menipu orang seperti itu, oleh karena itu aku belum pernah memakainya".
Linghu Chong tersenyum, "Xiang Wentian tak pernah menipu orang, tapi hari ini demi adik, ia melanggar pantangannya sendiri". Xiang Wentian tertawa terkekeh-kekeh, "Bukan berarti aku tak pernah menipu orang, tapi aku tidak sudi menipu keroco seperti Pendeta Songwen dari Perguruan Emei itu. Kakakmu ini benar-benar tak suka menipu orang. Kalau mau menipu orang, harus untuk masalah yang penting, sesuatu yang dapat menguncang langit dan bumi, sesuatu yang akan diketahui semua orang".
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, walaupun mereka meredam suara tertawa mereka karena khawatir didengar oleh musuh di atas sana, namun gelak tawa mereka sungguh-sungguh riang.
Catatan Kaki Penerjemah
[1] Satu ren kira-kira sama dengan tujuh atau delapan chi.
[2] Ungkapan ini berasal dari kisah yang dicatat dalam Shi Ji (Catatan Sejarah) oleh Sima Qian: dalam pertempuran melawan pasukan Zhao, jenderal Dinasti Han yang bernama Han Xin menyuruh pasukannya untuk berbaris dengan memunggungi sungai. Karena di depan mereka ada pasukan Zhao yang perkasa dan tak ada jalan untuk mundur, para prajurit Han tak punya pilihan lain selain bertempur mati-matian. Walaupun pasukan Zhao jauh lebih besar dari pasukan Han, pasukan Han berhasil mengalahkan musuh. Ungkapan ini kemudian dipakai untuk mengambarkan tekad seseorang untuk bertarung sampai mati.
[3] 吸星大法 (Xixing Dafa) (Hokkian: Gip Sing Tay Hoat)