Novel Cersil To Liong To | Bab 5: Bu Tong Liok Hiap Menuntut Balas
V.
Saduran: Gan K.L.
Karya asli oleh Chin Yung (Jin Yong / Louis Cha).
Judul Inggris: Heavenly Sword and Dragon Slaying Sabre.
Judul lain: Jayanya Bu Tong Pay, Golok Pembunuh Naga.
-
<< To Liong To Bab 4 -- Halaman Indeks To Liong To -- Bab Selanjutnya >
Thio Jui-san berlari masuk ruangan membopong seseorang. |
To Liong To Bab 5
Bu-Tong-Liok Hiap Menuntut Balas
Mendengar jawaban itu seketika hati Toh Tay-kim terkesiap, katanya: "Keenam orang itu mengaku sebagai Bu-tong- liok-hiap, mereka muncul di tengah Bu-tong- san, dua diantaranya berpakaian Tosu, dengan sendirinya kami...."
Tiba-tiba Thio Jui-san menukas, "Meski guruku seorang imam, tapi ia hanya menerima murid preman. Apakah betul keenam orang itu mengaku sebagai 'Bu-tong-liok-hiap' (enam pendekar Bu-tong)?"
Ditanya demikian barulah Toh Tay-kim ingat, ketika bertemu keenam orang tadi dia sendirilah yang menganggap orang-orang itu sebagai Bu-tong-liok-hiap. Tapi sebaliknya mereka itu tidak pernah memperkenalkan diri. la tahu telah melakukan kesalahan, tapi malu untuk mengakuinya. Akhirnya antara Ciok dan Su-piauthau hanya saling berpandangan saja dengan Ciok dan Su-piauthau.
"Jika begitu berarti keenam orang tadi mungkin bermaksud tidak baik, mari segera kita kejar!" katanya kemudian. Ia segera melarikan kudanya ke arah Bu-tong-san lagi.
Thio Jui-san pun segera menghalau kudanya dan menyusul ke samping Toh Tay-kim. "Ke- enam orang itu hanya memalsukan nama, me- ngapa Toh-heng membiarkannya!" kata Jui- san.
"Tetapi or... orang itu," sahut Toh Tay-kim dengan napas memburu. "Kami diberi order agar mengantar seseorang kepada Thio-cinjin di atas Bu-tong-san... tapi... tapi keenam orang itu memalsu nama dan membawa pergi orang itu, mungkin bisa celaka urusannya..."
"Toh-heng mengantar siapa untuk Suhu- ku?" Jui-san bertanya. "Siapa yang dibawa pergi oleh keenam orang itu?"
Sambil menghalau kudanya supaya lebih cepat, Tay-kim menceritakan awal mula dia mendapatkan order mengantar seorang luka ke Bu-tong-san.
Jui-san menjadi heran, lalu bertanya: Siapakah orang yang terluka itu, namanya siapa dan umurnya berapa?"
"Akupun tak tahu namanya siapa, lukanya terlalu parah sehingga tak bisa bicara dan berkutik, hanya tinggal bernapas saja. Usianya kira-kira 30an tahun," kata Toh Tay-kim. Lalu iapun menjelaskan ciri-ciri wajah Ji Tay-giam,
Tentu saja Jui-san sangat terkejut, "Hah, itu- lah Ji-samko!" teriaknya. Meskipun agak gugup tapi ia mencoba menenangkan diri. Ketika ia mengulurkan tangan kirinya, tiba- tiba tali kendali kuda Toh Tay-kim ditariknya.
Kuda itu memang sedang berlari dengan cepat, tapi karena ditarik Thio Hui-san, tiba- tiba menjadi berhenti sehingga binatang itu mengeluarkan darah dari mulutnya. Kuda itupun meringkik, rupanya kesakitan.
Toh Tay-kim sendiri lalu melompat dan de- ngan cepat melolos goloknya. Dalam hati ia terkejut dan kagum, sungguh tak nyana pemuda yang bertubuh kurus lemah ini bisa mendadak menahan kudanya yang lagi lari kencang.
"Toh-toako jangan salah paham," Thio jui- san segera memberi penjelasan. "Jauh-jauh kau mengantar Ji-samko ke sini, Siaute merasa sangat berterima kasih, tidak ada maksud apa- apa."
Toh Tay-kim masih ragu-ragu. Ia masukkan kembali golok itu ke sarungnya, tetapi tangan- nya masih memegangi garan senjata itu.
"Bagaimanakah Ji-samko terluka? Siapakah yang melukainya? Lalu siapa yang menyuruh Toh-toako mengantarnya kemari? Kembali Jui- san menegas.
Dari tiga pertanyaan itu, tak satupun yang bisa dijawab Toh Tay-kim. Thio Jui-san menja- di heran dan mengerutkan kening. Tanyanya lagi, "Lalu bagaimana dengan keenam orang yang membawa pergi Ji-samko itu?" Sementara itu Su-piauthau sudah menyusul.
Karena ia lebih pandai bicara maka ia mewakili juragannya. "O, kalau begitu biarlah Siaute berangkat lebih dulu," kata Jui-san kemudian sambil memberi hormat lalu menghela kudanya secepat terbang.
Hubungan antara sesama saudara perguru- an Bu-tong-chit-hiap ibarat seperti saudara kandung sendiri. Maka demi mendengar sang Suheng ketiga terluka parah dan dibawa pergi oleh orang yang tidak jelas asal-usulnya, ia menjadi khawatir. Ia pun memacu kudanya dengan kencang. Biarpun umpamanya bina- tang itu nanti akan menggeletak mati keletih- an, rasanya ia pun tak peduli lagi. Maka tanpa berhenti ia telah sampai di Chau-tiam, sebuah persimpangan, yang satu menuju Bu-tong-san, jurusan lain ke arah timur laut sampai kota Inyang, Pikir Jui-san, jika keenam orang itu bermaksud baik antar Ji-samko ke atas gunung, tentu berpapasan di jalan ketika aku turun tadi." Maka dihelanya dengan cepat kuda itu untuk memburu ke arah timur laut.
Meski kuda itu cukup kuat berlari, akhirnya tak tahan juga, makin lama makin lambat, sedangkan petang hampir menjelang. Sekitar jalan pegununganpun sudah tidak ada orang lewat. Maka susah mencari kabar. Sembari menguber, Thio Jui-san pun terus berpikir Ilmu silat Ji-samko sangat tinggi, mengapa bisa dilukai orang begitu mudah? Kalau meli- hat sikap Toh tay-kim, tampaknya dia bukan orang yang suka berbohong!"
Ketika tiba di suatu tempat, tiba-tiba kudanya meringkik panjang lalu membelok ke suatu tanah kuburan. Jui-san tahu, tentu ada sesuatu yang luar biasa. Betul juga, ketika diawasinya, terlihat satu kereta besar ter jungkir di tengah alang-alang. Ketika didekati-nya, ternyata kepala keledai kereta itu pecah terbinasa di tanah..
Cepat Jui-san berlari ke pinggir kereta ter- balik itu dan melongok ke dalamnya tapi ter- nyata kosong. Ketika menengok ke samping, tiba-tiba dilihatnya di tengah alang-alang sana meringkuk seseorang yang tidak bergerak, seperti orang yang sudah mati beberapa saat.
Dengan hati berdebar-debar, Jui-san lari mendekatinya. Jika melihat perawakannya dari belakang, jelas itulah Sam-suhengnya, Ji Tay- giam. Ia pun segera mengangkat tubuh sang Suheng lalu diperiksanya. Di bawah cuaca yang sudah remang-remang itu terlihat kedua mata Tay-giam terpejam rapat. Wajahnya pucat bagai kertas, keadaannya sangat mengerikan. Hati Jui-san menjadi pilu, ia tempelkan wajah sang Suheng dengan pipinya. Jui-san pun agak gembira ketika badan Tay-giam masih terasa hangat, jantungnya pun masih berdetak meski sangat pelan dan tidak teratur..
"Sam... Samko, o, Samko, ba... bagaimana- kah kamu? Akulah Ngote... Ngotemu!" ratap- nya dengan linangan air mata.
nya, ternyata kepala keledai kereta itu pecah terbinasa di tanah..
Cepat Jui-san berlari ke pinggir kereta ter- balik itu dan melongok ke dalamnya tapi ter- nyata kosong. Ketika menengok ke samping, tiba-tiba dilihatnya di tengah alang-alang sana meringkuk seseorang yang tidak bergerak, seperti orang yang sudah mati beberapa saat.
Dengan hati berdebar-debar, Jui-san lari mendekatinya. Jika melihat perawakannya dari belakang, jelas itulah Sam-suhengnya, Ji Tay- giam. Ia pun segera mengangkat tubuh sang Suheng lalu diperiksanya. Di bawah cuaca yang sudah remang-remang itu terlihat kedua mata Tay-giam terpejam rapat. Wajahnya pucat bagai kertas, keadaannya sangat mengerikan. Hati Jui-san menjadi pilu, ia tempelkan wajah sang Suheng dengan pipinya. Jui-san pun agak gembira ketika badan Tay-giam masih terasa hangat, jantungnya pun masih berdetak meski sangat pelan dan tidak teratur..
"Sam... Samko, o, Samko, ba... bagaimana- kah kamu? Akulah Ngote... Ngotemu!" ratap- nya dengan linangan air mata.
Pelan-pelan ia bangunkan tubuh Ji Tay-giam, tapi kedua tangan dan kakinya ternyata lemas dan terkulai ke bawah. Rupanya tulang-tulang sendinya sudah remuk dan ruas-ruas tulang- nya pun mengeluarkan darah. Terang belum lama musuh turun tangan keji membantai Tay- giam. Betapa kejamnya musuh. Jui-san sangat tidak tega melihat keadaan Suheng-nya.
Sesaat api amarah Jui-san membakar da- danya. Matanya beringas seakan-akan pecah, ia tahu musuh pergi belum lama, jika ia kejar sekuatnya, tentu akan terkejar. Dalam gu- sarnya, ia ingin segera mengejar musuh. Tapi segera berpikir, nyawa Samko. Aku harus segera menolongnya. Lelaki sejati membalas dendam, sepuluh tahunpun belum terlambat. -Dan celakanya, sekarang ia tidak membawa senjata dan obat-obatan, padahal keadaan Ji Tay-giam sangat mengenaskan. Jika dile- takkan di atas kuda, bila terguncang, akan menambah penderitaannya. Segera Jui-san membopong tubuh sang Suheng dengan baik. Kemudian ia mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang hebat dan berlari kembali ke gunung. Kudanya mengikutinya dari belakang dengan perasaan heran mengapa sang majikan tidak menungganginya....
Hari itu di kuil Giok-hi-kiong di atas Bu- tong-san sedang diliputi suasana gembira karena hari ulang tahun ke 90 Thio Sam-hong, cikal bakal Bu-tong-pay. Sejak pagi-pagi sekali, enam muridnya sudah berdatangan untuk menyampaikan selamat pada gurunya, mulai dari yang tertua Song Wan-kiau. Tinggal muridnya yang ketiga yang belum datang, yakni Ji Tay-giam belum pulang dari tugasnya pergi ke Hokkian.
Thio sam-hong dan para muridnya sangat mengenal kecakapan Ji Tay-giam, lagipula penjahat di selatan yang harus dibunuhnya itupun bukan jago yang lihai. Maka ditaksir akan pulang tepat waktu. Tapi siapa sangka sampai petang begini belum juga tampak bayangan Ji Tay-giam..
Karena itulah semua orang menjadi tidak sabar dan Thio Jui-san tergerak untuk tu- run gunung menjemput sang Suheng. Namun ternyata kepergian Thio Jui-san pun sampai sesore ini belum tampak tanda-tanda kembali.
Sementara itu meja perjamuan di ruangan besar sudah disiapkan. Lilin yang sudah dinyalakan itu lambat laun tinggal separo, tapi orang-orang yang ditunggu masih belum kem- bali. Keruan saja hati semua orang menjadi tak enak. Murid keenam, In Li-hing dan murid ketujuh, Bok Seng-kok, menjadi bosan keluar masuk pintu kuil Giok-hi-kiong. Menanti pulangnya sang Suheng.
Sebagai seorang yang saleh, Thio sam-hong bisa tenang, tapi ia sangat tahu watak kedua muridnya yang belum kembali itu. Ji Tay-giam orangnya bisa dipercaya dan cekatan, Thio Jui- san pintar, cerdik, dan kerjanya cepat. Tidak suka bertele-tele. Tetapi telah ditunggu sampai petang mereka belum juga pulang. Tentu terja- di sesuatu diluar dugaan.
"Suhu," kata murid pertama Song Wan-kiau sembari tersenyum. "Mungkin Ji-samte dan Thio-ngote menemukan suatu ketidakadilan sehingga mereka bertindak hingga pulangnya menjadi terlambat. Suhu sering menasihati agar kita melakukan kebajikan. Hari ini eng- a berulang tahun dan kedua Sute telah me- kau lakukan hal yang mulia, maka bisa dianggap sebagai hadiah ulang tahun yang sangat bagus."
"Ehm, jika betul begitu memang sangat bagus," sahut Thio Sam-hong sambil meng- usap jenggotnya dan tertawa. "Ketika aku berulang tahun ke 80, kau menolong nyawa seorang janda. Hal itu sangat baik. Hanya se- tiap 10 tahun baru berbuat suatu kebajikan, rasanya agak terlalu lama."Begitulah guru murid-murid bersendau gurau. dan Lalu murid keempat, Thio Siong-khe juga ikut menyambung. "Paling sedikit Guru akan panjang umur sampai 200 tahun, dengan begi- tu meski setiap 10 tahun kita melakukan keba- jikan, kalau dijumlah seluruhnya sangatlah banyak."
Maka tertawalah murid ketujuh, Bok Seng- kok, katanya, "Ya, cuma khawatirnya kita sendirilah yang tak akan bisa hidup begitu lama..."
Belum habis mereka bersenda-gurau tiba- tiba Song Wan-kiau dan Ji Lian-ciu si murid kedua berlari ke serambi depan sambil berseru, "Apakah Samte yang pulang?"
Terdengar suara Thio Jui-san menyahut, "Bukan, tapi aku!"-Suaranya parau setengah terguguk-guguk. Tampak ia membopong sese- orang dan berlari masuk dengan cepat. Mukanya penuh noda darah bercampur keringat. Di depan Thio Sam-hong ia berlutut sambil menangis sedih, katanya dengan tidak lancar, "Su... Suhu, Ji... Ji-samko telah dice- lakai orang..."
Keruan semua orang menjadi terkejut, tiba- tiba tubuh Thio Jui-san menggeliat dan roboh ke belakang. Karena telah berlari jauh dan hatinya berduka, maka akhirnya ia tak tahan. Setelah bertemu dengan sang Guru dan saudara-saudara seperguruannya, ia pun jatuh pingsan.
Song Wan-kiau dan Ji Lian-ciu adalah orang yang luas pengetahuannya. Meski meng hadapi peristiwa gempar, sedikitpun tidak gugup. Ia tahu pingsannya Thio Jui-san itu hanya karena pukulan hatinya, ditambah ter- lalu letih. Sebaliknya mati hidupnya Ji Tay- giam belum ketahuan. Segera keduanya maju berbareng membangunkan Tay-giam. Maka tampaklah sang Sute itu napasnya sangat lemah.
Melihat keadaan murid kesayangannya itu sedemikian rupa, hati Thio Sam-hong tergun- cang juga. Tanpa bertanya lagi ia berlari ke kamarnya mengambil sebotol "Pek-hou-toh-beng-tan", pil perebut nyawa. Sebenarnya botol itu di lak rapat, tapi ia tak sabar lagi. Dengan kedua jarinya ia pencet hingga mulut botol itu remuk. Ia keluarkan tiga pil putih dan dijejalkan ke mulut Ji Tay-giam. Tapi karena Ji Tay-giam tidak sadar, maka ia tidak mampu menelannya.
Segera Thio Sam-hong memijat-mijat pelipis Tay-giam berulang-ulang. Dengan Lwekang Thio Sam-hong yang tinggi biasanya orang akan segera siuman kembali meski hampir mati sekalipun. Namun meski sudah agak lama mulut Tay-giam tetap terkatup rapat tanpa bergerak.
Thio Sam-hong menghela napas panjang perlahan. Segera ia gunakan ibu jarinya untuk menahan tulang rahang Tay-giam sembari jari telunjuknya digunakan untuk memijat-mijat. Akhirnya mulut Tay-giam mangap sedikit dan pil itu masuk ke tenggorokannya. Melihat itu, saking leganya, sampai In Li-hing dan Bok Seng-kok menghela napas lega.
Karena dagingnya sudah kaku, pil itu tidak masuk ke perut. Dengan cepat Thio Siong-khe-murid Sam-hong keempat memijat urat lehernya dan menotok jalan darah yang berhubungan dengan tulang sendi yang ter- luka. Hal ini dilakukan agar jika Tay-giam sadar tidak akan pingsan lagi karena kesakitan.
Sejak Song Wan-kiau dan Ji Lian-ciu masuk perguruan, mereka belum pernah melihat sang guru gugup dalam menghadapi per- soalan, betapapun besarnya. Tapi sekarang ke- dua tangan sang guru tampak gemetar, sinar matanya menunjukkan rasa khawatir. Maka tahu mereka, tentu luka Song Sute sesungguh- nya sangat berbahaya.
Tidak lama kemudian Thio Jui-san siuman, ia lalu berseru, "Suhu, apakah Ji-samko dapat tertolong?"
Namun Thi Sam-hong tidak menjawabnya. Hanya berkata, "Jui-san, di dunia ini siapa orang yang tidak mati?"
Dan pada saat itulah terdengar suara ribut- ribut, seorang pembantu masuk sambil mela- por, "Di luar kuil ada serombongan Piaukhek (pengusaha pengawalan) ingin bertemu Co-suya, katanya Toh Tay-kim dari Liong-bun Piaukiok di Lim-an-hu."
Seketika Thio Jui-san melompat bangun dengan gusar "Keparat inilah!" bentaknya terus memburu keluar. Kemudian terdengar suara gemerantang beberapa kali, ternyata suara jatuhnya senjata di luar.
Ketika In Li-hing dan Bok Seng-kok bermak- sud keluar membantu sang Suheng, tiba-tiba Thio Jui-san sudah masuk kembali sembari ta- ngannya mencengkeram punggung seorang laki-laki terus dibantingnya ke lantai. Katanya, "Keparat inilah yang bikin runyam semua urusan!"
Mendengar perkataan Jui-san, In Li-hing yang berwatak paling berangasan segera mengayunkan kakinya untuk menendang tubuh Toh Tay-kim.
Song Wan-kiau mencegahnya sambil berka- ta, "Nanti dulu Liok-te (adik keenam)!"
Sementara itu di luar terdengar suara orang berteriak, "Hai Bu-tong-pay, kamu tahu aturan atau tidak? Kami datang kemari dengan mak- sud baik, mengapa kami kau hina?"
Song Wan-kiau menjadi ragu-ragu, ia mengerutkan kening lalu segera menepuk punggung Toh Tay-kim beberapa kali untuk melepaskan jalan darah yang ditotok Thio Jui- san tadi. Lalu serunya, "Para tamu di luar tak perlu ribut, silakan tunggu sebentar, siapa yang benar atau salah akan segera ketahuan."
Kata-katanya ini diucapkan dengan tenaga Lwekang yang tinggi, sehingga membuat nyali Ciok dan Su-piauthau mengkeret. Me- reka sangka Thio Sam-honglah yang membentak, dan mereka tidak berani berteriak lagi.
"Ngo-te," kata Wan-kiau kemudian. "Bagai- manakah Samte sampai terluka begini, tolong ceritakan pelan-pelan, tidak usah terburu- buru."
Dengan sengit Thio Jui-san memandangi Toh Tay-kim sekejap, kemudian barulah ia menuturkan apa yang didengarnya dari Toh Tay-kim. Song Wan-kiau menduga, dengan kepandaian yang dimiliki Toh Tay-kim ini tentu tidak bermaksud mencelakai Ji Tay- giam. Lebih-lebih ia berani datang ke Bu-tong- san untuk bertemu dengan suhu, tentu karena dia tidak pernah merasa bersalah. Setelah Jui- san bercerita, dengan ramah ia bertanya ten- tang pengalaman Toh Tay-kim selama sepuluh hari perjalanan ini.
Lalu Toh Tay-kim pun menceritakan kejadi- an yang sebenarnya. Dengan perasaan sedih ia berkata, "Song-tayhiap, maafkan aku kerena tidak becus bekerja hingga Ji-samhiap meng- alami malapetaka. Seandainya aku harus matipun tak akan menyesal. Kamipun saat ini tidak tahu bagaimana nasib keluarga di Lim- an."
Sejak tadi Thio Sam-hong menggunakan telapak tangannya menempel "Sin-cong-hiat" dan "Leng-tai-hiat" dari telapak tangannya ke tubuh Ji-samhiap. Ia menyalurkan tenaga dalamnya yang hangat ke tubuh sang murid. Ketika mendengar ucapan Toh Tay-kim itu, tiba-tiba ia membuka suara, "Lian-ciu, kau bawa serta Seng-kok dan sekarang juga berangkatlah ke Lim-an untuk melindungi keluarga Liong-bun Piau-kiok.
Untuk sesaat Ji Lian-jiu tertegun, tapi segera mengerti maksud baik Suhunya yang mulia. Ia tadi sudah mendengar bahwa tamu she In mengatakan bila terjadi sesuatu atas barang antaran, maka seluruh isi Ling-bun Piaukiok sebanyak 71 jiwa akan dibunuhnya semua, sampai anjing dan ayamnya tanpa kecuali. Meskipun hanya gertakan, tapi Toh Tay-kim dan kerabatnya yang berkepandaian tinggi sudah keluar semua. Jika benar-benar terjadi malapetaka di rumah, tidak ada orang yang bisa melindunginya.
"Suhu," tiba-tiba Jui-san berkata, "orang she Toh ini terlalu ceroboh, Samsuko telah berkor- ban seperti ini dan kita tidak akan menyalah- kannya, mengapa masih harus pergi melin- dungi keluarganya?"
Namun Thio Sam-hong hanya mengge- lengkan kepala tidak menyahut.
"Ngo-te," kata Song Wan-kiau, "mengapa pikiranmu sangat sempit? Jauh-jauh Toh- ciongpiauthau datang kemari tujuannya untuk siapa?"
"Untuk siapa? Hm, bukankah karena ge- merlapnya 2000 keping emas yang menyi- laukannya?" sahut Jui-san menyindir.
Mendengar perkataan Jui-san itu, seketika wajah Toh Tay-kim menjadi merah padam. Tapi jika dipikir benar juga, ia menerima tugas itu juga disebabkan honorarium yang besar itu.
Bersamaan waktu itu Song Wan-kiau lang- sung membentak. "Ngote, kamu harus sopan terhadap tamu. Jika kamu lelah, sebaiknya isti- rahat saja!"
Sebagai Suheng yang paling tua, wibawa Song Wan-kiau, baik ilmu silat maupun usianya, sangat diindahkan oleh adik-adik perguruannya yang lain. Maka dengan ben- takan itu, Thio Jui-san tidak berani bersuara lagi. Jui-san sangat mengkhawatirkan keadaan Ji Tay-giam, maka ia pun tak pergi istirahat.
"Ji-te," kata Wan-kian, "Suhu sudah mem- berikan perintah, maka segeralah kamu dan Chit-te berangkat sekarang juga, jangan ditun- da lagi."
"Maka Ji Lian-cin dan Bok Seng-kok mene- rima dengan baik perintah itu, merekapun berkemas-kemas lalu berangkat.
Melihat kedua murid Bu-tong itu hendak be rangkat ke Lim-an untuk melindungi anggota keluarga, Toh Tay-kim menjadi sangat terharu lalu katanya, "Thio-cinjin, Wanpwe tidak tega menyusahkan pendekar Ji dan Bok berdua, biarlah Wanpwe mohon diri sekarang juga."
"Malam ini kalian menginap di sini saja, kami masih butuh sedikit penjelasan," sahut Song Wan-kiau. Walaupun ucapannya ramah dan sopan tapi tampak berwibawa sekali. Maka Toh Tay-kim tidak berani membantah- nya dan tetap duduk di tempatnya sambil menyaksikan keberangkatan Ji Lian-ciu dan Bok Seng-kok.
Sebelum berangkat, Ji Lian-ciu dan Bok Seng-kok sempat memandangi Ji Tay-giam agak lama. Pandangan kedua pendekar itu begitu berat. Mereka tidak tahu apakah keper- gian mereka kali ini nanti dapat berjumpa kembali dengan Ji Tay-giam. Ataukah ini per- jumpaan yang terakhir kali?
Ruangan itu menjadi sunyi senyap, hanya suara pernapasan Thio Sam-hong yang terde- ngar berat, di atas kepalanya mengepul se- macam uap. Beberapa saat kemudian Ji Tay- giam menjerit sangat keras sehingga Toh Tay-kim kaget. Dipandangnya Thio Sam-hong, wajah imam tua itu tidak menunjukkan rasa suka ataupun duka. Suara jeritan Ji Tay-giam susah diterka, bakal selamat atau mati.
"Siong-khe, Li-hing, kalian gotong Samko ke dalam kamar saja," kata Thio Sam-hong kemudian.
Kedua murid itu melaksanakan perintah gurunya dengan baik. Sesudah keluar dari kamar In Li-hing segera bertanya, "Suhu apakah ilmu silat Samko akan pulih seluruh- nya?"
Namun Thio Sam-hong tidak segera men- jawab pertanyaan itu, ia hanya mengela napas panjang. Selang beberapa saat ia berkata, "Untuk bisa menyelamatkan nyawanya harus menunggu satu bulan lagi. Tulang sendi ta- ngan dan kakinya sudah patah, rasanya tak mungkin disambung lagi. Hidupnya ini...,"- sampai disini, imam tua itu tak sanggup meneruskan kata-katanya lagi. Ia hanya menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba In Li-hing menangis terguguk Meskipun ilmu silatnya sudah mencapai tingkat satu, tapi hatinya lemah. Ada per- soalan sedikit saja lantas mengeluarkan air mata.
Mendadak Thio Jui-san melompat bangun dan "plak" tiba-tiba Toh Tay-kim sudah ditam- parnya. Cara menghajarnya ini secepat kilat. Tay-kim tidak sempat menghindar.
Rasa gusar Thio Jui-san belum reda, sikut kirinya menekuk, terus disodokkan ke ping- gang Toh Tay-kim. Serangannya luar biasa cepatnya. Untunglah Thio Siong-khe cepat- cepat mendorong pundak Thio Jui-san sehing- ga sikutan itu mengenai tempat kosong. Kesempatan ini digunakan Toh Tay-kim untuk melompat ke belakang. Tiba-tiba terdengar bunyi "cring" yang nyaring, sebuah lantakan emas terjatuh dari bajunya.
Dengan cepat Jui-san menyambar lantakan emas itu, lalu ia berkata menyindir, "Hm... manusia serakah, orang menghadiahimu sekeping emas lalu Ji-samko kau serahkan sebagai penggantinya...." Sampai di sini tiba- tiba ia heran, sambil memandangi bekas 10 jari di atas lantakan emas itu, ia berkata lagi, "He,
Toasuko, bu... bukankah ini ilmu 'Kim- kong-ci' (jari bertenaga raksasa) dari Siau-lim- pay?"
Song Wan-kiau mengambil lantakan emas itu, setelah diperiksa sebentar kemudian dise- rahkan pada sang Guru. Thio sam-hong pun membolak-balik lantakan emas itu berulang kali. Ia saling pandang dengan Song Wan-kiau tapi tidak bicara.
"Suhu," seru Thio Jui-san tidak sabar, "bukankah ini ilmu Kim-kong-ci kaum Siau- lim-pay? Di dunia ini rasanya tidak ada ilmu silat lain yang melebihinya? Betul tidak?"
Thio Sam-hong masih tidak menjawab. Saat itu ia menjadi ingat waktu mudanya dulu ia pernah menjadi kaki tangan Kak-wan Siansu di Siau-lim-si, dimana ia pernah dikalahkan oleh Ho Ciokto yang bergelar Kun-lum-sam- seng. Kemudian dikejar-kejar prajurit Siau- lim-si hingga lari ke Bu-tong-san ini. Semua kejadian masa silam itu sekilas terbayang di matanya.
Jika ia perhatikan bekas jari di atas lantakan emas itu memang tepat apa yang dikatakan Thio Jui-san, tidak ada cabang persilatan lain yang memiliki kepandaian seperti ilmu Kim- kong-ci. Tapi jika ia katakan hal itu secara terus terang, pasti murid-muridnya tidak akan mau menerima begitu saja. Dan jika itu terjadi, pasti murid-muridnya akan menuntut balas pada orang Siau-lim-pay sehingga akan menim- bulkan permusuhan di antara dua aliran persi- latan. Pasti akan menimbulkan gelombang malapetaka yang hebat.
Betapa cerdiknya Thio Jui-san ketika melihat sang Guru diam saja. Maka kembali ia mendesak, "Suhu, apakah di kalangan Bu-lim ada orang lain yang sanggup berlatih diri ilmu Kim-kong-ci-lik seperti ini?" "Tidak mungkin," sahut Thio Sam-hong sambil menggelengkan kepala perlahan. "Ini adalah kepandaian tunggal Siau-lim-si, hasil jerih payah selama ribuan tahun baru bisa mencapai ilmu lihai ini, sekalipun ada orang lain yang kepandaiannya setinggi langit, tidak mungkin menciptakan ilmu begitu saja."
Tiba-tiba mata Song Wan-kiau memancar- kan sinar aneh, katanya: "He, tulang sendi Samte mungkin sudah diremukkan oleh tenaga Kim-kong-ci itu."
Mendengar itu, kembali In Li-hing bersuara pilu dan hendak menangis. Tapi rasanya yang paling kaget ketika mendengar orang yang melukai Ji Tay-giam adalah murid Siau-lim- pay ialah Toh-Tay-kim, hingga mulutnya ternganga. Selang beberapa saat barulah ia bersuara. "A... agaknya tidak mungkin,
belasan tahun aku belajar silat di Siau-lim- tapi tidak pernah melihat orang itu." Namun Song Aan-kiau tak menghiraukan- Katanya, "Liok-te, hantarkan Toh-congpi- authau dan kawan-kawannya istirahat di kamar belakang, layanilah dengan baik, jangan sembrono!"
Maka In Li-hing membawa rombongan Toh tay-kim ke belakang. Sebetulnya Toh Tay-kim masih ingin mendebat pendapat itu. Tapi melihat keadaan yang seperti itu, ia sendiri tidak sanggup bicara.
Sesudah mengatur tempat untuk tinggal para Piausu itu kemudian Li-hing mendatangi kamar Ji Tay-giam. Ia melihat sang Suheng seperti orang gila yang tidak ingat apa-apa lagi. Berbeda sekali dengan sikapnya yang gagah perkasa, hatinya menjadi pilu. Sesudah memanggil "Samko" sekali, ia menutupi muka- nya dan berlari keluar. Sampai di ruangan depan ia melihat Song Wan-kiau dan lain-lain duduk di samping sang Guru. Maka iapun duduk menurut urutannya, di samping Thio Jui-san.
Waktu itu Thio Sam-hong sedang termangu- mangu memandang ke luar. Setelah agak lama barulah ia berkata, "Masalah ini sungguh sulit. Bagaimana pendapatmu Siong-khe?"
Rupanya di antara tujuh murid Bu-tong-pay itu, murid keempat Thio Sing-khe terkenal pa- ling cerdik dan banyak akal. Orangnya pendi- am, tapi pandai bekerja. Menghadapi Ji Tay- giam ini, meskipun hatinya juga sangat sedih tapi ia terus memikirkan sebab apa bisa terjadi malapetaka itu. Mendengar pertanyaan sang guru, dengan cepat dia menjawab, "Menurut pendapat murid, pokok persoalan ini bukan- lah Siau-lim-pay, tapi golok pusaka To-Liong- To itu."
Thio Jui-san dan In Li-hing heran mende- ngar pendapat itu, sedangkan Song Wan-kian lantas menanggapinya. "Si-te (adik keempat), kamu tentu sudah memikirkan masalah ini secara rinci, cepatlah katakan supaya diper- timbangkan Suhu lagi."
"Tindak tanduk Ji-samko cukup hati-hati, terhadap orang juga bersahabat, rasanya tidak mungkin bermusuhan dengan orang," kata Siong khe kemudian. "Lagipula penjahat yang dibunuhnya di selatan itu juga hanya kelas rendahan yang tidak terpuji di mata orang Bu- lim, tidak mungkin Siau-lim-pay membela orang itu dan mencelakai Ji-samko."
Thio Sam-hong menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan pendapat sang murid. Maka Siong-khe pun melanjutkan, "Otot tulang sendi Ji-samko yang putus itu hanyalah luka luar, tapi ketika di Lim-an-hu itu ia sudah terkena racun. Maka menurut Tecu, pertama kita harus menyelidiki ke Lim-an, mengapa Ji- samko keracunan dan siapa yang mera- cuninya?"
"Betul," ujar Thio Sam-hong sambil meng- angguk, "racun di tubuh Tay-giam memang luar biasa aneh, sampai sekarang akupun tidak tahu racun apakah yang mengenai tubuhnya itu. Di telapak tangan kanan Tay- giam terdapat tujuh lubang kecil, di paha dan dada ada juga bekas lubang jarum yang lem- but. Di kalangan Kangouw, aku belum pernah mendengar ada seorang jagoan yang menggu- nakan am-gi yang begitu keji."
"Ya, hal ini memang sangat aneh," timbrung Song wan-kiau. "Umumnya, orang yang mampu menyambitkan am-gi sehalus itu hingga Sam-te tidak mampu berkelit tentulah seorang dengan ilmu sangat tinggi. Tapi mungkinkah seorang jagoan terkenal bisa menggunakan am-gi beracun?" Saat itu semua orang menjadi bungkam, tak ada yang berbicara. Mereka berpikir-pikir dalam hati, siapakah sebenarnya dan tokoh aliran manakah yang memakai am-gi atau sen- jata gelap sekeji itu? Meskipun mereka sudah berpikir, tapi mereka hanya bisa saling memandang saja dan tidak mengerti siapakah gerangan orang itu.
"Mengapa orang yang mukanya bertahi lalat besar itu sampai meremukkan tulang sendi Ji-samko? Jika ia bermusuhan sekali gablok ia bisa membunuh Samko. Bila ingin menyiksanya, mengapa tidak mematahkan tulang punggungnya?" ujar Thio Siong-khe. "Hal ini cukup jelas, sebab ia menginginkan pengakuan Samko. Lalu apakah yang tanyakan itu? Menurut dugaan Te-cu, tentu masalah To-liong-to. Menurut cerita Toh Tay-kim, katanya di antara enam orang itu ada yang bertanya: "To-Liong-To berada di mana?"
"Ucapan Si-ko sangat tepat," kata Thio Jui- san sambil berdiri. "Jahanam yang melukai Samko itu pasti berada di sekitar Kanglam, kita harus segera pergi mencarinya. Lagipula keparat dari Siau-lim-pay itupun telalu keji, kita tak akan mengampuni dia."
"Wan-kiau," kata Thio sam-hong pada muridnya yang tertua itu. "Menurutmu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Suhu, masalah ini tidak melulu membalaskan dendam Samte saja, tapi juga sangat berkaitan dengan martabat golongan kita, jika kita salah bertindak sedikit saja, mungkin akan menimbulkan drama Bu-lim yang tidak di-inginkan, maka kami menunggu petunjuk Suhu."
"Baiklah," kata Thio Sam-hong. "Kamu dan Siong-khe serta Li-hing membawa suratku ke Siau-lim-si di Ko-san. Kamu harus bertemu dengan ketuanya, Hong-hoat Siansu dan memberitahukan kejadian ini lalu minta petunjuknya. Kita tidak perlu ikut campur masalah ini, peraturan Siau-lim-pay sendiri cukup keras, pasti Hong-hoat Losiansu akan bertindak secara adil."
Ketiga murid itupun menuruti perintah sang Suhu. Pikir Sing-khe, jika hanya mengi- rim surat, Lioksute saja yang pergi sudah cukup, tapi Suhu menyuruh Toasuko dan aku juga pergi, tentu punya arti yang luas, mung- kin untuk menjaga bila Saiu-lim-pay tidak mau mengaku salah karena membela anak muridnya, maka kami diminta bertindak."
Benar juga, segera Thio sam-hong berpesan, "Hubungan kita dengan Siau-lim-pay me- mang agak ganjil. Aku adalah murid pelarian dari Siau-lim-si. Selama ini mungkin aku tidak disinggung-singgung karena usiaku sudah lanjut, namun hubungan antara kedua go- longan masih tetap saja tegang."--Sampai di sini ia tersenyum, lalu menyambung, "Setiba di Siau-lim-si, sudah sewajarnya kalian meng- hormati ketua mereka Hong-hoat Siansu, tapi juga tidak perlu merendahkan martabat kita sendiri."
Mereka bertiga mengiakan perkataan sang Suhu. "Dan kau, Jui-san," kata Thio sam-hong pula sambil berpaling pada muridnya yang kelima itu, "besok kamu berangkat ke Kang- lam, selidikilah kedaan di sana, semuanya harus menurut perintah Jisuko!"
Thio Jui-san menerima perintah itu dengan baik.
"Arak ulang tahun malam ini tidak perlu kita minum lagi," ujar Thio sam-hong. "Biar- lah sebulan lagi kita berkumpul di sini, jika Tay-giam tidak bisa sembuh, paling tidak para saudara seperguruan dapat melihatnya sekali lagi untuk yang terakhir kali."
Sambil berkata demikian, ia sendiri merasa terharu. Sungguh tidak disangka, selama pu- luhan tahun nama Bu-tong-pay telah menggon- cangkan dunia persilatan. Tapi sampai di usia- nya yang ke 90, murid kesayangannya ternyata mengalami malapetaka. Karena sangat terharu, In Li-hing menangis terguguk-guguk.
"Sudahlah, kalian pergi tidur semua," kata Thio sam-hong.
Song Wan-kiau sebetulnya masih ingin bicara banyak tapi tentu akan menambah rasa sedih mereka saja. Maka bersama-sama para Sute masing-masing kembali ke kamar senz
Di antara para saudara perguruan itu, hubungan Thio Jui-san dengan Ji Tay-giam dan In Li-hing sangat erat. Maka Jui-sanlah yang paling sedih dan marah dengan kejadian itu. Sesudah bolak-balik di tempat tidur tetap saja tidak bisa tidur, maka diam-diam ia ba- ngun kembali. Ia bermaksud mendatangi kamar Toh Tay-kim untuk menghajar Piauthau itu yang menimbulkan gara-gara dan buat melampiaskan dendamnya.
Karena khawatir Toasuheng dan Sisuheng akan mencegahnya, maka Jui-san tidak berani menerbitkan suara. Dengan berjinjit-jinjit ia keluar dari kamarnya. Ketika sampai di pase- ban, tiba-tiba dilihatnya ada seseorang sedang berjalan mondar-mandir di ruangan itu de- ngan menggendong tangan. Dalam keadaan gelap dan remang-remang, Jui-san melihat orang itu tinggi, berpundak lebar, tindakannya mantap, jelas itulah gurunya. Cepat-cepat ia sembunyi di balik sebuah tiang. Ia menjadi serba salah karena jika ia kembali ke kamarnyapun akan diketahui juga oleh sang Guru. Maka ia mencoba untuk diam saja.
Tiba-tiba dilihatnya Thio Sam-hong mengulurkan tangan kanannya ke atas serta mencorat-coret seperti orang menulis. Diam-diam Jui-san heran, tidak seperti biasanya sang Guru berlaku demikian.
Setelah mencorat-coret beberapa kali di udara, terdengar Thio Sam-hong menghela napas panjang. Ia berjalan ke pelataran dan merenung sejenak. Kemudian ia mengulurkan jarinya dan corat-coret sekali lagi. Kali ini gaya tulisannya sudah lain, ketika Jui-san meng- ikuti jalannya jari sang Guru ia melihat huruf- huruf yang ditulis itu ada 24 huruf, yaitu "Bu- lim-ci-cun, po-to-to-liong. Hau-ling-thian-he. Bok-kam-put-ciong. Ih-thian-put-jut, su-ih- ceng-hong?" yang artinya "Yang teragung di dunia persilatan, golok pusaka To-Liong. Memerintah di seluruh dunia, siapa berani melawannya. Ih-thian tidak keluar, siapa bisa menandinginya?" Seperti apa yang dikatakan tadi siang. Mungkin sang Guru sedang menye- lami arti ke 24 huruf itu untuk mencari sebab mengapa Ji Tay-giam terluka parah? Apakah kejadian itu ada hubungannya dengan Ih- thian-kiam dan To-Liong-To, kedua senjata sakti yang dibuat dongengan itu?
Ternyata Thio Sam-hong terus menulis, hingga ke 24 huruf diulangnya berkali-kali; goresan jarinya pun makin lama makin pan- jang. Gerakannya bertambah lambat, sampai akhirnya tampak mirip sekali dengan orang yang sedang bersilat.
Girang dan terkejut Thio Jui-san sesudah memperhatikan gerak-gerik sang guru. Terang sekali ke 24 huruf yang ditulis Suhu itu mengandung sejurus ilmu silat yang sangat tinggi. Setiap huruf ada beberapa gerakan dan tiap gerakan ada beberapa perubahan lagi.
Beberapa waktu terakhir ini Thio Sam-hong jarang sekali memperlihatkan ilmu silatnya. Dua muridnya yang buncit, yaitu In Li-hing dan Bok Seng-kok malah mendapatkan pela- jaran dari Song Wan-kiau dan Ji Lian-ciu seba- gai wakil sang Guru. Maka bisa dikatakan meski Thio Jui-san adalah murid kelima, tetapi praktiknya adalah murid terakhir yang mendapatkan pelajaran langsung dari sang Guru.