Cerita Cinta Segiempat Mei Chaofeng dan si sesat timur Huang Yaoshi
Huang Yaoshi, master of peach blossom island |
Murid pulau persik latihan |
Pada edisi ketiga (revisi terakhir) dari novel cerita silat Pendekar Pemanah Rajawali (the legend of the condor heroes), Jin Yong melakukan penambahan cerita tentang masa muda Mei Chaofeng. Jika di edisi kedua hanya dibahas beberapa paragraf singkat, kali ini menjadi beberapa halaman.
Jika kalian membaca versi ebook, maka tidak akan ada bagian ini, karena itu adalah versi lama (edisi satu) tahun 1950-an.
Salah satu penambahan ceritanya adalah bahwa Huang Yaoshi memiliki perasaan cinta terhadap muridnya, Mei Chaofeng. Hal ini berefek pada situasi yang lebih complicated (rumit). Saya lihat penambahan cerita ini kurang disukai oleh para pembaca, tapi ya namanya juga karangan Jin Yong, jadi dia punya hak untuk itu.
Revisi cerita ini mungkin juga yang meng-ilhami adaptasi film the Legend of the Condor Heroes: 9-Yin Bone Claw (alias The Legend of the Condor Heroes: The Cadaverous Claw) yang menceritakan kehidupan murid-murid pulau persik disaat muda. Saya sendiri ga nonton adaptasi film itu, jadi kurang tahu seperti apa. Tapi yang saya dengar ceritanya banyak melenceng (namanya juga adaptasi film, pasti banyak ditambah bumbu-bumbu).
Legend of the Condor Heroes 2021: The Cadaverous Claw |
catatan: Gambar hanya sebagai "pemanis". Sumber gambar: Tencent Video WeTV
Bagian paragraf yang menceritakan ini, secara total pernah diterjemahkan oleh empat orang, jadi kita sebut empat versi, dua versi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Robi Wijaya, dan Grace Tjan. Sedangkan dua versi Inggris diterjemahkan oleh Athena, dan Anna Holmwood.
Yang saya ambil disini adalah versi Robi Wijaya, cetakan Gramedia tahun 2014. Jadi saya hanya mencantum sepenggal karena alasan copyright, anggap sample gitu, jika ingin membaca lebih detail dan lengkap, silahkan beli bukunya di toko buku Gramedia ataupun pesan online di marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Shopee, dan lainnya. Kualitas terjemahannya bagus, wajib di koleksi.
Masa Muda Mei Chaofeng
Pertama, mari kita melakukan pengenalan beberapa tokoh yang muncul atau ada disebut namanya dalam novel bagian cerita ini.
Tokoh dan Murid Pulau Persik
- Huang Yaoshi (oey yok su), si sesat timur, pemilik dan ketua pulau persik
- Qu Lingfeng, murid pertama yang sudah menikah, ahli sastra juga.
- Chen Xuanfeng, murid kedua
- Mei Chaofeng, murid ketiga (tingkatan murid berdasarkan umur, biarpun Mei Chaofeng terakhir masuk, tapi menjadi kakak seperguruan dibanding ketiga lainnya)
- Lu Chengfeng, murid keempat
- Wu Gangfeng, murid kelima
- Feng Mofeng, murid keenam
Tokoh Flasback yang ada disebut
- Ouyang Xiu: Seorang negarawan dan penyair lagu utara yang terkenal dan dihormati (1007 - 1072 M)
- Zhu Dunru, nama kehormatan Xizhen, seorang penyair dan pejabat kekaisaran terkenal selama dinasti Song Utara dan Selatan. Hidup di sekitaran waktu Yue Fei.
- Guru Liu dalam puisi itu mengacu pada Liu Yuxi. Liu Yuxi adalah seorang penyair Dinasti Tang yang terkenal. (772 - 842 M).
Revisi edisi 2 ke 3
- umur Huang Rong dari 1 tahun (edisi 2) menjadi 2 tahun (edisi 3), saat Mei Chaofeng pertama kali melihatnya di pulau persik.
- penambahan cerita cinta segiempat, dan kisah masa muda, dan pengusiran murid dari pulau persik yang lebih panjang.
- penjelasan lebih tentang ilmu 9-yin dan proses pembelajaran
catatan:
cerita ini muncul pada bagian Mei Chaofeng yang menuturkan, dan mengenang kejadian masa lampau. Ada pada buku pertama chapter 10.
---
Rambutnya jatuh tergerai, kepalanya menengadah kelangit. Jika dia dapat melihat, dilangit tampak bintang-bintang, tetapi saat itu ia hanya melihat kegelapan. Dia ingin berdiri, tapi setengah bagian bawah tubuhnya kehilangan tenaga.
Ini tentu karena tenaga dalamku bercabang, pikir Mei Chaofeng. Jika mendapat sedikit saja petunjuk dari Guru, aku akan sembuh. Di Mongolia, ketika bertemu 7 Murid Quanzhen, Ma Yu hanya mengajariku satu kalimat tenaga dalam, kemudian aku menanyakan lagi hal yang penting, tapi dia tidak mau mengatakannya. Jika saat ini Guru ada di sampingku, bertanya seribu kalimat, sepuluh ribu kalimat pun, ia pasti akan mengajariku. Guru... guru.., jika aku menggoyang-goyangkan tanganmu lagi, apa kau masih.. masih bersedia mengajariku?
Dalam sekejap perasaan senangnya meluap. Lapis demi lapis kenangan muncul dalam benaknya.
Sebenarnya, aku gadis yang polos dan tidak berdosa, senang bermain sehari-harian. Ayah dan Ibu mencintaiku. Saat itu namaku Mei Ruohua. Malang, Ayah dan Ibu meninggal berturut-turut, kemudian paman dan bibiku memeliharaku. Waktu aku berumur sebelas tahun, mereka menjualku seharga lima puluh tail perak untuk menjadi pelayan di keluarga kaya. Itu keluarga Jiang di desa Shangyu. Tuan Jiang cukup baik kepada-ku, tetapi Nyonya Jiang kejam.
Waktu berumur 12 tahun, aku mencuci di tepi sumur. Tuan Jiang datang mendekat, membelai-belai wajahku sambil tertawa. "Nona kecil, makin lama kau makin dewasa, tidak sampai umur enam belas tahun, pasti sudah jadi wanita cantik." Aku memalingkan wajah tak memperdulikannya. Dia mengulurkan tangan meraba-raba dadaku. Aku marah dan menyingkirkan tangannya. Di tanganku ada busa sabun, dan janggut Tuan Jiang terkena busa. Aku merasa itu lucu. Waktu aku tertawa, kepalaku sakit dipukul tongkat. Aku hampir pingsan. Nyonya Jiang memakiku, "Pelacur! kecil-kecil sudah merayu laki-laki, sudah besar pasti menjadi-jadi."
Sambil memaki, ia memukuliku. Tongkat itu mengenai kepalaku. Aku berbalik dan lari. Nyonya Jiang mengejar, menjambak rambutku, dan menarikku ke belakang. Ia memukuli wajahku dan memaki, "Pelacur cilik, kuhancurkan wajahmu, kucungkil matamu, lihat apa kau masih bisa jadi perayu!" . Ia sudah akan mencungkil mataku. Aku ketakutan dan berteriak, mendorongnya hingga ia jatuh dan terduduk. Perempuan jahat itu makin marah, lalu menyuruh tiga pelayan menangkap kaki dan tanganku, menyeret dan membawaku ke dapur. Ia memanaskan tang api di tungku hingga merah, dan berseru "Aku akan membuat dua lubang di wajahmu, kemudian membakar matamu, aku akan mengubahmu jadi si buta buruk rupa!"
"Nyonya, aku tak berani lagi", teriakku, "Ampuni aku!"
Nyonya itu mengangkat tang api dan akan menusukkannya ke mataku. Aku memberontak sekuat tenaga, tetapi tidak dapat bergerak, hanya dapat menutup mata. Ketika rasa panas sudah mendekat, uap panas tidak terasa lagi. Terdengar seorang laki-laki berseru, "Nenek keji, kau tak punya hati nurani?"
Orang-orang yang memegangi kaki dan tanganku melepaskan tangan mereka. Aku cepat-cepat merayap pergi. Seseorang yang berpakaian hijau menangkat tengkuk Nyonya Jiang dengan tangan kiri dan mengangkatnya ke udara. Tangan kanannya memegang tang api yang menyala merah dan akan menggunakannya ke mata Nyonya Jiang. Seperti babi yang akan disembelih, Nyonya Jiang beseru, "Tolong, tolong, ada penjahat yang akan membunuhku!"
Beberapa pegawai keluarga Jiang mengambil tongkat kayu dan garu besi, cepat-cepat datang menolong. Laki-laki itu menendang satu kali dan beberapa pegawai terlempar keluar dapur, masuk ke halaman.
"Tuan, ampun, ampun, aku tidak berani lagi", seru Nyonya Jiang.
"Kau tidak akan menindas pelayan wanitamu ini lagi?"
"Tidak, jika Tuan tidak percaya, beberapa hari lagi datanglah kemari melihat."
Laki-laki ini tertawa dingin. "Mana aku punya waktu memeriksa urusan keluargamu? Kubakar dulu kedua matamu baru bicara."
"Tuan, bawalah pelayan itu", kata Nyonya Jiang. "Kami tidak menginginkannya lagi, kami berikan dia kepada Tuan. Mohon Tuan ampuni aku."
Laki-laki itu melonggarkan tangan kiri.
Nyonya Jiang jatuh ke lantai dan menyembah. "Terima kasih Tuan sudah mengampuni aku. Pelayan ini sudah kami berikan kepada Tuan. Kami membelinya sebarga lima puluh tail dan sudah tidak menginginkannya”
Laki-laki itu mengeluarkan sekeping uang perak dari baju dan melemparkannya ke lantai. "Siapa yang mau diberi! Jika aku tidak menyelamatkan gadis ini, ia sudah lama disiksa olehmu. Ini seratus tail perak. Ambil sebagai uang untuk membelinya."
Nyonya Jiang menghapus air mata dan ingus. Ia berlari ke depan aula. Tak lama kemudian ia membawa selembar dokumen. Tangan kirinya menarik keluar Tuan Jiang. Kedua pipi Tuan Jiang merah bengkak, tampaknya habis ditampar Nyonya Jiang untuk melampiaskan amarah.
Aku berlutut dan menyembah laki-laki itu, mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku. Laki-laki itu kurus dan sikapnya keras. "Tak perlu berterima kasih, bangunlah, mulai saat ini kau ikut denganku.”
Aku menyembah lagi. "Di kemudian hari Ruohua pasti akan sekuat tenaga melayani Tuan.”
Laki-laki itu tersenyum. "Kau tidak jadi pelayanku, tapi jadi muridku.”
Dengan begitu, aku mengikuti Guru pergi ke Pulau Persik dan menjadi muridnya. Guruku Ketua Pulau Persik, Huang Yaoshi. Ia sudah mempunyai murid pertama, Qu Lingfeng; murid kedua, Chen Xuanfeng; juga beberapa murid yang masih muda: Lu Chengfeng, Wu Gangfeng, dan Feng Mofeng. Guru mengganti namaku menjadi Mei Chaofeng.
Guru mengajariku ilmu silat, juga mengajariku baca tulis. Jika tidak ada waktu senggang Guru menyuruh Kakak Pertama mengajariku. Kakak pertamaku, Qu Lingfeng, berbakat dalam ilmu silat dan ilmu sastra, juga pintar melukis. Ia mengajariku membaca puisi dan menjelaskan artinya.
Semakin hari umurku semakin bertambah. Waktu itu umurku lima belas tahun, sudah tiga tahun masuk perguruan dan sudah banyak mempelajari ilmu silat dan ilmu sastra. Tubuhku tinggi dan rambutku panjang. Kadang kadang ketika becermin di air, aku melihat wajahku cantik. Kakak Pertama sesekali menatap dan membuatku malu.
Kakak Pertama berumur tiga puluh tahun, dua kali lipat usiaku. Tubuhnya tinggi, tetapi kurus, agak mirip Guru. Sama seperti Guru, wajahnya selalu muram dan tidak gembira. Hanya waktu bersamaku ia baru dapat mengatakan lelucon, membuatku senang. Ia sering mengajariku dengan menggunakan puisi-puisi kuno yang ditulis Guru.
"Bermain ke atas melangkah ke bawah, saat itu melihat sudah di hati, apalagi kini.” Kalimat ini tulisan guruku yang indah dan alami dan ditulis dengan tinta tipis di selembar kertas putih. Kakak Qu tidak sepatah kata pun berkata apa-apa. Ia menaruh kertas itu di sebelah kertas yang sedang kutulis. Aku menoleh dan melihat ekspresinya aneh, sorot matanya lebih aneh lagi.
la mengangguk dan meletakkan selembar kertas putih di atas lembaran pertama. Pada lembaran itu masih tetap ada tulisan Guru yang indah, "Pohon lit di Jiangnan, daun kecil belum berbayang. Empat lima belas tahun, memeluk pipa waktu luang. Saat itu melihat sudah di hati, apalagi kini."
"Apa ini Guru yang menulisnya?" kataku.
Wajahku terasa panas. Jantungku berdebar-debar dan pikiranku kacau. Aku berdiri dan ingin pergi.
"Adik, duduklah," kata Kakak Qu.
"Apa Guru yang menulis ini?"
"Guru yang menulisnya, tapi ini puisi Ouyang Xiu, bukan Guru yang menciptakan."
Aku menghela napas dan merasa tenang.
"Menurut buku," kata Kakak Qu, "Ouyang Xiu menyukai putri saudara perempuannya, kemudian menciptakan puisi ini untuk mengeluarkan isi hatinya. Ia melihat seorang gadis berusia dua belas atau tiga belas tahun sedang bermain-main dengan para pelayan di aula. Gadis itu tertawa dan berteriak mengejar, menuruni tangga hingga ke halaman bawah. Waktu melihat gadis itu cantik, lincah, lembut, dan menarik, Ouyang Xiu merasa tergerak. Kemudian ketika berumur empat belas atau lima belas tahun, gadis itu semakin cantik. Saat itu Ouyang Xiu sudah menjadi kakek berusia lima puluh tahunan. Ia menghela napas dan menciptakan puisi ini.
"Kemudian seseorang menemukan puisi ini hingga menjadi masalah besar. Saat itu Ouyang Xiu seorang pejabat, sering membuat tulisan tentang moral dan dikagumi seluruh dunia. Ia kemudian diserang para pejabat sensor negara. Sebenarnya, ia hanya menyukai kecantikan luar nona itu dan tidak melakukan apa pun yang tidak sopan. Ia menciptakan puisi yang agak keterlaluan, tapi tidak terjadi apa-apa. Tapi, mengapa Guru menyukai puisi ini dan menulisnya berulang-ulang?"
Kakak Qu mengambil setumpuk kertas putih dengan tangan kiri dan menggoyang-goyangkannya. Setiap lembar bertuliskan, "Saat itu melihat sudah di hati, apalagi kini."
"Adik, apa sekarang kau mengerti?"
Aku menggeleng. "Tidak." la mendekatiku. "Kau benar-benar tidak mengerti?"
Aku menggeleng
Ia tertawa. "Lalu, kenapa wajahmu merah?"
"Aku akan pergi beritahu Guru."
Wajah Kakak Qu pucat. "Adik, jangan beritahu Guru. Jika Guru tahu, ia akan mematahkan kakiku, nanti siapa yang mengajarimu ilmu silat?" Suaranya bergetar. Kami semua takut pada Guru dan tidak dapat menyalahkan Kakak Qu.
"Aku tentu tidak akan memberitahu Guru. Memangnya aku demikian bodoh, ingin dimarahinya?"
"Guru tidak akan memarahim Sejak kau datang ke Pulau Persik, apa ia pernah memarahimu satu kali saja?”
Benar. Selama itu Guru selalu baik kepadaku, tidak pernah memarahiku sekali pun. Bahkan menunjukkan wajah marah pun tak pernah. Namun, kadang-kadang ia mengernyitkan alis, menunjukkan sikap tidak senang. Kemudian aku mengatakan sesuatu agar ia gembira.
"Guru, saudara seperguruan mana yang sudah membuatmu marah? Kakak Chen? Atau Adik Wu:"
Kakak Chen kata-katanya kasar dan kadang-kadang berbuat salah kepada Guru. Kemudian Guru membalikkan ringan telapak tangan. Ilmu ringan tubuh Kakak Chen bagus, tetapi bagaimanapun ia menghindar, Guru selalu dengan mudah memukul kepalanya. Namun, jika marah, Guru pun tidak pernah lama. Sesudah ia memukul sedikit, urusannya selesai.
Adik Wu sifatnya keras kepala dan kadang-kadang bertengkar dengan Guru. Guru pun tidak memedulikannya, tertawa, kemudian menganggap urusannya selesai. Tapi, selama beberapa hari ia tidak menghiraukan Adik Wu. Adik Wu ketakutan dan berlutut menyembah Guru untuk memohon ampun. Guru mengibaskan jubah dan menjatuhkannya hingga berguling. Adik Wu sengaja berguling keras-keras. Guru tertawa dan tidak marah lagi kepadanya.
Ketika mendengar pertanyaanku, Guru berkata, "Aku tidak marah pada Xuanfeng dan Gangfeng. Seandainya begitu, akan baik. Aku marah pada Langit." "Mengapa Guru marah pada Langit? Guru ajari aku."
Wajah Guru mengeras. "Aku tak dapat mengajarimu. Mengajarimu pun kau tak akan mengerti
Aku menarik tangannya, menggoyang-goyangkan ringan. "Guru, kumohon, ajari sedikit, Walaupun aku tidak mengerti, ajari aku sedikit."
Setiap kali aku memohon seperti ini, permintaanku selalu dikabulkan. Guru tertawa, berjalan ke ruang buku, mengambil kertas putih, dan memberikannya kepadaku. Wajahku memerah dan tidak berani menatap wajahnya, khawatir yang tertulis di kertas itu, "Saat itu melihat sudah di hati, apalagi kini."
Untungnya, yang tertulis di kertas itu kata-kata lain:
Si Sesat Huang mengutip puisi Zhu Xizhen.
Tia, semua hilang Buang waktu tak minum arak air mata basahi baju. Kini berharap tutup pintu tidur, biarkan bunga mei terbang dengan salju.
Si tua tak ulangi girang masa muda. Muak arak lelah bernada. Senja pun badai, di luar loteng suara trompet sumbang.
Tuan Liu tua, tak peduli bunga persik tersenyum. Angin timur bertiup dari jauh, negeri hancur wilayah merah. Kini melegenda, air mata pahlawan, bergegas menua. Benci abadi matahari tenggelam ke barat, ombak pasang malam hari
pulang.
"Guru, mengapa kau selalu menulis sudah tua', 'sudah tua'? Kau belum tua, semangatmu bagus, ilmu silatmu tinggi. Kakak dan adik seperguruan yang masih muda pun tak ada yang dapat menyamaimu."
"Ah, semua orang akan jadi tua," kata Guru, "ketika melihat anak muda seperti kalian, kepalaku memutih, rambut putih sudah muncul sehelai-sehelai dan sudah banyak. "Cermin terang di aula menangisi uban, saat fajar hitam saat senja salju."
"Guru, duduklah, akan kucabuti rambut putihmu.” Aku mengulurkan tangan mencabut rambut putihnya dan mengangkatnya ke hadapan Guru. Guru meniup. Tiupannya kuat. Aku melepaskan jari, rambut itu terbang melayang ke luar jendela hingga ke langit.
Aku bertepuk tangan. "Sehelai bulu di awan abadi. Guru, ilmu sastra dan ilmu silatmu jarang ada, benar-benar sehelai bulu di awan abadi."
Guru tertawa. "Chaofeng, kata-kata lucumu selalu membuatku gembira, tapi hari-hari yang riang seperti ini tidak akan banyak. Walaupun ilmu silat dan ilmu sastra gurumu ini lebih tinggi lagi, akhirnya aku tetap menjadi tua. Kau juga makin hari makin dewasa, akhirnya akan meninggalkan Guru."
Aku menarik tangan Guru dan menggoyang-goyangkannya lembut. "Guru, aku tidak mau menjadi dewasa. Aku ingin seumur hidup berlatih ilmu silat denganmu, menemani di sampingmu.”
Guru tersenyum pahit. "Benar-benar perkataan anak-anak. Puisi “Menenangkan Badai' karya Ouyang Xiu bagus. Angkat cawan, kutanya pada Tuan, bagaimana musim semi bertahan? Walau masa muda tinggal. Bohong, bunga kejam pada kekasih. Semua bunga indah pun gugur.
Sejak dulu, wajah cantik hingga kapan tetap baru?" Chaofeng, kau akan menjadi dewasa. Walaupun ilmu tenaga dalam kita kuat, kita tidak dapat melawan Langit. Langit ingin kita tua, berlatih ilmu silat apa pun tidak ada gunanya"
"Guru, ilmu silatmu demikian tinggi, Chaofeng akan seumur hidup mengikutimu berlatih, melayanimu seratus tahun, dua ratus tahun...."
Guru menggelengkan kepala. "Terima kasih, kau memiliki pikiran seperti ini, sangat baik. 'Hargai musim semi yang datang tahun ini, langka, bunga tak mekar abadi. Ketika sadar mabuk arak, apa tak lihat? Ribuan tak ikuti air tapi angin."
"Guru, Mei Chaofeng tidak akan mengikuti arah sungai, arah angin, aku hanya ingin belajar ilmu Jari Peluru."
Guru tertawa terbahak-bahak. "Kau pintar merayu gurumu. Besok aku akan mengajarimu dasarnya."
Beberapa hari kemudian aku bertanya kepada Kakak Qu. "Kenapa Guru menyebut dirinya sendiri si Sesat Tua Huang? Julukan ini tidak enak didengar. Guru hanya sepuluh tahun lebih tua daripadamu, tidak tua, juga tidak sesat.
Kakak Qu tertawa. "Kau berkata Guru tidak tua juga tidak sesat, bagus sekali. Guru pasti senang mendengarnya."
Ia menceritakan bahwa Guru berasal dari keluarga bangsawan terpelajar di Zhejiang. Pada masa Kaisar Taizu, leluhurnya melakukan jasa besar hingga setiap generasi selalu menjadi pejabat. Kakek Guru menjadi pejabat di tahun Shaoxing, Gaozong. Tahun itu si menteri pengkhianat, Qin Hui, membunuh Jenderal Yue Fei. Kakek Guru menegakkan keadilan bagi Yue Fei. Kaisar dan Qin Hui marah, tidak hanya menentang, tapi juga mencopot jabatannya. Kakek Guru setia, ia berseru kepada orang-orang di luar aula, meminta para pejabat dan rakyat bersama-sama melindungi Yue Fei. Qin Hui menyuruh orang membunuh Kakek Guru dan mengasingkan seluruh keluarganya ke Yunnan.
"Guru lahir di Lijiang di wilayah Yunnan. Sejak kanak-kanak ia membaca banyak buku, juga berlatih ilmu silat. Sejak kecil ia sudah memaki Kaisar dan mengatakan akan menggulingkan Dinasti Song, juga akan membunuh Kaisar dan para pejabat untuk membalas dendam bagi kakeknya dan Jenderal Yue Fei. Saat itu Qin Hui sudah lama meninggal, Gaozong juga sudah tua. Ayah Guru mengajari Guru untuk setia kepada kerajaan. Guru tidak mendengar dan tidak henti berdebat dengan Ayah Guru. Seluruh keluarga mengatakan Guru tidak berbakti. Kemudian Ayah Guru marah dan mengusirnya dari rumah. Guru kembali ke wilayah barat Zhejiang. Ia tidak hanya tidak menghormati sistem ujian, tetapi juga menghancurkan Aula Minglun di wilayah Qingyuan.
Di istana Kaisar, di luar kantor perdana menteri dan pejabat militer ia membuat pengumuman besar. Di Kuil Keluarga Konfusius di Quzhou ia memasang pengumuman, mengkritik orang-orang suci, mengkritik pejabat pemerintah, dan mengatakan harus menyerang ke utara, merebut kembali tanah lama. Para pejabat mengutus ratusan pasukan berkuda siangmalam tetapi tidak ada yang berhasil menangkapnya. Saat itu ilmu silat Guru sudah begitu tinggi, mana mungkin mereka dapat menangkapnya? Dengan begitu nama Guru menjadi terkenal di dunia persilatan. Karena ia melawan nenek moyang, memaki pemerintah, tidak menyukai ikatan, dan mengatakan hal-hal yang rakyat jelata ingin katakan tapi tak berani, di dunia persilatan ia mendapat julukan Pendekar Sesat."
"Tahun-tahun itu” kata Kakak Qu, "karena orang-orang memperebutkan kitab rahasia ilmu silat Kitab Sembilan Bulan, dunia persilatan bergejolak dan penuh teror. Orang-orang yang terluka dan terbunuh karena kitab ini tidak terhitung banyaknya. Ketua aliran Quanzhen, Wang Chongyang, mengundang para ahli ilmu silat tinggi untuk bertanding ilmu silat di Gunung Hua, saat itu disebut Pertandingan Pedang Gunung Hua. Yang ilmunya paling tinggi akan mendapatkan Kitab Sembilan Bulan dan sesudah itu tidak boleh ada yang merebutnya lagi agar dunia persilatan kembali damai. Yang mengikuti pertandingan waktu itu ada lima orang yang disebut 'Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan, Pengemis Utara, dan Dewa Pusat. Si Sesat Timur adalah Guru, orang-orang menyebutnya si Sesat Tua Huang. Di antara kelima orang ini, Guru yang umurnya paling muda. Si Dewa Pusat adalah Wang Chongyang. Pada hasil Pertandingan Pedang, si Dewa Pusat mengalahkan Sesat Timur, Racun Barat, dan yang lain."
"Kakak, apa itu Kitab Sembilan Bulan?" kataku.”Ilmu Guru begitu tinggi, apa tidak dapat mengalahkan si Dewa Pusat?"
"Kudengar dari orang-orang, dalam Kitab Sembilan Bulan tercatat bermacam-macam ilmu silat tertinggi dari berbagai perguruan. Siapa yang mendapatkan kitab ini dan mempelajari ilmu di dalamnya, tidak akan terkalahkan di dunia. Kebetulan Pendeta Chongyang yang ilmunya nomor satu di dunia. Sebagai manusia ia adil dan baik hati, tidak mau menindas orang lain. Oleh karena itu, ketika hasilnya diumumkan, orang-orang gembira dan tidak ada yang keberatan. Adik, dalam ilmu silat benar-benar di luar langit masih ada langit, di luar orang masih ada orang Dalam pandangan kita ilmu Guru yang paling tinggi, tapi yang ilmunya dapat mengalahkannya juga bukan berarti tidak ada."
Hari itu Guru mengucapkan beberapa kalimat, "Ketika sadar mabuk arak, apa tak lihat? Ribuan tak ikuti air tapi angin.” Kata-katanya ini tepat. Waktu Guru sadar, aku sudah pergi dengan kakak keduaku, Chen Xuanfeng. Kakak Kedua matanya besar dan alisnya tebal. Seluruh tubuhnya berotot, dan tulangnya kuat. Ia lebih tua dua tahun daripada aku dan jarang bercakap-cakap denganku. Tapi, diam-diam ia sering menatapku. Sering kali ketika ia menatap, wajahku merah dan aku memalingkan kepala. Waktu pohon buah persik di Pulau Persik berbuah, ia sering memetik buah persik yang merah dan segar, berjalan ke kamarku, dan menaruhnya di meja. Tanpa bersuara ia lalu berjalan pergi.
Kakak Qu umurnya sepuluh tahun lebih tua daripada aku; Adik Lu lebih muda dua tahun dariku; Adik Wu dan Adik Feng usianya lebih muda lagi dan di hatiku mereka seperti adik kecil. Di Pulau Persik hanya Kakak Kedua yang umurnya sedikit lebih tua daripada aku. Ia kasar. Satu kali ia menarik tanganku.
"Adik Pencuri, mari kita pergi mencuri buah persik. Aku marah dan melepaskan tangannya. "Kaupanggil aku apa?"
"Kita pergi mencuri buah persik, jadi pencuri, kau tentu jadi Adik Pencuri."
"Kau sendiri."
"Aku Kakak Pencuri."
"Kakak Pencuri!"
"Benar. Kakak Pencuri ingin mencuri Adik Pencuri
." Aku tidak memedulikannya, tetapi di hatiku itu terasa manis.
Malam itu ia mengajakku mencuri buah persik, banyak sekali. Ia menaruh buah persik di mejaku. Dalam kegelapan ia memelukku. Aku memberontak, tapi seluruh tubuhku lemas. Ia berkata di telingaku, "Adik Pencuri, aku ingin kau selamanya ikut denganku, tak pernah berpisah."
Wajah Mei Chaofeng memerah. Guo Jing mendengar napasnya berat dan pelan-pelan wanita itu menghela napas panjang. Suara napasnya lembut. Ia melonggarkan sedikit cengkeraman di kepala Guo Jing.
"Mengapa, mengapa Guru mematahkan kaki Kakak Qu.” kata Mei Chaofeng pelan. "Mengapa ia mengusirnya dari pulau?"
Saat ini musuh besar sudah berada dalam genggamannya. Keduanya diam duduk di mulut gua. Di sekeliling hening tanpa suara. Ia tenggelam lagi dalam kenangan.
Ketika Kakak Qu memandang mataku, tatapannya lembut. Saat itu aku sudah berumur delapan belas tahun, sudah mengerti arti tatapannya. Ia sudah pernah menikah, tetapi istrinya meninggal dunia. Ia juga memiliki seorang anak perempuan. Aku lebih cocok dengan Kakak Pencuri. Aku hanya dapat menghindari tatapannya.
Satu malam Kakak Pencuri berada di kamarku dan memelukku di ranjang. Saat itu di luar jendela ada orang berseru, "Chen Xuanfeng. Kau bocah busuk, cepat keluar!" Itu suara Kakak Qu.
Kakak Pencuri cepat-cepat mengenakan pakaian dan berjalan ke luar pintu. Di luar pintu terdengar suara angin. Ia bertarung dengan Kakak Qu. Aku berseru, "Kakak Pertama, maaf, kumohon ampuni kami."
"Mengampuni kalian?” kata Kakak Qu dingin. "Saat itu melihat sudah di hati, apalagi kini. Siapa yang menulis kata-kata ini? Meski aku mengampuni, mungkin Guru tidak dapat mengampunimu."
Terdengar suara keras. Seseorang sudah terkena pukulan.
"Ah!" seru Kakak Chen. "Kau benar-benar ingin membunuhku?"
"Apa aku main-main? Adik Mei, katamu ingin seumur hidup berlatih ilmu silat dengan Guru, selamanya bersama Guru. Kau membohongi Guru." "Guru sendiri tidak peduli," kata Kakak Chen, "mengapa kau mengurusi
nya? Kau bukan ingin mengurusnya, kau cemburu. Tak tahu malu!”
Aku memandang ke luar jendela. Kedua orang itu bertarung hebat. Ilmu silatku tidak cukup dan aku tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Terdengar bunyi keras lagi. Tubuh Kakak Chen melayang dan terguling di tanah.
"Aku bukan cemburu," kata Kakak Qu. "Aku mewakili Guru melampiaskan amarah. Hari ini aku akan membunuhmu, binatang yang tidak punya perasaan dan tak tahu malu."
Aku melompat ke luar jendela dan merunduk di atas tubuh Kakak Chen. "Kakak Pertama, ampuni kami, ampuni kami."
Kakak Qu menghela napas dan membalikkan badan.
Besoknya Guru memanggil kami.
Aku begitu ketakutan hingga tidak berani menatap wajah Guru. Kemudian aku melirik dan melihat Guru demikian sedih, seperti ingin menangis. Guru hanya berkata, "Mengapa? Mengapa?"
"Melihatku bersama Adik Seperguruan, Kakak Pertama cemburu dan ingin membunuhku," kata Kakak Chen.
Guru menghela napas. "Lingfeng, hidup memang begitu, kau tidak bisa seperti ini.” Sambil berkata ia menggelengkan kepala.
Aku menangis dan berlutut di hadapan Guru. "Guru, aku yang salah, mohon jangan hukum Kakak Pertama."
"Lingfeng," kata Guru, "mengapa kaubacakan, 'Saat itu melihat sudah di hati, apalagi kini. Mengapa kau ingin menyalahkan Chaofeng, mengatakan ia menipuku, mengatakan ia berjanji seumur hidup melayaniku, tapi tidak melakukannya? Hmm, kau selalu mencuri dengar pembicaraan kami. Waktu si Sesat Tua Huang bicara dengan orang lain, ada yang mencuri dengar, apa si Tua Huang tidak tahu? Heh, kau terlalu meremehkanku. Untuk apa aku marah. Jika ingin marah, apakah aku tak bisa melakukannya sendiri? Aku tidak menyuruhmu memukul orang. Jika aku yang menyuruhmu memukul, itu aku yang cemburu. Xuanfeng, Chaofeng, kalian keluar."
Sesudah berkata begitu, Guru mengeluarkan tongkat kayu, mematahkan kedua kaki Kakak Qu, dan mengumumkan kepada semua orang, "Qu Lingfeng tidak mematuhi aturan perguruan. Mulai sekarang ia sudah bukan murid Pulau Persik lagi.” Guru menyuruh seorang pelayan bisu mengirimnya ke Lin'an.
Sejak saat itu Guru tidak pernah berbicara denganku lagi. Ia juga tidak berbicara dengan Kakak Chen dan tidak mengajari kami ilmu silat lagi. Tak lama kemudian ia pergi ke kota Qingyuan di Lin’an.
Sesudah dua tahun ia menikahi Ibu Guru dan pulang. Ibu Guru masih muda dan usianya sama denganku. Kami berdua sama-sama ber-shio monyet. Ibu Guru cantik, kulitnya putih dan lembut seperti susu. Tak heran Guru mencintainya dan sering membawanya bepergian. Ibu Guru tidak bisa ilmu silat, tetapi senang membaca dan menulis.
Satu kali di Perayaan Tengah Musim Gugur Ibu Guru menyiapkan arak dan makanan dan mengundang murid-murid. Guru minum hingga mabuk. Ibu Guru masuk ke ruangan untuk membuat sup. Dalam mabuknya Guru menggumam, "Tak ada yang beromong kosong lagi mengatakan si Sesat Tua Huang ingin menikahi murid perempuannya sendiri? Bagaimana keadaan Lingfeng? Aku tak menyalahkannya. Apa ia baik? Bagaimana kakinya?"
Ibu Guru lebih muda beberapa bulan daripada aku, lahir di bulan sepuluh. Ia memperlakukanku dengan baik. Satu hari ia berkata, "Guru sering memujimu patuh dan mengatakan kau berbakti kepadanya. Ia juga mengatakan nasibmu malang dan ingin aku memperlakukanmu lebih baik. Guru tidak mengerti urusan perempuan. Ia membesarkanmu sejak kecil, banyak urusan yang tidak dimengertinya dan ia merasa menyesal. Jika ingin sesuatu atau barang apa, kau katakanlah padaku."
Air mataku mengalir. "Guru sudah memperlakukanku dengan baik, sangat baik. Sesudah ia menikah denganmu, kami melihat Guru gembira. Semua murid pun gembira."
"Kali ini gurumu dan aku akan pergi untuk mendapatkan sebuah kitab ilmu silat, Kitab Sembilan Bulan. Berdasarkan ilmu silat gurumu, kitab ini kelihatannya tidak begitu hebat, tapi di dalamnya ada beberapa tulisan aneh yang sulit dipelajari. Gurumu ambisius, juga senang memecahkan "Kali ini gurumu dan aku akan pergi untuk mendapatkan sebuah kitab ilmu silat, Kitab Sembilan Bulan. Berdasarkan ilmu silat gurumu, kitab ini kelihatannya tidak begitu hebat, tapi di dalamnya ada beberapa tulisan aneh yang sulit dipelajari. Gurumu ambisius, juga senang memecahkan hal-hal rahasia. Ia denganku bersama-sama memeriksa, tapi masih belum dapat memecahkannya. Oleh karena itu, ia tidak ada waktu untuk mengajari kalian ilmu silat."
Ibu Guru menunjuk dua jilid kertas di atas meja. "Itu salinan Kitab Sembilan Bulan. Sebenarnya, ilmu silat Pulau Persik juga sudah tinggi, mengapa pula harus mempelajari ilmu silat orang lain? Ah! Para ahli ilmu silat hanya ingin melihat jurus-jurus baru dan mempelajarinya, seperti kita ingin mengetahui kalimat kalimat puisi yang bagus dan ingin mengingatnya dalam hati."
Aku menceritakan percakapan ini dengan Kakak Pencuri. Kakak Pencuri berkata, "Pada malam Perayaan Tengah Musim Gugur, Guru mengungkapkan isi hatinya, tampaknya hubungannya dengan Kakak Qu belum putus. Mungkin ia akan memintanya kembali ke perguruan. Begitu Kakak Qu datang, nyawa kita akan melayang. Adik Pencuri, kali ini mari kita jadi pencuri sungguhan. Kita curi Kitab Sembilan Bulan milik Guru, melatihnya, kemudian mengembalikannya kepada Guru. Saat itu kita tidak akan takut pada Guru, apalagi pada Kakak Pertama."
Aku menentangnya dan berkata akan memberitahu Guru.
Kakak Pencuri sudah bertekad bulat. Malamnya ia mencuri kitab itu, tetapi hanya satu jilid.
Beberapa hari itu Guru selalu menengadah dan berpikir. Kulihat ia tidak seperti memikirkan puisi. Ia tak henti menggerak-gerakkan kedua jari tangan. Aku mengatakan hal ini kepada Kakak Chen. Kakak Chen berkata Guru sudah mendapatkan Kitab Sembilan Bulan dan sedang memikirkan kungfu di dalamnya. Selama beberapa hari itu Guru tidak mengajari kami kungfu, bahkan tidak berkata apa-apa, tampak seperti penuh pikiran. Kulihat rambut putihnya semakin banyak. Kakak Chen mengatakan malam itu ia melihat Guru memegang sebuah kitab dan berjalan ke Paviliun Berlatih Pedang, entah sedang berkomat-kamit apa. Guru mengangkat kepala. Kakak Chen menghampirinya. "Guru!" Namun, Guru seperti tidak melihat juga seperti tidak mendengar, ia terus berjalan. Kakak Chen menghindar ke samping, lalu pergi ke ruang baca Guru, dan diam-diam masuk. Ia melihat salinan kitab ada di atas meja, tetapi hanya sebuah. Yang satu lagi ada di tangan Guru, Hanya karena Guru sedang melamun memikirkan ilmu silat, Kakak Chen baru mendapat kesempatan untuk mencuri salinan kitab jilid kedua. Jika tidak, ilmu Guru begitu tinggi, mana mungkin Kakak Chen dapat mencurinya?
la masih ingin mencuri satu bagian lagi. Kukatakan jangan. Mencuri satu saja sudah bersalah kepada Guru, apalagi mencuri keduanya, benar-benar bukan manusia. Guru memperlakukan kami demikian baik, menjadi manusia harus memiliki sedikit hati nurani.
"Dia tentu memperlakukanmu dengan baik, tapi terhadapku."
"Jika kaucuri lagi kitab itu, aku akan berteriak di luar kamar Guru, ‘Ada yang mencuri Kitab Sembilan Bulan, ada yang mencuri Kitab Sembilan Bulan."
Ketika berpikir hingga ke sini, Mei Chaofeng berseru ringan, "Ada yang mencuri Kitab Sembilan Bulan! Guru! Guru!"
Guo Jing terkejut. "Mencuri Kitab Sembilan Bulan?"
Mei Chaofeng tak dapat menahan tawa. "Tidak apa-apa, aku hanya bicara sembarangan."
Di taman itu semerbak bunga mei menyeruak. Mei Chaofeng teringat kembali harumnya bunga di Pulau Persik.
Kakak Pencuri ketakutan. Malam itu kami meninggalkan Pulau Persik dengan perahu, kemudian pergi melewati gunung. Di pantai ada sebuah gua batu untuk bersembunyi. Sesudah beberapa hari ia mengeluarkan gulungan kitab jilid kedua, mengerutkan alis dan berpikir keras. Aku melihat gulungan kertas itu berisi tulisan Guru dan Ibu Guru.
"Kita catat gulungan ini," kata Kakak Pencuri, "kemudian kembalikan yang asli kepada Guru. Tapi bagaimana cara mengembalikannya?" "Kita pergi ke Pulau Persik," kataku.
"Adik Pencuri, kau sudah tidak menyayangi nyawamu? Masih berani pergi ke Pulau Persik:"
Kami tidak berani tinggal lama di Gunung Pudu karena masih terlalu dekat dengan Pulau Persik. Sesudah satu bulan kami naik perahu ke Dataran Tengah, bersembunyi di Qingyuan, Shangyu, Baiguan, Yuyao. Kami bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain selama beberapa bulan, kemudian melarikan diri lagi ke Lin'an, Jiaxing, Huzhou, Suzhou, dan tempat-tempat sungai kecil seperti itu. Di kota air, sungai kecil jumlahnya banyak. Siang hari kami bersembunyi di dalam perahu, menutup pintu erat-erat. Guru dan adikadik seperguruan tidak dapat menemukan kami. Kakak Qu juga tidak.
Aku dan Kakak Chen membaca kungfu dalam kitab. Di dalam kitab tertulis bermacam-macam ilmu silat hebat. Yang pertama adalah Cakar Tulang Putih Sembilan Bulan, juga Tapak Penghancur Jantung. Dalam kitab ini jelas tertulis cara berlatih dan cara mencairkan kedua ilmu ini.
Dalam kitab tertulis, "Untuk mempelajari kedua ilmu ini tidak perlu menggunakan tenaga dalam sebagai sar, menggunakan tenaga luar juga bisa. Adik laki-laki dan adik perempuanku tewas karena ilmu ini. Sesudah menguasai kedua ilmu ini, membunuh akan menjadi mudah."
Kakak Seperguruan dan aku gembira dan mulai berlatih. Untuk berlatih ilmu ini, kami harus membunuh orang hidup. Aku mengatakan kepada Kakiak Seperguruan untuk pergi ke desa keluarga Jiang di Shangyu dan mulai dari Nyonya Jiang yang jahat itu. Seluruh keluarga Jiang, tua-muda, laki-laki perempuan, sudah digunakan untuk berlatih ilmu ini hingga menjadi tengkorak tulang putih. Waktu mengingat budi baik Guru, hatiku sedih. Kakak menanyakan mengapa aku sedih. Ia cemburu dan menganggapku tidak seharusnya mengenang Guru.
Ketika berlatih ilmu dalam kitab harus menggunakan tenaga dalam sebagai dasar, tetapi rahasia belajar tenaga dalam semuanya ada di dalam kitab jilid pertama. Seluruh ilmu dalam kitab ini berdasarkan ajaran Dao dan berbeda dengan ajaran Guru. Kami tidak dapat mempelajarinya.
"Jika ada tekad, pasti berhasil," kata Kakak Chen. Maka, ia berlatih ilmu silat dengan menggunakan cara yang diciptakannya sendiri dan ia menyuruhku juga berlatih. Ia berlatih ilmu tapak dan membuatkanku cambuk baja yang dilapisi perak untuk berlatih ilmu ular piton putih. Ia mengatakan belum pernah memberikan tanda cinta dan hadiah pernikahan untukku, jadi ia memberikan senjata cantik itu. Saat itu kami mempunyai banyak uang, haha, sesudah mempelajari ilmu silat tinggi, mana mungkin kami tidak bisa merampok rumah dan istana. Berapa pun yang kami perlukan, kami tinggal mengambilnya.
Saat itu angin meniup rambut panjang Mei Chaofeng hingga berkibar-kibar. Ia mendongak dan berkata ringan, "Di langit ada bintang?" "Ada,” kata Guo Jing.
"Bima Sakti?" " "Bintang Gembala dan Gadis Penenun?"
"Ada.
"Ada."
"Bintang biduk;"
"Aku tak tahu yang mana"
"Kau goblok setengah mati! Lihat langit di utara, ada tujuh bintang bersinar, berbaris, dan berbentuk seperti gayung, itu bintang biduk.” Guo Jing menatap langit mencari bintang-bintang itu. Di utara ada tujuh buah bintang, berbaris menjadi gayung. "Ada! Ada!"
"Apa yang dimaksud dengan “tujuh bintang berkumpulz" kata Mei Chaofeng
"Aku tak tahu."
Mei Chaofeng mengencangkan cengkeraman. "Bukankah Ma Yu sudah mengajarkannya padamu?"
"Belum. Pendeta hanya mengajariku berbaring kemudian bernapas." "Bagaimana cara mengatur napas?"
"Waktu tarik napas perut naik, waktu embus napas perut kempis hingga menempel ke punggung."
Mei Chaofeng mencoba. Waktu kami berlatih bernapas, pikirnya, cara menarik napas dan menghela napas benar-benar kebalikannya. Mungkin ini rumus yang berbeda dengan kungfu Dao.
Kitab Sembilan Bulan jilid kedua seluruhnya berisi ilmu silat. Suami Pencuri selalu mengatakan ingin mencuri kitab jilid pertama. Kukatakan pergi ke Pulau Persik juga boleh, tapi kami lebih dulu mengembalikan jilid kedua kepada Guru dan Ibu Guru.
"Kita masih belum berhasil berlatih ilmu silat jilid kedua," kata Kakak Pencuri, "ada beberapa ilmu silat tertulis, ‘lima tahun berlatih baru berhasil, 'tujuh tahun berlatih baru berhasil, 'sepuluh tahun baru mengerti dasarnya? Kita jangan memedulikannya. Untuk ilmu seperti Cakar Tulang Putih Sembilan Bulan, Tapak Penghancur Jantung, Cambuk Piton Putih, walaupun tidak menguasai dasar tenaga dalam pada jilid pertama, jika berlatih keras kita akan berhasil, juga hasilnya lebih cepat. Bagaimana latihan ilmu Cambuk Piton Putih-mu?"
"Lumayan, tapi masih belum dapat menggunakannya dengan baik. Harus tambah satu tahun lagi.”
Untuk mempelajari Cakar Tulang Putih Sembilan Bulan, kami sudah bersalah kepada banyak aliran perguruan bersih, pada para pendekar anjing yang berpura-pura jadi orang baik. Mereka tak henti menyerang kami suamiistri. Kami mengambil risiko nyawa untuk berlatih, tak sedikit membunuh orang. Keadaan makin lama makin tidak menguntungkan. Kami menghindar ke timur, melarikan diri ke barat, sulit untuk menetap. Mereka tidak mengizinkan kami melakukan pembunuhan besar-besaran dan berlatih ilmu silat yang demikian sesat, tapi mereka juga ingin merebut kitab di tangan kami. Kami berdua hanya menggunakan ilmu silat Pulau Persik, para anjing itu sudah pergi ketakutan dan menyebut kami si Iblis Kembar Angin Hitam.
Benar-benar tidak enak didengar. Seharusnya mereka menyebut kami Iblis Kembar Pulau Persik.
Kemudian orang-orang yang datang semakin kuat. Ilmu silat kami suamiistri sudah tinggi, nama kami sudah terkenal, tetapi lambat laun kami tidak dapat bertahan lagi. Pertempuran menakutkan seperti ini sudah berlangsung dua tahun. Aku sendiri sering berpikir kalau sejak awal tahu seperti ini, mencuri kitab hingga menyulitkan kami, bukankah sebaiknya kami hidup tenang di Pulau Persik? Tapi Guru juga tahu Kakak Chen dan aku seperti ini, apakah kami masih punya wajah pergi ke Pulau Persik? Kami juga takut Kakak Qu kembali. Juga dengar-dengar, waktu kami berdua mencuri kitab, Guru marah. Ketika Kakak Lu dan Kakak Wu menasihatinya dan tidak hatihati, dalam amuknya Guru mematahkan kedua kaki mereka. Adik Feng juga berkata, "Yang mengkhianati Guru hanya Kakak Chen dan Kakak Mei, kami semua setia kepada Guru. Guru seharusnya tidak melampiaskan amarah kepada orang ketiga dan melukai Kakak Qu, Kakak Lu, dan Kakak Wu”
Guru marah besar. ”Kupukul kau juga, bagaimana? Aku sudah mengeluarkan darah dan keringat, berusaha keras mengajari kalian ilmu silat, tapi kalian semua mengkhianatiku. Aku si Sesat Tua Huang lebih baik mati!" Ia mengambil kayu lagi dan mematahkan tulang kaki Adik Feng.
Berita mengenai ketiga adik seperguruanku diusir dari Pulau Persik menyebar dengan cepat ke dunia persilatan. Semua mengatakan si Sesat Tua Huang benar-benar sesat. Dari berita yang ada, kudengar Guru berkata, "Aku si Sesat Tua Huang lebih baik mati” Aku merasa patah hati, ingin pergi berlutut kepada Guru dan Ibu Guru, dan membiarkan mereka membunuhku untuk menghukum kesalahanku. Oleh karena itu, ketika Kakak mengatakan mau kembali ke Pulau Persik, aku tidak menghalanginya. Aku ingin bertemu lagi dengan Guru.
Kakak Seperguruan mengatakan semua pendekar kentut anjing itu selalu mengejar kami bagai setan, cepat atau lambat Guru akan mendengar. Jika Guru juga datang mengejar, kami harus bersiap-siap kehilangan nyawa. Sesudah mendapatkan jilid pertama, kami akan pergi ke Mongolia, Xia Barat, dan melarikan diri jauh, sangat jauh, berpuluh-puluh ribu kilometer ke luar wilayah. Siapa pun tak ada yang dapat mengejar kami. Kupikir juga begitu. Maka, kami mengambil risiko dan memutuskan pergi lagi ke Pulau Persik. Bagaimanapun jika tidak pergi, cepat atau lambat kami akan mengantarkan nyawa, mati di tangan Guru. Sesudah seluruh masalah selesai, kami baru bisa merasa tenang.
Satu malam kami pergi ke Pulau Persik. Ketika berada di luar aula, terdengar Guru sedang bercakap-cakap dengan seseorang. "Saudara Butong, aku tidak mengambil kitabmu, bagaimana mungkin aku mengembalikannya?"
Kupikir Guru tidak sopan menyebut orang "Saudara Butong”. Aku dan Kakak bersama-sama mengintip dari celah jendela dan melihat orang yang berbicara dengan Guru adalah seorang laki-laki berjanggut panjang. Orang itu umurnya sedikit lebih tua daripada Guru. Orang itu tidak marah malah tertawa geli dan berkata, "Sesat Tua Huang, perbuatanmu selalu ada sesatnya, siapa yang percaya padamu?"
"Aku si Sesat Huang memang sesat, menentang orang-orang suci, menentang pemerintah dan nenek moyang, tidak menghormati ajaran orang-orang suci, tidak menghormati kerajaan. Tapi, empat kata 'kesopanan, kebenaran, kejujuran, dan kehormatan' sedikit pun tidak hilang. Aku berkata tidak mengambil kitab, berarti aku benar-benar tidak mengambil. Jika mengambilnya, berdasarkan pengetahuanku si Sesat Timur, aku tidak ingin mempelajari kungfu bau dari kitab kentut anjing milik aliran Quanzhen kalian.”
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. "Harum atau bau, dicium dulu baru tahu. Asli atau palsu, keluarkan dulu baru tahu. Sesat Huang, mari kita berdua bermain-main, lihat apa kau sudah mempelajari Kitab Sembilan Bulan atau belum."
Ia berdiri dan ketika Guru bangkit dari kursi, ia mengayunkan tinju kiri menyerang Guru. Guru hanya menggunakan ilmu Tapak Bunga Persik Gugur. Ketika kedua orang ini berkelahi, bayangan lilin bergoyang-goyang, gerakan mereka cepat. Aku memandang Kakak dan ia pun sedang menoleh memandangku. Kami berdua menjulurkan lidah. Kami belum pernah melihat ilmu silat setinggi ini.
Aku menarik-narik lengan baju Kakak Seperguruan, memberi isyarat. Dalam hati ini kesempatan emas yang langka. Orang berilmu silat tinggi itu sedang menyulitkan Guru. Ketika Guru tidak dapat lepas darinya, kami dapat pergi ke ruang buku untuk mencuri kitab jilid pertama. Ibu Guru tidak bisa ilmu silat. Kami juga tidak akan melukainya, juga tidak akan menakutinya. Aku hanya ingin menyembah tiga kali kepadanya, menunjukkan rasa terima kasih. Sesudah mencuri kitab, kami akan pergi.
Akan tetapi, Kakak terpesona dan tidak mau pergi. Belakangan ia mengatakan ia berpikir ketika si janggut panjang dari aliran Quanzhen bertarung dengan Guru, Guru akhirnya akan menggunakan ilmu silat dari Kitab Sembilan Bulan. Jika Guru benar-benar tidak pernah mempelajarinya, si janggut panjang juga pasti akan menggunakannya. Ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri kedua ahli ilmu silat itu bertukar jurus untuk membuktikannya. Hal ini jauh lebih baik daripada tulisan yang ada dalam kitab.
la enggan pergi. Aku juga tidak berani pergi sendiri. Kemudian aku mengintip lagi dari celah jendela. Tubuh Guru bergerak ke sana kemari bagai
terapung di atas air. Lincah, seperti hanya menghindar dan tidak ingin menyerang. Ilmu silat "Saudara Butong" itu juga hebat. Guru meluncur mundur ke tepi jendela. Si janggut panjang mengayunkan tapak tangan kiri. Guru merendahkan tubuh dan tapak itu sudah membuka jendela. Aku menghindar ke samping. Sekilas Guru melihat rambut panjangku. "Chaofeng!” Tubuhnya sedikit melambat. Tangan kanan si janggut panjang menyerang lagi. Guru tampak seperti bergetar, kaki kanannya sedikit berlutut, kemudian ia mengeluarkan dua jari menggunakan ilmu Jari Peluru, mengenai kedua kaki si janggut panjang. Si janggut panjang jatuh ke tanah, berguling, dan tidak dapat berdiri lagi.
Guru tertawa. "Chaofeng, Guru tidak berlatih Kitab Sembilan Bulan. Dengan hanya menggunakan ilmu Jari Peluru, aku sudah dapat mengalahkannya. Mau apa kau datang kemari?"
Aku melompat mendekat, berlutut di muka Guru, dan menangis. "Guru, aku bersalah padamu, aku datang untuk melihat Guru dan Ibu Guru." "Ibu gurumu sudah meninggal. Makamnya ada di sana." Ia menunjuk ke belakang.
Aku terkejut dan pikiranku kacau. Aku berlari ke belakang dan melihat di aula di belakang halaman ada meja sembahyang. Di tengahnya ada papan roh bertuliskan, "Roh Marga Feng”. Aku berlutut, menangis keras.
Saat itu aku melihat di tepi meja sembahyang seorang anak kecil perempuan berusia dua tahun duduk di kursi memandangku sambil tertawa. Anak perempuan ini mirip dengan Ibu Guru, pasti ia putrinya. Kalau begitu, apakah Ibu Guru meninggal ketika melahirkannya?
Guru berdiri di belakangku. Anak perempuan itu tertawa. "Ayah, gendong." Suaranya bagai bunga yang mekar dan ia berlari kepada Guru. Guru khawatir ia jatuh, lalu merentangkan tangan dan memeluk. Kakak Chen menarikku pergi, dan kami cepat-cepat naik ke perahu. Air laut memercik ke dalam perahu. Jantungku berdebar-debar sepe aku ingin mengucapkan sesuatu dari mulut. Terdengar suara Guru dari kejauhan. "Kalian pergilah. Jaga diri baikbaik, jangan berlatih Kitab Sembilan Bulan lagi. Menjaga diri lebih penting
Sesudah melihat pertarungan Guru, aku dan Suami Pencuri bagai mati rasa.
"Bukan saja kita belum berhasil menguasai sepuluh persen dari ilmu Guru, bahkan kita berdua sekaligus pun belum dapat melawan si janggut panjang dari aliran Quanzhen itu."
"Kau menyesal?" kataku. "Jika tetap mengikuti Guru, satu hari kita dapat menguasai kemampuannya."
"Jika kau tidak menyesal, aku pun tidak.”
Maka, ia memikirkan sendiri cara berlatih dan mengajariku berlatih seperti itu. Ia berkata cara ini tidak benar, tetapi dapat berlatih ilmu silat dengan hebat.
"Guru menyuruh kita jangan berlatih ilmu dalam kitab," kataku. "Ilmu silat Guru begitu tinggi, ia tentu tidak perlu berlatih. Kita? Apa kita tidak perlu berlatih?"
Kami berdua mempelajari ilmu kebal senjata hingga tujuh puluh atau delapan puluh persen, kemudian mengembara di dunia persilatan. Julukan si Iblis Kembar Angin Hitam makin lama makin terkenal. Satu hari ketika kami sedang berlatih ilmu Tapak Penghancur Jantung di kuil, dari empat jurusan datang mengepung beberapa puluh orang. Pemimpinnya adalah Adik Seperguruan, Lu Chengfeng. Ia dendam karena kami, Guru mematahkan kedua kakinya. Ia mengumpulkan orang dan ingin menangkap kami untuk diserahkan kepada Guru. Bocah itu ingin diterima kembali di perguruan. Heh, mau menangkap si Iblis Kembar Angin Hitam, mana mungkin demikian mudah? Kami membunuh tujuh hingga delapan musuh, menerobos kepungan, dan melarikan diri. Namun, luka kami juga tidak ringan.
Si Naga Sakti Terbang di Langit dibunuh oleh Suami Pencuri atau oleh aku? Aku tidak dapat mengingatnya jelas. Lagi pula, siapa pun yang membunuhnya sama saja. Sesudah beberapa bulan kami baru menyadari pendeta aliran Quanzhen diam-diam mengejar kami. Ketika bertempur, kami tidak dapat mengalahkan mereka. Musuh-musuh kami terlalu banyak. Oleh karena itu, kami meninggalkan Dataran Tengah, pergi jauh hingga ke padang rumput Mongolia.
Kami terus berlatih Cakar Tulang Putih Sembilan Bulan dan Tapak Penghancur Jantung. Kadang-kadang kami juga berlatih Cambuk Piton Putih. Kakak Chen mengatakan ini dapat mempercepat berlatih ilmu luar, tidak menguasai tenaga dalam juga tidak apa-apa.
Malam itu di gunung gersang, Tujuh Pendekar Aneh Jiangnan mengepungku. Mataku! Mataku! Aku kesakitan juga gatal. Yang paling menyakitkan apa pun tidak terlihat. Aku mengalirkan tenaga untuk menahan racun. Aku merangkak di tanah seperti akan pingsan. Aku belum mati, tapi mataku buta. Kakak Chen sudah meninggal. Orang yang membutakan mataku itu si buta Ke Zhen'e. Kami pernah membunuh saudara seperguruannya. Ia ingin membalas dendam.
Ketika memikirkan hal yang menyakitkan ini, cengkeraman kedua tangan Mei Chaofeng menguat. Giginya gemeretakan. Guo Jing merasa tangannya sendiri seperti akan patah. Diam-diam ia mengeluh. Kali ini aku pasti akan mati!!.
- Selesai-
---
Tokoh-tokoh lain yang disebut
- Zhou Botong (si bocah tua nakal), yang disini disebut Huang Yaoshi, Saudara Zhou
- ibu guru Feng, istri Huang Yaoshi, ibu Huang Rong
- Ke Zhen'e, salah satu dari 7 orang aneh Jiangnan
- Guo Jing, tokoh utama Pendekar pemanah rajawali
- Ma Yu, salah satu dari 7 pendeta agung aliran Quanzhen
Sumber:
- Robi Wijaya, "Pendekar Pemanah Rajawali," . Gramedia. tahun 2014, jilid 1 p.386 . ISBN 978-602-03-0402-1
- Jin Yong (dr. Louis Cha), "The Legend of the Condor Heroes". Ming Ho Publications. 2003
- Masa muda Mei Chaofeng
Eh?! saya malahan baru tahu ada versi ini setelah bolak balik baca condor heroes trilogy. makasih postingannya.